Kepemimpinan Kampung Hasil dan Pembahasan

29 Manggarai tidak boleh ada perbedaan. Ungkapan ini kemudian diwujudkan dalam pembangunan rumah adat yang berbentuk bulat, permukiman berbentuk lingkaran, lahan komunal berbentuk lingkaran lingko, dan cara bermusyawarah dengan duduk bersila bersama-sama membentuk sebuah lingkaran dalam rumah adat yang disebut lonto leok. Penyelesaian permasalahan sosial di Manggarai diselesaikan dengan cara lonto leok. Dalam lonto leok semua orang memiliki kedudukan yang sama dan memiliki hak yang sama dalam berpendapat. Pengambilan keputusan dengan cara mufakat dan bukan suara terbanyak. Pada saat pengaruh modernisasi yang kuat saat ini orang Manggarai masih memiliki ungkapan neka hemong kuni agu kalo, artinya jangan melupakan kampung halaman. Pengaruh budaya asing yang dapat membawa pada jalan yang salah semestinya dihindari dan tetap berpegang pada identitas diri yang sebenarnya. Ungkapan dini diwujudkan dengan menanam pohon kalo atau dadap berduri Erythrina subumbrans pada halaman rumah adat. Pohon ini akan terus tumbuh hingga mati secara alami. Namun saat ini sebagian rumah adat di Manggarai mengganti pohon kalo dengan pohon beringin Ficus benyamina. Ungkapan yang secara langsung berhubungan dengan konservasi adalah mbau eta temek wa, tela galang peang kete api one , artinya bila di puncak gunung berwarna hijau maka di bawah gunung ada banyak air, di tungku memiliki cukup kayu bakar, di atas tungku cukup makanan untuk dimasak. Ungkapan ini mengingatkan untuk selalu menjaga hutan agar tetap hijau sehingga kehidupan sehari-hari dapat berlangsung dengan baik. Ungkapan ini diwujudkan dalam penataan lahan orang Manggarai dengan cara menjaga keberadaan hutan berada pada puncak paling atas. Pada bagian bawah hutan adalah kebun agroforestry dan permukiman melingkar selalu ditempatkan pada daerah rata. Beberapa idioms orang Manggarai yang memiliki kaitan dengan konservasi adalah - Muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambong neka woleng lako, ipung ca tiwu neka woleng wintuk, artinya pisang satu rumpun tidak boleh beda kata, tebu satu rumpun tidak boleh berbeda dalam mengambil keputusan dan ikan satu kolam tidak boleh beda dalam tindakan. - Neka hemong kuni agu kalo, artinya jangan melupakan kampung halaman. - Mbau eta temek wa, tela galang peang kete api one, artinya bila di puncak gunung berwarna hijau maka di bawah gunung ada banyak air, di tungku memiliki cukup kayu bakar, di atas tungku cukup makanan untuk dimasak. - Puar hitu anak rona, artinya hutan adalah “anak rona” - Porong neho worok eta golo, pateng wa wae artinya semoga kokoh seperti worok diatas bukit dan semakin berteras bila berada di dalam air. - Gendang one lingko pe’ang, artinya bila ada rumah adat maka di sekeliling rumah adat itu adalah tanah komunal lingko. 30 Pengelolaan hutan selalu didasarkan pada penghargaan pada hutan karena dianggap sebagai anak rona, yaitu keluarga dari pihak isteri yang dihargai sehingga terdapat ungkapan puar hitu anak rona yang artinya hutan itu anak rona. Konsep ini berasal dari konsep ini berasal dari kepercayaan tradisional bahwa bumi adalah ibu dan langit yang menghasilkan hujan adalah ayah. Hutan dipandang sebagai putri langit dan bumi. Bumi yang dianggap sebagai ibu dari semua mahluk di bumi termasuk manusia sehingga pohon di dalam hutan tidak boleh ditebang secara sembarangan tetapi melalui upacara adat roko molas poco. Roko molas poco adalah upacara adat untuk melamar pohon worok Dysoxylum densiflorum seperti melamar seorang gadis untuk dijadikan pilar utama rumah adat. Pemanfaatan pohon worok Dysoxylum densiflorum sebagai tiang utama rumah adat didasarkan pada idiiom Porong neho worok eta golo, pateng wa wae, yang artinya semoga kokoh seperti kokoh diatas bukit dan berteras bila berada di dalam air. Masyarakat tradisional percaya penggunaan kayu worok untuk rumah adat berpengaruh secara spiritual pada kelembagaan adat yang kuat. Ungkapan terakhir yang kontra produktif dengan konservasi adalah gendang one lingko pe’ang yang artinya bila ada rumah adat maka di sekeliling rumah adat itu adalah tanah komunal lingko sehingga masyarakat mengungkit kembali sejarah keberadaan nenek moyangnya yang dahulu hidup dalam hutan. Bukti kampung lama bangka dikenali dalam hutan dengan adanya tumpukan batu persembahan compang atau pondasi kampung melingkar. Batu-batu yang sudah ditumbuhi semak belukar terlihat jelas bentuknya saat dibersihkan dan menjadi salah satu sumber konflik masyarakat dengan pengelola hutan. Apabila bangka yang merupakan tempat yang dianggap angker sehingga dilakukan ritual di tempat itu, maka hutan pada wilayah bangka tersebut akan tetap lestari, contohnya bangka milik kampung bangka pau yang terletak di sebelah utara kampung Mano.

