clxviii tokoh. Hal ini menunjukkan adanya penguatan terhadap cara pandang suatu
permasalahan cerita. Pengarang seolah-olah meletakkan tokoh-tokohnya sebagai sarana berkomunikasi dengan pembaca dalam menjadikan tokoh-tokoh cerita
tersebut sebagai saksi mata dan pelaku sejarah. Menilik pada penggunaan sudut pandang seperti di atas pada proses cerita
pengarang memiliki maksud tertentu. Pengarang dalam hal ini Kuntowijoyo seolah-olah ingin mengusulkan kepada khalayak tentang gagasan-gagasan dan
pikiran-pikirannya melalui pendekatan setiap tokoh cerita. Pengarang bisa memberikan pemahaman setelah ia tersublim dengan tokoh-tokoh tersebut dari
segala kedudukannya, sebagai pemimpin, pejabat pemerintah, satpam, modin, pegawai swasta, bahkan pedagang. Inilah sudut pandang yang unik dari
pengolahan empati rasa yang ingin ditunjukkan kepada pembaca.
3. Deskripsi Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel
Pasar
, Novel
Mantra Pejinak Ular,
dan Novel
Wasripin dan Satinah
1. Proses Kreatif Novel
Pasar
, Novel
Mantra Pejinak Ular,
dan
Wasripin dan Satinah
Novel
Pasar
dikarang oleh Kuntowijoyo pada tahun 1972. Pada tahun itu era kolonial baru saja berakhir dengan penjajahan yang dilakukan bangsa barat.
Masa itu merupakan mas-masa negara dalam asa penataan struktur fisik dan mental bangsa. Bangsa Indonesia tengah melaksanakan pembangunan di berbagai
sektor dan wilayah. Akulturasi dan asimilasi budaya telah terjadi dalam
clxix masyarakat Indonesia. Khususnya dalam masyarakat Jawa, kultur dan nilai-nilai
luhurnya berusaha untuk bertahan di masa pembangunan dilakukan karena pembangunan berarti kemajuan di segala aspek yang dapat mengubah tatanan
yang ada. Oleh karena itu novel
Pasar
lahir di masa transisi pasca kolonialisme di Indonesia yang mulai mengalami perkembangan zaman semakin maju.
Kuntowijoyo memang sastrawan sekaligus sejarawan produktif. Sudah lebih 50 judul buku tulisnya. Memang, menulis telah menjadi aktivitas
kesehariannya. Ia menulis dari fajar sampai waktu subuh. Setelah subuh ia meneruskan menulis lagi. Kegiatan menulis juga dilanjutkan lagi setelah jalan
pagi. Siang hari tidur siang. Sorenya, ia kembali menulis. Beristirahat sejenak dan sehabis isya, menulis lagi sampai tengah malam, bahkan kadang-kadang hingga
pukul 02.00. Karya-karya sastra lain yang dikarangnya pada masa-masa itu yaitu:
Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari
novel, 1966,
Rumput-rumput Danau Bento
naskah drama, 1968,
Topeng Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas
naskah drama, 1972,
Topeng Kayu
naskah drama, 1973,
Suluk Awang- Uwung
kumpulan puisi, 1975,
Isyarat
kumpulan puisi, 1976, dan
Khotbah di Atas Bukit sebagai karya master piece
novel, 1976. Novel
Mantra Pejinak Ular MPU
sendiri ditulis pada tahun 2000, setelah cukup lama mengidap
meningo enchepalitis
di tahun 1992. Novel
MPU
diterbitkan pertama kali sebagai cerita bersambung di harian
Kompas
. Masa pembuatan novel
MPU
merupakan masa zaman mencapai modernisasi, yang dikenal dengan awal
millennium ketiga
. Pada masa itu era keterbukaan,
clxx demokrasi, liberasi, dan kemajuan teknologi telah berkembang demikian pesat.
Maka, dikatakan bahwa lahirnya novel
MPU
pada masa transisi kemajuan zaman ke arah yang lebih modern.
