ccii
3. Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel
Pasar, Mantra Pejinak Ular,
dan
Wasripin dan Satinah
Struktur sosial budaya masyarakat dalam cerita novel
Mantra Pejinak Ular MPU,
dan Wasripin
dan SatinahWS
berkaitan erat dengan kenyataan sosial budaya masyarakat Jawa. Kenyataan tersebut ditampilkan berkenaan
dengan warna lokal berupa tatacara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan
kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, keadaan alam, bahasa, perumahan, dan paparan tentang kesenian.
Sastra merupakan suatu wujud dan hasil dari kebudayaan dan salah satu bentuk ekspresi manusia dalam menyikapi realitas kehidupan dengan
menggunakan bahasa simbol. Sastra Indonesia mestinya difungsikan untuk meninggikan derajat kemanusiaan dan membawa pembaca pada pengumbaran
jiwa manusia dengan ekspresi yang rendah. Oleh karena itu perlunya diimbangi dengan sastra yang bercorak lebih bagus secara makna dan isinya, yang
berdasarkan pada nilai-nilai agama.Sastra yang bercorak pada nilai-nilai agama merupakan pengungkapan jiwa dan sarana untuk melakukan Ibadah pada
Pencipta. Sebagaimana sastra Islam merupakan sastara yang bersifat multi fungsi dimana bukan pengungkapan jiwa semata tetapi mengajarkan nilai-nilai
transenden. Kuntowijoyo merupakan sosok yang fenomenal pada masa itu karena
konsep yang ia tawarkan dalam melihat realitas. Dilihat dari latar belakang pendidikannya ia merupakan seorang yang ahli sejarah. Sejarah yang ia
ungkapkan dengan menggunakan pendekatan sosial, hal ini dapat dilihat dari disertasinya yang membahas tentang perubahan sosial masyarakat Madura.
Walaupun ia seorang sejarawan tetapi apa yang dilakukan oleh Kuntowijoyo lebih dari sejarawan. Hal ini disebabkan ia banyak sekali memberikan konstribusi pada
cciii bidang yang lain seperti sastra, ilmu sosial dan pengintegrasian ilmu agama
dengan pengetahuan dengan konsep pengilmuan Islam. Struktur sosial budaya masyarakat dalam novel
Pasar, MPU,
dan
WS
dapat dijelaskan sebagai berikut: 1
Proses Kreatif Novel
Pasar, Mantra Pejinak Ular MPU,
dan
Wasripin dan Satinah WS
Penulisan Novel
Pasar, MPU,
dan
WS
sama-sama ditulis pada saat terjadi perubahan sosial budaya karena perkembangan zaman. Dalam
proses kreatifnya Kuntowijoyo tidak pernah melepaskan latar sejarah kemanusiaan yang sedang berlangsung. Ketiga novel tersebut terwujud
sebagai bentuk perenungan dan pencerahan Kuntowijoyo terhadap fenomena yang terjadi di dalam masyarakat.
Dalam proses kreatifnya Kuntowijoyo tidak pernah melepaskan latar sejarah kemanusiaan yang sedang berlangsung. Dalam pengantar
Hampir Sebuah Subversi
1999 dikatakan Kuntowijoyo bahwa ia merenungkan kembali kegiatannya menulis cerpen. Ia mengaku menulis
begitu saja, yang dirasanya baik, tanpa resep-resep. Meskipun begitu karya-karya Kuntowijoyo penuh dengan gagasan, penuh dengan renungan
hakikat manusia dalam kehidupan modern ini. Dengan kata lain, instuisi diri Kuntowijoyo yang telah berpadu dengan kecerdasan intelektualnyalah
yang akhirnya menghasilkan karya-karya tersebut. Penulisan dengan cara semacam itu dapat dilihat dalam hampir
setiap tulisan karya sastra Kuntowijoyo. Novel
P asar
diceritakan alurnya berangkat dari yang serba sederhana, yaitu dari kekaguman atas “misteri
cciv kehidupan”. Dalam novel
Pasar
Kuntowijoyo mengungkapkan soal perubahan sosial di kota kecil pada akhir tahun 50-an. Dua orang yang
sudah berumur, seorang priyayi Jawa kecil-kecilan, Pak Mantri Pasar, bersaing dengan seorang pedagang, Kasan Ngali, memperebutkan “cinta”
seorang gadis pegawai Bank Pasar. Tidak seorang pun yang memenangkan persaingan karena gadis itu dipindahtugaskan.