2.4 Simpulan

Masyarakat Suku Manggarai mampu melakukan konservasi tumbuhan dan ekosistem pegunungan Ruteng dengan budaya yang mendukung konservasi. Budaya konservasi tersebut merupakan hasil dari berinteraksi dengan lingkungannya secara turun menurun yang merupakan strategi untuk mempertahankan hidupnya melalui dua hal, yaitu efisensi pemanfaatan spesies dan pengaturan ruang pemanfaatan. Strategi ini memiliki kaitan dengan kepercayaan tradisional yang masih dipatuhi.yang dapat ditemukan dalam produk budaya antara lain adalah idiom, mitos, legenda dan ritual adat. Sistem kehidupan tradisional masih berjalan dengan baik karena diatur oleh lembaga adat beo kampung yang dikepalai seorang tua golo. Sistem kekerabatan dalam satu beo, aturan dan denda adat menyebabkan kehidupan tradisional berjalan dengan baik termasuk pemanfaatan sumberdaya keanekaragaman hayati. Strategi perlindungan sistem penyangga kehidupan terwujud dalam perlindungan hutan sekitar mata air dan tempat keramat untuk melakukan ritual kepercayaan tradisional. Strategi pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa terwujud dalam pengawetan tumbuhan sakral dan satwa ceki. Strategi pemanfaatan terwujud dalam pengaturan pemanfaatan berkelanjutan dalam aturan-aturan dan upacara adat yang mengikat. 31 3 ETNOBOTANI MASYARAKAT SUKU MANGGARAI