Tahun 1992, tepatnya pada 6 Januari, Kuntowijoyo menderita sakit akibat serangan virus
meningo enchepalitis
. Sejak saat itu saraf motoriknya mengalami gangguan serius, hingga sulit berbicara. Untuk mengatakan satu kata saja, ia
seperti harus mengerahkan seluruh kekuatannya. Meski dalam usia yang jelas tak lagi muda, bahkan dalam kondisi fisik yang belum pulih, di tahun-tahun terakhir
hidupnya Kuntowijoyo masih tetap menulis. Dalam sakit panjangnya itu “sang Begawan”, begitu dikenalnya, lebih produktif dibandingkan teman-temannya yang
sehat. Otaknya tetap bekerja normal untuk mengalirkan karya-karya sastra. Ini terbukti dengan berupa karya-karya sastranya yang dikarang setelah masa
sakitnya, seperti:
Makrifat Daun-Daun Makrifat
kumpulan saja, 1995,
Dilarang Mencintai Bunga-Bunga
kumpulan cerpen, 1993,
Hampir Sebuah Subversi
kumpulan cerpen, 1999,
Wasripin dan Satinah
novel, 2003. Novel
Wasripin dan Satinah
ditulis pada tahun 2003. novel ini merupakan karya sastranya yang terakhir. Novel berlatar budaya masyarakat pantura ini sarat
dengan nuansa politik yang menggambarkan betapa kekuasaan politik dan militer di segala lini kehidupan. Nuansa politik yang digambarkan mirip dengan novel
MPU
yaitu dengan adanya Partai Randu. Presiden Sadarto merupakan gambaran Presiden Suharto yang melanggengkan kekuasaan dengan prinsip “Senyum dalam
penampilan, namun keras dalam tindakan.” Masyarakat pesisir yang miskin
clxxi dijadikan media untuk berkuasa. Kalau ada yang mau melawan, dia akan
dimusnahkan dengan tuduhan ekstrem kanan.
2. Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel
Pasar, Mantra
Pejinak Ular,
dan
Wasrpin dan Satinah
Latar belakang sosial budaya dalam novel
Pasar
,
MPU,
dan
WS
menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa. Latar belakang sosial budaya dalam cerita novel
Pasar
dan novel
MPU
ditampilkan berkenaan dengan warna lokal berupa tatacara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan
agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, keadaan alam, jalan,
perumahan, dan paparan tentang kesenian. Berikut penjabarannya: a.
Masa Peristiwa Pada cerita
Pasar
ditunjukkan kehidupan masyarakat Jawa yang sedang mengalami perkembangan sosial budaya atas pengaruh kemajuan
perkembangan zaman yang berlangsung pascakolonial. Sedangkan pada cerita
MPU
menampilkan kehidupan masyarakat Jawa ketika kemajuan zaman mencapai masa demokrasi dan modernitas. Perkembangan sosial budaya pada
cerita
MP U
diperlihatkan sebagai berikut: Listrik PLN sudah masuk, jalan antarkecamatan beraspal
membentang di tengah desa. Desa itu menjadi desa Pelopor P-4. Jalan- jalan desa sudah dikeraskan dengan batu, berkat AMD ABRI Masuk
Desa tahun sebelumnya. Jumlah radio tak terhitung, pesawat tv lebih dari sepuluh. Orang-orang desa suka menonton acara-acara TV yang dipasang
di ruang tamu untuk tontonan umum. Selain itu ada beberapa orang berlangganan Koran. Kuntowijoyo, 2000: 95
clxxii Perkembangan sosial budaya pada cerita
WS
diperlihatkan sebagai berikut:
Dengan sebuah megafon keesokan harinya sebuah jip polisi keliling perkampungan nelayan. “Halo Halo Nelayan wajib mencari
ikan. Kalau tidak, izin kapal dicabut.” Kuntowijoyo, 2003: 251
b. Strata Sosial dalam Masyarakat Jawa
Novel
Pasar, MPU,
dan
WS
juga memperlihatkan adanya pengakuan terhadap strata sosial dalam masyarakat. Pengakuan kelas atas diperlihatkan
dengan kepemilikan kekayaan, jabatan, dan kekuasaan atau wewenang. Sebagai pelaku sosial para tokoh pun melakukan interaksi, baik secara
struktural maupun kultural. Bahkan interaksi tersebut meluas pada pelaku sosial lain.
