Unsur-unsur Novel Hakikat Novel

xxv juga dalam faktor ekstrinsik, yaitu di luar faktor objektif karya sastra itu sendiri. Meskipun tidak menjadi bagian di dalam novel, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, sebenarnya banyak faktor yang menjadi unsur ekstrinsik novel. Wellek dan Warren 1990: 75-130 menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat dan filosofis. Untuk memahami sebuah novel, harus dilakukan pembedahan struktur yang dimiliki. Kenney 1966: 6-7 berpendapat, “ To analyze a literary work is to identify the sparate parts that make it up this correspondsroughly to the notion of tearing it to pieces, to determine the relationships among the parts, and to discover the relation of the parts, to the whole. The end of the analysis is always the understanding of the literary work as a unified and complex whole” . Berpijak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel dibagi menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan.

c. Unsur-unsur Novel

Penelitian terhadap novel bertolak pada unsur yang terdapat di dalam novel itu. Berkenaan dengan unsur intrinsik, Burhan Nurgiyantoro 2002: 23 menyebutkan beberapa unsur, yaitu peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa. xxvi Berikut ini dipaparkan beberapa unsur intrinsik novel yang berkaitan erat dengan pengkajian novel melalui pendekatan strukturalisme genetik. 1 Tema Tema sering dimaknai sebagai inti cerita novel. Semua cerita yang dibangun berpusat dari satu tema. Definisi yang disampaikan Robert Stanton 207: 147 memaknai tema sebagai makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema adalah masalah hakiki manusia, seperti misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan dan sebagainya Herman J. Waluyo, 2002: 142. Masalah hakiki manusia tersebut berasal dari rasa kejiwaan manusia secara pribadi maupun sebagai manifestasi interaksi dengan manusia lain. Karena itu, gagasan utama dari suatu novel biasanya berisi pandangan tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan. Dalam karya sastra, tema senantiasa berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan dan pola tingkah laku. Tema yang banyak dijumpai pada karya sastra yang bersifat didaktis adalah pertentangan antara nilai baik - buruk, misalnya dalam bentuk kebohongan melawan kejujuran, kezaliman melawan keadilan, korupsi melawan kerja keras, dan sebagainya. Tema cerita kadang-kadang dinyatakan secara eksplisit oleh pengarangnya, baik melalui dialog, pemaparan, maupun judul karya, sehingga pembaca mudah memahami. Dari membaca judulnya saja, misalnya Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, Dua Dunia dan lain- xxvii lain, dengan mudah pembaca dapat menebak temanya. Meskipun demikian, harus disadari bahwa tidak semua judul menunjukkan tema cerita. Ada pula judul-judul yang bersifat simbolik, misalnya Layar Terkembang, Belenggu dan lain-lain. Dengan demikian, untuk menggali tema cerita tidak selalu mudah karena banyak pula yang bersifat implisit tersirat, sehingga seseorang perlu membaca lebih dahulu seluruh cerita dengan tekun dan cermat. Menurut Hartoko dan Rahmanto dalam Burhan Nurgiyantara, 2009:68, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopamg sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan ”tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya. Sayuti Wiyatmi, 2006: 43 mengungkapkan fungsi tema, yaitu untuk melayani visi atau responsi pengarang terhadap pengalaman dan hubungan totalnya dengan jagad raya. Jadi, tema dapat berfungsi sebagai penyatu unsur-unsur cerita dan juga sebagai penghubung visi pengarang dengan kehidupan nyata. Berkenaan dengan jenis tema, Burhan Nurgiyantoro 2002: 77-84 menggolongkan tema tradisional yang menunjuk pada tema yang ’itu- itu” saja dan tema nontradisional yang bersifat tidak lazim. Ia juga xxviii mengungkapkan adanya tema pokok atau tema mayor sebagai makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya, dan tema tambahan atau tema minor. Di samping itu Burhan Nurgiyantoro 200: 77-84 juga mengutip tingkatan tema menurut Shipley, yaitu: 1 tema tingkat fisik, yaitu manusia sebagai atau dalam tingkatan kejiwaan molekul; 2 tema tingkat organik, yaitu manusia sebagai protoplasma; 3 tema tingkat sosial, yaitu manusia sebagai makhluk sosial; dan 4 tema tingkat egoik, yaitu manusia sebagai individu. Namun Herman J Waluyo2002:12 mengklasifikasikan tema menjadi lima jenis, yaitu: 1 tema yang bersifat fisik; 2 tema organik; 3 tema sosial; tema egoikreaksi probadi; dan tema devine Ketuhanan. Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia. Tema yang bersifat organik atau moral, menyangkut soal hubungan antara manusia. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi individual, berkaitan dengan protes pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu. Sedangkan tema divine Ketuhanan menyangkut renungan yang bersifat religius hubungan manusia dengan sang khalik. Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema menyangkut masalah hakiki manusia dan dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat fisik, organik, sosial, egoik, dan tema ketuhanan. xxix 2 AlurPlot a. Pengertian alur Plot memegang peranan penting dalam cerita. Fungsi plot memberikan penguatan dalam proses membangun cerita. Menurut Herman J. Waluyo 2002: 146-147 plot memiliki fungsi untuk membaca ke arah pemahaman cerita secara rinci dan menyediakan tahap-tahap tertentu bagi penulis untuk melanjutkan cerita berikutnya. William Kenney 1966: 13-14 menyatakan: “ plot reveals event to us, not only in their temporal, but also in relationships. Plot makes us aware of events not merely as elements in temporal series, but also as an intricate pattern of cause and effect” . “ The structure of plot to recognize this much, however. Is only a beginning. We must consider in more specific terms the form this “ arrangement” we call plot is likely to take. For, underlying the evident diversity of fiction, we may discern certain recurring patterns” . Foster Budi Darma, 2004: 13 mengungkapkan bahwa plot adalah rangkaian peristiwa yang diikat oleh hubungan sebab-akibat. Jika rangkaian peristiwa itu tidak diikat oleh hubungan kausalitas maka itu bukanlah plot. Ada pula yang mengumpamakan alur sebagai sangkutan, tempat menyangkutnya bagian-bagian cerita, sehingga terbentuklah suatu bangun yang utuh. Dalam fungsinya yang demikian dapat dibedakan peristiwa-peristiwa utama yang membentuk alur utama, dan peristiwa-peristiwa pelengkap yang membentuk alur bawahan atau pengisi jarak antara dua peristiwa utama. xxx Peristiwa yang dialami tokoh disusun sedemikian rupa menjadi sebuah cerita, tetapi tidak berarti semua kejadian dalam hidup tokoh ditampilkan secara lengkap. Peristiwa-peristiwa yang dijalin tersebut sudah dipilih dengan memperhatikan kepentingannya dalam membangun alur. Peristiwa yang tidak bermakna khas signifikan ditinggalkan, sehingga sesungguhnya pengaluran selalu memperhatikan hubungan kausalitassebab-akibat. Memang, hubungan kausalitas ini tidak selalu segera tampak dalam sebuah novel yang tersusun rapi karena kadang-kadang tersembunyi di balik peristiwa yang meloncat-loncat, atau di dalam ucapan maupun perilaku tokoh-tokohnya. Walaupun begitu pembaca harus dapat menangkap hubungan kausalitas tersebut. Untuk itu pengarang yang baik hanya menampilkan lakuan dan cakapan yang bermakna bagi hubungan keseluruhan alur, sebab jika banyak digresi lanturan dapat mengalihkan perhatian pembaca dari peristiwa utama ke peristiwa pelengkap Herman J. Waluyo 2008: 21 mengemukakan pengertian tentang plot. Menurutnya plot mengandung indikator-indikator sebagai berikut: 1. Plot adalah kerangka atau struktur crita yang merupakan jalin- menjalinnya cerita dari awal hingga akhir; 2. Dalam plot terdapat hubungan kausalitas sebab-akibat dari peristiwa-periatiwa, baik dari tokoh, ruang, maupun waktu; xxxi 3. Jalinan cerita dalam plot erat kaitannya dengan perjalanan cerita tokoh-tokohnya; 4. Konflik batin pelaku adalah sumber terjadinya plot yang berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian cerita; 5. Plot berkaitan dengan perkembangan konflik antara tokoh antagonis dengan tokoh protagonis. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan definisi alur adalah pengaturan urutan peristiwa pembentuk cerita yang menunjukkan adanya hubungan kausalitas. b. Penahapan Alur Secara teoretis plot biasanya dikembangkan dalam urut-urutan tertentu. Herman J. Waluyo 2002: 147-148 membedakan plot menjadi tujuh tahapan: 1 exposition , yaitu paparan awal cerita; 2 inciting moment , yaitu peristiwa mulai adanya problem-problem yang ditampilkan oleh pengarang untuk dikembangkan atau ditingkatkan; 3 rising action , yang penanjakan konflik; 4 complication , yaitu konflik yang semakin ruwet; 5 klimaks , yaitu puncak dari seluruh cerita dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut; 6 falling action , yaitu konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya; 7 denovement , yaitu penyelesaian. xxxii Bertolak dari pendapat di atas, tahapan alur adalah exposition, inciting moment, rising action, complicatipn, klimaks, failing action, dan denovement c Jenis Plot Alur atau plot memegang peranan penting dalam sebuah cerita rekaan. Selain sebagai dasar bergeraknya cerita, alur yang jelas akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang disajikan.Alur berdasarkan kriteria urutan waktu dibedakan menjadi tiga, yaitu: - Alur maju. Alur maju atau progresif dalam sebuah novel terjadi jika cerita dimulai dari awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa. - Alur mundur, regresif atau flash back . Alur ini terjadi jika cerita dimulai dari akhir cerita atau tengah cerita kemudian menuju awal cerita. - Alur campuran yaitu gabungan antara alur maju dan alur mundur. Untuk mengetahui alur campuran maka harus meneliti secara sintagmatik dan paradigmatik semua peristiwa untuk mengetahui kadar progresif dan regresifnya Burhan Nurgiyantoro, 1995:153-155. Selain itu, Burhan Nurgiyantoro membagi alur berdasarkan kepadatannya menjadi dua, yaitu: - Alur padat yaitu cerita disajikan secara cepat, peristiwa terjadi secara susulmenyusul dengan cepat dan terjalin erat, sehingga apabila ada salah satu cerita dihilangkan maka cerita tersebut tidak dapat dipahami hubungan sebab akibatnya. xxxiii - Alur longgar yaitu alur yang peristiwa demi peristiwanya berlangsung dengan lambat Burhan Nurgiyantoro, 2002:159-160. Plot dapat dikategorikan dalam beberapa jenis berdasakan sudut tinjauan atau kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro 2002: 153-163 mengemukakan pembedaan plot yang didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, kepedatan, dan isi. Plot sebuah novel dikatakan progresif jka peristiwa- peristiwa yang dikisahkanbersifat ideologis, peristiwa oertama diikuti oleh atau; menyebabkan terjadinya peristiwa yang kemuddian. Jika cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap akhir baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan, maaka berplot sorot balik atau flash-back. Istilah plot tunggal atau subplot digunakan pada menilik plot berdasarkan kriteria jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Namun, sebuah karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya. Alur semacam itu mmenandakan adanya subplot. Plot berdasarkan kriteria kepadatan dibagi menjadi plot padat atau rapat dan plot longar atau renggang. Novel yang berplot padat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain tidak xxxiv dapat dipisahkan atau dihilangkan salah satunya . Sedangkan dalam novel yang berplot longgar, antara peristiwa penting yang satu dengan yang lain diselai oleh berbagai peristiwa tambahan atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyituasian latar dan suasana. Pembedaan plot berdasar kriteria isi dibagi menjadi tiga golongan besaar, yaitu plot peruntungan, plot tokohan, dan plot pemikiran. Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang yang mengungkapkan nasib peruntungan yang menimpa tokoh. Plot tokohan mengarah pada adanya sifat pementingan tokoh. Plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, dan perasaan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis plot antara lain plot maju, mundur, dan campuran. Selain itu juga ada plot rapat dan renggang. 