8 lokal mengenai konservasi tumbuhan tersebut dijelaskan secara sains sehingga
dapat diintegrasikan ke dalam konservasi tumbuhan hutan. Spesies tumbuhan hutan yang merupakan prioritas untuk konservasi secara lokal ditentukan berdasarkan
penyebarannya, sifat kegunaannya untuk komersial atau konsisten, nilai ICS dan status keberadaannya di alam.
Evaluasi pemanfaatan tumbuhan hutan berdasarkan informasi etnobotani menggunakan teori Pei et al. 2009 yang memberikan gambaran faktor-faktor
yang mengakibatkan degradasi hutan. Pengukuran tingkat pengetahuan etnobotani menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Phillip dan Gentry 1993a,
1993b yang menggambarkan tingkat pengetahuan etnobotani masyarakat dari 0 sampai 1. Penghitungan kemampuan menjaga pengetahuan dan keberlanjutannya
menggunakan indeks retensi Zent 2009. Penurunan pengetahuan merupakan indikator degradasi hutan karena penurunan kemampuan masyarakat melakukan
konservasi tumbuhan hutan.
Studi etnoekologi untuk mendeskripsikan dan menganalisis pengetahuan Masyarakat tradisionalyang berhubungan dengan pengelolaan lahan secara
tradisional. Pemetaan pengelolaan lahan dan hutan menggunakan mental map, yaitu peta yang tergambar di dalam pikiran masyarakat. Hasil mental map
diperoleh dari hasil wawancara, penelusuran lokasi di lapangan bersama masyarakat dan pemetaan dengan koordinat geografis. Penutupan hutan diperoleh
dari hasil analisis citra landsat pada kedua hutan sejak penetapan Hutan Ruteng menjadi kawasan konservasi pada Tahun 1994. Kondisi penutupan hutan akan
memberikan gambaran mengenai akibat adanya akses masyarakat yang mengelola hutan dengan kearifan lokal dan pengelolaan hutan konservasi yang menutup akses
masyarakat terhadap pemanfaatan tumbuhan hutan.
Untuk mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam kebijakan pengelolaan kawasan hutan menggunakan analisis isi peraturan. Analisis isi peraturan dilakukan
mulai dari yang tertinggi yang terkait dengan konservasi, yaitu undang-undang sampai ke surat keputusan menteri.
Kearifan lokal yang teridentifikasi merupakan strategi hidup survival sehingga merupakan strategi konservasi yang bersentuhan langsung dengan
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Kearifan lokal tersebut dijelaskan secara sains sehingga dapat diintegrasikan ke dalam strategi konservasi. Kearifan lokal
adalah site spesific sehingga setiap satuan unit terkecil merupakan bentuk keberagaman dalam kesatuan negara Indonesia dalam rangka pengembangan
konservasi. Setiap ekosistem hutan alam memiliki keanekaragaman yang tinggi yang semestinya dibangun berbasis sumberdaya hayati dan pengetahuan budaya
lokal Zuhud 2011. Program konservasi pengelolaan hutan semestinya mengintegrasikan sistem lokal yang telah beradaptasi dengan perubahan selama
ratusan tahun. Teori konservasi bersifat universal, tetapi penerapannya semestinya unik dan spesifik untuk setiap lokasi. yang kemudian menjadi dasar dari konsep
integrasi kearifan lokal ke dalam kegiatan konservasi, yaitu pemanfaatan, pengawetan dan perlindungan. Integrasi kearifan lokal dan konservasi seperti
disajikan pada Gambar 1.2.
9
Pengalaman pengetahuan dan praktek hidup dalam berinteraksi dengan
lingkungan sehingga terjadi konservasi tumbuhan dan ekosistem
Strategi konservasi melalui: 1. Perlindungan sistem penyangga
kehidupan 2. Pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa 3. Pemanfaatan lestari sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya
Integrasi Kearifan Lokal dalam Konservasi Tumbuhan dan
Ekosistem
Perubahan Paradigma dan Kebijakan
Keselarasan dan keseimbangan hidup dengan alam
Menjaga sumberdaya milik bersama sehingga terjadi kelestariannya
Cara pandang Tata nilai dan norma
Praktek hidup Cara pandang
Tata nilai dan norma Praktek hidup
Manifestasinya dapat dilihat dari aspek:
- Etnografi
- Etnobotani
- Etnoekologi
Pengaturan pemanfaatan jenis, ruang blokzonasi, keterlibatan para pihak
Keberlanjutan eksistensi dan manfaat sumberdaya alam dan ekosistemnya
Kelestarian Hutan untuk
Kesejahteraan Masyarakat
Kelestarian Hutan untuk
Kesejahteraan Masyarakat
Gambar 1.2 Integrasi kearifan lokal masyarakat suku Manggarai dalam konservasi tumbuhan dan ekosistem Pegunungan Ruteng Nusa
Tenggara Timur, modifikasi dari Kosmaryandi 2012.