Pengakuan terhadap strata sosial dalam masyarakat digambarkan sebagai berikut:
Pak Camat datang juga. Pak Mantri mendahului memberi selamat: “Selamat siang, Pak.” Keduanya termasuk orang-orang penting dalam kota
kecil itu. Kalau ada orang kawin merekalah duduk paling muka, mendapatkan penghormatan yang pertama. Juru tulis menyodorkan buku tamu. Pak Camat
memeriksanya. Kuntowijoyo, 2002: 61
Berbeda dengan apa yang diperlihatkan novel
Pasar
, dalam novel
MPU
dan
WS
pengakuan masyarakat terhadap strata sosial tidak terlalu berpengaruh pada interaksi antarmasyarakat.
Fungsionaris Mesin Politik datang lagi. “Nah, apa kata saya?”
“Apa boleh buat.” “Berpolitik itu jangan tanggung-tanggung.”
“Saya tidak berpolitik.”
clxxiii “Tidak berpolitik itu. Politik. Mau tidak mau, suka tidak suka,
kita semua berpolitik. Dalam politik ada ungkapan ‘kalau kau kalah, bergabunglah dengan yang menang’. Kedatangan saya kemari untuk
mengajak Pak Abu bergabung. Bagaimana?” Kuntowijoyo, 2000: 136
Kepala Polisi bilang pada bawahannya. “Kalian akan kami usulkan dapat bintang produksi. Besok
diluang lagi. Sampai mereka sadar.” “Ya, tugas dan bintang itu berikan saja kepada orang lain.”
Kuntowijoyo, 2003: 252
c. Religiusitas dalam Masyarakat Jawa
Novel
Pasar
memperlihatkan masyarakat Jawa yang berpegang pada ajaran Islam Kutipan berikut ini memberikan fakta tersebut:
Segala puji bagi-Mu. Petunjuk yang cemerlang. Ada untungnya ia menjadi orang Jawa, membaca surat-surat, dan riwayat para nabi juga
Kuntowijoyo, 2002: 256 Novel
MPU
memperlihatkan perilaku hidup masyarakat Jawa banyak dipengaruhi unsur Arab atau Islam
Sesampai di desa baru, kakek-nenek tahu bahwa kelahiran Abu belum disambut dengan akikah. Maka dipotonglah dua ekor kambing
jawa. Kuntowijoyo, 2000: 6-7
Dalam kutipan lain diperlihatkan juga adanya sinkretisme ajaran, yaitu kebiasaan masyarakat Jawa ketika memanjatkan doa kepada Sang Pencipta.
Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut: Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah
yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk
ngalap berkah
, meminta restu. Sambil menyerahkan kembali bayi itu dikatakannya kepada dua orang tuanya, “Hati-hati memelihara anak
ini. Besok dia akan jadi pujangga. Aku mendapat firasat, ketika aku keluar dari makam ada rombongan orang
membarang
, menyanyi, dan menabuh gamelan, anak itu memiringkan telinganya, seperti
mendengar
sinden
dan
klenengan
.” Kuntowijoyo, 2000: 2
clxxiv Dalam novel
WS
nuansa islam lebih terasa karena memang masyarakat pantura mayoritas Islam yang senang menampilkan simbol
keislaman. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut: Anak-anak yang mengaji di surau belajar sholawatan bersama
dua orang gadis nelayan. Orang-orang laki-laki dewasa mengiringi dengan menabuh rebana. Kuntowijoyo, 2003: 207
d. Seni Budaya Jawa
Kesenian juga menjadi warna dalam memberikan gambaran karakter sosial budaya masyarakat. Dalam novel
Pasar
dan novel
MPU
diperlihatkan bentuk seni syair dan tembang Jawa Kuna, candrasengkala, dan ketoprak
sebagai seni yang hampir hilang di masyarakat. Sedangkan dalam novel
WS
, seni nembang dan shalawatan yang lebih dominan.