3 Tokoh dan Penokohan a Pengertian Tokoh dan Penokohan Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur penting dalam cerita novel. Istilah “tokoh” digunakan untuk menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita. Sedangkan istilah “penokohan” untuk melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Wahyu Wibowo 2003: 46-47 mengungkapkan xxxv bahwa novel-novel Indonesia adalah novel tokohan; segala persoalan berasal, berpijak, dan berujung pada sang tokoh. The characters of a book are the fictional figures who move through the plot. They are invented by the author and are made of words rather than of flesh and blood. Therefore they cannot be expected to have all the attributes of real human beings. Nevertheless, novelists do try to create fictional people whose situations affect the reader as the situations of real people would. http:encarta.msn.comencyclopedia_761560384_5Novel.html Pernyataan di atas senada dengan pendapat Herman J. Waluyo 2002: 165 yang menyatakan bahwa penokohan berarti cara pandang pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak tokoh-tokoh itu. Dengan penggambaran watak-watak yang terdapat pada pelaku maka cerita tersebut bertingkah laku seperti halnya manusia hidupdan mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat. Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh dan penokohan adalah cara pandang pengarang menampilkan tokoh dan penggambaran tokoh yang sesuai dengan kehidupan nyata. b. Teknik Penokohan Berkenaan dengan pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokohnya, Robert Humpre dalam Herman J. Waluyo, 2002: 32 menyebutkan ada empat cara, yaitu: 1 teknik monolog interior tak langsung; 2 teknik interior langsung; 3 teknik pengarang serba tahu; dan 4 teknik solilokui. xxxvi Teknik monolog interior artinya cerita yang kehadirannya tidak ditujukan kepada siapa pun, baik pembaca maupun tokoh lain. Teknik pengarang serba tahu artinya pengarang menjelaskan semua tentang diri tokoh-tokoh dan mencampuri segala tindakan seolah- olah pada diri setiap tokoh, pengarang ada di dalamnya. Sedangkan teknik solilukui atau percakapan batin artinya penggambaran watak melalui percakapan tokoh itu sendiri. Sedangkan Kenney 1966:34 menyebutkan ada lima teknik penampilan watak tokoh cerita, yaitu: 1 secara d iskursif yaitu pengarang menyebutkan watak tokoh-tokohnya satu demi satu; 2 secara dramatik artinya penampilan watak melalui dialog dan tingkah laku actino; 3 melalui tokoh lain yang berarti tokoh lain menceritakan tokoh tersebut atau sebaliknya; 4 secara kontekstual artinya penampilan watak tokoh dari konteks atau lingkungan atau dunia yang dipilih oleh tokoh tersebut; 5 dengan metode campuran mixing methods hádala metode penampilan watak melalui pencampuran teknik-teknik yang sudah dikemukakan terdahulu. Herman J Waluyo 2002: 40 menggenapi beberapa cara pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokoh menjadi tujuh, yaitu: 1 penggambaran secara langsung; 2 secara langsung dengan diperindah; 3 melalui pernyataan oleh tokohnya sendiri; 4 melalui dramatisasi; 5 melalui pelukisan terhadap keadaan xxxvii sekitar pelaku; 6 melalui analisis psikis pelaku; 7 melalui dialog- dialog pelakunya. Apabila tokoh-tokoh dalam suatu cerita dilihat berdasarkan perannya dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Selain itu, jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, dan pembaca. tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik Burhan Nurgiyantoro, 2002:178-179. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa teknik penokohan terdiri atas teknik monolog interior tak langsung, teknik interior langsung, teknik pengarang serba tahu, dan teknik solilokui. 4 Latar a Pengertian Latar Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Ada empat bagian penyusun setting menurut William Kenney1966:40, yaitu: 1 the actual geographical location, including topography scenery, even the details of a room’s interior; 2 the accupations and modes of day-to-day existence of the characters; 3 the time in which the action takes plece,e.g, historical period, season of the year; 4 the religious, moral, intellecctual, social, and emotional environment of the characters. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar membentuk suasana emosional tokoh cerita, misalnya cuaca yang ada di xxxviii lingkungan tokoh memberi pengaruh terhadap perasaan tokoh cerita tersebut. b Fungsi Latar Latar disebut juga setting, memiliki fungsi yang penting karena kedudukannya tersebut berpengaruh dalam cerita novel. Berkaitan dengan ini, Kenney 1966:40 menyebutkan tiga fungsi latar, yaitu: 1. Membaca keseluruhan dari cerita. Setting ini mendasari waktu, tempat watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi. 2. Sebagai atmosfer atau kreasi yang lebih memberi kesan tidak hanya sekadar memberi tekanan pada sesuatu. Penggambaran terhadap sesuatu dapat ditambahkan dengan ilustrasi tertentu. 