KONSERVASI KEARIFAN
LOKAL INTE
GRA SI
KONSERVASI TUMBUHAN DAN EKOSISTEM
10
f. Kebaruan Penelitian Novelty
Novelty penelitian ini adalah menemukan suatu cara untuk melakukan konservasi keanekaragaman hayati Pegunungan Ruteng dengan mengintegrasikan
kearifan lokal masyarakat suku Manggarai ke dalam konservasi. Pembuktian kearifan lokal dalam konservasi tumbuhan dan ekosistem Pegunungan Ruteng
menggunakan data ekologi dan analisis citra satelit yang mendukung data kualitatif. Penelitian ini mampu membuktikan bahwa masyarakat tradisional yang tinggal di
dalam dan sekitar hutan memiliki kearifan lokal yang berdampak pada konservasi keanekaragaman hayati.
Sudah banyak penelitian-penelitian yang mengintegrasikan kearifan lokal dan
konservasi dengan fokus penelitian yang berbeda, antara lain adalah: fokus pada zonasi Kosmaryandi 2012a; Kosmaryandi 2012b; Freitas dan Tagliani 2009,
perbedaan, metode dan proses integrasi Bohensky dan Maru 2011, klasifikasi vegetasi Naidoo dan Hill 2006, pengetahuan tradisional mengenai populasi
spesies Fraser et al. 2006; Gagnon dan Berteaux 2009; Moller et al. 2004. Penelitian ini mendata kearifan lokal yang mendukung konservasi hutan untuk
membuktikan secara sains bahwa kearifan lokal berdampak kelestarian. Penelitian ini diharapkan memberikan nilai manfaat bagi dukungan pada pengelola kawasan
hutan untuk melibatkan masyarakat tradisional dalam pengelolaan kawasan hutan dengan mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam kegiatan konservasi.
Sudah cukup banyak penelitian yang dilakukan di wilayah Pegunungan Ruteng Tabel 1.1 yang keseluruhannya tercantum dalam daftar pustaka disertasi
ini. Penelitian mengenai ekologi flora dilakukan oleh Wiriadinata 1998, Simbolon 1998, Setiadi et al. 1999 serta Trainor dan Lesmana 2000. Penelitian
mengenai budaya Manggarai banyak dilakukan oleh ahli anthropologi seperti Verheijen 1977, Verheijen 1991, Toda 1999 dan Lawang 2004. Penelitian
yang memberikan secara rinci spesies hewan di Pegunungan Ruteng dilakukan oleh Suyanto 1998 dan kondisi tanah oleh Djuwansah dan Suriakusumah 1998.
Penelitian mengenai budaya yang dapat mendukung wisata alam di Hutan Ruteng dilakukan oleh Sinu 1999. Penelitian etnobotani pada desa-desa di sekitar Hutan
Ruteng dilakukan oleh Wawo 1998 namun fokus penelitian adalah pada spesies tumbuhan yang berada di luar kawasan hutan dan saka 2001 dengan fokus
penelitian hanya pada tumbuhan sirih dan pinang dalam budaya Manggarai. Penelitian Iswandono 2007 yang merupakan tesis IPB mengenai etnobotani
dilakukan terbatas pada wilayah Hutan Ruteng dan belum dilakukan analisis etnobotani yang mendalam sehingga masih perlu dilakukan penelitian yang lebih
detil.
Dari keseluruhan penelitian yang berkaitan dengan budaya dan flora yang ada di Pegunungan Ruteng tersebut belum ada yang sampai pada tahap
mengintegrasikannya antara kearifan lokal dan konservasi sehingga kegiatan pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat
di dalam dan sekitar kawasan hutan. Integrasi kearifan lokal ke dalam konservasi akan memberikan akan memberikan pemahaman yang sama antara kearifan lokal
dan konservasi.
11 Tabel 1.1 Relevansi penelitian di Pegunungan Ruteng
No Peneliti
Judul Penelitian IsiTopik Penelitian
1 Verheijen
1977 Logat nama-nama Tumbuhan di
Manggarai-Flores Nama-nama lokal jenis
tumbuhan dalam Bahasa Manggarai
2 Verheijen
1991 Manggarai dan wujud tertinggi
Budaya Manggarai yang terkait dengan pemujaan
dewa tertinggi
3 Wawo 1998
An ethnobotanical study of people around Ruteng Nature
Recreation Park, Flores Island Etnobotani masyarakat
Manggarai di luar kawasan hutan pada desa
sekitar Taman Wisata Alam TWA Ruteng
4 Wiradinata
1998 Floristic distribution of Ruteng
Nature Recreation Park Penyebaran flora di TWA
Ruteng 5
Suyanto 1998 Mammals of Flores Island
Jenis-jenis mamalia di Pulau Flores
6 Simbolon
1998 Structure and Species
Composition of the Forest in Ruteng Nature Recreation Park,
Flores Island Struktur dan komposisi
hutan TWA Ruteng
7 Djuwansah dan
Suriakusumah 1998
Soil of Ruteng Nature Recreation Park
Kondisi tanah di TWA Ruteng
8 Setiadi et al.
1999 Penelitian Sumberdaya Hayati
Flora Fauna yang di Taman Wisata Alam Ruteng.
Jenis-jenis Flora dan Fauna di Pegunungan
Ruteng dan Ekologinya
9 Sinu et al.
1999 Pengkajian Dampak Sosial
Ekonomi dan Budaya sebagai Pendukung Pengelolaan TWA
Ruteng Sosial Budaya berkaitan
dengan wisata alam Ruteng
10 Toda 1999 Manggarai mencari pencerahan
historiografi Sejarah keberadaan suku
Manggarai di Flores Barat 11 Trainor dan
Lesmana 2000 Gunung Berapi, burung-burung
khas, tikus raksasa dan tenun ikat yang menawan
Potensi ekologi dan budaya di wilayah Pulau
Flores
12 Saka 2001 Etnobotani sirih pinang dalam
kehidupan Suku Ruteng di Kabupaten Manggarai
Etnobotani yang berkaitan dengan sirih dan pinang
13 Lawang 2004 Stratifikasi sosial di Cancar
Manggarai, Flores Barat Kehidupan strata sosial di
Manggarai dan pengaruh perubahan modernisasi
14 Iswandono 2007
Analisis Pemanfaatan dan Potensi Sumberdaya Tumbuhan
di Taman Wisata Alam Ruteng Pemanfaatan tumbuhan
hutan dan potensinya di dalam kawasan TWA
Ruteng
12
2
ETNOGRAFI MASYARAKAT SUKU MANGGARAI
2.1 Pendahuluan
Jumlah etnik di Indonesia 550 yang berada pada 73 .
798 desa dalam ± 350
, 000 dusun dan 50 diantaranya berada disekitar hutan Kemenhut 2011.
Pemerintah belum mempertimbangkan keragaman sosial budaya masyarakat tradisional sekitar hutan dalam pengelolaan hutan sehingga menjadi salah satu
penyebab kegagalan pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan dan masyarakat di sekitarnya di Indonesia mengabaikan aspek keragaman budaya dan jenis hutan
sehingga seragam dalam mengatur desa hutan dan sistem tata kelola hutan. Dampak penyeragaman adalah disorientasi pengelolaan hutan yang belum sesuai
kondisi lokal sehingga kurang berhasil.
Masyarakat tradisional di dalam dan sekitar hutan telah melakukan pengelolaan hutan sejak ratusan tahun yang lalu berdasarkan kearifan lokal melalui
sistem kelembagaan lokal yang sudah teruji sehingga berdampak pada kelestarian hutan.
Hutan sebagai kesatuan lingkungan dan budaya merupakan tumpuan masyarakat sekitar hutan dalam menopang sistem kehidupan. Budaya terbentuk
dari hubungan timbal balik yang berkesinambungan dengan lingkungan sumberdaya hutan Nugraha dan Murtijo 2005 sehingga unik dan spesifik
beradaptasi dengan perubahan selama ratusan tahun sesuai karakteristik hutan.
Pelaksanaan program konservasi semestinya mempertimbangkan budaya masyarakat tradisional sehingga sesuai dengan karakteristik hutan.
Masyarakat tradisional di dalam dan sekitar kawasan konservasi berperan dalam mendukung pengelolaan dengan pengetahuan lokal dalam pemanfaatan
hutan berkelanjutan Junior dan Sato 2005. Perbedaan pemahaman antara pengetahuan lokal dan ilmiah dapat dijembatani dengan mengintegrasikan
pengetahuan lokal tersebut ke dalam pengetahuan ilmiah Ruheza dan Kilugwe 2012. Integrasi budaya dalam konservasi diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman konservasi yang dapat mempengaruhi kebijakan konservasi Young et al
. 2014. Budaya dalam konservasi hutan atau kearifan lokal berbasis pengetahuan
lokal sedangkan konservasi berbasis sains. Konservasi menggunakan pendekatan logika sedangkan kearifan lokal menggunakan pengetahuan lokal. Konservasi dan
kearifan lokal memiliki tujuan umum kelestarian hutan untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi pengetahuan lokal kurang dipahami karena dianggap kuno dan
tidak masuk akal Kosmaryandi 2012a. Kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya alam sejak turun-temurun memiliki peran dalam konservasi hutan
melalui pemanfaatan tradisional yang mempengaruhi kelestarian hutan Pei et al. 2009; Pei 2013. Konservasi budaya lokal diuji dengan waktu sehingga sama
dengan proses trial and error, sedangkan konservasi didasarkan pada pengujian ilmiah sehingga keduanya memiliki kebenaran ilmiah. Sebuah pemahaman
menyeluruh pengetahuan lokal melalui studi etnografi akan mengungkap sisi budaya dalam konservasi.
Gagasan mengenai pembentukan kawasan konservasi di Indonesia selalu dengan pertimbangan nilai-nilai ilmiah dalam kawasan hutan. Pengakuan
pentingnya kawasan konservasi secara nasional dan internasional merupakan