Ia menemukan kejanggalan. “Hh,” katanya, “Darmo Kondo ini mesti Koran Cina Apa ini: Dandanggula bukan, Kinanti buka,
macapat bukan,
tembang gedhe
bukan. Tak ada bahasa Kawi-nya. Mana bisa. Mana jadi. Orang tak tahu sastra menulis sastra.
Kuntowijoyo, 2002: 11 “Apalagi.
Candrasengkala
sebuah kalimat untuk menandai tahun dibangunnya pompa itu, Pak.” Kuntowijoyo, 2002: 63
Pak Mantri suka nonton ketoprak, hanya saja ia kurang suka dengan cara penonton-penonton yang suka menyoraki pelaku-pelaku
perempuan yang cantik, terutama kepada Sri Hesti itu. Kuntowijoyo, 2002: 17
Kutipan dalam novel
Pasar
di atas menunjukkan bahwa seni tambang jawa Kuna,
candrasengkala
, ataupun ketoprak telah mulai tergeser oleh budaya baru sebagai salah satu efek perkembangan zaman.
clxxv Fakta yang sama juga diperlihatkan dalam novel
MPU
. Pertunjukkan wayang sekarang ini kerap menampilkan cerita yang telah mengalami proses
kreativitas karena pengaruh modernitas zaman. Yang punya rumah bisa pesan lakon apa saja: Dari “Gatotkaca
Krama” kalau yang punya hajat mantu, “Wahyu Makuta Rama” untuk perayaan 17 Agustus, sampai yang aneh-aneh, seperti “Petruk Sunat”.
Dari yang sangat
pakem
baku sampai yang paling
carangan
cabang. Kuntowijoyo, 2000: 14 Menurut pengalamannya 85 dari konsumen wayang ialah
konsumen kolektif kepanitiaan, sedangkan konsumen individual hanya 15. Makin ke kota makin besar konsumen kolektifnya, hanya
di desa masih ada satu dua konsumen individual. Kuntowijoyo, 2000: 214
Yang punya rumah bisa pesan lakon apa saja: Dari “Gatotkaca Krama” kalau yang punya hajat mantu, “Wahyu Makuta Rama” untuk
perayaan 17 Agustus, sampai yang aneh-aneh, seperti “Petruk Sunat”. Dari yang sangat
pakem
baku sampai yang paling
carangan
cabang. Kuntowijoyo, 2000: 14 Dalam novel
MPU
diperlihatkan bahwa ilmu seni juga sudah dapat diperoleh melalui pendidikan formal yang lebih tinggi. Perkembangan zaman
membutuhkan peran sosial lain untuk melengkapi satu aspek kehidupan, termasuk seni. Kutipan berikut ini menggambarkan fakta tersebut di tahun 90-
an: STSI menghasilakn sarjana atau seniman. Sarjana hanya perlu
menulis “teori”, dan seniman hanya perlu ‘praktik’. Abu ingin jadi kedua-duanya. Kuntowijoyo, 2000: 219-220
Bahkan dalam cerita
MPU
juga diperlihatkan terjadi pergeseran yang bersifat negatif dalam kesenian. Kesenian saat ini juga dimanfaatkan untuk
kepentingan politik golongan. Kutipan di bawah ini memperlihatkan adanya
clxxvi pertunjukkan kesenian wayang yang diselenggarakan karena kepentingan
politik partai: Musim Agustusan tiba. Randu sekali ini ingin mengesakan
bahwa ia punya perhatian besar pada sebangsa kebudayaan tradisional. Itulah sebabnya ia mengerahkan dalang dari luar Karangmojo untuk
merayakan Agustusan di tingkat daerah dan cabang-cabang. Kuntowijoyo, 2000: 209
Sedangkan dalam novel
WS
, tokoh Satinah dan paman menyampaikannya melalui nyanyian yang diiringi siter dan seruling untuk mbarang. Berikut ini
cuplikan seni budaya Jawa dalam
WS
: Kata Satinah lagi, “Karena Paklik juga akan meninggalkan kalian, ia
sudah menggubah lagu ‘Maskumambang Selamat Berpisah’ dan ‘Megatruh Selamat Tinggal’. ‘Maskumambang’ artinya emas yang mengapung di air,
sebuah keajaiban, dan ‘megatruh’ artinya pisahnya roh dari badan, tanda bahwa perpisahan ini ibarat kematian. Silakan Paklik.” Satinah memasukkan
