Kampung Mano Siklus Tahunan dan Mata Pencaharian

93 ditanam pada sekeliling rumah dan lingko. Wilayah permukiman selain pada kampung yang bentuknya melingkar juga sekitar jalan trans flores dan lingko jendong. Masyarakat memanfaatkan lingko jendong sebagai tempat tinggal modern dan halaman sekitar rumah seluas kurang lebih 0.5 hektar untuk menanam kopi. Wilayah lingko lainnya ditanami kopi dan tanaman pelindung seperti, sengon dan dadap. Gambar 4.8 Peta pembagian lahan secara tradisional pada kampung Lerang Masyarakat memanfaatkan madu dari lebah hutan Apis dorsata yang biasanya membangun sarang pada pohon ara Ficus variegata. Masyarakat memanen madu sekitar 100 sampai 150 botol aqua 600 ml dalam satu pohon. Harga jual satu botol madu tersebut seharga Rp. 20 . 000. Pendapatan tunai juga dengan menjual selada air dari Danau Ranamese seharga Rp. 5 . 000 per ikat dan buah markisa seharga Rp. 5 . 000 untuk 10 butir. Masyarakat memetik kopi robusta dan arabika yang berwarna merah serta kolombia berwarna kuning saat pagi hari dan mengumpulkan dalam berek ember dari anyaman pandan, memindahkan kopi dari berek ke karung dan membawanya ke rumah pada sore hari. Masyarakat menumbuk kopi, mengeringkan secara alami, menggiling kopi untuk memisahkannya dari kulit pertama yang keras dan menjual biji kopi atau konsumsi keluarga. Pengolahan kopi dengan menggoreng kering dalam wajan sangrai sampai berwarna agak hitam. Penumbukan kopi sampai halus untuk konsumsi sendiri dengan lesung dan alu. Proses pemanenan padi sawah menggunakan sistem dodo, yaitu secara bergotong royong, bergantian atau bergilir atau dengan sistem upah berupa beras atau uang. Pemindahan padi menggunakan roto yaitu keranjang yang terbuat dari anyaman rotan atau bambu. Pemisahan bulir padi dengan cara memukul pada bertangkai berulang kali dengan dua batang kayu dengan dua tangan serta dua kaki 94 menarik-narik tangkai padi. Kemudian menginjak-injak bulir padi yang masih menempel agar tidak ada lagi bulir yang menempel dan mengayun-ayunkan ke udara supaya batang padi benar-benar terpisah dari batangnya, kemudian membuang daun-daun padi, sisa batang padi serta kotoran kasar yang melekat. Pembersihan kotoran halus pada padi yang terkumpul dengan bantuan angin. Satu orang berdiri di atas kursi atau meja dengan mengangkat sekeranjang bulir padi, kemudian menjatuhkan bulir padi supaya kotoran halus terbawa angin namun bila angin tidak bertiup kencang maka satu orang lagi mengikipasinya dengan nyiru. Selanjutnya adalah menjemur padi yang sudah bersih hingga kering dan menyimpan padi kering dalam lansing kotak penyimpanan supaya tahan lama. Penumbukan padi menjadi beras menggunakan alu dan lesung secukupnya sesuai kebutuhan. Gambar 4.9 Warga kampung di Mangarai telah memiliki penampungan air dekat pemukiman namun sumber mata air untuk upacara adat barong wae masih terpelihara. Kebutuhan air bersih tercukupi dari bak penampungan air dengan menampung air menggunakan jerigen plastik Gambar 4.9. Untuk masyarakat Lerang, sawah sudah menggunakan irigasi dari Danau Ranamese. Pemenuhan kebutuhan air yang semakin mudah menyebabkan gaya hidup dan tingkat kesehatan masyarakat semakin meningkat. Meskipun sudah terdapat bak penampung air pada setiap kampung namun mata air untuk upacara adat barong wae tetap terpelihara. 3. Kampung Wae Rebo Kampung Wae Rebo berada di bawah kaki gunung Todo dengan topografi terjal bergelombang berada pada kemiringan pada ketinggian 1 . 100 m dpl. Kampung Wae Rebo merupakan enclave hutan Todo. Kampung ini memiliki 27 tanah lingko dan beberapa tempat penting ritual adat, yaitu: kampung Wae Rebo, Barong Wae dan 7 tempat keramat Gambar 4.10. Masyarakat Wae Rebo belum mengerjakan seluruh lahan garapan yang ada di dalam enclave Wae Rebo. Lahan yang belum memiliki nama lingko merupakan cadangan untuk lahan garapan rami yang ditumbuhi semak belukar. Topografi yang cukup terjal menyebabkan