3.1 Pendahuluan

Etnobotani berasal dari kata etnologi yaitu ilmu yang mempelajari tentang suku serta budaya yang ada pada suku tersebut dan botani yaitu ilmu tentang tumbuhan. Studi mengenai etnobotani merupakan studi mengenai interaksi antara manusia dengan sumberdaya tumbuhan Cotton 1996; Minnis 2000; Anderson et al. 2011; Pei 2013 dan sangat penting dalam konservasi tumbuhan Pei 2013. Studi mengenai etnobotani ini strategis untuk mempelajari interaksi masyarakat terhadap lingkungannya karena tumbuhan berperan dalam pemenuhan sandang, pangan, papan, sosial budaya dan religi masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional sekitar hutan sudah sejak lama berinteraksi dengan hutan yang menyediakan berbagai macam kebutuhan hidup seperti makanan, obat- obatan, dan lainnya. Hutan bukan hanya menyediakan berbagai kebutuhan hidup namun juga berkontribusi terhadap pemeliharaan budaya dan pengetahuan asli masyarakat tradisional Baird dan Dearden 2003; Negi 2010; Turner et al. 2011. Masyarakat tradisional sekitar hutan berinteraksi dengan hutan sejak ratusan tahun memiliki pengetahuan mengenai bagaimana menggunakan tumbuhan hutan secara berkelanjutan Pei et al. 2009; Pei 2013. Masyarakat tradisional dan pengetahuan mereka tentang hutan merupakan hal yang penting dalam praktek konservasi kawasan Anderson dan Putz 2002; Junior dan Sato 2005; Rist et al. 2010. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa masyarakat tradisional melalui pengetahuan etnobotaninya berperan dalam memelihara hutan dalam kondisi yang baik. Pengetahuan etnobotani merupakan salah satu indikator terhadap pemanfaatan tumbuhan hutan secara berkelanjutan. Penurunan pengetahuan etnobotani merupakan awal dari degradasi hutan karena menurunnya peran kelembagaan lokal dalam melakukan pemanfaatan hutan secara berkelanjutan Pei et al . 2009. Masalah lainnya adalah adanya ilmu pengetahuan modern dalam metode pengelolaan hutan akan membuat keberadaan masyarakat tradisional dan pengetahuan lokal mereka diabaikan sehingga mengancam keberadaannya. Pengetahuan etnobotani banyak ditemukan dalam suku-suku tradisional di Indonesia yang merupakan hasil dari berinteraksi, berproses dan bersikap melakukan pemanfaatan hutan. Pengaruh perubahan ekosistem hutan karena terjadi kerusakan di khawatirkan akan menyebabkan semakin menurunnya pengetahuan tradisional bahkan menghilang. Hilangnya pengetahuan tradisional akan menyebabkan masyarakat masyarakat tradisional kurang cara mengelola sumberdaya hutan secara lestari. Penurunan pengetahuan etnobotani merupakan awal dari degradasi hutan karena menuruunya peran kelembagaan lokal dalam melakukan pemanfaatan hutan secara berkelanjutan Pei et al. 2009 Adanya pengetahuan lokal adalah penting, tetapi dalam risiko kepunahan karena faktor antropogenik Byers et al. 2001, Phillips dan Gentry 1993 dan faktor- faktor ekologis seperti perubahan dan hilangnya habitat Amusa et al. 2010. Salah satu sebab kerusakan hutan tropis adalah hilangnya masyarakat tradisional di dalam dan sekitar hutan yang memiliki pengetahuan ekologi tradisional dan secara sosial ekonomi memiliki keterikatan dengan hutan dalam pemenuhan kebutuhan hidup 32 termasuk pangan dan kesehatan Rai dan Lalramnghinglova 2010. Pemanfaatan tumbuhan hutan secara tradisional berkelanjutan karena masyarakat tradisional memiliki pengetahuan yang terbentuk dari interaksi antara manusia dan lingkungan sehingga masyarakat memiliki pemahaman yang lebih tentang lingkungan. Tumbuhan liar berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan pangan, identitas kultural yang merefleksikan pengetahuan tradisional lingkungan yang mendalam, survival dan keberlanjutan pengetahuan ekologi tradisional Turner et al. 2011. Spesies yang merupakan kunci budaya akan dipertahankan keberadaannya dengan budaya masyarakat yang secara tidak langsung mempengaruhi keberadaannya di ekosistem. Kepentingan suatu spesies di dalam budaya masyarakat ditunjukkan dengan nilai Index Cultural Significance ICS dan kepentingan nilai ekologi ditunjukkan dengan indeks nilai penting INP. Kedua spesies kunci tersebut akan dipelajari mengenai cara-cara masyarakat melakukan konservasi. Spesies tumbuhan hutan yang merupakan prioritas untuk konservasi secara lokal ditentukan berdasarkan penyebarannya, sifat kegunaannya untuk komersial atau konsisten, nilai ICS dan status keberadaannya di alam. Tujuan penelitian ini adalah: mengkaji pemanfaatan tumbuhan hutan dan keberlanjutannya oleh masyarakat Suku Manggarai yang mendukung konservasi.

3.2 Metode

Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan mulai bulan Juli sampai Desember 2014 dua kampung terletak di Hutan Ruteng dan satu kampung di Hutan Todo sebagai data pembanding. Gambar 2.1. Jarak ketiga kampung tersebut dari kota Ruteng, yaitu kampung Mano sejauh 10 km, kampung Lerang 20 km, dan Wae Rebo sejauh 60 km. Pada pegunungan Ruteng terdapat 70 desa sekitar Hutan Ruteng dan 22 desa sekitar Hutan Todo. Kampung Wae Rebo merupakan wilayah terisolasi di dalam enclave Hutan Todo sebagai patokan sebuah kampung yang mengindikasikan kondisi penutupan hutan yang baik yang dikelola oleh masyarakat tradisional. Di wilayah hutan Todo masyarakat memiliki akses untuk memanfaatkan kayu untuk pembangunan rumah adat dan mengelola ekowisata sedangkan di Hutan Ruteng masyarakat tidak diberikan akses dalam pemanfaatan sumberdaya hutan secara legal oleh peraturan TWA. Pertimbangan lain pemilihan ketiga sampel adalah kesamaan suku, budaya dan bahasa Verheijen 1991 dan kesamaan ekosistem hutan pegunungan Trainor dan Lesmana 2000. Bahan penelitian untuk pembuatan herbarium, seperti: kantong plastik, label gantung, kertas koran, dan alkohol 70 . Peralatan survei, seperti: kamera digital, perekam suara, parang, peta, dan software SPSS 20 untuk mengolah data statistik. Perolehan data melalui survei, observasi partisipatif, diskusi kelompok terfokus FGD, wawancara mendalam dan literatur. Wawancara mendalam dengan menetapkan informan berdasarkan status dan perannya dalam masyarakat berdasarkan kecukupan informasi dengan cara purposive dan snowball Sugiyono 2010. Penentuan informan secara sengaja purposive yang memiliki pemahaman mengenai sumberdaya tumbuhan. Sumber data berdasarkan petunjuk awal informan yang merekomendasikan informan lainnya snowball, yang mengerti pemanfaatan tumbuhan hutan. Identifikasi spesies tumbuhan mengacu pada