3. Sebagai unsur yang dominan yang mendukung plot dan perwatakan, dapat dalam hal waktu dan tempat. Selain ketiga fungsi tersebut Herman J Waluyo 2002: 35 menambahkan dua fungsi lagi, yaitu: mempertegas watak pelaku dan memberi tekanan pada tema cerita. Bertolak dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi latar sangat penting karena kedudukannya berpengaruh dalam cerita novel. c Unsur Latar Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu: 1 Latar tempat, yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; 2 Latar waktu, berhubungan dengan maslaah “kapan” xxxix peristiwa itu terjadi dan diceritakan dalam novel; dan 3 Latar sosial, menyangkut status sosial seorang tokoh, penggambaran keadaan masyarakat, kebiasaan hidup, pandangan hidup, adat-istiadat dan cara berpikir dan bersikap, termasuk status sosial tokoh yang bersangkutan. Burhan Nurgiyantoro, 2002: 227–333. 5 Sudut Pandang Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 248 mendefinisikan sudut pandang itu sendiri sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sementara itu Booth dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 249 mengemukakan bahwa sudut pandang adalah teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. Percy Lubbock dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 113 mengatakan dalam pengertian ilmu sastra modern, sudut pandang dianggap sebagai cara yang paling halus untuk memahami hubungan antara penulis dengan struktur narativitas, yaitu dengan memanfaatkan mediasi-mediasi variasi narator. Sudut pandang menyangkut tempat berdirinya pengarang dalam sebuah cerita, sekaligus menentukan struktur gramatikal naratif. Usaha pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak pakar sastra. Namun, pandangan para pakar tersebut pada dasarnya xl memiliki pendapat yang sama, berkisar pada posisi pengarang sebagai orang pertama, orang ketiga atau bahkan campuran. Sebagaimana penggolongan yang dikemukakan Herman J. Waluyo 2002: 184-185, yaitu 1 pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku” dan disebut teknik akuan; 2 pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia”, dan disebut sebagai teknik diaan; 3 teknik yang disebut omniscient narratif atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bebas; pengarang tidak memfokuskan kepada satu tokoh cerita di dalam bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan. Shipley dalam Herman J. Waluyo 2002, 37 menyebutkan adanya dua jenis sudut pandang, yaitu: internal point of view dan external point of view. Iinternal point of view meliputi tokoh yang bercerita, pencerita menjadi salah satu pelaku, sudut pandang akuan, dan pencerita sebagai tokoh sampingan bukan tokoh hero. Pengarang memakai tokoh ‘aku’ sebagai penutur cerita, sehingga seolah-olah kisah yang dituangkan adalah pengalaman hidupnya sendiri. Tidak jarang pembaca salah duga dan menganggap tokoh ‘aku’ dalam cerita sebagai gambararan pribadi pengarang. Tentu saja ini menyesatkan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Point of view jenis ini terbagi dua, yaitu orang pertama mayor dan orang pertama minor. Sudut pandang orang pertama mayor adalah cerita dengan tokoh utama ‘aku’ atau ‘saya’; sedangkan sudut pandang orang xli pertama minor, tokoh utamanya orang ketiga ‘dia’, ‘ia’ atau nama orang. Cerita dengan sudut pandang ini menghadirkan tokoh ‘aku’ atau ‘saya’ hanya sebagai penutur kisah yang menceritakan kehidupan tokoh utama. External point of view meliputi gaya diam dan gaya penampilan gagasan dari luar tokohnya. Tokoh utama cerita dengan point of view ini adalah ‘dia’, ‘ia’, atau seseorang dengan nama tertentu. Di sini pengarang bisa bertindak sebagai yang mahatahu omniscient point of view, bisa pula mendudukkan diri di luar cerita objective point of view. Pada cerita dengan sudut pandang omniscient, pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Karya sastra lama umumnya menggunakan teknik point of view ini. Berdasarkan pendapat di atas, sudut pandang adalah teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.

2. Hakikat Strukturalisme Genetika