Kuntowijoyo mengatakan bahwa cerita
Pasar
ditulis karena ia mengagumi tokoh-tokohnya, ia mengagumi pasar yang semasa kecil
menajdi tempat bermain, ia mengagumi tokoh-tokohnya, ia mengagumi burung dara, ia mengagumi ketoprak dan ludruk yang pemain-pemainnya
mandi di sumurnya, ia mengagumi para penjual obat di lapangan depan pasar. “Semua waktu itu adalah realitas keseharian bagi anak-anak, lima
belas tahun kemudian – ketika saya sudah dewasa, waktu saya menulis ternyata semua itu berubah jadi misteri yang mengagumkan. Adapun pasar
itu sendiri sekarang berubah menjadi pasar modern dengan kios-kios di sekitarnya,” katanya.
Novel MPU pun menampilkan pesoalan manusia dalam konteks sejarah kemanusiaan. Melalui novel MPU, Kuntowijoyo melakukan kritik
terhadap proses dehumanisasi yang berlangsung di masyarakat, terkungkung dalam mesin birokrasi negara dan mesin politik partai
yang dapat menjerumuskan manusia ke jurang ketertindasan, baik secara material maupun spiritual.
ccv Kuntowijoyo sudah mencoba mengisahkan perlawanan terhadap
dehumanisasi dan objektivasi olehmesin birokrasi bernama negara dengan mesin politik berupa parti pemerintah dalam novel MPU. Seorang pegawai
rendahan di kecamatan menolak menjadi pegawai lebih tinggi di kabupaten untuk menunjukkan penolakannya menjadi pengikut partai
pemerintah. Atau, dalam istilah etika profetik disebut tokoh ingin menjadi pribadi yang utuh.
Di samping dehumanisasi “modern” di atas, ada lagi dehumanisasi “tradisional”. Dehumanisasi tradisional yang masih ada dalam masyarakat
kita ialah pemujaan terhadap benda keramat, kekeramatan kuburan, sesaji, mantra, jimat. Dan sebagainya. Tokoh Abu Kasan Sapari menolak
dehumanisasi “tradisional” yang disimbolkan dengan membuang ularnya, memutus mata-rantai mantra pejinak ular, dan tidak memakai sesaji waktu
mendalang. Fakta-fakta yang ditampilkan dalam cerita MPU merupakan fakta sejarah yang menjadi fenomena di masyarakat Jawa.
Kuntowijoyo juga membangun cerita novelnya dengan internalisasi tokoh yang berjalan atau ia menyebutnya dengan sastra dari dalam. Sastra
dari dalam, artinya peristiwa-peristiwa dipahami sebagaimana tokoh- tokohnya memahami dunianya sendiri. Pengarang harus membiarkan
tokoh-tokoh imajinernya
mereaksi-mereaksi peristiwa-peristiwanya
sendiri. Dengan katalain, the I tokoh imajinerlah yang berpikir, berbicara, dan berbuat, bukan sang pengarang. Kalau tokoh-tokoh imajiner itu orang
sederhana, pikiran, perkataan, dan perbuatannya juga harus sederhana.
ccvi Tokoh Abu Kasan Sapari dalam novel MPU tak pernah tahu-
menahu soal objektivasi modern dan tradisional, padahal objektivasi itulah tema dari tema novel itu. Ia hanya bereaksi sewajarnya atas peristiwa yang
dihadapi. Mendalang, menolong, seorang cakades, menolak tawaran partai, mencari rumah kontrakan, dan jatuh cinta. Pengarang sama sekali
“tidak berbicara” lewat tokoh-tokohnya. Satu-satunya privilis saya adalah teknik “apa-apa ada”.