kaset, merekam tembang pamannya. Kuntowijoyo, 2003: 206
Dalam novel ini juga diceritakan bahwa masyarakat pantura lebih menyukai sholawat daripada wayang orang. Hal ini tidak berarti masyarakat Jawa
bagian pesisir kehilangan seni budaya Jawa. Anak-anak yang mengaji di surau belajar sholawatan bersama dua
orang gadis nelayan. Orang-orang laki-laki dewasa mengiringi dengan menabuh rebana. Kuntowijoyo, 2003: 207
e. Mitos Masyarakat Jawa
Novel
Pasar
,
MPU,
dan
WS
memperlihatkan posisi pasar menjadi sentra tempat aktivitas sosial bagi masyarakat Jawa dan meyakini hari pasar
sebagai hari baik. Selain untuk penjadwalan agar tertata, hal ini diyakini mempermudah rizki. Mengenai hari pasar dapat dilihat dalam kutipan ketiga
novel berikut:
clxxvii Mereka membuka bungkus-bungkus dagangan menggelarnya
di lantai, di bawah los-los pagar atau di emper, atau di jalanan. Hari itu hari Pahing yang biasa, kalau mencari keramaian hari pasar, pada
Kliwonlah. Kuntowijoyo, 2002: 2
Hari masih pagi, agak dingin di tempat itu, tetapi pasar itu sudah hidup sejak subuh. Hari itu hari Pasar. Orang membawa
kambing, kerbau, dan sapi di pasar ternak di sebelah selatan pasar, yang ada kayu-kayu tempat orang menalikan ternaknya. Los-los pasar
juga sudah penuh. Mulai terdengar orang tawar-menawar, kumandang pasar itu. Kuntowijoyo, 2000: 56
Petugas dari kecamatan dengan tas di pinggang mendekati para pedagang dan menarik pajak. Hari ni bukan hari pasar biasa, tapi Hari
Pasar. Itulah sebabnya Satinah dan Pamannya dating. Pasar akan segera selesai. Kuntowijoyo, 2003: 16
f. Perilaku Kesenangan Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa memiliki banyak perilaku yang khas sebagai indentitas masyarkat. Hal tersebut juga menjadi perhatian yang digambarkan
dalam novel
Pasar
dan novel
MPU
. Sebagaimana digambarkan dalam kutipan berikut:
Burung-burung itu mengharap padanya, bahkan puter di sangkar yang bulat itu mengepakkan sayap. Pak Mantri bersiul lagi,
mengacungkan tangannya, menggeserkan ibu jari ke jari tengah. Kuntowijoyo, 2002: 10
“Saya akan memeliharanya sebagai
klangenan
,” kata Abu. Hampir setiap rumah memelihara
klangenan
. Burung dara, kucing, jalak, kutilang, parkit. Ada yang suka tosan aji, batu mulia, bonsai.
Orang kaya memelihara kuda, kapal pesiar, mobil balap. Negeri akan tenang bila semua orang punya
klangenan
. Kuntowijoyo, 2000: 120
g. Penggunaan
Bahasa dalam Masyarakat Keberadaan masyarakat dengan berbagai budaya yang melekat tentu
tidak lepas dari aspek kebahasaan sebagai salah satu bentuk budaya masyarakat. Hal itulah yang juga diperlihatkan dalam novel
Pasar
,
MPU, dam
clxxviii
WS
. Ketiga novel tersebut memperlihatkan penggunaan bahasa dalam masyarakat Jawa yang sudah mengalami campur kode. Kutipan dalam kedua
novel berikut menunjukkan hal itu: Rokok-rokok dilempar ke panggung. Lalu, suit-suit
Ai laf yu darling Wah nek ngene aku emoh Sewengi gak iso bubuk, rek Aku
wegah mulih, yu Kowe gelem po karo aku
Dan, di antara orang yang melemparkan rokok ke panggung itu ialah Kasan Ngali. Kuntowijoyo,
2002: 336 Masak lupa, peristiwa sepenting ini biasanya dipakai alasan untuk
show up
.” Kuntowijoyo, 2000: 233 “Tahu saja. Itu kan
cover girl
di tabloid itu, to?” “Ya, kalau mau. Kalau tidak, bagaimana?”
“Jadi laki-laki
yang pede,
jangan ingah-ingih
begitu.” Kuntowijoyo, 2000: 231
“Saru itu nyasarnya kalau
turu
tidur” Kuntowijoyo, 2003: 225
h. Prinsip Hidup Masyarakat Jawa
Filosofi lama yang menjadi konsep hidup masyarakat Jawa pun menjadi gambaran dalam novel
Pasar
,
MPU,
dan
WS
. Dalam novel
Pasar
terdapat semboyan yang menunjukkan cara berpikir dan mentalitas masyarakat Jawa yang senang berusaha keras. Berikut merupakan pandangan
masyarakat Jawa dalam novel
Pasar, MPU,
dan
WS
yang banyak berupa semboyan Jawa:
Sekarang memang sedang musim tanam. Jangan mengharapkan panen.
Jer basuki mawa beya
. Tidak ada kemakmuran masa depan tanpa ada pengorbanan. Kuntowijoyo, 2002: 238-239
Sak bejo-bejone, wong kang lali Isih bejo, wong kang eling lan waspodo
semujur-mujurnya orang yang lupa diri masih mujur orang yang ingat dan waspada Kuntowijoyo, 2000: 24
Rerasan yang tersebar dari mulut ke mulut, makin lama makin besar seperti kata ungkapan
Sak dawa-dawane lurung ish dawa gurung
clxxix sepanjang-panjangnya lorong, masih panjang tenggorokan: ada
agama sesat di lingkungan nelayan Kuntowijoyo, 2003: 101-102
Dalam novel
MPU
diperlihatkan juga terjadinya pergeseran masyarakat Jawa dalam memandang sebagian semboyan Jawa. Misalnya
dalam kutipan novel
MP U
berikut: “Bicara baik-baik dengan dia. Yakinkanlah bahwa
mangan ora mangan
waton ngumpul
itu sudah
kuno,” pinta
orang itu.Kuntowijoyo, 2000: 27
i. Interaksi Sosial dalam Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa mempunyai interaksi sosial yang bagus, yaitu berupa sifat kekeluargaan satu sama lain. Kutipan dalam novel
Pasar
,
MPU,
dan
WS
berikut memperlihatkan suasana efek harmonis dari interaksi kekeluargaan yang dibangun:
Kabar kepergian Siti Zaitun itu sudah meluas. Di pondoknya Siti Zaitun sibuk menerima tamu-tamu. Pak Camat, polisi, ibu-ibu,
tetangga-tetangga, guru-guru. Hadiah menumpuk di meja. Zaitun tidak bermaksud meramaikan kepergiannya itu. Tetapi tercium juga. Gadis
itu sengaja akan pergi diam-diam, maka ia sengaja pula tidak berpamitan. Besok, setibanya di kota, dia akan menulis surat datang
lagi berpamitan. Tetapi orang datang juga. Dan hadiah-hadiah mengalir. Ah, kota itu menyenangkannya juga. Tidak disangkanya
orang-orangnya yang ramah. Sampai ia menangis terisak setiap menerima tamu. Kuntowijoyo, 2002: 350
Di gardu Abu terkenal sebagai tukang dongeng, ahli filsafat kecil-kecilan,
dan
cagak lek
membuat terbangun
hidup. Kuntowijoyo, 2000: 114
Wasripin ketika mau menikah dalam keadaan miskin sehingga masyarakat secara sukarela membantunya. Berikut kutipan yang merupakan
interaksi masyarakat di perkampungan nelayan.
clxxx Sebuah panitia sudah dibentuk. Para nelayan patungan
menanggung biaya. Kuntowijoyo, 2003: 207
j. Pewarisan Kepemimpinan
Novel
Pasar
,
MPU, dan WS
menampilkan peralihan kepemimpinan sebagai tradisi yang senantiasa eksis dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa.
Tetapi ketahuilah, engkaulah yang sebenarnya pewaris. Maukah, Nak?” Paijo mengangguk. Kuntowijoyo, 2002: 346
Di Kemuning ada sembilan lurah yang habis masa jabatannya dan pilkades akan dilaksanakan serentak di seluruh kecamatan.
Kuntowijoyo, 2000: 91 Maka dalam sebuah upacara yang diramaikan dengan
selawatan mereka melantik Modin sebagai Kepala Rakyat alias Karak. Pembawa acara mengatakan bahwa yang melantik adalah rakyat, jadi
rakyatlah yang bertanggung jawab. Kalau ada apa-apa rakyatlah yang akan maju. Kuntowijoyo, 2003: 87
k. Penyampaikan Kritik
Pengungkapan komunikasi di era yang sudah maju difasilitasi dengan perangkat teknologi lain. Seperti diperlihatkan dalam novel
Pasar, MPU, dan WS
bahwa penyampaian kritik dilakukan melalui sarana atau media. O, ya. Ada di bawanya surat kabar. Mungkin ada contohnya di
sana. Ia mengeluarkan selembar surat kabar dari tas. Bagaimana modelnya. Judulnya? Ia ingin menulis sesuatu tentang keburukan cara
kerja di kecamatan itu. Juga tentang apa yang disebutnya sebagai pemberontakan orang pasar. Ini tentu akan menarik pembaca. Tulisan
jangan sampai hanya luapan perasaan saja. Harus sesuatu yang meyakinkan, penuh bukti-bukti. Bukan isapan jempol. Kuntowijoyo,
2002: 145
Ini agak luar biasa, tidak pernah ada demo mahasiswa sejak 1966 ketika mahasiswa mendemo Bupati yang PKI. Demo belum
umum, apalagi di kota kabupaten itu. Kuntowijoyo, 2000: 157 Lima puluhan nelayan ke Kodim. Mereka berboncengan sepeda
motor dan sepeda ontel. Membawa bendera merah putih. Kuntowijoyo, 2003: 142.
clxxxi 3.
Penokohan dalam novel
Pasar
,
Mantra Pejinak Ular,
dan
Wasripin dan Satinah
sebagai Perwujudan Sosok Masyarakat Jawa Kuntowijoyo juga membangun konsep latar sosial budaya melalui
karakteristik tokoh-tokohnya yang kuat. Karakteristik serta interaksi tokoh dengan berbagai simbol yang melekat dalam dirinya memberikan perwujudan aspek latar
sosial budaya novel. Tokoh Mantri Pasar dalam novel
Pasar
merupakan sosok orang Jawa tradisional yang memiliki andaian ideal yang seharusnya dimiliki para
pemimpin di masyarakat. Dalam novel
MP U
, tokoh Abu Kasan Sapari, menjadi simbol orang Jawa modern yang telah berinteraksi dengan kemajuan zaman di
masa hidupnya. Pikiran dan tindakannya merupakan perwujudan manusia Jawa modern.
Sedangkan dalam
WS
, tokoh Wasripin dan Pak Modin menjadi simbol masyarakat pesisir yang telah megalami berbagai kemelut hidup. Tokoh Pak
Modin adalah mantan pejuang yang memiliki kemampuan agama lebih, disegani, dihormati, dan dicintai penduduk. Wasripin adalah tokoh berlumur dosa yang
bertaubat dan dapat memberi manfaat pada banyak orang karena keahliannnya. Karakter tokoh wanita, Siti Zaitun dalam novel
Pasar
, Sulastri dalam novel
MPU
, dan Satinah dalam novel
WS
menjadi ikon sebagai sosok wanita Jawa modern. Tokoh antagonis Kasan Ngali dalam novel
Pasar
, Mesin Politik dalam novel
MPU
, dan militerpemerintah dalam novel
WS
merupakan gambaran watak yang kontrapositif terhadap harmonisasi kehidupan sosial masyarakat Jawa.
clxxxii
4. Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel