cxcvi struktural. Masyarakat miskin bukan karena kemalasan, tetapi karena
dimiskinkan oleh sistem dan struktur yang pincang. Keberadaan pasar tradisional tergeser oleh ego pembangunan yang
mendasarkan capital semata, seperti pembangunan hotel, pabrik, atau pun yang mengatasnamakan penataan geografis. Masyarakat ekonomi sekarang
tidak bisa dibayangkan tanpa ekonomi pasar, demikian juga ekonomi pasar hanya dapat berfungsi dalam sebuah masyarakat pasar. Pasar sebagai sentra
aktivitas perekonomian rakyat, menopang ekonomi bagi masyarakat kecil. Padahal yang terjadi gejala tersebut tidak hanya menggeser eksistensi pasar
tradisional, tetapi juga mengubah tatanan sosial budaya yang telah terbentuk sekian ratus tahun pada masyarakat Jawa.
Kesenjangan antara masyarakat kelas atas dengan masyarakat kelas bawah yang lazim adalah monopoli. Kesenjangan itu terjadi sebagai akibat
dari tidak terkendalinya fasilitas yang diberikan oleh mekanisme ekonomi. Dengan demikian perilaku para kapital atau pemilik modal dapat bertindak
sesuai kepentingannya dengan menguasai perekonomian sedangkan rakyat kecil tidak mendapatkan kesempatan yang sama karena selalu ditekan.
Kuntowijoyo juga memandang bahwa dalam kegiatan ekonomi pelaku utama adalah rakyat kecil. Tanpa mereka, kegiatan perekonomian tidak berjalan dan
dapat mengganggu stabilitas negara.
6. Misi Profetik Pendidikan
Dalam paradigma pendidikan, Kuntowijoyo juga mengkhawatirkan mengenai gejala “refeodalisasi” atau “feodalisme baru” yang menyebabkan
cxcvii simbol-simbol kebudayaan sering dipakai sebagai sarana dominasi dari status
yang lebih tinggi. Dia juga mencemaskan kemungkinan sarana mobilitas sosial. Sebagai contoh yang nyata kini sekolah-sekolah kian mahal dan
eksklusif sehingga semakin menutup peluang bagi kalangan masyarakat bawah. Di sini komersialisasi pendidikan sama berbahaya dengan indoktrinasi
dalam pendidikan. Komersialisasi pendidikan berakibat pembodohan dan kemiskinan. Kutipan berikut menunjukkan bahwa pendidikan menjadi sesuatu
prestise yang hanya bisa diperoleh oleh kalangan masyarakat kaya: Kuntowijoyo mengatakan demokrasi kebudayaan dalam aspek
pendidikan justru berusaha supaya setiap warga negara punya akses yang sama terhadap sumber-sumber kebudayaan, seperti akses terhadap pendidikan.
Oleh karena itu, peran intelektualitas harus menempatkan diri bukan sebagai pembatas jenjang yang telah ada, tetapi memberikan keseimbangan dengan
membuka saluran bagi pendidikan rakyat. Dalam contoh konkret, hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan dengan standar yang tidak
membeda-bedakan pelayanan dalam rangka ketercapaian kualitas. Dengan inilah pendidikan dapat dinikmati oleh masyarakat kalangan manapun.
7. Misi Profetik Moral
Kuntowijoyo memandang bahwa industrialisasi telah mengakibatkan dekadensi nilai dan moral. Awal dari krisis nilai dan moral disebabkan oleh
tidak adanya keteladanan. Kuntowijoyo juga berkali-kali mengingatkan bahwa bangsa kita berkali-kali mengalami krisis keteladanan. Yaitu, sirnanya tokoh-
cxcviii tokoh anutan yang bisa dijadikan rujukan nilai dalam berperilaku dan
bertindak. Pada saat yang sama, kita juga sedang mengalami krisis pengalaman,
dan kebijakan. Semua yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan pribadi akan dianggap sia-sia. Kejujuran seorang pejabat dianggap sebagai
kebodohan. Kesederhanaan dapat dianggap sebagai kemewahan yang tak terjangkau. Orang senang hidup dalam alam ilusi dan gaya hidup serta simbol.
Untuk sukses dalam kehdupan dan “budaya serba-instan” ini, perjuangan dan kerja keras tidak ada artinya. Di tengah arus pragmatisme kebudayaan, ikhlas
telah digantikan oleh sikap pamrih, altruisme digantikan oleh individualisme. Yang dulu pejuang bisa tetap tidak punya apa-apa; tidak kekuasaan, tidak
kekayaan, tidak juga kehormatan. Bahkan sebaliknya, para pejuang dituduh melakukan
penyimpangan-penyimpangan yang
sebenarnya hanyalah
direkayasa belaka. Di tengah potret dunia kehidupan yang kontradiktif ini, Kuntowijoyo
lantas mengingatkan pentingnya pendidikan nilai dan moral. Salah satu aspek pendidikan nilai dan moral adalah perlunya identifikasi diri dalam
mengembangkan konsep baik dan buruk. Tapi dengan adanya anomi tidak ada norma, kekacauan nilai, perasaan tidak percaya pada nilai selama
dasawarsa di bawah Orde Baru bangsa Indonesia telah kehilangan begitu banyak teladan
exemplary center
. Kuntowijoyo sendiri mengatakan generasi muda sudah menjadi yatim piatu, menghadapi dunia sendirian, tanpa contoh
dari orang tua. Seolah-olah dia dilemparkan ke dunia asing. Tidak heran jika
cxcix mereka menjadi pemberang yang agresif. Mereka tidak sadar bahwa perilaku
mereka merugikan orang lain.
2. Struktur Teks Novel