Tokoh Pak Mantri yang telah berusaha dan berhasil mengatasi pesoalan yang muncul di pasar merupakan satu tipe ideal pemimpin
modern dibandingkan dengan cermat, bupati, dan pemimpin umumnya sekarang yang tidak mengerti baik akar tradisi sendiri maupun semangat
modernitas. Di tangan orang yang tidak mengerti hakikat masa lalu dan masa kini, tradisi dan modernitas, bumi dan langit, manusia dan Khalik,
kehidupan modern akan tampil dalam bentuk-bentuknya yang melemahkan spiritualitas manusia. Tokoh tersebut menjalankan misi yang
ada dalam karakter miliknya tanpa harus mengetahui modernitas apa yang tengah terjadi di masanya.
Dalam novel WS, masing-masing tokoh mempunyai sifat yang menggambarkan secara nyata sifat orang pantura. Tokoh Pak Modin
sebagai orang yang punya banyak pengalaman dijadikan Kuntowijoyo sebagai media untuk menyampaikan pesan moral. Pak Modin adalah
pemimpin yang
diharapkan oleh
rakyatnya, tetapi
dianggap membahayakan kekuasaan di atasnya. Pada akhirnya ia diculik dan disiksa
ccvii hingga menjadi gila. Tipikal pemimpin yang diharapkan rakyat adalah
orang yang memiliki kemampuan sebagai rohaniwanulama dan manajer. Kuntowijoyo memang memiliki landasan yang jelas dalam
merambah proses kreatifnya; sebuah bukti lain bahwa dirinya merupakan sosok pribadi yang konsisten. Proses-proses kreatif bersastra, baik dalam
ranah produktif,
reproduktif maupun
reseptif, memang
harus dikembangkan dalam sebuah landasan yang jelas. Kuntowijoyo melihat
bahwa masyarakat tidak dicetak oleh ruh masyarakat, tetapi dikemas oleh pabrik, birokrasi, kelas sosial dan kekuasaan, maka kita menemukan wajah
manusia yang otentik. Manusia terikat pada yang semata-mata konkret dan empiris yang dapat ditangkap indra. Kesaksian manusia pada aktualitas
dan sastra adalah sebuah kesaksian lahiriah jadi sangat terbatas. Maka pertama-tama manusia harus membebaskan diri dari aktualitas, dan kedua,
membebaskan diri dari peralatan inderawi. Selanjutnya, pada saat teks-teks sastra semacam ini realitasnya
memang ada, dan memang eksis, ia kemudian memperkenalkan apa yang kemudian dikenal sebagai sastra profetik. Untuk melihat konsep-konsep
etika profetik dalam sebuah karya sastra dilalui dengan melihat struktur sastranya. Bagi Kuntowijoyo, sastra adalah struktur alisasi dari
pengalaman, imajinasi, dan nilai. Imajinasi selalu ada dalam setiap struktur sastra sehingga struktur itu terdiri dari dua atau tiga unsure. Pengalaman
bisa berupa pengalaman sendiri, pengalaman orang lain, dan hasil riset. Imajinasi ialah kemampuan mental untuk membayangkan sesuatu secara
ccviii urut, sadar, dan aktif. Nilai itu bisa apa saja: agama, filsafat, ilmu, adapt,
dan gugon-tuhon. Dalam
karya-karya mutakhirnya,
Kuntowijoyo lebih
mengedepankan dimensi profetik yang bersifat liberasi. Hal ini sejalan dengan pandangannya bahwa sastra adalah sebuah dunia symbol, yang
sifat dan proses komunikasinya berbeda dengan sifat dan komunikasi sehari-hari. Karena sebagai krator ia harus menciptakan dunia simbol
sebagai sesuatu yang baru, proses kreatif menjadi berpeluang lebih luas dalam mengeksplorasi gagasan dan konsep, baik dalam tataran tradisi,
budaya maupun keagamaan. Dan Kuntowijoyo tidak tanggung-tanggung dalam hal ini. Karena itu karya-karyanya bergerak dalam kemungkinan
tersebut. Pengarang hanya dituntut untuk konsisten dalam pelukisannya dan koheren dengan tema konsep etika profetik dan plotnya penuturan
yang runtut, jalan cerita yang masuk akal. Intuisilah yang akan membimbing pengarang menuju koherensi itu.
2. Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel
Pasar, Mantra Pejinak Ular,
dan
Wasrpin dan Satinah
Cerita
Pasar
dilatari oleh sebuah deskripsi kehidupan masyarakat Jawa yang tinggal di sebuah kota kecil pada akhir tahun 50-an yang sedang mengalami
pembangunan di banyak bidang. Kutipan berikut menunjukkan bahwa pada masa itu kota kecil tersebut telah memiliki perangkat-perangkat kemasyarakatan, yaitu
mantri pasar, camat, juga polisi tentunya beserta perangkat fisik perkantoran pemerintahannya, yaitu kantor pasar, kantor kecamatan, dan kantor kepolisian.
ccix Perkembangan sarana-sarana fisik tersebut menandakan adanya kemajuan budaya
manusia. Perkembangan sosial budaya pada cerita
MPU
diperlihatkan sebagai masa kemajuan pembangunan di era akhir tahun 90-an. Semakin terjangkaunya sarana
fisik yang merambah wilayah pedesaan mendorong perilaku budaya dan gaya hidup baru bagi masyarakat Jawa. Kutipan di bawah ini memperlihatkan
perkembangan budaya membaca dan mencari informasi dari radio dan televise merupakan salah satu perkembangan perilaku budaya yang fenomenal di
masyarakat yang lebih maju. Hal itu pun menunjukkan bahwa kondisi latar yang ditunjukkan dalam latar cerita
MPU
lebih modern daripada latar dalam cerita
Pasar
Perkembangan sosial budaya pada cerita
WS
diperlihatkan sebagai masa kemajuan masyarakat pesisir. Kegiatan politik modern mewarnai seluruh
kehidupan masyarakt Indonesia, tak terkecuali masyarakat pesisir. Dengan menggunakan samaran nama dan peristiwa, digambarkan bahwa pelatiahan kader
partai sudah dengan manajemen yang modern dan peralatan yang modern pula. Pengakuan terhadap strata sosial dalam masyarakat mempengaruhi
terhadap interaksi sosial diperlihatkan dalam novel
Pasar
. Kultur feodalisme yang masih melekat dalam masyarakat pascasosial menyebabkan adanya interaksi
sosial yang bersifat terbatas antaranggota masyarakat karena implikasi dari pengakuan terhadap strata sosial. Hal ini diperlihatkan dengan komunikasi top
down atas pengaruh yand dimiliki dari anggota tokoh strata lebih tinggi kepada tokoh dengan strata lebih rendah. Persepsi terhadap strata dalam masyarakat Jawa
ccx memberikan perlakuan istimewa pada orang-orang berstrata tinggi di masyarakat.
Perlakuan tersebut berupa dalam banyak hal, seperti dalam diawalkan mendapat kesempatan atau diberikan tempat terdepan dalam acara-acara masyarakat.
Berbeda dengan apa yang diperlihatkan novel
Pasar
, dalam novel
MPU
dan
WS
pengakuan masyarakat terhadap strata sosial tidak terlalu berpengaruh pada interaksi antarmasyarakat. Masyarakat dalam novel
MPU
sudah tersentuh modernisasi sehingga hal itu melemahkan interaksi yang bersifat top down, malah
sebaliknya modernisasi mengakibatkan terbukanya sistem feudal dalam komunikasi. Komunikasi yang terjadi dalam novel
MPU
, yang bisa dianggap menampilkan masyarakat modern, berlangsung dua arah yang saling timbale
balik. Namun begitu, perubahan lain yang timbul ialah adanya tekanan dari kekuatan dari strata tinggi karena faktor capital atau pemilikan modal dan
kekuasaan. Novel
Pasar
memperlihatkan masyarakat Jawa yang berpegang pada ajaran Islam. Keyakinan Islam yang dijalankan dalam segala tindakan merupakan
perbauran antara ajaran Islam dan kepercayaan masyarakat Jawa yang diwariskan turun-temurun. Sebagian dari masyarakat Jawa sangat taat dalam melaksanakan
keyakinan yang kuat dipegangnya Novel
MPU
memperlihatkan perilaku hidup masyarakat Jawa banyak dipengaruhi unsur Arab atau Islam. Pada kalangan penganut Islam taat, kebiasaan
ritual yang dituntutkan agama dilakukan secara baik. Masyarakat dalam novel
MPU
dideskripsikan menjalankan keyakinan Islam yang menganjurkan mengadakan selamatan dengan menyembelih kambing atas kelahiran anak.
ccxi Selain itu, diperlihatkan juga adanya sinkretisme ajaran, yaitu kebiasaan
masyarakat Jawa ketika memanjatkan doa kepada Sang Pencipta dilakukan dengan mengunjungi tempat-tempat tertentu, seperti makam para leluhur. Ritual
keyakinan tersebut menunjukkan adanya sinkretisme budaya antara Islam dan Hindu. Di samping itu, masyarakat Jawa juga sering menggunakan cara berpikir
pralogik, yaitu pemikiran yang menghubungkan sesuatu hal dengan hal lain yang tidak secara ilmiah, hanya atas dasar pewarisan menurut kebiasaan atau tuturan
nenek moyang. Dalam novel
WS
nuansa islam lebih terasa karena memang masyarakat pantura mayoritas Islam yang senang menampilkan simbol keislaman. Pada
kalangan penganut Islam taat, kebiasaan ritual yang dituntutkan agama dilakukan secara baik. Masyarakat dalam novel
WS
dideskripsikan menjalankan keyakinan Islam yang menganjurkan mengadakan acara pernikahan dengan sebutan
walimahan dan menggunakan hiburan rebana. Novel Pasar menunjukkan adanya seni tembang Jawa Kuna,
candrasengkala, ataupun ketoprak telah mulai tergeser oleh budaya baru sebagai salah satu efek perkembangan zaman. Dalam novel
Pasar
disebutkan bahwa hanya Pak Mantrilah yang pandai menulis tembang Jawa Kuna dan
candrasengkala. Dikatakan bahwa generasi muda sudah tidak lagi memerhatikan ilmu seni apalagi untuk berusaha melestarikannya.
Kesenian Jawa yang telah ada sejak puluhan tahun silam mengalami perkembangan yang besar di masa sekarang diperlihatkan dalam novel
MPU
. Masa yang modern menjadikan novel
MPU
memperlihatkan bahwa cerita wayang
ccxii tidak lagi harus mendasarkan pada cerita baku dunia pewayangan. Pertunjukkan
wayang sekarang ini kerap menampilkan cerita yang telah mengalami proses kreativitas karena pengaruh modernitas zaman.
Di samping itu, cerita
MPU
juga memperlihatkan bahwa eksistensi pergelaran kesenian wayang saat ini telah mengalami pergeseran. Pertunjukkan
kesenian wayang lebih banyak diselenggarakan karena permintaan konsumen kolektif atau kepanitiaan daripada permintaan konsumen individu. Masyarakat
sekarang lebih memilih “menangkap” kesenian modern daripada kesenian wayang.
Dalam novel
MPU
diperlihatkan bahwa ilmu seni juga sudah dapat diperoleh melalui pendidikan formal yang lebih tinggi. Perkembangan zaman
membutuhkan peran sosial lain untuk melengkapi satu aspek kehidupan, termasuk seni. Bahkan dalam cerita
MPU
juga diperlihatkan terjadi pergeseran yang bersifat negatif dalam kesenian. Kesenian saat ini juga dimanfaatkan untuk kepentingan
politik golongan. Kutipan di bawah ini memperlihatkan adanya pertunjukkan kesenian wayang yang diselenggarakan karena kepentingan politik partai
Sedangkan dalam novel
WS
, tokoh Satinah dan paman menyampaikan kesenian melalui nyanyian yang diiringi siter dan seruling untuk mbarang. Dalam
novel ini juga diceritakan bahwa masyarakat pantura lebih menyukai sholawat daripada wayang orang. Hal ini tidak berarti masyarakat Jawa bagian pesisir
kehilangan seni budaya Jawa. Novel
Pasar, MPU
, dan
WS
memperlihatkan posisi pasar menjadi sentra tempat aktivitas sosial bagi masyarakat Jawa. Setiap pagi semarak para pedagang
ccxiii sudah memulai aktivitas mempersiapkan barang-barang dagangannya. Setelah itu
terjadilah aktivitas sosial berupa jual beli antaranggota masyarakat. Selain itu, masyarakat Jawa juga memiliki keyakinan terhadajp mitologi dalam kehidupan
masyarakatnya. Salah satu mitologi yang ditunjukkan dalam novel
Pasar, MPU
, dan
WS
adalah adanya keyakinan terdapat “hari baik” untuk melakukan aktivitas. Hal tersebut berupa “hari baik” yang dijadikan Hari Pasar. Konon setiap pasar
memiliki hari yang baik untuk melakukan transaksi jual beli. Misalnya pasar A memakai hari paaran “Kliwon”, Pasar B “Legi” dan seterusnya. Selain untuk
penjadwalan agar tertata, hal ini diyakini mempermudah rizki. Masyarakat Jawa memiliki kebiasaan umum memelihara sesuatu yang
menjadi kesukaannya. Fakta di atas memperlihatkan orang Jawa suka memelihara binatang atau benda-benda yang dianggapnya bertuah.
Perbedaan masa memperlihatkan perbedaan terhadap sesuatu yang menjadi peliharaan. Dalam novel
MPU,
dalam masa medernisasi, orang Jawa sudah tidak hanya memelihara binatang dan benda pusaka, tetapi juga mulai
memelihara barang-barang berupa mobil, kapal pesiar, atau yang lainnya yang menjadi kesenangan hati. Di samping kemajuan zaman, faktor utama perubahan
tersebut karena tingkat ekonomi sebagian masyarakat Jawa yang telah mencapai ekonomi tinggi.
Berbeda dengan kedua novel tersebut, novel
WS
menceritakan masyarakat pesisir yang tidak gemar memelihara binatang. Baginya setiap hari adalah waktu
untuk mengangkap ikan.
ccxiv Keberadaan masyarakat dengan berbagai budaya yang melekat tentu tidak
lepas dari aspek kebahasaan sebagai salah satu bentuk budaya masyarakat. Dari ketiga novel tersebut, penggunaan bahasa yang paling mudah dipahami adalah
bahasa pada novel
Pasar
. Penggunaan bahasa pada Mantra Pejinak Ular lebih sulit dipahami dan pada novel Wasripin dan Satinah paling sulit dipahami karena
banyak menggunakan istilah-istilah asing, terutama dari bahasa Arab. Sebagai seorang cendekiawan muslim Kuntowijoyo kadang melupakan
bahwa yang membaca karyanya bukan hanya kalangan akademisi. Meskipun demikian, ketiga novel tersebut memiliki keunggulan-keunggulan yang tidak
dimiliki oleh novel lain yakni pada aspek kesesuaian dengan kondisi masyarakat dan misi yang hendak disampaikannya.
Filosofi lama yang menjadi konsep hidup masyarakat Jawa pun menjadi gambaran dalam novel
Pasar, MPU,
dan
WS
. Dalam novel
Pasar
terdapat semboyan yang menunjukkan cara berpikir dan mentalitas masyarakat Jawa yang
senang berusaha keras. Masyarakat Jawa memandang bahwa sesuatu hasil tidak akan datang dengan sendirinya, tetapi harus dengan melakukan usaha untuk
memperolehnya. Dalam usahanya tersebut manusia harus selalu mengasu pada kewaspadaan agar tidak menyimpang dari kejujuran.
Pandangan masyarakat terhadap filosofi Jawa tentang hidup bersama dalam kekerabatan sudah mulai luntur. Keluarga masyarakat Jawa tidak lagi hidup
bersama dalam satu atap atau area wilayah, tetapi sebagian yang lainnya telah merantau ke wilayah lain. Fenomena perubahan pandangan hidup masyarakat
Jawa tersebut dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan kemajuan zaman.
ccxv Masyarakat Jawa mempunyai interaksi sosial yang bagus, yaitu berupa
sifat kekeluargaan satu sama lain. Setiap anggota masyarakat akan memberikan respon timbal balik yang positif. Di gardu Abu terkenal sebagai tukang dongeng,
ahli filsafat kecil-kecilan, dan cagak lek membuat terbangun hidup. Sebutan tukang dongeng itu didapatnya karena dia suka bercerita Ramayana dan
Mahabarata yang belum pernah didengar orang, karena karangannya sendiri. Sampai-sampai ada yang berkomentar kalau jadi dalang kok masih mau ronda.
Wasripin ketika mau menikah dalam keadaan miskin sehingga masyarakat secara sukarela membantunya. Berikut kutipan yang merupakan interaksi
masyarakat di perkampungan nelayan. Berdasarkan gambaran tersebut tampak bahwa masyarakat Jawa masih
memegang kuat interaksi kekeluargaan antaranggota masyarakat. Masyarakat satu sama lain akan saling menolong dan membantu orang lain dalam rangka mengisi
aspek hidup kemasyarakatan. Kultur seperti itu biasanya didukung karena komunikasi antarwarga masyarakat yang baik melalui perangkat yang ada. Dalam
novel
Pasar
perangkat itu adalah pertemuan ibu-ibu, dalam novel
MPU
perangkat itu adalah sistem ronda, dan dalam novel
WS
adalah jamaah masjid yang bergotong royong.
Kultur yang menjadi karakteristik dalam masyarakat Jawa yaitu peralihan kepemimpinan dari generasi ke generasi selanjutnya. Novel
Pasar, MPU,
dan
WS
menampilkan peralihan kepemimpinan sebagai tradisi yang senantiasa eksis dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa. Pada novel Pasar peralihan
kepemimpinan diperlihatkan melalui pewarisan sedangkan pada novel
MPU
dan
ccxvi
WS
diperlihatkan melalui sistem demokrasi. Kutipan berikut menggambarkan Pak Mantri mewariskan kepemimpinan kepada Paijo sebagai penerusnya dalam novel
Pasar
dan peralihan kepemimpinan yang dilakukan melalui pemilihan oleh rakyat secara demokrasi dalam novel
MPU
dan
WS
. Pengungkapan komunikasi di era yang sudah maju difasilitasi dengan
perangkat teknologi lain. Seperti diperlihatkan dalam novel
Pasar, MPU,
dan
WS
bahwa penyampaian kritik dilakukan melalui sarana atau media. Dalam novel
Pasar
orang sudah bisa melakukan penyampaian gagasan melalui surat kabar sedangkan dalam novel
MPU
dan
WS
lebih vulgar lagi yaitu berupa aksi masa secara langsung atau dikenal dengan isiltah demo. Kedua pola di atas merupakan
perkembangan yang timbul sebagai implikasi perkembangan teknologi atau sosial lainnya. Di latar cerita
MPU
dan
WS
terjadi era keterbukaan karena efek demokrasi dalam sistem masyarakatnya.
3.
Penokohan dalam novel
Pasar
,
Mantra Pejinak Ular,
dan
Wasripin dan Satinah
sebagai Perwujudan Sosok Masyarakat Jawa Kuntowijoyo juga membangun konsep latar sosial budaya melalui
karakteristik tokoh-tokohnya yang kuat. Karakteristik serta interaksi tokoh dengan berbagai simbol yang melekat dalam dirinya memberikan perwujudan aspek latar
sosial budaya novel. Tokoh Mantri Pasar dalam novel
Pasar
merupakan sosok orang Jawa tradisional yang memiliki andaian ideal yang seharusnya dimiliki para pemimpin
di masyarakat. Dalam konteks Jawa yang harus dimiliki para pemimpin itu adalah
ccxvii filosofi orang Jawa yang ada dalam teks-teks sastra Jawa lama. Tentu bukan
berarti seorang pemimpin harus berpedoman kepada tradisi lama dalam mengelola organisasi dan kehidupan modern. Yang harus mereka lakukan adalah mengelola
kehidupan modern dengan tetap menstransformasikan sari-sari akar tradisi budaya. Budaya tradisi dan modern dalam novel ini dihadirkan dalam konteks
kesejahteraan. Dalam novel
MPU
, tokoh Abu Kasan Sapari, menjadi simbol orang Jawa modern yang telah berinteraksi dengan kemajuan zaman di masa hidupnya.
Pikiran dan tindakannya merupakan perwujudan manusia Jawa modern. Tokoh Abu memang orang Jawa yang mengenyam pendidikan maju, sarana mobilitas,
kemajuan teknologi di era demokrasi dan modernisasi. Meski begitu tokoh Abu berprinsip tidak semua tindakan yang mengatasnamakan modernisasi bisa
diterima begitu saja. Demokrasi yang otoriter dan industrialisasi yang meminggirkan rakyat kecil harus ditentang karena tidak sesuai dengan etika
kemanusiaan. Sedangkan dalam
WS
, tokoh Wasripin dan Pak Modin menjadi simbol masyarakat pesisir yang telah megalami berbagai kemelut hidup. Tokoh Pak
Modin adalah mantan pejuang yang memiliki kemampuan agama lebih, disegani, dihormati, dan dicintai penduduk. Wasripin adalah tokoh berlumur dosa yang
bertaubat dan dapat memberi manfaat pada banyak orang karena keahliannnya. Karakter tokoh wanita, Siti Zaitun dalam novel
Pasar
, Sulastri dalam novel
MPU
, dan Satinah dalam novel
WS
menjadi ikon sebagai sosok wanita Jawa modern. Gambaran wanita Jawa masa lalu yang senantiasa teguh pada
ccxviii pandangan tradisi tradisional masyarakat Jawa dideskripsikan terbalik dalam
cerita. Siti Zaitun, Sulastri, dan Satinah memiliki perwujudan wanita yang berwatak mandiri. Mereka sama-sama menjadi wanita karir yang produktif. Siti
Zaitun adalah gadis yang bekerja sebagai pegawai bank pasar. Sulastri adalah janda kembang yang berkarya menjadi penjahit dan perias pengantin. Satinah
adalah penyanyi dan penjahit. Di samping itu mereka memiliki sikap yang berani menentang pandangan wanita Jawa kuno yang pasrah terhadap tindakan
ketertindasan atas perilaku terhadap wanita. Oleh karena itu, Siti Zaitun, Sulastri, dan Satinah membuktikan bahwa tempat wanita di masyarakat sosial berada
dalam posisi sejajar. Artinya memiliki peran nyata dan bisa berprestasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Tokoh antagonis Kasan Ngali dalam novel
Pasar
, Mesin Politik dalam novel
MPU
, dan militerpemerintah dalam novel
WS
merupakan gambaran watak yang kontrapositif terhadap harmonisasi kehidupan sosial masyarakat Jawa. Kasan
Ngali adalah pedagang besar sebagai simbol kapitalis. Kapitalis menjadi pengganggu keseimbangan ekonomi kerakyatan karena penguasaan terhadap
modal digunakannya sebagai penindas rakyat kecil. Sedangkan Mesin Politik, Militer, dan Penguasa adalah simbol arogansi yang menggunakan kekuasaan,
wewenang, dan kekayaan untuk melakukan penekanan terhadap rakyat kecil.
ccxix
4. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular,