Deskripsi Struktur Teks Novel

xciii

2. Deskripsi Struktur Teks Novel

Pasar , Novel Mantra Pejinak Ular, dan Novel Wasripin dan Satinah Salah satu analisis dari penelitian ini yaitu mengkaji struktur teks novel Pasar , novel Mantra Pejinak Ular MP U, dan Wasripin dan Satinah WS. Setiap novel terdapat unsur-unsur intrinsik yang membangun cerita. Pembahasan dalam bab ini dilakukan melalui pemaparan aspek struktur yang meliputi tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, dan sudut pandang. Analisis tersebut dijabarkan sebagai berikut: 1. Tema Tema adalah gagasan utama yang menjalin struktur isi karangan, Maka, tema merupakan pokok permasalahan yang menjadi bahan utama atau latar belakang cerita. Dari seluruh cerita novel Pasar, MPU, dan WS tampak permasalahan yang menonjol yaitu masyarakat Jawa yang harus menghadapi realita transisi kehidupan sosial budaya dan politik. Permasalahan sosial yang menjadi sejarah kemanusiaan itulah yang tidak lepas dari latar belakang cerita novel Pasar . Novel Pasar mengungkapkan proses pewarisan nilai-nilai Jawa dan transisi perubahan sosial budaya masyarakat. Cerita Pasar menampilkan bagaimana semestinya budaya Jawa yang dianut dan diwariskan masyarakat bertransformasi dalam kehidupan modern. Tokoh Pak Mantri dalam novel itu dijadikan sebagai andaian ideal yang seharusnya dimiliki para pemimpin di masyarakat. Dalam konteks Jawa yang harus dimiliki para pemimpin itu adalah filosofi orang Jawa yang dengan tetap menstransformasikan sari-sari akar budaya xciv dalam mengelola kehidupan modern. Fakta tersebut dalam novel Pasar dapat dilihat pada ujaran Pak Mantri kepada Paijo seperti berikut: “Rumusnya adalah kebahagiaan bagi orang banyak. Sesuaikanlah kepentinganmu dengan kepentingan yang lebih besar. Inilah yang diperbuat Arjuna ketika menghadapi Resi Bima. Tidak salah lagi, pahlawan itu mencintai musuhnya, yang juga moyangnya. Tetapi layapkanlah dirimu bersama tujuan yang mulia. Muliakanlah dirimu bersama dengan kepentingan manusia. Mungkin itu menyiksamu. Menyedihkanmu. Menyengsarakanmu. Tetapi apa arti setitik air dalam samudera luas? Dan siapakah sangkamu Adipati Karna itu? Ia tahu Pandawa itu saudaranya sendiri. Tetapi ia memihak Kurawa, padahal sudah jelas bahwa ia akan hancur? Mengapa? Ia seorang pemberani. Dia itu menempatkan dirinya sebagai bagian dari warga yang hidup di Astina. Ia adalah bagian dari negara itu. Ia hanya satu bagian yang harus ikut dalam arus besar yang hidup di Astina. Ia adalah bagian dari negara itu. Ia hanya satu bagian yang harus ikut dalam arus besar yang disebut Perang Baratayuda.” Kuntowijoyo, 2002: 270-271. Persoalan utama yang diangkat dalam kisah MP U yaitu upaya perlawanan terhadap proses dehumanisasi dan objektivasi yang berlangsung di masyarakat, baik secara material maupun spiritual. Cerita MPU menampilkan masalah perjuangan seorang pegawai biasa yang tidak mau menjadi alat politik kekuasaan. Benturan-benturan kepentingan yang harus dialami sang tokoh baik sebagai dalang dengan lingkungan sosialnya maupun posisinya sebagai Pegawai Negeri Sipil PNS, oleh pengarang dijadikan peranan yang baik untuk menyuguhkan tema yang bermakna itu kepada pembaca. Abu Kasan Sapari, seorang pegawai rendahan di kecamatan, menolak menjadi pegawai lebih tinggi untuk menunjukkan sikap penolakannya menjadi pengikut partai pemerintah yang berkuasa kala itu. Sang tokoh menganggap bahwa sistem mesin politik yang diterapkan partai tersebut merupakan bentuk dehumanisasi modern yang harus dilawan. Kesadaran yang kuat untuk tetap teguh xcv pada hati nurani siap menghadapi risiko penekanan bahkan penyingkiran atas dirinya. Baginya, itu lebih baik daripada menjadi pejabat atau anggota legislative tetapi tunduk pada sistem politik kepentingan. Berikut ini kutipan yang menggambarkan masalah tersebut: “Terimalah ucapan selamat kami. Kami dari DPD telah memilih Pak Abu sebagai caleg jadi,” kata Ketua Badan Seleksi. “Pak Abu lolos ketimbang sembilan calon lain.” Abu bingung. Ia tak pernah menghubungi atau dihubungi siapa- siapa. Kejadian itu sangat tiba-tiba. “Saya-saya tidak tahu apa-apa” “Ya, Pak Abu tidak tahu. Tapi kami punya banyak telinga. Ini kehormatan. Jangan ditolak. “Tapi saya tak pernah mengharapkan.” “Banyak memang peristiwa di dunia ini yang berada di luar harapan.” Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” Kuntowijoyo, 2000: 144 Sang tokoh juga menentang dehumanisasi tradisional yang masih ada di dalam masyarakatnya. Bentuk-bentuk dehumanisasi tradisional tersebut dalam masyarakat Jawa di antaranya ialah pemujaan pohon besar, mantra tahayul, jimat, sesaji, tapa, kekeramatan kuburan, dan lain-lain. Sang tokoh mewujudkan penolakan dehumanisasi tradisional tersebut dengan membuang ularnya, memutus mata rantai mantra pejinak ular dan tidak menggunakan sesaji waktu mendalang. Secara halus sang tokoh berusaha bersikap kritis terhadap gejala mitologisasi dengan mengajak masyarakatnya cara berpikir lebih rasional. Kutipan berikut ini menggambarkan sikap yang diambil sang tokoh: Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah xcvi itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung. Kuntowijoyo, 2000: 242 Sebagaimana ditunjukkan dalam novel MPU , budaya tradisi dan modern dalam novel Pasar pun dihadirkan dalam konteks sejarah dan kemanusiaan. Tokoh Pak Mantri yang mencoba dan berhasil mengatasi persoalan yang muncul di pasar merupakan satu tipe ideal pemimpin modern dibandingkan dengan camat, kepala polisi, dan pemimpin umumnya sekarang yang tidak mengerti baik akar tradisi sendiri maupun semangat modernitas. Di tangan orang yang tidak mengerti hakikat masa lalu dan masa kini, tradisi dan modernitas, manusia dan Tuhan, kehidupan modern akan tampil dalam bentuk-bentuknya yang melemahkan spiritualitas manusia. Sikap itulah yang ditunjukkan Pak Mantri sebagaimana kutipan berikut: Biarlah perempuan itu keheranan. Begitulah kalau mau tahu watak Pak Mantri. Itulah sikap ksatria, perwira. Dipandangnya burung- burungnya yang berkeliaran. Ditinggalakannya Zaitun dalam keadaan bertanya-tanya. Memang, dirasanya juga, bahwa burung-burung itu mengganggu para pedagang. Ah, selama ini ia tidak tahu itu. Untunglah datang juga petunjuk itu. Ia menempatkan diri pada pihak pedagang, dan ia bisa jengkel juga. Pantaslah, saya memahami kalian, saudara-saudara. Ia bisa menghitung, kalau setiap ekor burung dara makan beras segenggam setiap hari, berapa kuintal dalam sebulan. Ah, lebih baik beras itu diberikan pada fakir miskin daripada burung Kuntowijoyo, 2002: 254 Pasar sebagai simbol tempat bertemunya manusia dengan segala karakternya yang melakukan interaksi sehingga membentuk komunitas sosial yang spesifik. Pasar di saat sekarang merupakan saksi sejarah atas proses perubahan sosial budaya pada masyarakat yang terus berlangsung. Dalam Novel WS yang diangkat adalah ketidakberdayaan dalam menghadapi proses marjinalisasi yang berlangsung di masyarakat pesisir yang xcvii disebut sebagai ekstrem kanan, subversive, dan dedengkot golput. Novel WS menampilkan seorang modin dan satpam TPI yang tidak mau menjadi alat politik kekuasaan. Berbagai konflik yang dialami tokoh oleh pengarang dijadikan peranan yang baik untuk menyuguhkan tema yang bermakna itu kepada pembaca. “Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkanbila partai ingin menang,” kata renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat “disingkirkan” artinya “dimusnahkan”, “dipenjara”, atau “ditahan” Kuntowijoyo, 2003: 137 Pagi TVRI dan Koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati ditembak tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di suatu tempat yang dirahasiakan karena dapat menimbulkan syirik. Kemudian juga dikatakan bahwa dia komandan DITII Pantura, anti- Pancasila, dan ingin mendirikan Negara Islam dengan kekuatan senjata. Kuntowijoyo, 2003: 231 “Kenalkan saya Mister Mudin, Presiden NII.” “Bukan. Tapi Pak Modin, imam surau TPI.” “Saya berani sumpah. Pengangkatan sudah saya tanda tangani. Disaksikan dua kopral bersenjata lengkap.” Kuntowijoyo, 2003: 255 Jika dalam novel Pasar dan MPU tokoh mampu menjadi pioneer dalam perubahan, tokoh novel WS tidak demikian. Tokoh dalam novel WS pada akhirnya tidak berdaya menghadapi kekuasaan politik dan militer. Meskipun demikian, perlawanan yang dilakukan Pak Modin dan Wasripin telah membakar semangat masyarakat pesisir untuk berani melawan meskipun risikonya besar. Bupati menugaskan kepala Dinas Perikanan untuk menemui para nelayan dan mengatakan bahwa melaut adalah untuk kepentingan nelayan sendiri, sambil menyampaikan ancaman itu. “Kami mau melaut, tapi pulangkan Pak Modin.” Kuntowijoyo, 2003: 247 2. Alur Novel Pasar , MPU, dan WS dibangun di atas alur yang menarik. Kontinuitas struktur cerita yang ditunjukkan dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang tersusun secara berurutan menjadi karakter alur novel Pasar . Secara jelas xcviii novel Pasar memiliki alur maju. Agak berbeda, cerita novel MPU dan WS memiliki struktur sastra konvensional roman yang kuat. Cerita MPU dan WS mengisahkan perjalanan hidup tokoh sejak kecil hingga menjadi sosok manusia dewasa. Alur dalam cerita MPU dan WS bersifat campuran karena gaya penceritaan waktu peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh tidak selamanya linear ke depan, tetapi juga terdapat kilas peristiwa yang bersifat flashback “mundur ke masa belakang”. Studi analisis tahapan alur dalam novel Pasar , MPU, dan WS dapat dipaparkan sebagai berikut: a. Eksposisi Cerita novel Pasar , MPU, dan WS diawali dengan menampilkan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita bersama kedudukannya masing- masing. Di samping itu juga dipaparkan kondisi pembentuk latar cerita. Kutipan novel Pasar berikut mendeskripsikan tokoh-tokoh yang terlibat di dalam cerita: Kalau engkau terpelajar, dan tinggal di kota itu, berhubunganlah dengan Pak Mantri Pasar. Sebab tidak seorang pun kecuali Kasan Ngali, tentu yang mengaku orang Jawa tidak memujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat atau Pak Kepala Polisi, dan ibu jari mereka akan diacungkan: “Nah, Pak Mantri Pasar itu. Begini” Segala yang baik bagi hidup jujur, setia, sopan santun, tahu diri memupuk padanya. Kuntowijoyo, 2002: 1 Kutipan di atas memunculkan tokoh Pak Mantri Pasar sebagai sentra cerita dan tokoh Kasan Ngali sebagai kontra. Tokoh Pak Camat dan Pak Kepala Polisi diperlihatkan sebagai pejabat pemerintah yang memiliki interaksi formal dan informal terhadap tokoh Pak Mantri Pasar. Di samping itu juga terdapat tokoh Siti Zaitun hal. 3 sebagai pegawai Banak Pasar dan xcix tokoh Paijo hal.6 sebagai pegawai pasar yang membantu Pak Mantri Pasar serta tokoh para pedagang pasar hal. 2. Peristiwa dalam kutipan novel MPU di bawah ini digunakan untuk memperkenalkan karakter sang tokoh utama. Berikut ini kutipan yang memperlihatkan hal tersebut: Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu. Sambil menyerahkan kembali bayi itu dikatakannya kepada dua orangtuanya, “Hati-hati memelihara anak ini. Besok dia akan jadi pujangga. Aku mendapat firasat, ketika aku keluar dari makam ada rombongan orang membarang, menyanyi, dan menabuh gamelan. Anak itu memiringkan telinganya, seperti mendengar sinden dan klenengan .” Kuntowijoyo, 2000: 2 Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa sang tokoh, yang kemudian dikenal dengan Abu Kasan Sapari, diperkenalkan masih keturunan pujangga besar Ronggowarsito, meskipun masih bayi memiliki karakter yang dewasa Abu Kasan Sapari pun membawanya untuk menjadi dalang, sebagaimana nampak dalam kutipan berikut: Pada tahun ketiga, kalau ada permintaan mendalang, Ki Lebdo selalu menanyakan pada yang datang, “Apa bisa diwakilkan?” Kalau orang yang datang setuju, pekerjaan itu akan diserahkan pada Abu. Kuntowijoyo, 2000: 14 Pada tahap ini terdapat deskripsi cerita mundur dalam alur novel MP U . Deskripsi tersebut terlihat pada proses penceritaan pada peristiwa yang terjadi di masa lalu, yaitu deskripsi tentang Desa Palar di masa lalu dan kisah pertemuan antara ayah Abu dengan ibu Abu masa sebelum menikah. Berikut kutipan yang mendeskripsikan hal tersebut. c Dulu Palar adalah desa perdikan , desa yang dibebaskan dari pajak dengan maksud supaya seluruh penghasilan desa diperuntukkan guna keperluan makam. Praktis, lurahnya sama dengan juru kunci makam. Tetapi ketika desa perdikan itu dihapuskan pada 1915, juru kunci makam tidak lagi otomatis menjadi lurah desa. Waktu pilihan lurah, juru kunci cum lurah pada waktu itu suka ma-lima , yaitu madon, minum, madat, main “wanita, minuman keras, mengisap candu, judi” sehingga tidak terpilih jadi lurah. Kuntowijoyo, 2000: 4 Waktu itu ibu calon Abu berdagang pakaian dari pasar ke pasar dengan sepeda merek Releigh yang bisa bunyi ck-ck-ck dan ayah calon Abu menjalankan ternak apa saja milik para tetangga. Maka bertemulah ayah-ibu Abu. Ayah Abu suka membeli soto dekat ibu Abu berjualan. Kuntowijoyo, 2000: 8 Peristiwa dalam kutipan novel WS di bawah ini digunakan untuk memperkenalkan karakter sang tokoh utama. Berikut ini kutipan yang memperlihatkan hal tersebut: “Wasripin naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagi-pagi sekali. Ia tidak bodoh, ia juga makan sekolahan. … Lalu Wasripin meloncat keluar, melambaikan tangan untuk mengucapkan terima kasih. Lambaian tangan itu juga berarti bahwa dia mengucapkan selamat tinggal untuk dunianya yang lama. “Inilah tumpah darah ibuku”, katanya dalam hati. Ia berjalan ke kiri, ke mana pun kaki melangkah, tanpa tahu tempat yang dituju. Pokoknya, pantai, pantai Kuntowijoyo, 2003: 1 Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa sang tokoh diperkenalkan sebagai keturunan orang pantai dan sudah lama berada di Jakarta. b. Inciting Moment Pada tahap ini baik novel Pasar, MPU, maupun WS mulai nampak permasalahan yang mengenai tokoh cerita. Gambaran permasalahan yang muncul pada tokoh novel Pasar , Pak Mantri, nampak dalam peristiwa berikut: Ternyata, lebih banyak pedagang yang berjualan di jalanan muka pasar daripada masuk los-los. Pak Mantri Pasar sudah berusaha ci menggiring mereka ke dalam, tetapi sia-sia. Makin hari los-los makin sepi. Dengan bermacam-macam alasan. Seperti: “lebih baik di jalan”, “lebih dekat dengan pembeli” sampai “peruntungan saya di jalan, bukan di pasar”, itu membuat jengkel Pak Mantri Pasar saja. Akhirnya orang tua itu menyerah. Bahkan akhir-akhir ini orang yang telah menjual kambing di jalanan juga dan bukanya di pasar hewan. Semakin hari semakin parah dengan pedagang itu. Dan sialan, Pak Mantri Pasar pula yang disalahkan Soalnya ialah karena burung- burung dara itu. Tunggulah duduk perkaranya. Kuntowijoyo, 2002: 4 “Coba. Mereka membunuh burung daraku. Seberani itu.” “Siapa?” “Orang pasar.” ….. “Juga Bank Pasar akan rugi. Burung-burung itu membunuh bank.” Kuntowijoyo, 2002: 29 “Menabung, Ning?” Ah, untungnya saja habis dimakan burung dara Kuntowijoyo, 2002: 32 “Hitunglah, Pak, “kata perempuan itu pada polisi. “Tiga ekor burung dara telah mencocok berasku. Berapa harus dibayar, kalau aku mau menghitung. Masih diminta karcis pasar lagi Mestinya aku minta ganti rugi Orang mengangguk-angguk. Rugi, rugi itu Betul tak mau bayar Kuntowijoyo, 2002: 35 Berdasarkan kutipan-kutipan di atas permasalahan yang muncul disebabkan oleh keberadaan burung-burung dara. Munculnya permasalahan terlihat ketika sebagian besar para pedagang berjualan di jalanan, bukan di los- los pasar yang telah ada. Di antara para pedagang itu beralasan karena terganggu oleh keberadaan burung-burung dara di pasar dalam jumlah yang sangat banyak. Mereka pun menyalahkan Pak Mantri karena burung-burung dara tersebut dianggap milik Pak Mantri. Permasalahan berkembang saat para pedagang yang masih berjualan di dalam pasar pun mengalami emosi sehingga mereka berani membunuh burung dara Pak Mantri. Peristiwa itu kemudian diketahui oleh Pak Mantri dan disampaikannya kepada Siti Zaitun, pegawai Banak Pasar. Namun Siti Zaitun cii ternyata juga menyalahkan Pak Mantri. Siti Zaitun beranggapan bahwa kemunduran Bank Pasar karena tidak adanya para pedagang yang menabung lagi disebabkan oleh keberadaan burung-burung dara di pasar. Keberadaan burung-burung dara tersebut dianggap telah mengakibatkan berkurangnya penghasilan para pedagang, sehingga mereka pun enggan untuk menabung lagi. Permasalahan lain muncul ketika para pedagang juga tidak mau lagi membayar retribusi pasar. Mereka beralasan karena dagangannya telah dimakan burung-burung dara. Pada tahap ini, dalam novel MPU , tokoh Abu Kasan Sapari mulai tersentuh dengan permasalahan ketika Abu mendapatkan mantra pejinak ular yang harus dipegangnya semasa dia hidup. Berikut ini kutipan yang memaparkan peristiwa tersebut: “Apa itu?” “Mantra pejinak ular.” Kemudian orang itu mencari telinga kanan Abu, dan membisikkan sebuah kalimat. “Paham?” Kemudian orang itu kembali berbisik di telinga kanan Abu. “Sudah, ya? Abu mengangguk. “Mantra itu tidak boleh salah ucap. Bacalah itu setiap kali kau menghadapi ular.” Kuntowijoyo, 2000: 19 Permasalahan yang juga dialami oleh Abu ialah ketika ia terlibat dalam perpolitikan. Abu memanfaatkan wayang untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Abu mendalang dengan mengambil cerita partisipasi rakyat dalam pemerintahan sebagai wujud kedaulatan dalam demokrasi. Di bawah ini adalah scenario wayangan yang dibuat oleh dalang Ki Abu Kasan Sapari. Judulnya “Bambang Indra Gentolet ciii Takon Bapa” atau “Bambang Indra Gentolet Menanyakan Sang Ayah”. Kuntowijoyo, 2000: 61 Permasalahan berkembang ketika keterlibatan Abu dengan politik semakin jauh. Ia mendalang untuk mendukung salah satu calon dalam pemilihan lurah. Padahal saat itu di samping sbagai dalang, kedudukan Abu juga sebagai Pegawai Negeri Sipil PNS. Hal ini berarti ia mulai konflik berhadapan dengan Mesin Politik yang pada saat itu mempunyai kekuatan politik besar. Gambaran tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: Kabar mengenai pemilihan lurah di Kemuning sudah didengar oleh media massa yang telaten nongkorng di Pemda. Seorang wartawan dari Suara Bengawan menemuni Pak Camat dan oleh camat diverwijs pada Abu Kasan Sapari. Abu mengatakan bahwa banyak hal menarik perlu diberitakan. Kemudian dia bercerita tentang campur tangan Mesin Politik, adanya botoh , dan peran dukun dalam Pilkades. Wartawan itu diberi kebebasan untuk meliput. Dia juga memberikan jadwal dia akan mendalang untuk mendukung calon. Wartawan itu berjanji akan datang nonton, untuk mengetahui efektivitas kesenian dalam politik, Kuntowijoyo, 2000: 93-94 Dalam novel WS, tokoh Wasripin mulai tersentuh dengan permasalahan ketika dia menjadi satpam dan memergoki pencurian kayu. Saat itulah Wasripin kena pukul sampai pingsan dan mulai dibenci oleh para prnguasa. Berikut ini kutipan yang memaparkan peristiwa tersebut: “Tiba-tiba saja orang menggebukku dengan kayu.” “Kayu-kayu?” “Bukan itu saja.” “Kau pasti mengurus yang bukan urusanmu. Itu urusan polisi.” Kuntowijoyo, 2003: 65 Masalah berkembang ketika kepala TPI Tempat Pelelangan Ikan mendapat surat ancaman. TPI akan dibakar jika orang-orang TPI mencapuri civ urusan mereka. Ternyata ancaman itu bukan omong kosong. Pada suatu malam TPI memang dibakar habis, sampai ludes. c. Rising Action Peristiwa-peristiwa yang terjadi terus berkembang mengalami penajakkan konflik cerita. Pengarang berusaha mengembangkan konflik dengan melibatkan tokoh-tokoh lain yang memiliki peran penting dalam kedudukan tokoh memacu peningkatan konflik. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: “Pasar ialah satu pendekatan negara terpenting. Pajak yang ditarik melalui pasar seyogyanya mendapat perhatian pula.” “Ya, Ya.” “Tahukah Pak Camat,” ah napasnya tak begitu teratur sudah. “Akhir-akhir ini di pasar terjadi pemogokan. Pemogokan Pembangkangan” Kuntowijoyo, 2002: 65 “Coba, Nak. Saya memelihara burung-burung saya sendiri. Itu sudah berjalan sejak lama. Burung-burung itu kubeli dengan uang saya sendiri. Dikandangkan di pasar sendiri. Tetapi mereka telah memukulinya. Membunuhnya” Kepala Polisi itu hanya mengangguk- angguk. Cepat mengeluarkan catatan dari saku celananya, lalu menulis itu. Kuntowijoyo, 2002: 84 Kutipan di atas menerangkan ketika Pak Mantri melaporkan masalah para pedagang yang tidak mau membayar retribusi kepada Pak Camat sebagai bentuk upaya pembangkangan terhadap pemerintah. Sedangkan peristiwa matinya burung dara dilaporkannya kepada Pak Kepala Polisi sebagai tragedy pembunuhan. Tindakan yang dilakukan Pak Mantri tersebut secara tidak langsung membawa tokoh lain terlibat dalam permasalahan yang terjadi. Pak Mantri berkeinginan agar Pak Camat dan Pak Kepala Polisi, selaku abdi negara, turut menyelesaikan permasalahan yang terjadi di pasar. cv Tekanan konflik pun semakin terasa saat Pak Mantri menuduh keterlibatan Kasan Ngali, tokoh yang selama ini dikenal selalu bertentangan dengan Pak Mantri, dalam permasalahan yang terjadi. Hal tersebut dapat diketahui dari kutipan berikut: “He, Jo. Aku tahu sekarang. Ini semua tentu ada biang keladinya. Tidak ada asap tanpa api. Tentu ada yang di belakang. Siapa, coba?” “Siapa, Pak?” “Orang itu, tentu.” “Ya, orang itu” Ah, pantang bagi mulutku menyebut namanya. “Kasan Ngali, Pak?” “Siapa lagi” “Terus bagaimana, Pak?” “Aku akan menggugatnya.” Kuntowijoyo, 2002: 92-91 Bahkan hal yang tidak terduga terjadi, yaitu Pak Mantri harus berseteru dengan orang yang selama ini dianggapnya dekat, Siti Zaitun. Berikut kutipan yang memperlihatkan fakta tersebut: “Mengerti bagaimana, Pak? Pak Mantrilah sekarang yang bertanggung jawab untuk tutupnya bank ini. Setiap hari saya mencatat peristiwa burung dara itu. Mereka tak mau menabung karena untungnya habis dimakan burung dara itu. Tetapi syukurlah. Itu kebetulan. Makin cepat bank bangkrut makin baik. Segera saya dipindahkan dari kota gurem di gunung begini. Daerah setandus ini” Kuntowijoyo, 2002: 107 Dalam novel MP U , konflik terjadi antara Abu dengan Mesin Politik menyebabkan ia harus menerima segala konsekuensi yang berat. Abu dipindahtugaskan ke daerah lain. Kala itu Mesin Politik bisa dikatakan berkuasa terhadap tatanan pemerintahan. Camat Tegalpandan tahu belaka sebab-sebab kepindahan Abu. Maka ketika ada waktu dikatakannya, “Jangan menyalahgunakan kesenian.” “Yam Pak. Tetapi,” lalu ia pun berhenti. Sebenarnya Abu cvi ingin menerangkan panjang lebar, tapi dipikirnya itu namanya mencari-cari musuh. Kuntowijoyo, 2000: 105 Di samping itu, permasalahan lainnya muncul ketika Abu memelihara ular karena keterikatannya dengan mantra pejinak ular yang telah dimilikinya pasalnya tindakan Abu itu mendapat tentangan dari warga karena dianggap membahayakan keselamatan warga setempat. Dalam hal ini Abu pun melibatkan Lastri, seorang wanita yang berarti bagi hidupnya, ke dalam konflik yang dialaminya. Abu sangat peduli dengan pendapat Lastri. “Bagaimana, Yu Las?” Lastri mengangkat bahu, “terserah,” katanya. Abu mengerti dari nada bicaranya ‘terserah’-nya kok seperti tidak rela Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan tetapi, Abu nekad. Kuntowijoyo, 2000: 122 Dia dilaporkan bahwa telah membuat takut dan resah dengan memelihara ular. Bahkan orang banyak berkesimpulan bahwa kedatangan Abulah penyebab dari banyaknya ular. Kuntowijoyo, 2000: 131 Permasalahan yang dihadapi Abu semakin berkembang pada pananjakan konflik. Konflik antara Abu dengan Mesin Politik menyebabkan ia harus menerima segala konsekuensi yang berat. Abu dipindahtugaskan ke daerah lain. Kala itu Mesin Politik bisa dikatakan berkuasa terhadap tatanan pemerintahan. Camat Tegalpandan tahu belaka sebab-sebab kepindahan Abu. Maka ketika ada waktu dikatakannya, “Jangan menyalagunakan kesenian.” “Ya, Pak. Tetapi,” lalu ia pun berhenti. Sebenarnya Abu ingin menerangkan panjang lebar, tapi dipikirnya itu namanya mencari-cari musuh. Kuntowijoyo, 2000: 105 Di samping itu, permasalahan lainnya muncul ketika Abu memelihara ular karena keterikatannya dengan mantra pejinak ular yang telah dimilikinya. cvii Pasalnya tindakan Abu itu mendapat tantangan dari warga karena dianggap membahayakan keselamatan warga setempat. Dalam hal ini Abu pun melibatkan Lastri, seorang wanita yang berarti bagi hidupnya, ke dalam konflik yang dialaminya. Abu sangat peduli dengan pendapat Lastri. “Bagaimana, Yu Las?” Lastri mengangkat bahu, “terserah,” katanya. Abu mengerti dari nada bicaranya ‘terserah’-nya kok seperti tidak rela Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan tetapi, Abu nekad. Kuntowijoyo, 2000: 122 Dia dilaporkan bahwa telah membuat takut dan resah dengan memelihara ular. Bahkan orang banyak berkesimpulan bahwa kedatangan Abulah penyebab dari banyaknya ular. Kuntowijoyo, 2000: 131 Tokoh Wasripin dan Pak Modin dalam novel WS mendapat teror berkali-kali karena tidak mau menuruti keinginan Militer dan partai penguasa yaitu, Partai Randu. Ketika Pak Modin terpilih menjadi kepala desa, dia tidak dilantik karena diduga ekstrem kanan alias golput. Pak Modin kemudian dituduh subversif dan dibawa ke Semarang. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut: Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkan bila partai ingin menang,” kata renstra Partai Randu setempat.Kuntowijoyo, 2003: 137 Danramil lapor Dandim. Dandim lapor Danrem. Danrem lapor pada Laksudda Pelaksana Khusus Daerah, mengurusi soal subversi. Maka Pak Modin pun dipanggil ke Semarang. Kuntowijoyo, 2003: 89 Nasib Wasripin tidak jauh berbeda, diapun ditangkap karena dituduh mengajarkan agama sesat. Penyebabnya adalah para nelayan cviii memasang foto Wasripin pada kapal mereka. Ketika kepala polisi membebaskannya, militer memfitnah Wasripin dengan tuduhan mau memperkosa. Tuduhan ini juga tidak terbukti dan gagal memenjarakan Wasripin karena Wasripin menantang pihak pelapor untuk melakukan sumpah pocong. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut: Di pengadilan jaksa menuduhnya dengan perkosaan yang berhasil digagalkan korban. Wasripin menolak tuduhan itu, dan meminta diadakan sumpah pocong. Kuntowijoyo, 2003: 166 d. Complication Perkembangan masalah yang terjadi dalam cerita menjadi lebih kompleks pada tahap ini. Dalam novel Pasar konflik yang terjadi semakin ruwet. Interaksi antara tokoh Pak Mantri dengan tokoh-tokoh lain menjadi friksi atau benturan sehingga membuat jalinan masalah semakin rumit. Tindakan Kasan Ngali mendirikan pasar merupakan bentuk pertentangan secara terang-terangan bagi Pak Mantri. Paijo melihat pasar itu. Benar-benar Kasan Ngali ingin menyaingi pasar yang sah. “Lebih bersih. Lebih strategis. Tidak bayar karcis. Kita berlomba dalam memberi servis masyarakat. Itulah ilmu dagang. Pegawai tak punya ilmu itu. Kau anggap pedagang-pedagang di pasar mesti melayanimu, dan bukan sebaliknya. Kalau ingin jadi feudal jangan kerja macam begini. Masyarakat tak butuh lagi semangat itu” Kuntowijoyo, 2002: 110-111 Konflik dengan Pak Mantri tidak hanya dengan Kasan Ngali. Di awal Pak Mantri sudah melibatkan Pak Camat dan Pak Kepala Polisi, apalagi terhadap para pedagang yang menuntut banyak hal. Perkara itulah yang membuat kepercayaan dan harga diri Pak Mantri dipertaruhkan. Lebih-lebih terhadap Paijo, orang paling dekat yang selama ini telah membantunya. cix Pak Mantri sudah mengancm camat pula Dengan polisi belum beres. Dengan pedagang-pedagang belum selesai. Dengan Kasan Ngali apalagi Pak Mantri terlalu banyak punya musuh. Dan Paijo harus berdiri pada Pak Mantri Itulah susahnya. Kuntowijoyo, 2002: 143 Kesusahan yang dialami Pak Mantri semakin bertambah. Pak Mantri digugat oleh dua perempuan yang dikenalnya baik. Karena kesalahpahaman Pak Mantri dilabrak Marsiyah, perempuan yang dikenalnya pada masa muda. Pertemuan kembali dengan Marsiyah tidak pernah oleh Pak Mantri. Pak Mantri dilabrak oleh Marsiyah karena laporan anaknya yang telah dimarahi dianggap memusuhinya. Peristiwa itu membuka kenangan lama yang dialami Pak Mantri terhadap Marsiyah. Seperti tersayat hati Pak Mantri. Ia tak tahan dengan adegan itu. Pelan ia melangkah. Tidak berani menoleh lagi. Sangat kecewa menyimpan muntahan pikiran yang tak jadi keluar. Oh, Marsiyah. Sampai hati kau Kuntowijoyo, 2002: 154 Di samping itu Zaitun, pegawai bank itu, menggugat Pak Mantri. Pak Mantri dianggap bertanggungjawab atas kepemilikan burung dara yang telah menyebabkan kemunduran Bank Pasar tempat ia bekerja. Berikut ini kutipan yang menggambarkan peristiwa tersebut: Mata Pak Mantri Pasar terbelalak. Orang bersalah mestinya minta maaf, itu yang betul. Siti Zaitun yang menurut Pak Mantri bersalah, malahan membentaknya. Darah melonjak ke kepala. Suara perempuan itu keras, menusuk-nusuk. Berani-beraninya Apa urusan Pak Mantri, sungguh kurang ajar mengatakan itu. Di tengah pasar, merendahkan kekuasan Mantri Pasar Urusan lain boleh saja ia singkirkan, tetapi soal-soal pasar dan burung-burung adalah haknya. Hidupnya tidak terpisahkan dengan kedua hal itu. Jatuh pasar, jatuh Pak Mantri. Jatuh burung dara, jatuh Pak Mantri. Untung dia cukup menghargai diri sendiri dengan memelihara adab pergaulan yang beradab. Kuntowijoyo, 2002: 162 cx Dalam novel MPU pemasalahan yang dihadapi Abu semakin rumit ketika Abu mendalang lagi untuk mendukung salah satu calon, kali ini dalam pemilihan kepala desa. Hal ini menandakan pertentangannya terhadap Mesin Politik semakin kuat, meskipun ia tahu risiko yang akan dihadapinya. Sikap ini pun telah melibatkan lagi Lastri. Kutipan berikut menggambarkan peristiwa tersebut: Lastri menyerahkan hal itu pada Abu. Abu cenderung menerima tawaran cakades itu, meski sebenarnya berat hatinya. Itu akan berarti bahwa ia sudah nekad. Risiko paling kecil ialah dimarahi, diskors, dipindah lagi, atau paling-paling dipecat, ya biar saja. Kepalang basah. Namun petang harinya ada tamu yang sudah dikenalnya, seorang fungsionaris Mesin Politik Tegalpandan. Kuntowijoyo, 2000: 135 Kekalahan Abu pada pertarungan pemilihan kepala desa tidak membuatnya jera. Malah pada pemilu nasional ia mengambil sikap lain untuk menyatakan ketidaksepakatannya dengan Mesin Politik. Pernyataan Abu tentang sikap independensi dalang sebagai seni dalam pemilu nasional dipublikasikan media massa. Bahkan akhirnya ia membentuk Paguyuban Dalang Independen dan dibertakan media dengan wacana “Para Dalang Menolak Politisasi Kesenian”. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: Koran yang memuat interviu dengan Abu Kasan Sapari kebanjiran surat. Pada umumnya mreka mengatakan bahwa intervieu itu menunjukkan visi dan misi pedalangan yang jelas sebagai sebuah profesi yang mandiri. Mereka juga menyatakan akan bergabung seandainya didirikan sebuah paguyuban. Kuntowijoyo, 2000: 138- 139 Anehnya, pemberitaan di Koran pagi harinya menyatakan bahwa di Karangmojo sudah terbentuk Paguyuban Pedalangan Independen. Berita itu diberi judul, “Para Dalang Menolak Politisasi Kesenian”. Kuntowijoyo, 2000: 143 cxi Permasalahan tersebut tampak jelas semakin bertambah ketika Mesin Politik membuat respon negative terhadap sikap Abu. Mesin Politik berusaha menekan Abu agar tidak melakukan aktivitas yang merugikan Mesin Politik. “Maksudnya, mm, Pak Abu jangan mengerjakan apa-apa dan jangan bicara apa-apa menjelang pemilu ini. Dan untuk itu kami akan memberikan kompensasi.” Kuntowijoyo, 2000: 139 Permasalahan-permasalahan yang dialami Abu belum mencapai klimaksnya. Peristiwa-peristiwa dari seluruh cerita yang terjadi ditahan untuk memperlihatkan proses menuju puncak klimaks cerita tersebut. Abu mengalami peristiwa yang semakin besar lagi terhadap permasalahan yang dihadapinya. Klimaksnya ketika Abu menolak tawaran Mesin Politik yang hendak mencalonkannya menjadi calon anggota legislative. Sikap pertentangannya tersebut menyebabkan Abu sempat ditahan pula dengan tuduhan tindakan subversi anti-Pancasila. Kutipan berikut menggambarkan peristiwa tersebut: Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. Kuntowijoyo, 2000: 145 Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. Mereka menemui Camat, menuju ke kamar kerja Abu Kasan Sapari, menunjukkan sebuah surat. “Kami dari Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh, silakan,” kata Abu seperti sudah mengharapkan. Kuntowijoyo, 2000: 148 Dalam novel WS , Wasripin diceritakan ditahan oleh kelompok geng yang kemudian disergap oleh geng lain. Meskipun dihajar, namun Wasripin masih bertahan. “Begitulah hukumannya jika kamu bohong. Nama?” “Wasripin” “Pekerjaan?” cxii “Satpam.” “Bohong” sebuah tinju bersarang di kepalanya. Kuntowijoyo, 2003:184 e. Klimaks Pada tahap ini rangkaian-rangkaian peristiwa yang terjadi mencapai klimaks. Puncak dari seluruh cerita atau peristiwa sebelumnya ditahan untu dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut. Pada novel P asar permasalahan yang dihadapi Pak Mantri tidak kunjung menemui titik solusinya, bahkan semakin bertambah besar. Klimaks cerita tejadi ketiak Pak Mantri sedang berusaha keras menyelesaikan masalahnya, tetapi pada saat itu Paijo malah mencabut laporan yang pernah disampaikannya kepada Pak Camat berkenaan dengan pasar baru yang didirikan oleh Kasan Ngali. “Anu, Pak. Dulu itu ada yang salah. Ini, tentang pasar baru punya Kasan Ngali itu. Yang benar ialah, bahwa di pasar baru itu tidak ditarik karcis. Jadi salah dulu itu. Sudah, Pak. Permisi.” Kuntowijoyo, 2002: 210 Pak Mantri marah atas perbuatan yang dilakukan Paijo. Apalagi, setelah itu ia mendapat kabar bahwa Kasan Ngali telah mendirikan bank kredit. Tidak terkiarakan bencinya pada orang itu. Kasan Ngali telah mendirikan pasar. Sekarang mendirikan bank. Ia tahu mendirikan bank itu bukan gampang beigut saja asal mempunyuai papan nama. Mesti ada urusan dengan hukum Rasanya kalau ia buka orang yang arif, tentu sudah memutuskan bahwa Kasan Ngalilah sejahat-jahatnya orang di muka bumi. Atau sebenarnya ia telah menuruti hawa nafsu dengan membenci orang lain itu? Camat, polisi, semua sudah dihubunginya. Ah, orang itu semoga pendek umurnya Semoga disambar petir Pak Mantri mengurut-urut dada. Tidak pantas ia berdoa yang seburuk itu, sebenarnya. Kuntowijoyo, 2002: 226 cxiii Akumulasi permasalahan yang dialami Pak Mantri memuncak ketika dalam kegagalannya menarik retribusi pasar dari para pedagang sehingga tidak bisa menyetorkan uang ke negara, ia malah dituduh melakukan tindak pidana korupsi uang pasar. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut: “Celaka, Pak” Katanya mendahului. “Apa yang celaka, Paijo?” “Kita dituduh” “Dituduh apa?” “Mengorupsi uang pasar” “Siapa bilang itu?” “Ada pegawai ke camatan kesini” Kuntowijoyo, 2002: 250 Dalam novel MPU permasalahan-permasalahan yang dialami Abu mencapai klimaksnya ketika Abu menolak tawaran Mesin Politik yang hendak mencalokannya menjadi calon anggota legislative. Sikap pertentangannya tersebut menyebabkan Abu sempat ditahan pula dengan tuduhan tindakan subversi anti-Pancasila. Kutipan berikut menggambarkan peristiwa tersebut: Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain tersebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. Kuntowijoyo, 2000: 145 Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. Mereka menemui Camat, menuju ke kamar kerja Abu Kasan Sapari, menunjukkan sebuah surat. “Kami dari Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh, silakan,” kata Abu seperti sudah mengharapkan. Kuntowijoyo, 2000: 148 Wasripin dalam novel WS difitnah menyembunyikan senapan dan granat tangan. Dia kemudian ditahan. Peristiwa tersebut diceritakan sebagai berikut: Seorang tentara memadamkan listrik yang terang benderang. Lapangan jadi gelap. Dalam gelap itu Wasripin diantar oleh enam orang bersenjata ke rumahnya di samping surau. Tangan Wasripin diborgol. …. Seorang tentara menggeledah ruangan itu, tidak cxiv menemukan apa-apa, lalu menengok kolong tempat tidur Wasripin. Ia menunjuk ke seonggok senapan dan granat tangan. Kuntowijoyo, 2003: 228 Pak Modin ditahan pula dengan tuduhan tindakan subversi anti- Pancasila. Kutipan berikut menggambarkan peristiwa tersebut: Keesokan paginya sehabis dari surau, sebuah jip hijau dating ke rumah. Tentara menghormat. Katanya, “Aku diperintahkan komandan untuk menjemput Pak Modin. Mari ikut kami.” Bu Modin yang punya firasat buruk berteriak-teriak, “Jangan Jangan” teriakan itu membuat orang keluar rumah. Tapi, mereka hanya sempat melihat jip itu semakin jauh. Bu Modin ingat Wasripin; dibawa tentara selalu berarti mati. Kuntowijoyo, 2003: 246 f. Falling Action Setelah mencapai klimaks dengan pengungkapan masalah-masalah yang menimpa tokoh, kemudian pada tahap tertentu konflik cerita mulai menurun. Dalam novel Pasar , Pak Mantri mulai menemukan solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapinya. Pak Mantri mencoba untuk bersikap tenang. Ketenangan batinnya membawa ia berpikir jernih untuk memulihkan situasi pasar serta mengembalikan kepercayaan warga pasar. Pak Mantri mengajurkan kepada para pedagang agar mereka kembali berjualan ke pasar. Bahkan dengan pertimbangannya para pedagang tidak dipungut retribusi. Gambaran tersebut tercantum dalam kutipan berikut: “Kita anjurkan mereka ke pasar. Anak-anak nakal akan pulang juga ke orang tuanya. Kerbau mesti pulang ke kandang. Pedagang mesti pulang ke pasar. Dan satu lagi.” Pak Mantri diam. Agak susah ia mengatakan ini. Ada pertimbangan-pertimbangan. Lama menanti, Paijo menyela. “Dan apa, Pak?” “Hm. Dan katakana mereka tidak akan dipungut pajak.” Kuntowijoyo, 2002: 252 cxv Malam hari Pak Mantri selalu tidur dengan tenang. Kemenangan batinnya membuat ia tenteram. Itulah saat-saat paling besar paling besar dalam hidupnya. Tidak lagi diingatnya Kasan Ngali, Siti Zaitun, orang-orang pasar. Ia melihat diri sendiri. Penemuannya sungguh mengagumkan, sangat jarang ditemukan orang macam itu dalam sejarah. Ternyata, ia mampu mengorbankan dirinya sendiri. Dan hal itu akan ditambahnya lagi. Sesuatu yang tak terjangkau oleh gagasan orang lain. Sambil tiduran ia memikirkan, kalau perlu burung- burung daranya bisa saja ditangkap. Supaya orang-orang pasar itu selamat. Tentang caranya bisa dierahkan pada Paijo. Keputusannya yang luar biasa itu memberi harapan, bakan baginya sendiri. Dan ia yang setua itu mempunyai kerelaan yang demikian besar. Semoga diterima amalnya Kuntowijoyo, 2002: 253 Di sinilah kemudian nampak jiwa kepemimpinan yang dimiliki Pak Mantri. Pak Mantri menyadari bahwa solusi dari semua permasalahan terdapat di dalam dirinya. Solusi tersebut akan dapat dimunculkan dan diwujudkan dengan keberanian mengambil sikap diri tanpa harus bergantung pada orang lain. Jiwa ksatira seorang pemimpin dinyatakan dengan kemampuan mengorbankan dirinya untuk sesuatu yang lebih besar, bahkan tanpa harus diketahui banyak orang, maka respon kebaikanlah yang akan diterimanya. Keberhasilan dari hasil perjuangan Pak Mantri tersebut dapat kita lihat pada kutipan berikut” Aksi penertiban itu dijalankan dengan berhasil, tanpa pertengkaran polisi dan teriak-teriak keras. “Kalau mau negara teratur, pasar harus diatur. Pasar memegang peranan penting dalam Negara. Tanpa pasar ekonomi tidak jalan. Ayo los-los masih luang. Kesempatan bagi yang pandai. Tanpa tempat yang tetap, pedagang akan rugi. Tidak dikenal pembeli. Tidak dikenal pembeli, tidak dikenal rezeki. Iya, to Kang? Betul, to Yu?” Dia berjalan-jalan sambil mengomel. “Sebentar lagi musim hujan. Kalau hujan, mana enak, di jalanan atau di los pasar. Tidak hujan, tidak panas, tidak angina.” Maka bergeser sedikit-sedikit orang-orang masuk los. Sangat cemerlang pekerjaan itu dilakukan. Hanya tukang karcis Pak Mantri sanggup mengerjakan itu. Paijo sudah meningkat satu taraf lebih pandai. Kuntowijoyo, 2002: 340 cxvi Dengan kembalinya para pedagang berjualan di los-los pasar merupakan tanda kepercayaan mereka kepada negara. Kepercayaan warga pasar dengan sistem perbaikan yang digalakkan, yang berarti kepercayaan kepada Paijo juga Pak Mantri Pasar. Lebih-lebih kepercayaan itu juga terwujud dengan kemauan para pedagang untuk membayar kembali retribusi pasar yang lama tidak dipungut. Dengan diam, Paijo memuntahkan uang dari saku bajunya di meja. Pak Mantri heran. Apa pula ini? Ah, sudah mulai lagi karcis itu Ya, hanya senyumlah yang keluar pada bibirnya. Kuntowijoyo, 2002: 342 Pada tahap ini terjadi kilas balik peristiwa dalam cerita MP U . Kilas balik peristiwa masa lalu tersebut terlihat ketika Kakek Abu bercerita kepada Abu tentang kisah hidup leluhurnya hal. 175-189. Fakta tersebut sedikit dapat diketahui dari kutipan berikut: Abu Kasan Sapari pulang ke desa tempat ia dibesarkan. Kakek bercerita. Eyang pendiri desa kita waktu masih muda menjadi prajurit keratin. Dia berhasil menyelamatkan raja Pakubuwana II dari Surakarta dari perampok waktu raja menyamar untuk melihat-lihat kerajaannya. Maka ia mendapat hadiah sebuah hutan gung liwang- liwung, hutan lebat. Kuntowijoyo, 2000: 175 Setelah mencapai klimaks dengan pengungkapan masalah-masalah yang menimpa tokoh, kemudian pada tahap tertentu konflik cerita mulai menurun. Abu tidak lagi mendalang untuk mendukung calon yang berhadapan dengan Mesin Politik. Oleh karena itu sebutan dalang politik anti-Randu yang semula melekat pada dirinya sudah hilang. Buktinya, para bakul di pasar tidak lagi menambahkan kata ‘dalang politik’ ketika Abu mendalang untuk juragan bis di Tegalpandan. Kenyataan itu dikabarkan Lastri pada Abu Kasan Sapari, cxvii “Soal ‘dalang politik’ sudah beres. Sampeyan bebas sekarang. Kuntowijoyo, 2000: 206 Perihal lain yang menjadi menurunnya cerita ialah semakin harmonisnya hubungan antara Abu dengan Lastri. Dalam hal ini, Abu memastikan apakah Lastri mau kalau ia nantinya menjadi istrinya. Peristiwa tersebut diwujudkan melalui dialog wayang ‘Cangik Bertanya pada Limbuk” sebagai berikut: Cangik : Aku sudah bilang Mas Petruk. Katanya, tidak ting-ting tidak apa. Malah sudah pengalaman, bisa ngajari Mas Petruk. Limbuk : Jadi biyung sudah menerima lamaran Mas Petruk? Cangik : Sekarang ini bukan zamannya anak menurut orang tua, tapi orang tua menurut anak. Limbuk : Aku konservatif kok yung. Cangik : Artinya? Limbuk : Artinya, monat-manut saja. Mas Petruk yam au, Mas Gatokaca ya mangga. Kuntowijoyo, 2000: 226 Dalam novel WS, menurunnya cerita ditandai dengan kematian Wasripin dan sikap pasrah masyarakat pada takdir Tuhan. Pak modin sebagai sesepuh di perkampungan nelayan memberi nasihat untuk menenangkan masyarakat. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut: “Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisi-Nya” kata Pak Modin “Dan Wasripin telah syahid. Negara Mendzalimi anaknya sendiri yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan ia sebagai washilah . Itu syirik.” Kuntowijoyo, 2003: 246 g. Denovement Setelah cerita melalui proses pemecahan masalah dari semua peristiwa, maka mengarah pada penyelesaian. Dalam novel Pasar, Pak Mantri telah kembali pada keluhuran sikap dan ketenangan batin. Keseluruhan sikapnya membawa ia berpikir jernih untuk memulihkan situasi pasar dan memulihkan cxviii kepercayaan warga pasar. Lebih dari itu, ketenangan batinnya membawa pada pandangan bahwa semua peristiwa dan permasalahan yang dialaminya merupakan jaring-jaring menuju pemahaman kesempurnaan makna kehidupan. Masalah-masalah yang ada telah terselesaikan dengan solusi yang tepat. Pak Mantri memulihkan kembali kepercayaan warga pasar terhadap dirinya. Para pedagang berpindah menempati los-los. Uang karcis mulai ditarik kembali. Tidak ada lagi persaingan dengan Kasan Ngali. Bahkan ia bisa membebaskan perasaannya terhadap Siti Zaitun. Kutipan berikut menjelaskan deskripsi tersebut: Siti Zaitun masih berdiri di tangga. Ia menatap semua orang. Ada Pak Mantri, Paijo, ibu-ibu, camat, kepala polisi. Dan Kasan Ngali Ah Terlalu banyak yang dikenangnya atau yang harus dilupakan. Ia telah memaafkan semua. Pak Mantri terpaku. Ia berbisik: Saya cinta kepadamu, Nak.” Kuntowijoyo, 2002: 362 Pak Mantri selalu tahu tindakan apa yang harus dilakukannya. Dengan keyakinan yang mantap ia mewariskan nilai-nilai luhur kepemimpinan kepada generasi penerusnya, yaitu Paijo. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Dan kalau aku mati. Itulah warisanku, Nak. Pewarisnya, siapa saja yang menyebut diri orang Jawa. Aku akan menghubungi ini.” Lalu Pak Mantri mengeluarkan majalah bahasa Jawa. “Akan kurikulum ke sini. Tetapi ketahuilah, engkaulah yang sebenarnya pewaris. Maukah, Nak?” Paijo mengangguk. Kertas-kertas disusunnya. “Kalau macam mati meninggalkan belangnya. Kalau Pak Mantri mati meninggalkan tembang.” Lalu ia pun tertawa, terkekeh. Paijo tertawa. Tertawa yang sopan dan ringan. Paijo berkeringat. Tembang-tembang itu dibacanya. Bisa saja, tetapi lebih baik waktu lain. Kuntowijoyo, 2002: 346 “Hari-hari terakhir untukku, Nak. Hari-hari pertama untukmu. Sebentar lagi saya akan meniggalkannya. Tetapi saya percaya padamu. cxix “Kemudian suara itu tidak jelas, serak, berakhir dengan isak. Mereka masuk lingkungan kantor. Kuntowijoyo, 2002: 363 Pada tahap ini, dalam novel MPU , semua peristiwa telah mengarah pada proses pemecahan masalah sebagai penyelesaian. Tokoh Abu telah mencapai kesadaran terhadap realitas kehidupan yang dialaminya dengan berinteraksi di masyarakat. Ia meyakini bahwa kemampuan manusia diwujudkan karena berusaha keras bukan karena mantra. Oleh karena itu, Abu rela melepas mantra yang pernah melekat dalam dirinya sehingga ia terikat pada pemahaman dan perilaku yang irasional sampai merugikan diri sendiri dan orang lain. Deskripsi tersebut dapat diketahui dalam kutipan berikut: Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri Ia bermaksud memutus mata- rantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung. Kuntowijoyo, 2000: 242 Pada tahap ini, dalam novel WS , semua peristiwa telah mengarah pada proses pemecahan masalah sebagai penyelesaian. Tokoh Wasripin telah meninggal dan Pak Modin menjadi gila karena siksaan yang biadab. Berikut kutipan yang menjelaskan hal tersebut: “Kenalkan saya Mister Mudin, Presiden NII.” “Bukan. Tapi Pak Modin, imam surau TPI.” “Saya berani sumpah. Pengangkatan sudah saya tanda tangani. Disaksikan dua kopral bersenjata lengkap.” Kuntowijoyo, 2003: 255 Selain itu, masalah berakhir ditandai dengan pulangnya emak angkat Wasripin. Setelah menyatakan bertaubat di depan kyai, Emak mencari Wasripin dan Paman Satinah. Namun kedua orang itu telah meninggal. cxx Akhirnya Emak mencium tanah dua kali sebagai permohonan maaf untuk Wasripin dan Paman Satinah. Berikut ini kutipannnya: Perempuan itu mencium tanah dua kali. “Maafkan, emakmu. Maafkan, Mas.” Kuntowijoyo, 2003: 254 3. Tokoh dan Penokohan Sebuah cerita novel berjalan seiring dengan peran tokoh dan penokohan yang terdapat dalam cerita tersebut. Analisis struktur tokoh dan penokohan dalam novel Pasar , MP U, dan WS dilakukan dengan melihat penggambaran watak tokoh dari beberapa sisi, yaitu melalui metode deskripstif maupun dramatik. a. Deskripsi Tokoh-Tokoh dalam Novel Pasar, MP U, dan Wasripin dan Satinah Novel Pasar karya Kuntowijoyo menampilkan tokoh utama Pak Mantri, Paijo, Kasan Ngali, dan Siti Zaitun. Nama tokoh kemudian berkembang dengan nama-nama Pak Camat, Pak Kepala Polisi, Marsinah, pedagang pasar, anak-anak kecil, anak buah Kasan Ngali, Darmokendang, Jenal, pegawai kecamatan, dan pegawai kepolisian. Novel MPU memiliki tokoh dan penokohan yang menarik karena tidak semua tokoh diwujudkan dengan sosok tunggal manusia. Cerita MPU menampilkan tokoh utama Abu Kasan Sapari, Sulastri, dan Mesin Politik. Perkembangan cerita kemudian melibatkan tokoh tambahan seperti orang tua Abu, kakek nenek abu, wartawan, Haji Syamsudin, Ki Lebdocarito, Ki Manut Sumarsono, polisi, rakyat atau masyarakat desa, Kismo Kengser dan laki-laki tua. Tokoh-tokoh tambahan tersebut hanya muncul sekali atau beberapa kali dalam jalannya cerita. cxxi Sedangakan novel WS memiliki menampilkan tokoh utama Wasripin, Satinah, Emak, dan Paman Satinah. Nama tokoh kemudian berkembang dengan nama-nama Pak Modin, Bu Modin, Danramil, Kapolsek, Perwira Pati, Camat, Sekdes, Nelayan, dan warga perkampungan nelayan. Novel Pasar menempatkan tokoh Pak Mantri sebagai pusat bagi pengarang untuk mengungkapkan ceritanya. Pak Mantri merupakan tokoh sentral yang mengalami banyak peristiwa dalam keterlibatannya di dalam cerita Pasar . Fakta tokoh Pak Mantri sebagai tokoh sentral dapat dilihat dari banyaknya hubungan yang dimiliki dengan tokoh-tokoh lain di dalam cerita. Tokoh Pak Mantri berhubungan dengan tokoh pedagang pasar. Sebagai pengelola pasar tentu Pak Mantri sangat dekat dengan para pedagang yang setiap harinya mencari penghidupan di pasar. Oleh karena itu tokoh Pak Mantri tidak hanya memiliki hubungan strata dengan tokoh pedagang pasar. Tokoh Pak Mantri juga membangun hubungan persahabatan dengan mereka. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: Biasanya, pada hari pasar macam begini Pak Mantri akan berkeliling, sekadar berbicara dengan orang-orang, terutama dengan penjual obat yang dari jauh. Sekadar bersahabat. Hari pasar sekali ini benar-benar kehilangan selera untuk berkelakar. Ia terpaksa duduk- duduk di kantor. Tak ada minat. Kuntowijoyo, 2002: 101 Tokoh Pak Mantri juga berhubungan dengan tokoh Siti Zaitun. Secara fisik tokoh Pak Mantri bertetangga dekat dengan tokoh Siti Zaitun karena Siti Zaitun bekerja sebagai pegawai bank yang letaknya bersebelahan dengan kantor pasar. Oleh karena itu mereka memiliki kedekatan emosional satu sama lain. cxxii Tobat Alangkah malu. Siti Zaitun yang berkantor di sebelah itu sudah datang. Sepanjang hidupnya, mantra pasarlah yang membuka kantor paling pagi di kecamatan pelosok itu. Kebetulan mereka bertatapan. Perempuan itu tidak tersenyum, hanya mengangguk dingin. “Selamat pagi, Pak.” Itu di luar kebiasaan. Kuntowijoyo, 2002: 7 Tokoh Pak Mantri berhubungan erat dengan Tokoh Paijo sebagai rekan kerja, meskipun kedudukan mereka berbeda. Tokoh Pak Mantri berkedudukan lebih tinggi daripada tokoh Paijo. Tokoh Paijo merupakan pegawai yang membantu kerja tokoh Pak Mantri dalam mengelola pasar, yaitu menarik retribusi pasar. Hubungan mereka dekat. Paijo telah membuka pintu dan jendela. Pak Mantri masuk, menghela napas, duduk di kursi sambil melemparkan tas dan topi di meja. Nampaknya Paijo tergesa pergi. Pak Mantri ingat ketela itu, tegurnya: “Kau membakar sampah lagi, ya? Disapu dulu kantor ini. Sudah kerja seumur hidup, belum tahu tugasnya.” Kuntowijoyo, 2002: 9 Tokoh Pak Mantri memiliki hubungan yang kurang baik dengan tokoh Kasan Ngali. Tokoh Kasan Ngali sebagai pedagang kaya merupakan rival bagi tokoh Mantri Pasar baik dalam pengaruh di pasar maupun persaingannya dalam menarik hati tokoh Siti Zaitun. Dalam novel Pasar , tokoh Pak Mantri tidak pernah berbicara langsung kepada tokoh Kasan Ngali. Kutipan berikut menjelaskan hubungan tersebut. Kasan Ngali? Huh. Hanya dia belum juga punya alasan yang tepat untuk mengumumkan permusuhannya dengan laki-laki kurang sopan itu. Mungkin ia bisa menuntut atas dasar kucing itu? Nah ini bisa dipikir. Akal tuanya tak membenarkan hal seremeh itu dibesar- besarkan. Lagi pula Kasan Ngali bukan kucing dan kucing bukan Kasan Ngali. Ia bisa memaafkan kucing, tetapi memaafkan Kasan Ngali tidak mungkin. Kuntowijoyo, 2002: 57 Tokoh Pak Mantri sebagai tokoh berpengaruh juga berhubungan dengan tokoh Pak Camat. Kedekatan hubungan antara Pak Mantri dengan Pak cxxiii Camat merupakan penghormatan antartokoh berpengaruh di kota kecamatan. Adanya kepentingan masing-masing sangat memengaruhi hubungan mereka. Hal tersebut nampak pada kutipan berikut: Pak Camat datang juga. Pak Mantri mendahului memberi selamat: “Selamat siang, Pak.” Keduanya termasuk orang-orang penting dalam kota kecil itu. Kalau ada orang kawin merekalah duduk paling muka, mendapatkan penghormatan yang pertama. Juru tulis menyodorkan buku tamu. Pak Camat memeriksanya. Kuntowijoyo, 2002: 61 Di samping itu tokoh Pak Mantri juga berhubungan dengan tokoh Kepala Polisi sebagai penanggung jawab keamanan di kota kecamatan tersebut. Hubungan antara tokoh Pak Mantri dan tokoh Kepala Polisi pun terkait masalah kebutuhan dan tanggung jawab satu sama lain sebagaimana dalam kutipan berikut: Sekarang baru itulah yang disebut polisi. Pak Mantri menghapus keringatnya. Sapu tangan itu wangi. Kepala Polisi mengantarnya sampai luar. Tidak ada orang lain di kecamatan itu yang diantar sampai pelataran oleh Kepala Polisi. Kuntowijoyo, 2002: 86 Tokoh Pak Mantri juga berhubungan dengan tokoh anak-anak. Pak Mantri memandang anak-anak adalah kehidupan masa lalu yang pernah dialaminya pula. Oleh karena itu, Pak Mantri sangat sayang kepada anak-anak. Hubungan Pak Mantri dan anak-anak tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: Pak Mantri mengelus-ngelus anak itu. Dan tangan yang dipegang anak itu dilihatnya. Ah, ada yang salah di sini. Anak itu ketakutan. Anak ini perlu ditolong. Ia harus mengangkatnya kuat-kuat, kalau mau menolongnya mengantar pulang. Ia tak bisa, ia terlalu lemah. Terpaksa ia melambai pada anak-anak yang diketahuinya menunggu di luar pagar. Ah, ia ingin menangis untuk anak itu. Ia sendiri senakal itu pula waktu kecil. Barangkali anak itu sangat patut cxxiv menjadi cucunya. Anak-anak yang di luar pagar itu ragu-ragu datang. Ia memanggil-manggil. Mereka datang juga. Kuntowijoyo, 2002: 147 Di samping itu, tokoh Pak Mantri juga berhubungan dengan tokoh Marsiyah. Bagi Pak Mantri, Marsiyah merupakan seorang wanita yang pernah dicintainya, tapi ia menerima takdir yang berbeda yang menurutnya itu lebih baik. Hubungan Pak Mantri dan Marsiyah tersebut nampak pada kutipan berikut: Lho O, tentu salah urus, ini. Bagaimana memulai omong yang baik pada Marsiyah. Untunglah dia tak kawin dengan perempuan ini. Syukurlah. Akhirnya ia membenarkan nasib juga bagaimana keterangannya sampai perempuan itu melabraknya. Ini yang ingin diketahuinya. Kuntowijoyo, 2002: 150 – 151 Tokoh Abu Kasan Sapari merupakan tokoh sentra yang digunakan pengarang untuk mengungkapkan ceritanya dalam novel MPU . Tokoh Abu paling banyak mengalami peristiwa atau paling banyak diceritakan pengarang. Fakta tersebut menjadikan tokoh Abu sebagai tokoh sentra yang memiliki masalah kompleks juga berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Waktu kecil tokoh Abu sudah dipelihara oleh kakeh neneknya karena ikatan janji keluarga hal. 6. Padahal tokoh Abu baru satu tahun diasuh kedua orangtunya. Menginjak masa pendidikannya juga untuk mengembangkan karir dalangnya tokoh Abu tinggal bersama tokoh Ki Lebdocarito hal.13 bahkan kemudian tokoh Abu diangkat sebagai anak. Kutipan berikut menunjukkan adanya hubungan tokoh Abu dengan tokoh Ki Lebdocarito: Dalam musyawarah keluarga ketika anak-anak berkumpul, Ki Lebdo mengutarakan maksud untuk mewariskan gamelan dan wayang kepada Abu, semuanya setuju. Kemudian ditulislah wasiat. Kuntowijoyo, 2000: 15 cxxv Sebagai dalang tokoh Abu juga berinteraksi dengan tokoh Ki Manut Sumarsono. Selain sebagai dalang senior, tokoh Ki Manut Sumarsono juga merupakan guru yang harus dihormati baginya. Berikut kutipan yang menunjukkan hubungan tokoh Abu dengan tokoh Ki Manut Sumarsono: Ia dipercaya untuk mendalang pada peringatan hari lahir Ki Manut Sumarsono. Selain itu, Ki Manut Sumarsono punya cara sendiri untuk mempromosikannya. Mula-mula Ki Manut akan memulai, kemudian dia melanjutkan. Sesudah itu kadang-kadang orang yang datang pada Ki Manut akan di- verwijs padanya. Kuntowijoyo, 2000: 106 Posisi tokoh Abu yang memiliki pandangan berbeda menyebabkan tokoh Abu terlibat masalah dengan tokoh Mesin Politik dan warga. Berikut ini kutipan yang memperlihatkan interaksi pertentangan tokoh Abu dengan tokoh Mesin Politik juga warga: Bahwa Abu Kasan Sapari suka mendalang untuk calon kepala desa cakades yang bermusuhan dengan calon Mesin Politik sudah diketahui pegawai kecamatan dan Camat Tegalpandan sejak duluan lewat jalur birokrasi dan Mesin Politik. Kuntowijoyo, 2000: 133 Masalah Abu dan ular itu telah membagi warga menjadi dua: yang mendukung Abu dan yang menentang. Kuntowijoyo, 2000: 131 Di samping itu, tokoh Abu juga memiliki hubungan cinta kasih dengan tokoh Sulastri. Berikut ini kutipan yang memperlihatkan fakta tersebut: Di luaran, di kecamatan, di pasar, dan di terminal telah berkembang rerasan bahwa Abu akan mengawini Lastri. Orang-orang akan berhenti bekerja dan diam-dia memerhatikan Abu dan Lastri, kalau mereka sedang lewat. “Wajahnya sudah mirip,” kata orang. Kuntowijoyo, 2000: 116 Tokoh Wasripin merupakan tokoh sentra yang digunakan pengarang untuk mengungkapkan ceritanya dalam novel WS . Tokoh Wasripin paling cxxvi banyak mengalami peristiwa atau paling banyak diceritakan pengarang. Fakta tersebut menjadikan tokoh Wasripin sebagai tokoh sentra yang memiliki masalah kompleks juga berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Dalam novel WS, tokoh Wasripin mulai tersentuh dengan permasalahan ketika dia menjadi satpam dan memergoki pencurian kayu. Saat itulah Wasripin kena pukul sampai pingsan dan mulai dibenci oleh para prnguasa. Berikut ini kutipan yang memaparkan peristiwa tersebut: “Tiba-tiba saja orang menggebukku dengan kayu.” “Kayu-kayu?” “Bukan itu saja.” “Kau pasti mengurus yang bukan urusanmu. Itu urusan polisi.” Kuntowijoyo, 2003: 65 Wasripin ditangkap dengan tuduhan mau memperkosa. Tuduhan ini juga tidak terbukti dan gagal memenjarakan Wasripin karena Wasripin menantang pihak pelapor untuk melakukan sumpah pocong. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut: Di pengadilan jaksa menuduhnya dengan perkosaan yang berhasil digagalkan korban. Wasripin menolak tuduhan itu, dan meminta diadakan sumpah pocong. Kuntowijoyo, 2003: 166 Di bagian akhir, Wasripin akhirnya mati ditembak karena dituduh sebagai komandan DITII. Berikut petikan cerita yang menunjukkan hal tersebut: Pagi TVRI dan Koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati ditembak tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di suatu tempat yang dirahasiakan karena dapat menimbulkan syirik. Kemudian juga dikatakan bahwa dia komandan DITII Pantura, anti- Pancasila, dan ingin mendirikan Negara Islam dengan kekuatan senjata. Kuntowijoyo, 2003: 231 cxxvii b. Penggolongan Tokoh dalam Novel Pasar dan Novel MPU Dalam novel Pasar, tokoh Pak Mantri merupakan tokoh yang melakukan segala tindak tokoh utama sebagaimana diamanatkan oleh pengarang. Karena itu tokoh Pak Mantri memenuhi syarat disebut sebagai tokoh protagonist. Tokoh protagonist memiliki watak yang baik sehingga disenangi oleh pembaca. Tokoh Kasan Ngali tidak disenangi karena sebagai seorang pedagang kaya, dalam bertindak selalu mendahulukan kepentingan pribadi juga memperhitungkan masalah keuntungan materi. Ketika pasar dalam keadaan kacau, sebagai orang yang mampu ia tidak mau ikut serta dalam memberikan solusi malah membuat kondisi semakin kacau. Di awal ia membantu orang menabung di bank pasar karena ingin mendekati tokoh Siti Zaitun. Bahkan karena keangkuhannya ia mendirikan bank kredit untuk membuat keadaan pasar menjadi labil. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: Pasar baru Kasan Ngali telah mengacaukan pikirannya benar. Keparat Kepada orang banyak yang lewat di jalan ia ingin mengatakan, bahwa mantra pasar sedang lewat, minggir, beri jalan Tetapi ia tidak suka dengan penonjolan diri, justru dialah yang mencari-cari jalan di sela-sela orang. Mereka yang berbudi mesti mengalah, tidak berebutan jalan. Kalau berbuat baik boleh berebut, kalau berjalan tak usahlah berebut. Maka bukannya ia sengaja mengutuki Kasan Ngali, tetapi Kasan Ngali telah merugikan pasar yang dipegangnya. Karena tanggung jawablah ia berbuat. Sedang dia lupa membicarakan dengan polisi. Itu saja sayangnya. Kuntowijoyo, 2002: 87 Dari sisi pandang lain, dapat diketahui kalau tokoh pedagang merupakan tokoh datar atau tokoh sederhana karena tokoh pedagang dan tokoh anak-anak kecil merupakan tokoh yang mudah dikenali tanpa perlu cxxviii analisis. Dari dulu dimana pun dan sampai kapan pun yang namanya pedagang dan anak-anak kecil memiliki karakter yang jelas. Sedangkan tokoh Pak Mantri, Paijo, Siti Zaitun, dan Kasan Ngali merupakan tokoh bulat karena dapat dimaklumi pembaca setelah dilakukan analisis mendalam tentang tokoh. Tokoh-tokoh tersebut diketahui setelah ada deskripsi fisik yang ditampilkan oleh pengarah juga dapat melalui analisis tindakan, pemikiran, dan interaksi dengan tokoh lainnya. Berikut ini gambaran tokoh pedagang yang selalu memperhitungkan segala sesuatu dengan perhitungan uang: “Hitunglah, Pak, “kata perempuan itu pada polisi. “Tiga ekor burung dara telah mencocok berasku. Berapa harus dibayar, kalau aku mau menghitung. Masih diminta karcis pasar lagi Mestinya aku minta ganti rugi” Orang mengangguk-angguk. Rugi, rugi itu Betul tak mau bayar Kuntowijoyo, 2002: 35 Sedangkan tokoh anak-anak memiliki watak nakal, suka berbuat iseng. Hal tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut: Yah, suara anak-anak. Ah, sebagai lelaki tua yang pernah jadi anak-anak ia tahu apa kerja mereka di luar. Bersembunyilah dulu Jangan usik mereka. Lalu tangkap basah Dari rebut-ribut itu ia tahu, anak-anak itu sedang mencuri burung-burung dara dari paguponnya. Kuntowijoyo, 2002: 146 Dalam penyebutan lain, kecuali tokoh Pak Mantri, semua tokoh-tokoh yang disebut dalam novel Pasar merupakan tokoh statis karena tokoh-tokoh tersebut secara esensial dari awal hingga akhir cerita tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan yang diakibatkan oleh adanya pengaruh peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sedangkan tokoh Pak Mantri disebut sebagai tokoh dinamis karena tokoh tersebut mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan akibat pengaruh peristiwa-peristiwa yang cxxix terjadi. Perubahan tokoh Pak Mantri tersebut dapat dicermati melalui jalan pikiran tokoh Pak Mantri dalam berusaha menyelesaikan permasalahan yang terjadi di pasar. Pak Mantri mengalami perkembangan pola piker yang mencerdaskan dalam mengambil keputusan-keputusan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di pasar. “Coba, Nak. Saya memelihara burung-burung saya sendiri. Itu sudah berjalan sejak lama. Burung-burung itu kubeli dengan uang saya sendiri. Dikandangkan di pasar sendiri. Tetapi mereka telah memukulinya. Membunuhnya” Kuntowijoyo, 2002: 84 Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Pak Mantri memiliki sikap keras perlakuan tokoh pedagang pasar terhadap burung-burung daranya. Sikap tersebut kemudian berubah setelah tokoh Pak Mantri mencapai kesadaran akal dan pikirannya. Tokoh Pak Mantri merubah sikap egois yang telah dimilikinya dulu menjadi sikap empati. Hal tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut: Begitulah kalau mau tahu watak Pak Mantri. Itulah sikap ksatria, perwira. Di pandangnya burung-burung yang berkeliaran. Ditinggalkannya Zaitun dalam keadaan bertanya-tanya. Memang, diarasanya juga, bahwa burung-burung itu mengganggu para pedagang. Ah, selama ini ia tidak tahu itu. Untunglah datang petunjuk itu. Ia menempatkan diri pada pihak pedagang, dan ia bisa jengkel juga. Pantaslah, saya memahami kalian, Saudara-saudara. Ia bisa menghitung, kalau setiap ekor burung dara makan beras segenggam setiap hari, berapa kuintal dalam sebulan. Ah, lebih baik beras itu diberikan pada fakir miskin daripada burung Kuntowijoyo, 2002: 254 Deskripsi yang ditampakkan pengarang dalam novel MPU kepada tokoh Abu mencakup watak dan sikap tokoh tersebut merupakan hal-hal yang disenangi pembaca. Tokoh Abu menghadapi dan menyelesaikan problema cxxx hidup diri juga masyarakat dengan sikap yang berani. Oleh karena itu tokoh Abu Kasan Sapari dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Sedangkan tokoh yang menentang sikap tokoh Abu Kasan Sapari ialah tokoh Mesin Politik. Tokoh Mesin Politik memiliki watak dan sikap yang buruk sering melakukan tindakan yang jauh dari nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu, tokoh Mesin Politik mempunyai konflik dengan tokoh Abu Kasan Sapari. Tokoh Mesin Politik ini dikategorikan sebagai tokoh antagonis. Kutipan berikut mendeskripsikan tokoh-tokoh tersebut: Bahwa Abu Kasan Sapari suka mendalang untuk calon kepala desa cakades yang bermusuhan dengan calon Mesin Politik sudah diketahui pegawai kecamatan dan Camat Tegalpandan sejak duluan lewat jalur birokrasi dan Mesin Politik. Kuntowijoyo, 2000: 133 Berdasarkan pandangan lain, tokoh Abu Kasan Sapari, tokoh Mesin Politik, dan tokoh Lastri merupakan tokoh bulat karena tokoh-tokoh tersebut baru dapat diketahui karakternya setelah memahami benar sikap dan perilaku tokoh, tidak serta merta dapat diketahui secara langsung. Sedangkan tokoh- tokoh lain seperti tokoh wartawan, tokoh warga kampung, tokoh-tokoh rakyat, dan tokoh mahasiswa digolongkan sebagai tokoh datar. Tokoh-tokoh tersebut memiliki karakter umum yang khas, mudah dikenali dan bersifat permanent. Kutipan berikut menunjukkan watak tokoh wartawan yang suka menggunakan bahasa jurnalistik sebagai persepsi kebenarannya juga tokoh rakyat yang memiliki watak suka bertindak dengan emosi, tidak mengindahkan logika rasional: “Aku tahu kau heran. Aku telah menyulap angka.” Kuntowijoyo, 2000: 143 – 144 cxxxi Rakyat dari dua desa yang merasa calon lurahnya kalah oleh calon yang dijagoi Mesin Politik datang memprotes Camat baru. Mereka datang membawa spanduk dengan tulisan seadanya. Kuntowijoyo, 2000: 197 – 198 Penyebutan lain tokoh dalam cerita MP U terdapat tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh Abu Kasan Sapari dapat disebut tokoh dinamis karena tokoh Abu mengalami perkembangan sikap yang diakibatkan adanya keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sikap keras yang dimiliki tokoh Abu pada masa awal berubah menjadi moderat dan strategik dalam menyikapi masalah yang dialaminya. Begitu pula pandangannya terhadap pengaruh mantra yang dimilikinya terhadap kehidupannya menjadi tidak percaya hal takhayul. Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut: Betul, ia pergi pada Pak Camat dan menyatakan niatnya untuk mendalang menggantikan Ki Manut. Pak Camat keheranan, dia adalah Pembina Randu di kecamatannya, dan Abu ‘dalang politik anti- Randu’. Kuntowijoyo, 2000: 205 Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri Ia bermaksud memutus mata- rantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung. Kuntowijoyo, 2000: 242 Sedangkan tokoh-tokoh lain tergolong sebagai tokoh statis karena tokoh-tokoh tersebut tidak mengalami perkembangan perwatakan secara esensial. Tokoh-tokoh tersebut tidak ikut berubah sejalan dengan plot yang dikisahkan. Deskripsi yang ditampakkan pengarang dalam novel WS kepada tokoh Wasripin dan Satinah mencakup watak dan sikap tokoh yang disenangi pembaca. Tokoh Wasripin dan Satinah menghadapi dan menyelesaikan cxxxii problema hidup diri dengan sikap yang lugu dan berani. Oleh karena itu tokoh Wasripin dan Satinah dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Tokoh lain yang juga dikategorikan dalam tokoh protagonis adalah tokoh Pak Modin. Sedangkan tokoh yang menentang sikap tokoh protagonist ialah tokoh Ketua Partai Randu, orang-orang militer, dan Presiden Sadarto. Tokoh-tokoh tersebut memiliki watak dan sikap yang buruk sering melakukan tindakan yang jauh dari nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu, tokoh-tokoh tersebut mempunyai konflik dengan tokoh Wasripin, Satinah, dan Pak Modin. Tokoh Ketua Partai Randu ini dikategorikan sebagai tokoh antagonis. Kutipan berikut mendeskripsikan tokoh-tokoh tersebut: “Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkan bila partai ingin menang,” kata renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat “disingkirkan” artinya “dimusnahkan”, “dipenjara”, atau “ditahan” Kuntowijoyo, 2003: 137 Berdasarkan pandangan lain, tokoh Wasripin, Satinah, Pak Modin, dan Ketua Partai Randu merupakan tokoh bulat karena tokoh-tokoh tersebut baru dapat diketahui karakternya setelah memahami benar sikap dan perilaku tokoh, tidak serta merta dapat diketahui secara langsung. Sedangkan tokoh- tokoh lain seperti tokoh Danramil, tokoh warga kampong nelayan, dosen, Satgas, dan tokoh mahasiswa digolongkan sebagai tokoh datar. Tokoh-tokoh tersebut memiliki karakter umum yang khas, mudah dikenali dan bersifat permanen. Penyebutan lain tokoh dalam cerita WS terdapat tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh Wasripin dan Pak Modin dapat disebut tokoh dinamis karena tokoh Abu mengalami perkembangan sikap yang diakibatkan adanya cxxxiii keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sedangkan tokoh- tokoh lain tergolong sebagai tokoh statis karena tokoh-tokoh tersebut tidak mengalami perkembangan perwatakan secara esensial. Tokoh-tokoh tersebut tidak ikut berubah sejalan dengan plot yang dikisahkan. c. Perwatakan Tokoh Salah satu hal yang menjadi karakteristik novel yaitu perwatakan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Setiap tokoh yang ditampilkan dalam novel Pasar memiliki watak yang berbeda yang menjadi karakteristik masing- masing tokoh. Meskipun begitu tokoh-tokoh tersebut saling melakukan interaksi sosial satu sama lain. Selanjutnya akan diuraikan tentang bagaimana pengarang mendeskripsikan tokoh-tokoh ceritanya. Deskripsi watak tokoh Pak Mantri seperti dalam kutipan berikut: Kalau engkau terpelajar, dan tinggal di kota kecamatan itu, berhubunganlah dengan Pak Mantri Pasar. Sebab tidak seorang pun kecuali Kasan Ngali, tentu yang mengaku orang Jawa tidak memujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat atau Pak Kepala Polisi , dan ibu jari mereka akan diacungkan: “Nah, Pak Mantri Pasar itu. Begini Segala yang baik bagi hidup jujur, setia, sopan santun, tahu diri menumpuk padanya. Siapa tidak percaya kebaikan budi Pak Mantri Pasar, baik bertanya pada diri sendiri apakah keputusan itu sepantasnya. Kuntowijoyo, 2002: 1 Habis, memang tak akan ada orang lain. Dalam hal membuat candrasengkala , Pak Mantri tak ada duanya. Kuntowijoyo, 2002: 63 Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Pak Mantri dideskripsikan sebagai tokoh utama yang dikenal karena interaksi sosialnya yang baik kepada masyarakat baik pedagang maupun pejabat pemerintah. Tokoh Pak Mantri diwujudkan sebagai sosok yang jujur, setia sopan, dan tahu cxxxiv diri. Di samping itu tokoh Pak Mantri adalah guru yang baik bagi tokoh Paijo hal. 155 – 159. Tokoh Pak Mantri senantiasa memberikan nasehat dan teladan mengenai hakikat hidup kepada tokoh Paijo. Tokoh Pak Mantri juga sosok yang bertanggung jawab hal. 252. Ia senantiasa mempertanggungjawabkan hasil perbuatan yang telah dilakukannya. Hal itu bisa dilihat ketika Pak Mantri memperbolehkan burung daranya untuk ditangkap dan dimiliki, juga berjiwa besar ketika dituduh telah menggunakan uang pasar. Pak Mantri pun memiliki sifat sabar hal. 273 dalam menghadapi tantangan hidup yang dialaminya. Hal lain yang melekat dalam diri tokoh Pak Mantri ialah ia merupakan orang yang telah berumur dengan pemahaman ilmu kejawen yang baik. Dapat dikatakan tokoh Pak Mantri merupakan sosok kawulo Jawa yang hidup di jamannya. Deskripsi watak tokoh Paijo seperti dalam kutipan berikut: Paijo telah membuka pintu dan jendela. Pak Mantri masuk, menghela napas, duduk di kursi sambil melemparkan tas dan topi di meja. Nampaknya Paijo tergesa pergi. Pak Mantri ketela itu, tegurnya: “Kau membakar sampah lagi, ya? Disapu dulu kantor ini. Seumur hidup, belum tahu tugas-tugasnya.” Paijo menggapai sapu ijuk di pojok kamar. Kuntowijoyo, 2002: 9 Itulah Paijo yang tak mengerti benar. Dan perasaan itu berlainan sama sekali bila yang menepuk pundak adalah Kasan Ngali. Seperti Kasan Ngali menjanjikan pekerjaan dan uang, sedangkan Pak Mantri menjanjikan yang lain. Hanya Paijo tidak tahu persis, apa yang telah membuatnya terikat dengan laki-laki tua itu. Di samping Pak Mantri, ia merasa kecil. Sekalipun kadang-kadang ia kurang ajaran. Namun jauh dalam hatinya ada yang menyuruhnya hormat. Tidak dimengerti apa sebabnya, tetapi begitulah. Maka siang ia menurut saja pulang sampai larut siang, sambil kadang-kadang merasa kasihan pada laki-laki tua yang dihadapannya. Ah, Pak Mantri Kuntowijoyo, 2002: 116 cxxxv Paijo kembali ke pasar. Dengan dua orang polisi Bagaimana ia berhasil membawa polisi, itu luar biasa. Persahabatan telah menolongnya. Ah, sedikit terlambat ia punya pikiran itu. E, Paijo juga punya polisi Keuntungan dari main bola. Kuntowijoyo, 2002: 316 Pengarang mendeskripsikan tokoh Paijo sebagia juru karcis, pegawai bawahan tokoh Pak Mantri, yang penurut, meskipun terkadang harus diperingatkan dalam menjalankan tugasnya. Tokoh Paijo juga merangkap tukang sapu, mengurusi burung-burung peliharaan Pak Mantri serta pekerjaan- pekerjaan lain hal. 6. Tokoh Paijo memiliki watak yang lugu sehingga jalan pikirannya senantiasa diarahkan oleh hati nuraninya yang jujur, bukan oleh nafsu dan emosi. Tokoh Paijo sangat menghormati tokoh Pak Mantri sebagai atasnnya juga orang yang memiliki teladan dan kharismatik lebih baginya. Tokoh paijo juga termasuk orang yang sabar dalam menghadapi pertentangan dengan tokoh lain, seperti tokoh pedagang dan tokoh Kasan Ngali hal. 275. Bagaimanapun juga tokoh Paijo memiliki relasi yang bagus dengan tokoh- tokoh yang mempunyai kekuasaan, seperti tokoh polisi. Sebagai sosok pegawai, ia termasuk orang yang cukup cerdas dalam menangani permasalahan tertentu. Deskripsi watak tokoh Kasan Ngali seperti dalam kutipan berikut: Kasan Ngali jelas tak pernah bercermin. Aduh, biasanya pakai celana komprang kolor. Sekarang bukan main. Lihatlah, he ada babi pakai baju Sekarang orang itu pakai topi betul, berkacamata putih, celana panjang, dan baju kotak-kotak. Pak Mantri tahu saja, topi itu adalah untuk menutupi botaknya di gundul itu Hanya tongkat itu Pakai tongkat segala. Kenapa tidak naik kuda sekalian? Itu menimbulkan tertawaa Pak Mantri. Kuntowijoyo, 2002: 94 Kasan Ngali di tokonya. Orang kaya akan selalu memenangkan pertandingan, Bung Ia akan menunjukkan bahwa uang itu berkuasa. Akan ditunjukkannya siapa Kasan Ngali sebenarnya. Bahwa dengan cxxxvi uang itu, sebenarnya orang bisa berbuat banyak. Ya, biar orang tahu. Ia tersenyum melihat kemungkinan-kemungkinan itu. Kuntowijoyo, 2002: 267 Berdasarkan kutipan di atas secara fisik tokoh Kasan Ngali dideskripsikan bertubuh gemuk dengan analogi “hewan babi” dan “celana komprang kolor” serta berkepala botak. Tokoh Kasan Ngali adalah sosok pedagang kaya. Namun, cara berdagang yang dilakukannya menunjukkan bahwa ia bukan pedagang yang jujur karena senang menimbun bahan pokok untuk dijual kemudian hari. Tokoh Kasan Ngali menampakkan watak suka bergaya pamer atas kekayaan yang ia miliki seperti uang, busana mahal, dan mobil. Dengan kekayaan yang dimilikinya tokoh Kasan Ngali menjadi sombong karena ia merasa dapat berbuat sesuai keinginannya. Tokoh Kasan Ngali tidak memiliki interaksi sosial yang bagus dengan tokoh-tokoh yang lain, seperti tokoh Pak Mantri, tokoh Paijo, tokoh Siti Zaitun, tokoh Pak Polisi bahkan kepada pegawainya sendiri yang sering diperlakukan kasar. Oleh karena itu, tokoh Kasan Ngali tidak disukai tokoh lain. Deskripsi watak tokoh Siti Zaitun seperti dalam kutipan berikut: Kabar kepergian Siti Zaitun itu sudah meluas. Di pondoknya Siti Zaitun sibuk menerima tamu-tamu. Pak Camat, polisi, ibu-ibu, tetangga-tetangga, guru-guru. Hadiah menumpuk di meja. Zaitun tidak bermaksud meramaikan kepergiannya itu. Tetapi tercium juga. Gadis itu sengaja akan pergi diam-diam, maka ia sengaja pula tidak berpamitan. Besok, setibanya di kota, dia akan menulis surat atau datang lagi berpamitan. Tetapi orang datang juga. Dan hadiah-hadiah mengalir. Ah, kota itu menyenangkannya juga. Tidak disangkanya orang-orangnya yang ramah. Sampai ia menangis terisak setiap menerima tamu. Kuntowijoyo, 2002: 350 Siti Zaitun, gadis cantik, pegawai bank, yang sosial, suka membantu, yang peramah, yang menyenangkan, yang matanya bercahaya, yang kulitnya kuning itu, yang selalu rapi pakaiannya. Kuntowijoyo, 2002: 361 cxxxvii Deskripsi tokoh Siti Zaitun dinampakkan dengan jelas yaitu sosok gadis cantik yang matanya bercahaya, kulitnya kuning dan memerhatikan penampilan yang rapi. Tokoh Siti Zaitun juga seorang pegawai bank yang berjiwa sosial, suka membantu, ramah dan menyeyangkan. Watak tokoh Siti Zaitun membuat ia disenangi oleh tokoh-tokoh lain sehingga keberadaannya begitu terasa bagi tokoh-tokoh lain. Di samping itu, tokoh Siti Zaitun juga memiliki sikap berani menentang pikiran dan perilaku tidak baik dari tokoh lain terhadap dirinya, seperti yang dilakukannya terhadap tokoh Pak Mantri hal. 106-107 dan tokoh Kasan Ngali hal. 139. Deskripsi watak tokoh Pak Camat seperti dalam kutipan berikut: Hari sudah siang waktu itu. Pak Camat tahu juga kesopanan, ia minta maaf pada Pak Mantri karena ada sedikit keperluan. Ya, nonton adu jago. Itu Mantri Pasar sudah tahu. Lalu Camat itu juga membisikkan bahwa ia baru saja nonton adu jago. Kuntowijoyo, 2002: 62 Pengarang mendeskripsikan tokoh Pak Camat sebagai sosok pegawai pemerintah yang kental dengan budaya-budaya feodal. Dalam hal birokrasi misalnya, tokoh Pak Camat masih menggunakan aturan formal janji temu, tetapi kepada tokoh-tokoh tertentu yang dihormati ia lebih fleksibel. Dalam interaksi sosial, tokoh Pak Camat membedakan keeratan terhadap siapa orang yang dihadapi, terutama dipandang dari status sosial di masyarakat. Tradisi terlambat dan tidak hadir dalam acara tertentu pun melekat dalam diri tokoh Pak Camat karena menimbang aspek kepentingan bagi dirinya hal. 143. Di samping itu, tokoh Pak Camat juga menyukai perilaku nonton adu jago. Perilaku tersebut sebenarnya bagi kapasitas tokoh masyarakat dipandang cxxxviii kurang tidak layak, bahkan jika sampai meninggalkan tugasnya sebagai abdi negara dan masyarakat. Deskripsi tokoh Pak Kepala Polisi seperti dalam kutipan berikut: Ah, kepala polisi, pada jam kerja sempat masuk pasar dan menawar burung Keterlaluan Tidak sudi Pak Mantri melanjutkan omong tentang yang bukan urusan dinas di kantor macam ini. Mesti ditertibkan Kuntowijoyo, 2002: 83 “Ya, ya. Sekarang begini saja, Pak. Bapak bisa pulang. Dan urusan ini kami tampung. Akan kami pertimbangkan, tindakan apa yang bisa dilakukan.” “Nah, itulah” Pak Mantri lega sebentar. Kemudian timbul pikirannya yang lain. “Coba gambarkan, perbuatan apa yang akan dilakukan oleh polisis?” “Kita pikir dulu.” “Tanggap saja” “Pendek kata yang setimpal,” kata kepala polisi “Pendek kata yang setismpal,” kata Pak Mantri Sekarang baru itulah yang disebut polisi. Pak Mantri menghapus keringatnya. Saputangan itu wangi. Kepala Polisi mengantarnya sampai luar. Tidak ada orang lain di kecamatan itu yang diantar sampai pelataran oleh Kepala Polisi. Kuntowijoyo, 2002: 86 Pengarang mendeskripsikan watak tokoh Pak Kepala Polisi mirip dengan watak tokoh Pak Camat, yaitu kenal dengan budaya-budaya feudal. Pak Kepala Polisi membedakan sikap dalam berinteraksi dengan memberi penghormatan lebih kepada tokoh yang memiliki status tinggi di masyarakat. Di samping itu, tokoh Pak Kepala Polisi juga biasa melakukan sesuatu kesenangan dalam waktu dinas. Dalam kutipan di atas, perbuatan tersebut dicontohkan dengan masuk pasar dan menawar burung pada jam dinas. Pak Polisi juga bertindak tidak gagabah dalam sesuatu masalah dan ia pandai melakukan komunikasi yang birokratif dengan tokoh lain. cxxxix Deskripsi watak tokoh Marsiyah seperti dalam kutipan berikut: Bening matanya Putih wajahnya Terurai rambutnya Ada yang memancar-mancar pada muka itu Dulu ia berpendapat bahwa Marsiyah ini pasti keturunan kerabat kerajaan yang terlempar dari desa. Ada yang lain padanya, yang tak ditemukan pada perempuan desa biasa. Kuntowijoyo, 2002: 152 “Engkau salah paham, Marsiyah.” “Cukup,” kata perempuan itu sengetah membentak. Hilanglah kalimat-kalimat yang tersusun di kepala Pak Mantri. Tinggal potongan-potongan. “Saya datang kemari…..” “Tidak butuh orang” Kuntowijoyo, 2002: 152 – 153 Deskripsi tokoh Marsiyah dinampakkan secara jelas. Secara fisik, tokoh Marsiyah adalah seorang wanita paruh baya hal. 152 yang memiliki tubuh terawat dengan mata bening, wajah putih, dan rambut terurai serta muka yang bersinar-sinar. Watak tokoh Marsiyah digambarkan sebagai sosok penuh emosi dan tidak mau menerima penjelasan tokoh lain. Deskripsi watak tokoh pedagang pasar seperti dalam kutipan berikut: “Hitunglah, Pak,” kata perempuan itu pada polisi. “Tiga ekor burung dara telah mencocok berasku. Berapa harus dibayar, kalau aku mau menghitung. Masih diminta karcis pasar lagi Mestinya aku minta ganti rugi” Orang mengangguk-angguk. Rugi, rugi itu Betul tak mau bayar Kuntowijoyo, 2002: 35 Umpatan, teriakan, kegemasan. Sebuah tenggok dagangan , entah apa isinya, tertumbuk. “Hati-hati, e” “Awas” “Bajingan” “Anjing” “Dagangan Dagangan” “Wo” “Kurang ajar, dagangan disusun baik-baik, tumpah.” Kuntowijoyo, 2002: 38 Tokoh pedagang memiliki pendeskripsian watak yang jelas. Tokoh pedagang pasar merupakan tokoh yang memiliki watak selalu memperhitungkan dengan uang segala sesuatunya. Di samping itu, tokoh pedagang pasar juga tokoh yang suka berbicara dengan bahasa kasar dengan berbagai umpatan-umpatan sehingga dikenal adanya bahasa pasar. cxl Deskripsi watak tokoh anak-anak kecil sebagai berikut: Yah, suara anak-anak. Ah, sebagai lelaki tua yang pernah jadi anak-anak ia tahu apa kerja mereka di luar. Bersembunyilah dulu Jangan usik mreka. Lalu tangkap basah Dari rebut-ribut itu ia tahu, anak-anak itu sedang mencuri burung-burung dara dari dari peguponnya. Kuntowijoyo, 2002: 146 Tokoh anak-anak memiliki watak nakal, suka berbuat iseng. Mereka bertindak belum mempertimbangkan baik buruk nilai perbuatannya tersebut. Berdasarkan kutipan di atas contoh dari perbuatan yang dilakukan tokoh anak- anak kecil ialah berusaha akan mencuri burung-burung dara milik tokoh Pak Mantri. Deskripsi watak anak buah Kasan Ngali seperti dalam kutipan berikut: Kebetulan bagi mereka. Ketika mereka lewat tergesa-gesa di muka Paijo, tukang karcis itu bertanya, mau kemana mereka. Lalu mereka berteriak keras. Supaya Kasan Ngali mendengar. “Beli kambing benggala. Beli kambing bandot Yang besar Yang gemuk “Untuk apa?” “Apalagi Kita mau pesta Hi-hu” Kuntowijoyo, 2002: 321 Tokoh anak buah Kasan Ngali dideskripsikan mewakili watak penurut buta, yaitu selalu menuruti segala perintah majikannya, tokoh Kasan Ngali, tanpa pengetahuan karena rasa takut kepada majikannya. Tokoh anak buah Kasan Ngali juga suka mencari muka di hadapan majikannya agar majikannya tersebut merasa senang. Deskripsi watak tokoh Darmokendang seperti dalam kutipan berikut: Sebenarnya tidak sampai di rumah Sri Hesti. Hanya berbicara sedikit dengan ketua perkumpulan, lalu minta diantar kembali. Ada pikirannya, sudah. “Dia mau main juga,” katanya “Kalau sudah jadi biniku?” cxli Kalau Paka Kasan sanggup memberi pekerjaan untuk semua rombongan, ia mau berhenti.” “Mati Wong ayu mahal harganya Maksudnya bagaimana?” “Ya, itu permintaannya, Pak” “Tidak mungkin” “Lalu bagaimana?” Kuntowijoyo, 2002: 356 Tokoh Darmokendang adalah salah satu anggota rombongan ketoprak. Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa watak tokoh Darmokendang ialah suka berbohong. Tokoh Darmokendang juga suka melakukan perbuatan dengan pertimbangan keuntungan bagi dirinya. Tokoh Darmokendang pandai berdebat kata untuk mencapai keinginannya tersebut. Deskripsi watak tokoh Jenal seperti kutipan berikut: Jenal berbisik juga, “Pak, wah saya mau bicara.” Dan Jenal menarik tangan Kasan Ngali. “Wah, seperti yang punya rumah kau saja” Tetapi Kasan Ngali menurut juga. “Saya punya firasat tak baik tentang perempuan itu, Pak. Untunglah menjadi tukang cukur itu banyak faedahnya. Waktu dicukur, semua omongan bisa keluar. Sungguh, Pak. Jangan kawin dengan dia.” “Mengapa tidak?” “Semua orang tahu Tidak seorang pun lupa bahwa ia main ketoprak” “Itu jelas. Apa soalnya?” “Pak Kasan itu kaya, terhormat. Mengapa harus kawin dengan dia?” Kuntowijoyo, 2002: 353 Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Jenal adalah seorang tukang cukur. Tokoh Jenal memiliki watak merasa dekat dengan siapa saja yang pernah berinteraksi dengannya, termasuk kepada tokoh terpandang Kasan Ngali. Dari pekerjaannya itu tokoh Jenal menjadi orang yang suka mendengarkan informasi dan menyampaikan informasi tersebut bilamana perlu. Hal tersebut dapat dicermati ketika tokoh Jenal memberikan saran kepada tokoh Kasan Ngali. cxlii Deskripsi tokoh pegawai kecamatan dan pegawai kepolisian seperti dalam kutipan berikut: “Maaf, Nak. Apa Pak Camat ada?” Tukang ketik itu mengangkat muka dan menjawab. “Coba tulis di buku tamu,” menunjuk ke meja buku tamu. Kuntowijoyo, 2002: 58 “Kantor ini sepi saja. Di mana Pak Camat?” Kecurigaannya diusahakannya untuk dilupakan. “Tunggu saja, di sana.” Juru tulis menunjuk deretan kursi. Kuntowijoyo, 2002: 59 Ketika Kepala Polisi sudah kembali dan Pak Mantri sendirian membenarkan letak pakaiannya di depan kantor itu, seorang agen menegur. “Pasti perkara burung dara” Kurang ajar, pikir Pak Mantri. Sedangkan kepalanya saja menghormati. Kuntowijoyo, 2002: 86 Berdasarkan deskripsi dialog di atas dapat diketahui bahwa tokoh pegawai kecamatan memiliki watak pragmatis, hanya menjalankan tugas apa adanya karena tidak merasa kepentingan pribadinya. Sikap pegawai tersebut ditunjukkan dengan acuh tak acuh kepada yang memerlukan pelayanan darinya. Sedangkan watak tokoh pegawai kepolisian cenderung apatis terhadap kepentingan orang lain. Tokoh-tokoh dalam cerita MPU juga memiliki perwatakan yang berbeda satu sama lain. Pengarang menampilkan para tokoh cerita untuk memerankan peran sesuai dengan watak dalam rangka menyampaikan amanatnya. Pengarang menguraikan peran watak tokoh-tokoh cerita dengan mendeskripsikan setiap aktivitas dan fisik para tokoh yang dapat diketahui melalui bacaan dalam cerita. cxliii Deskripsi watak tokoh Abu Kasan Sapari seperti dalam kutipan berikut: Ketekunannya nyantrik di rumah Notocarito sudah menghasilkan bukti. Di SD kelas V ia jadi dalang cilik yang punya nilai tertinggi di Festival Dalan Cilik se-Kabupaten Klaten. Di SMP ia menjadi juara dalang cilik se-eks Karesidenan Surakarta. Di SMP ia mewakili sekolahnya menjuarai Festival Dalang Pelajar se-Jawa Tengah. Kuntowijoyo, 2000: 12 Ketika dia berkeliling desa, dengan kuda inventaris, topi pedagang krupuk, tas sekolah yang digantung menyilang pundak, tiba- tiba tangan kanannya ke udara, ibu jarinya bergeser dengan telunjuknya, berbunyi “cetit”, “Aku tahu” Ya, ia tahu: orang-orang desa harus diajak membangun saluran air dari sumber dekat sendang sampai desa. Langkah pertama, menurut kursus, ialah sosialisasi gagasan. Kuntowijoyo, 2000: 16 Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Abu Kasan Sapari sejak kecil telah memiliki watak baik. Ia adalah seorang yang tekun belajar dan berprestasi. Masa dewasanya menunjukkan ia dapat menggunakan kecerdasannya untuk membantu masyarakat di tempat ia tinggal. Kepiawaian utama yang dimilikinya ialah sebagai seorang dalang. Sebagai dalang ia juga termasuk orang yang menghindari perbuatan tabu bagi seorang muslim Jawa, yaitu kepercayaan terhadap hal takhayul. Hal itu dapat dicermati pada kutipan berikut: “Soal lakon, Pak, saya lebih suka ‘Semar Boyong’. Artinya kira-kira pemimpin itu butuh rakyat.” “Bagus, ternyata kau diam-diam nggembol watu item . Diam di luar, tapi penuh isi di dalam.” Kuntowijoyo, 2000: 30 “Tidak akan ada sesajen,” kata Abu. “Itu tidak termasuk permintaan dalam mimpi.” Kuntowijoyo, 2000: 86 Tokoh Abu juga memiliki watak yang lugu, mengatakan sesuai dengan apa yang terjadi hal. 28. Di samping itu ia juga ia aadalah warga yang peduli cxliv terhadap lingkungan hidup hal. 54 serta pandai bersosialisasi dengan masyarakat 114. Bahkan sisi lain seorang tokoh Abu, ia adalah sosok yang romantis. Tokoh Abu pandai membuat syair lagu Jawa hal. 113 – 114 dan geguritan bernuansa cinta kasih hal. 163 -174. Watak utama yang dimiliki tokoh Abu ialah ia seorang yang tidak bisa berlaku diam terhadap ketidakadilan. Tokoh Abu adalah seorang yang tegar dengan prinsip kebenaran yang dimilikinya. Fakta tersebut ditunjukkan ketika ia menentang tindakan-tindakan tokoh Mesin Politik yang semena-mena terhadap rakyat. Bahkan ia menolak saat ditawari menjadi jabatan prestise sebagai calon anggota legislative. Berikut ini kutipan yang mendeskripsikan hal tersebut: Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” “Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.” Kuntowijoyo, 2000: 145 Tokoh antagonis dalam cerita MPU adalah tokoh Mesin Politik. Tokoh ini tergolong unik karena tidak berupa sosok seseorang. Tokoh Mesin Politik merupakan perwujudan dari sikap, perilaku, dan pemikiran sebuah sistem kelompok. Jadi, tokoh ini dalam perannya bisa diwakili seseorang atau pun kelompok dengan membawa tindakan dan pemikiran sistem komunitas. Tokoh Mesin Politik bisa berupa Randu bisa berupa personel sistem atau pun sistem komunitas itu sendiri. Deskripsi watak tokoh Mesin Politik seperti dalam kutipan berikut ini: cxlv Camat tidak bisa berbuat apa-apa ketika Mesin Politik berusaha memindahkan sebelum waktunya, dan rasanan itu sudah beredar di Kemuning jauh sebelumnya. Pasalnya, lurah-lurah yang dijagoi Randu banyak yang kalah di kecamatannya. Gara-gara itu ia dinilai tidak serius memperjuangkan Randu. Kuntowijoyo, 2000: 90 Ada perbedaan pendapat antara Mesin Politik dan Pak Bupati. Dalam pertemuan dengan para camat sekabupaten Bupai memberi “Petunjuk Politik” agar jarak antara pengumuman dan pemilihan dipanjangkan kira-kira-kira dua minggu. “Itu baru fair kepada rakyat”, katanya. Mesin politik menghendaki agar jarak waktu antara pengumuman dan pelaksanaan itu singkat saja, umpanya tiga hari, sehingga hanya orang-orang pilihan Mesin Politik akan menang, sebab merekalah yang paling siap, paling terorganisir, orang-orangnya pasti lulus ujian, dan Mesin Politik itu weruh sakdurunge winarah tahu sebelum kejadian karena ada rekayasa. Kuntowijoyo, 2000: 91 Fungsionaris Mesin Politik datang lagi. “Nah, apa kata saya?” “Apa boleh buat.” “Berpolitik itu jangan tanggung-tanggung.” “Saya tidak berpolitik.” “Tidak berpolitik itu politik maut idak mau, suka tidak suka, kita semua berpolitik. Dalam politik ada ungkapan ‘kalau kau kalah, bergabunglah dengan yang menang’. Kedatangan saya kemari untuk mengajak Pak Abu bergabung. Bagaimana?” Kuntowijoyo, 2000: 136 Berdasarkan kutipan-kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Mesin Politik merupakan sistem komunitas yang berpengaruh dan memiliki kekuatan besar dari tingkat negara sampai tingkat kelurahan atau desa. Watak yang dominant ditunjukkan tokoh Mesin Politik ialah arogan. Tokoh Mesin Politik sering menggunakan kekuatan yang dimilikinya untuk berbuat semena-mena terhadap orang lain yang tidak sejalan, menyimpang dari aturan yang tidak menguntungkan, maupun menekan kaum lemah. Tindakan yang dilakukan Mesin Politik tersebut kerap dilakukan dengan manipulasi, terror, maupun kekerasan. cxlvi Deskripsi watak tokoh Lastri atau Sulastri seperti dalam kutipan berikut: Itu karena dulu Lastri seorang primadona di Tegalpandan. Membuka jatihan di pasar Tegalpandan, setelah tamat SKK Sekolah Kesejahteraan Keluarga. Ia adalah penyanyi keroncong di sebuah klub amatir, yang pasti muncul di pesta-pesta di kecamatan itu. Ia menikah, suaminya meninggal, belum punya anak. Jadi, janda kembanglah. Setahun setelah suaminya meninggal, ia memutuskan untuk kembali ke pasar. Mertuanya berusaha mencarikan suami, tapi ditolaknya. Dikatakannya bahwa ia ingin hidup sendiri tanpa kesibukan rumah tangga. Meskipun mertuanya, Pakdenya, dan orang tuanya menyuruhnya tinggal di tempat mereka, ia berkeras untuk kembali ke pasar. Maka Pakdenya memberikan tempat itu. Akhir-akhir ini, setelah menikah, kesibukannya bertambah: banyak orang memintanya jadi juru rias temanten. Kuntowijoyo, 2000: 108 Jadi Lastri juga merias temanten , pikir Abu. Penjemput mengatakan bahwa orang memilih Lastri karena pengantin selalu tampak lebih cantik, barangkali saja kena imbas Lastri. Abu tahu bahwa Lastri ramah, tetapi bahwa dia cantik ia baru mendengarnya, namun ia sangat setuju. Kuntowijoyo, 2000: 112 Lastri tersinggung dikatakan ‘janda’, lalu menyela, “Tapi, Pak. Maaf, saya masih ingin sendiri.” “Ya, jangan begitu. Pikirlah yang panjang.” Setelah Lurah pergi, dia membawa kaleng-kaleng biskuit ke tempat sebelah. Matanya berkaca-kaca. Abu Kasan Sapari terkejut melihat dia membik-membik mau menangis. Lastri melempar kaleng- kaleng ke dipan. Kuntowijoyo, 2000: 201 Berdasarkan kutipan-kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Lastri merupakan seorang janda yang belum punya anak. Tokoh Lastri merupakan tokoh serba bisa karena memiliki banyak kepiawaian profesi: seorang penjahit di Pasar Tegalpandan, juru rias pengantin, juga pernah menjadi penyanyi keroncong primadona. Watak tokoh Lastri dideskripsikan sebagai sosok yang cantik, mandiri. Telaten, cekatan dan ramah. Tokoh Lastri memiliki interaksi yang baik, cxlvii terlihat dari hubungan dengan keluarganya juga dengan masyarakat. Tokoh Lastri juga mempunyai sikap kepedulian terhadap orang lain seperti dengan tokoh Abu. Di samping itu tokoh Lastri juga bisa marah apabila perasaannya tersinggung atas sikap orang lain. Deskripsi watak tokoh orang tua Abu seperti dalam kutipan berikut: “Diapakan saja kau,” tanya ayah. “Ya disuruh makan kenyang, tidur cukup, olahraga.” “Tidak disiksa, to?” “Mana ada orang berani menyiksa saya?” “Jangan kemaki . Saya dengar ditahan itu artinya disiksa. Diestrum, disulut rokok, disuruh merangkak di atas kedelai?” “Tapi, alhamdulillah anak Bapak-Ibu tidak.” “ Lha iya. Wong ditahan di kantor polisi kok tidak nampak susah, kok malah mrusuh gemuk bercahaya?” kata ibu Abu. Kuntowijoyo, 2000: 154-155 “ Klangenan ya boleh. Tapi jangan ular, jangan harimau, jangan buaya. Kakek-kakek kita paling-paling pelihara kucing, lutung, perkutut, dan kuda. Soalnya ibu takut kalau kau syirik.” “Syirik? Ya boleh jadi, meskipun sedikit,” “Kalau syirik jangan, lho .” Kuntowijoyo, 2000: 155 Lastri mengulurkan tangan, mencium tangan Ibu, yang segera menarik tangannya. Demikian juga ayah Abu. Penolakan itu sepertinya mengejutkan Lastri. Suasana jadi kaku. Kuntowijoyo, 2000: 155 Berdasarkan kutipan-kutipan di atas tokoh orang tua Abu memiliki watak yang perhatian dan peduli terhadap anaknya. Hal ini diperlihatkan ketika tokoh orang tua Abu merasa cemas kemudian menengok anaknya saat sesuatu hal terjadi pada anaknya tersebut. Tokoh orang tua Abu juga merupakan sosok masyarakat Jawa yang taat terhadap keyakinan agama yang kuat, seperti tampak pada penolakannya terhadap perbuatan syirik dan kehati- hatian atas interaksi fisik non keluarga. cxlviii Deskripsi watak tokoh kake nenek Abu seperti dalam kutipan berikut: Kemudian, kakek meminta bayi itu. Di bawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu. Kuntowijoyo, 2000: 2 Sesampai di desa baru, kakek nenek tahu bahwa kelahiran Abu belum disambut dengan akikah. Maka dipotonglah dua ekor kambing Jawa. Kuntowijoyo, 2000: 6 Berdasarkan kutipan-kutipan di atas diketahui kakek nenek Abu memiliki rasa sayang kepada cucunya. Tokoh kakek dari ayah masih memercayai ritual tradisional masyarakat Jawa, begitu klenik . Sedangkan tokoh kakek nenek Abu dari ibu memercayai ritual religius agama yang dianutnya. Deskripsi watak tokoh wartawan seperti dalam kutipan berikut: Sejak saat itulah Abu Kasan Sapari akrab dengan kawan wartawannya. Wartawan itu anggota AJI Asosiasi Jurnalistik Indonesia. Masih muda bersemangat. Ia mengatakan pada Abu bahwa jurnalisme dipilihnya sebagai profesi, dan sebagai alat untuk memperjuangkan keadilan dan demokrasi. Ia hanya mengandalkan hati nurani, tidak segan-segan melakukan kritik kepada siapa pun. Kuntowijoyo, 2000: 94 Sore hari teman wartawan itu datang di Tegalpandan. Belum sempat ditanya dia bilang: “Aku tahu kau heran. Aku telah menyulap angka.” Kuntowijoyo, 2000: 143 – 144 Kutipan-kutipan di atas menunjukkan tokoh wartawan berinteraksi baik dengan tokoh Abu. Tokoh wartawan didskripsikan sebagai sosok muda bersemangat yang memiliki jiwa idealisme profesi tinggi. Sebagaimana seorang wartawan, tokoh wartawan pun berkata dan bertindak sesuai karakter jurnalis. Tokoh wartawan kerap menyampaikan informasi dalam bentuk berita di media yang ia tulis dengan memberikan keterangan-keterangan tambahan cxlix yang sesuai dengan pikiran pribadinya. Fakta tersebut dapat ditunjukkan dalam kutipan berita yang ditulis tokoh wartawan berikut: Sumber yang tak mau disebut namanya mengatakan bahwa ada konspirasi politik di balik penahanan AKS. Akhir-akhir ini sebuah kekuatan politik ingin merekrutnya untuk keperluan kampanye tapi ditolaknya. Kuntowijoyo, 2000: 153 Deskripsi watak tokoh Haji Syamsudin seperti dalam kutipan berikut: Sore hari Haji Syamsuddin datang juga untuk menyalakan lampu dan menutup jendela. Kucni pintu diserahkan Haji Syamsuddin, dan buka pada Lastri. Itu pasti kesengajaan Abu supaya ia tidak terpaksa melihat kandang ular. Ketika melihat Lastri, Haji Syamsyuddin yang tahu perasaan Lastri berkata ringan, “Itulah politik, Jeng. Nanti juga selesai. Tengan saja.” Ia berkata demikian karena pamannya pernah ditahan Polisi pada tahun 1960 selama sebulan karena menjadi pengurus Masyumi. Kuntowijoyo, 2000: 150 Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Haji Syamsuddin memiliki watak yang baik, mengerti perasaan orang, dan bijaksana. Haji Syamsuddin adalah sahabat dekat tokoh Abu juga warga masyarakat yang baik. Tokoh Haji Syamsuddin juga tokoh yang pandai memetik pengalaman hidup. Deskripsi watak tokoh haji camat seperti dalam kutipan berikut: Benar, Pak Camat benar. Desanya memenangkan Lomba Desa. Beberapa wartawan datang dan Pak Camat dengan jujur mengatakan bahwa semuanya berkat kerja Abu. Kuntowijoyo, 2000: 28 Abu menilai camat baru adalah seorang professional tulen, bukan “orang baik” macam camat lama. Umurnya masih sangat muda disbanding camat lama, namun jauh lebih bersemangat. Setidaknya, ia bukan tipe “camat santai”. Kuntowijoyo, 2000: 75 Kutipan-kutipan di atas menunjukkan watak tokoh camat dideskripsikan seorang yang jujur. Berdasarkan pengamatan tokoh lain tokoh camat dinilai sebagai sosok muda yang bersemangat dan professional. Tokoh cl camat juga memiliki pengetahuan tinggi dilihat dari cara berbicara dan istilah kata yang digunakan ketika melakukan pidato di depan warganya hal. 77. Di samping itu diketahui tokoh camat juga akrab dengan tokoh Abu hal. 78. Deskripsi watak tokoh Ki Lebdocarito seperti dalam kutipan berikut: Ki Lebdo sendiri selalu memilih yang berdasar pakem, lakon yang aneh-aneh akan diserahkannya pada Abu. Ia menyimpulkan bahwa enak yang punya uang, daripada dalangnya. “Jadilah yang punya uang, jangan jadi dalang”, nasihatnya pada anak-anak. Maka anak-anak semua “jadi orang”, kecuali dalang. Kuntowijoyo, 2000: 14 Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Ki Lebdo adalah seorang dalang yang menggunakan cerita konvensional. Sebagai sosok Jawa tokoh Ki Lebdo memiliki pemikiran yang berkembang dengan memerhatikan pendidikan anak-anaknya sampai ke tingkat tinggi, bahkan tokoh Ki Lebdo tidak ingin anak-anaknya tersebut mewarisi profesi yang digelutinya. Kedudukan Ki Lebdo sebagai dalang di wilayahnya terhitung sebagai sesepuh dalang hal. 211. Ki Lebdo seorang yang baik, ia mengangkat tokoh Abu sebagai anak hal.13 bahkan sampai mewariskan semua perangkat gamelan dan wayahnya kepada tokoh Abu hal. 15. Deskripsi watak tokoh Ki Manut Sumarsono seperti dalam kutipan berikut: Ki Manut Sumarsono tahu belaka rencana itu. Kedudukannya sebagai dalang senior membuat dalang dari luar Karangmojo terpaksa kulanuwun minta restu padanya sebelum mendalang di wilayahnya. Dia memanggil Abu Kasan Sapari. Katanya, “Intuisi saya mengatakan bahwa sudah tiba waktunya Rahwana dipecundangi kera-kera. ‘Rama Tambak’ adalah lakon yang pas saat ini. Kuntowijoyo, 2000: 210 Taktik Ki Manut Sumarsono cespleng. Ibarat panas setahun terhapus hujan sehari, julukan sebagai ‘dalang politik anti-Randu’, cli julukan sebagai ‘dalang politik non-Randu’, bahkan julukan ‘dalang politik’ lenyap. Kuntowijoyo, 2000: 206 Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Ki Manut adalah seorang dalang senior di wilayahnya yang berpengaruh dan dihormati oleh dalang- dalang lainnya. Tokoh Ki Manut juga memiliki karakter baik dan cerdas. Hal ini dapat dicermati ketika membantu tokoh Abu memperoleh persepsi positif di masyarakat. Tokoh Ki Manut juga menentang sikap tokoh Mesin Politik dengan cara yang bijaksana tanpa menimbulkan permusuhan dan pertikaian. Deskripsi watak tokoh polisi seperti dalam kutipan berikut: Kepala Polisi merundingkan soal Abu Kasan Sapari dengan Kepala Bagian Penyelidikan, “Sudah kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral, kita tidak ke kanan tidak ke kiri.” Mereka bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan. Kuntowijoyo, 2000: 157 Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa polisi merupakan tokoh yang memiliki kekuatan dalam menegakkan hukum. Oleh karena itu tokoh polisi terkadang dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingannya. Fakta di atas menunjukkan sikap Kepala Polisi dan Kepala Bagian Penyelidikan yang jujur dalam menjalankan hukum dan tidak mau diperalat pihak lain. Meskipun di lain hal terkadang aparat kepolisian melakukan tindak kesewenangan dengan menangkap orang tanpa adanya proses hukum yang benar, seperti penangkapan yang dialami oleh tokoh Abu hal. 148 dan tokoh Kismo Kengser hal.192. Deskripsi watak tokoh rakyat atau warga desa seperti dalam kutipan berikut: clii Rakyat dari dua desa yang merasa calon lurahnya kalah oleh calon yang dijagoi Mesin Politik datang memprotes Camat baru. Mereka datang membawa spanduk dengan tulisan seadanya. Kuntowijoyo, 2000: 197 – 198 Kutipan di atas menunjukkan watak rakyat atau warga desa yang cenderung menggunakan emosi dan mudah memberikan reaksi terhadap hal- hal yang terjadi. Hal ini dapat dilihat ketika tokoh rakyat atau warga mudah terpancing provokasi untuk memprotes camat baru dalam merespon peristiwa hasil pilihan lurah. Deskripsi watak tokoh laki-laki tua atau Kismo Kengser seperti dalam kutipan berikut: “Kismo Kengser meramal bahwa pemerintahan sekarang akan segera ambruk, sebab ketakadilan sudah ada dimana-mana. Para penguasa bukan lagi pamong, tapi maling betulan, maling berdasi, maling berbintang, maling berpendidikan. Persengkokolah penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu untuk memeras rakyat…..” Kuntowijoyo, 2000: 1991 – 1992 Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh laki-laki tua yang mengaku bernama Kismo Kengser memiliki watak yang berani. Tokoh Kismo Kengser juga mengaku pandai meramal. Hal tersebut dapat dilihat ketika tokoh Kismo Kengser mengungkapkan ramalannya tentang keruntuhan pemerintahan saat itu di hadapan banyak orang sampai ia akhirnya ditangkap polisi karena tuduhan tindakan subversive. Deskripsi watak tokoh laki-laki tua misterius seperti dalam kutipan berikut: Orang tua itu menjauh, sambil memukul jidatnya dikatakannya: “O, ya. Kau tidak akan mati, kalau tidak mewariskan ilmu ini.” Orang itu tertawa panjang, lega. Kemudian menghilang dalam gelap. Kuntowijoyo, 2000: 20 cliii Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh laki-laki tua merupakan sosok yang misterius, tidak dikenal, datang dan pergi dengan tiba- tiba. Pakaian dan tingkah lakunya aneh hal. 2 karena tidak seperti orang pada umumnya. Laki-laki tua misterius itulah yang memberikan mantra pejinak ular kepada tokoh Abu. Tokoh-tokoh dalam cerita WS juga memiliki perwatakan yang berbeda satu sama lain. Pengarang menampilkan para tokoh cerita untuk memerankan peran sesuai dengan watak dalam rangka menyampaikan amanatnya. Pengarang menguraikan peran watak tokoh-tokoh cerita dengan mendeskripsikan setiap aktivitas para tokoh yang dapat diketahui melalui bacaan dalam cerita. Deskripsi watak tokoh Wasripin digambarkan sebagi anak pungut yang dijadikan budak nafsu Emak dan wanita-wanita pinggiran h. 3 kemudian ia sadar dan pergi meninggalkan kampungnya h.5-6. Wasripin pergi menuju pantura, tempat yang diyakini sebagai tanah kelahirannya. Setibanya di pantura, dia diyakini telah menjadi murid Nabi Khidir dengan berbagai kelebihan. Wasripin menjadi tukang pijat yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Tukang cat medekat. Wasripin memijat leher, kepala, dan semua bagian atas. Ia hanya mencoba-coba memijat. Ia heran tangannya seperti bergerak sendiri. Ia sendiri tidak yakin dengan pijatannya. Kuntowijoyo, 2003: 37 Ketika Wasripin menjadi satpam, ia menjadi satpam yang sangat jujur dan memegang teguh prinsip. Berikut ini kutipannya: “Jangan urus aku. Uruslah pencuri yang besar-besar.” cliv “Besar atau kecil sama saja. Mencuri ya pencuri.” Kuntowijoyo, 2003: 62 Wasripin adalah orang yang sederhana dan tidak suka berlebihan. Ketika ia akan menerima penghargaan karena berhasil megungkap mafia pedagangan kayu illegal, ia merasa apa yang akan dia terima terlalu berlebihan. Berikut ini kutipannya: “Dari stadion kita terus ke SDN. Ada sedikit upacara bendera untuk menghormat bintang itu.” “Tapi itu terlalu berlebihan,” kata Wasripin “Biar, berlebihan tak apa. Kata Bung Karno, kita bukan bangsa tempe tapi bangsa yang besar.” Kuntowijoyo, 2003: 226 Tokoh Pak Modin digambarkan sebagai seorang yang bijak, religius, dan disegani masyarakat. Kuntowijoyo menjadikan Pak Modin sebagai tokoh yang menyampaikan amanat pengarang. Keikutsertaan Kuntowjoyo dalam organisasi Muhammadiyah mempengaruhi pemikirannya yang disampaikan melalui tokoh Pak Modin. Meskipun kebanyakan masyarakat pantura adalah Nahdlatul Ulama, tetapi pemikiran dan perilaku Pak Modin yang menentang keyakinan manusia sebgai washilah saranaperantara terkabulnya doa jelas menunjukkan bahwa ia adalah Muhammadiyah. Berikut kutipannya: Sebelum waktu diberikan pada kiai, Pak Modin –sebagaimana selalu demikian- diminta menyambut selaku sesepuh surau. Orang- orang dari desa sekitar berdatangan. “Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisi- Nya” kata Pak Modin “Dan Wasripin telah syahid. Negara Mendzalimi anaknya sendiri yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan ia sebagai washilah . Itu syirik. Kuntowijoyo, 2003: 245-246 “Sudahlah, Bu. Memang sudah takdir. Mau punya anak dan menantu saja gagal.” Kuntowijoyo, 2003: 233 “Apapun yang terjadi, Bu, beristighfarlah dan ucapkan Alhamdulillah.” Ia menarik nafas panjang. Kuntowijoyo, 2003: 234 clv Tokoh Emak digambarkan sebagai wanita yang mudah bersyukur. Meskipun dia meminta Wasripin sebagai budak nafsunya dan menjadikan Wasrpin sebagai pemuas nafsu wanita-wanita lainnya demi mendapatkan uang. “Kita sungguh beruntung, jelek-jelek kita punya rumah. Coba, kalau tidak kita akan tidur di tepi jalan, di bawah jemabtan, di emperan toko. Kuntowijoyo, 2003: 3 Suatu sore Emak angkatnya berkata, “Yu Mijah butuh tenagamu.” Adegan penyekat di dipan pun terjadi, sementara emak angkatnya dengan enak gentian tidur di dinap Wasripin. Ia menguras tenaganya.” Kuntowijoyo, 2003: 4 Tokoh Satinah yang dulunya bernama Waliyem h. 43 dan Satiyem h. 45 digambarkan sebagai seorang wanita yang pandai menyanyi dan pemaaf. Masa lalunya yang pernah diperkosa pamannya menjadiakan ia merasa tidak pantas menjalin hubungan dengan lelaki. Berikut ini kutipan yang menyatakan watak Satinah: “Kasihan dia, Lik.” Katanya pada paman yang buta,bersarung, bersurjan, berikat kepala dengan bundar-bundar ke belakang. Kuntowijoyo, 2003: 14 “Jangan begitu, Paklik. Tidak ada dosa, tak ada yang harus ditebus.” Kuntowijoyo, 2003: 48 Tokoh Paklik atau Paman Satiyem digambarkan sebagai orang yang nakal namun bertaubat setelah memerkosa keponakannya. Berikut ini kutipan yang menyatakan watak Paklik: Paman mendapat gagasan. Disautnya sendok di meja, lalu cicungkilnya kedua matanya. Bola mata itu jatuh ke tanah. “Aku bersumpah demi Tuhan, Mas-Mbakyu Saksikan, bahwa seumur hidup aku tidak akan menyentuh perempuan lagi” Kuntowijoyo, 2003: 47 “Aku bersedia jadi budakmu, Yem. Untuk menebus dosaku padamu. Kuntowijoyo, 2003: 48 clvi Tokoh ayah dan ibu Satinah diceritakan sebagai orang desa yang sangat pasrah pada keputusan Tuhan. Mereka juga bisa memaafkan kesalahan orang lain. Ketika Paklik meratapi kesalahannya, kedua orang tua Satinah pun memaafkannya. “Yang sudah ya sudah. Jangan dipikir terus.” Kuntowijoyo, 2003: 48 Tokoh antagonis dalam cerita WS adalah tokoh Ketua Partai Randu. Deskripsi watak tokoh tersebut seperti dalam kutipan berikut ini: Upacara pemberian bintang itu membuat gelisah Ketua Partai Randu Kabupaten. Di tengah-tengah musim kampanye, hal itu merupakan kampanye gratis dan besar-besaran bagi partai lain dan golput…. Maka wewenang itu diserahkan kepada Departemen Khusus. Kapolri perlu dibuat berhalangan dan protocol ngoceh seperti burung. Itu bukan perkara sulit baginya. Ia bekerja cepat. Ditemuinya seorang dukun yang bisa membuat niatnya kesampaian. Kuntowijoyo, 2003: 215-216 “Satgas saya tugaskan menculik Wasripin, sampai besok siang pukul 12.00. sudah itu boleh kau lepas dia. Tapi jangan sampai orang tahu.” Kunowijoyo, 2003: 217 “Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkan bila partai ingin menang,” kata renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat “disingkirkan” artinya “dimusnahkan”, “dipenjara”, atau “ditahan” Kuntowijoyo, 2003: 137 Berdasarkan kutipan-kutipan di atas diketahui bahwa Watak yang dominan ditunjukkan tokoh Ketua Partai Randu ialah arogan dan menghalalkan segala cara. Tokoh ini sering menggunakan kekuatan yang dimilikinya untuk berbuat semena-mena terhadap orang lain yang tidak sejalan, menyimpang dari aturan yang tidak menguntungkan, maupun menekan kaum lemah. Tindakan yang dilakukan sama dengan tokoh Mesin Politik dalam MPU yaitu melakukan manipulasi, teror, dan kekerasan. clvii Tokoh-tokoh lain yang membangun cerita menjadi utuh adalah germo h. 57, pedagang, pemilik koplakan, dan anaknya h. 52, jamaah surau , lurah, dan tentara h. 11, pencuri h. 62 jin penunggu laut atau peri laut h 64, kepala TPI h. 66, pelacur h. 67, Camat, Danramil, dan Kapolsek H. 84, Kapten dan Pati berbintang satu h. 90, hakim, mahasiswa, jaksa h.104, Pendekar Tingkat II dan Pendekar Tingkat Desa h. 115, Anggota Gerakan Pemuda Liar h. 120, pemuda desa h. 131, Legiun Veteran h. 149 Presiden Sadarto dan Menteri Penerangan h. 160 tokoh-tokoh lain yang tidak disebutkan secara detail wataknya. 4. Latar a. Latar Waktu atau Masa Setiap novel memilki latar waktu untuk mendukung cerita. Apalagi dalam novel karya Kuntowijoyo terbentuk dari sejarah kemanusiaan, tentu memerhatikan hal tersebut. Peristiwa dalam novel Pasar terjadi pada masa perubahan sosial akhir tahun 50-an. Kala itu merupakan era pascakolonialisme penjajahan bangsa barat di Indonesia. Pada masa itu pula bangsa Indonesia tengah memulai melakukan pembangunan di berbagai aspek dan wilayah. Keberadaan berbagai sarana fisik maupun pranata sosial seperti kantor pasar, kantor kecamatan, kantor polisi, bank pasar juga sarana pendidikan dan informasi menjadi gambaran fakta dalam novel Pasar berikut: Kantor pasar itu bergandeng dengan kantor Bank Pasar, Ada bedanya, kantor Bank Pasar sedikit lebih putih temboknya, hanya tidak lepas dari rumah-rumah burung dara. Ada pula usaha mengecat jendela clviii dan pintunya. Kalau saja tanpa burung dara, di bagian kantor Bank Pasar itu akan sangat bagus jadinya. Kuntowijoyo, 2002: 3 Kalau engkau terpelajar, dan tinggal di kota itu, berhubunganlah dengan Pak Mantri Pasar. Sebab tidak seorang pun kecuali Kasan Ngali, tentu yang mengaku orang Jawa tidak memujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat atau Pak Kepala Polisi, dan ibu jari mereka akan diacungkan: “Nah, Pak Mantri Pasar itu. Begini” Segala yang baik bagi hidup jujur, setia, sopan santun, tahu diri menumpuk padanya. Kuntowijoyo, 2002: 1. Dalam cerita MP U secara eksplisit peristiwa disebutkan terjadi pada tahun 1997 di masa pemilihan umum nasional. Dari penyebutan tersebut dapat diketahui waktu antara terjadinya peristiwa dalam cerita MP U . Serangkaian peristiwa yang melatari cerita MPU terjadi dalam rentang masa panjang di antara tahun 90-an, mulai di awal kemunculan tokoh Abu Kasan Sapari, kemudian perjalanan Abu bekerja sebagai PNS, aktivitas mendalang hingga, keterlibatan dalam konflik politik. Kutipan berikut ini memaparkan latar waktu tersebut: Pemilu, 1997. Abu Kasan Sapari memilih di Rutan Rumah Tahanan Karangmojo. Mesin Politik menang di Karangmojo, tetapi hanya dengan enam puluh persen suara. Bahkan, di kompleks perumahan kepolisian dan tentara Mesin Politik kalah. Kuntowijoyo, 2000: 156 Dalam cerita WS tidak secara eksplisit peristiwa disebutkan terjadi pada tahun berapa tetapi secara implisit latar waktu dapat diketahui dari berbagai peristiwa yang terjadi. Cerita tersebut berlatar waktu masa orde baru. Hal ini dapat diketahui dari adanya peristiwa penculikan orangng yang dianggap subversive, ekstem kanan maupun kiri, dan golput. Selain itu juga ada pernyataan bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah tahun 1965. Kutipan berikut ini memaparkan latar waktu tersebut: clix Menyadari apa yang terjadi, seorang berteriak di tengah lapangan, “Allahuakbar Allahuakbar” sebentar kemudian pintu-pintu di sekitar lapangan terbuka, orang-orang keluar dengan senjata di tangan: golok, linggis, tangkai besi, cangkul, dan sabit. Pada tahun 1965 teriakan itu berarti bahaya dating. Kuntowijoyo, 2003: 229 b. Latar Tempat Latar tempat memberikan deskripsi imajinasi tempat terjadinya peristiwa dalam novel. Latar cerita Pasar terjadi di kota kecil bernama Gemolong, secara geografis termasuk wilayah Kabupaten Sragen, yang baru mulai mengalami kemajuan pembangunan di berbagai bidang. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut: Koran itu dipinjamnya dari kantor kecamatan. Dan ketahuilah hanya lingkungan terpelajar di Kecamatan Gemolong itu suka membaca Koran. Kuntowijoyo, 2002: 11 Namun begitu, secara dominan peristiwa dalam novel Pasar terjadi di area pasar. Dalam penceritaan tempat lainnya juga terjadinya di area sekitar pasar, seperti kantor kecamatan, kantor polisi, bank pasar, rumah Kasan Ngali, rumah Pak Mantri, dan rumah Marsiyah. Kutipan berikut ini menunjukkan tempat-tempat peristiwa yang terjadi dalam cerita Pasar . Kantor pasar itu bergandengan dengan kantor Bank Pasar. Ada bedanya, kantor Bank Pasar sedikit lebih putih temboknya, hanya tidak lepas dari rumah-rumah burung dara. Kuntowijoyo, 2002: 3 Benarlah Ketika Paijo keluar dari rumah Kasan Ngali, ia terkejut. Di pekarangan Kasan Ngali sudah berdiri los-los pasar Dan pedagangnya sekali. Tentu saja Kasan Ngali sengaja menggiring mereka ke pekarangannya. Kuntowijoyo, 2002: 77 Kutipan di atas menunjukkan latar kantor pasar, tempat Pak Mantri bekerja, dan kantor bank pasar yang letaknya berdampingan. Rumah Kasan clx Ngali ditunjukkan dengan pekarangannya yang luas karena bisa dijadikan tempat berdagang. Di samping itu, terdapat pula penunjukkan peristiwa yang terjadi dengan latar di kantor-kantor pemerintah. Secara geografis letak kantor-kantor pemerintah tersebut digambarkan tidak jauh karena masih atau kompleks dengan pasar. Kutipan berikut ini menunjukkan adanya latar kantor kecamatan dan kantor polisi. Di kota kecil itu kantor kecamatan punya gaya tersendiri. Tobat, hanya ada seorang juru tulis sedang menghadapi mesin tulis besar. Muka orang itu tenggelam di belakang mesin tulis yang keras bunyinya. Gaduhnya mesin itu. O, ya ada pegawai-pegawai wanita di ruangan lain. Ia mendekat dan juru tulis itu berhenti bekerja. Kuntowijoyo, 2002: 58 Setiba di kantor, ia menjauhkan diri ke kursi yang terdekat, dan sebentar memejamkan mata. Asal bisa tenang, segalanya akan selesai. Untunglah kantor polisi itu sepi. Jadi ia dapat agak lama berbaring ya begitulah sebenarnya di kursi itu. Kuntowijoyo, 2002: 82 Dalam cerita Pasar ditunjukkan tempat sarana publik sebagai latar, yaitu stasiun dan stanplat. Kutipan berikut memperlihatkan latar stasiun: Sudah jam Kereta api ke kota akan tiba Kabarnya Zaitun akan pergi dengan kereta pagi itu Kuntowijoyo, 2002: 361 Novel MPU memiliki deskripsi latar yang luas. Hal ini karena cerita MPU itu sendiri memiliki alur dengan masa yang panjang. Namun demikian, deskripsi latar ditunjukkan dengan jelas secara spatial ‘kewilayahan’. Kutipan berikut mendeskripsikan latar pada masa kecil Abu. Desa Palar, tempat makam Ronggowarsito, merupakan wilayah Klaten. Sejak di SMP, dan dia sudah biasa bersepeda ke rumah ibunya, ia tahu bahwa Ronggowarsito dikubur di sana. Tetapi kuburan itu tidak berarti apa-apa. Baru sejak SMA-lah ia sadar apa arti Ronggowarsito, dia masih sedarah. Mula-mula sosok pujangga itu kabur, tapi makin clxi lama makin jelas. Ia makin mengerti arti Palar baginya, dan nama pujangga itu pun masuk dalam doanya. Kuntowijoyo, 2000: 12 Masa dewasa Abu, masa ia sudah bekerja, tinggal di daerah Kemuning. Kutipan di bawah ini mendskripsikan latar Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu hal. 15. Kemuning dideskripsikan sebagai latar yang terletak di daerah pegunungan danmemiliki pemandanga yang indah, namun dengan saran air yang sulit meskipun terdapat mata air. Saat itu Abu menjadi pegawai lokal yang ditempatkan di Bangdes Pembangunan Desa. Berikut ini deskripsi Kemuning sebagai latar cerita: Di Kemuning, Abu Kasan Sapari menyewa rumah. Kandang kuda dibuatnya di depan. Tapi satu hal yang menyulitkannya, betul sewa rumah di tempat itu murah, tapi untuk mandi orang harus ke sendang di atas yang jauhnya dua kilometer. Ada sumur, tetapi sangat dalam, dan tak ada air bila musim kering. Air itu masih harus dibagi dengan tetangga, kadang-kadang habis, dan bisanya hanya untuk mengisi gentong atau padasan. Dia beruntung, bisa naik kuda ke sendaang, dan kembali membawa air. Jadi, diputuskannya hanya mandi sekali sehari di sendang sepuas-puasnya seperti semua orang. Kuntowijoyo, 2000: 16 Peristiwa cerita MPU juga terjadi di daerah lain, Kecamatan Tegalpandan. Latar Tegalpandan dimulai setelah Abu dipindahtugaskan ke daerah tersebut. Berikut kutipan-kutipan yang mendeskripsikan Tegalpandan sebagai latar cerita: Tegalpandan –kota kecamatan yang juga kota tempat Pembantu Bupati– lebih kota dari Kemuning, tetapi lebih desa dari Karangmojo. Ada pasar dengan los-los, warung, kios, dan di sekitar terminal ada toko-toko. Pohon beringin tua tumbuh di terminal, tidak seorang pun tahu kapan ditanam dan siap menanam. Begitu tua pohon itu, sehingga dulu ada orang yang menganggapnya bertuah. Kuntowijoyo, 2000: 104 clxii Kutipan di atas mendeskripsikan latar Tegalpandan yang diperbandingkan dengan latar Kemuning. Diketahui bahwa Tegalpandan merupakan kota kecamatan yang lebih berkembang daripada Kemuning karena faktor letak geografis, meskipun tergolong masih daerah gunung. Sarana kemajuan yang disebutkan yaitu adanya pasar dengan los-los, warung, kios, dan terminal dengan toko-toko di sekitarnya. Di samping itu, peristiwa dalam cerita MPU juga terjadi di tempat rekreasi. Kebon binatang yang bertempat di Solo diperlihatkan dengan keterangan latar lain berupa jalan raya antarkota dan Sungai Bengawan Solo. Latar tempat tersebut memperkuat latar suasana yang ada berupa deskripsi aktivitas di tempat wisata, semisal adanya panggung hiburan sebagai bentuk tontonan masyarakat. Berikut ini kutipan yang memaparkan latar tersebut: Bonbin itu terletak di pinggir jalan Solo-Karangmojo di tepi Bengawan Solo. Untuk menarik wisatawan domestic, kebon binatang itu setiap Minggu mengundang artis lokal untuk menyuguhkan atraksi, di hari-hari besar artis-artis nasional juga didatangkan. Sebuah panggung dibangun secara khusus untuk keperluan itu. Kuntowijoyo, 2000: 125 Latar cerita WS dimulai dari Jakarta. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut: “Wasripin naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagi- pagi sekali. Ia tidak bodoh, ia juga makan sekolahan.”Kuntowijoyo, 2003: 1 Latar tempat lebih banyak terjadi di perkampungan nelayan, secara geografis termasuk wilayah Pantura, yang baru mulai mengalami kemajuan pembangunan di berbagai bidang. Secara spesifik latar yang digambarkan clxiii meliputi Tempat Pelelangan Ikan, Surau, Pasar, Sungai, dan Lapangan. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut: Ia merasa tidur sangat nyenyak di emperan surau sampai Ashar, sampai Maghrib, sampai Isya’. Jamaah Isya’ berkerumun di sekitarnya. Kuntowijoyo, 2003: 8 Lapangan itu sudah berubah menjadi pasar. Para pedagang measang tenda-tenda sendiri yang dengan mudah mereka bongkar. Kuntowijoyo, 2003: 16 “Sungai itu panjang, berkelok-kelok, bermuara di teluk dan mengairi sawah yang luas. Sungai yang pada ujungnya akan bermuara di teluk TPI.” Kuntowijoyo, 2003: 23 c. Latar Sosial Dalam novel Pasar , MPU, dan WS latar sosial juga diperlihatkan beiringan dengan latar tempat dan waktu. Ruang pasar dengan ditunjukkan dengan lingkungan yang mengelilingnya lengkap beserta masyarakatnya, pedagang dan pegawai pemerntahan setempat. Latar ruang tersebut juga membentuk latar suasana dari hasil kultur sosial yang dimiliki oleh tokoh- tokoh pembentuk yang ada di situ. Aktivitas para pedagang didukung latar waktu di pagi hari yang tidak nampak ramai menjadi latar kehidupan masyarakat di pasar. Di samping itu, diperlihatkan pula unsure budaya Jawa, yaitu dikenalnya hari pasar sebagai puncak aktivitas pasar. Berikut ini gambaran dasar cerita P asar , MPU, dan WS sebagai tempat berlangsungnya cerita: Hari masih pagi di pasar itu. Matahari kunng kemerahan, berbinar-binar menyentuh gumpalan-gumpalan daun asam di atas los- los pasar. Di bawah pohon-pohon asam itu masih dingin. Los-los pasar dari besi dengan atap yang lumutan berjajar sepi. Sedikit orang saja. Mereka membuka bungkus-bungkus dagangan menggelarnya di lantai, di bawah los-los pagar atau di emper, atau di jalanan. Hari itu hari clxiv Pahing yang biasa, kalau mencari keramaian di pasar, pada Kliwon- lah. Namun, mereka pun bersabar menunggu datangnya kesibukan. Juga orang hilir mudik di jalanan berbatu di muka pasar. Sekelompok orang berdiri, atau duduk-duduk di bawah pohon waru di pojok stanplat bis di seberang pasar. Kuntowijoyo, 2002: 2 Hari masih pagi, agak dingin di tempat itu, tetapi pasar itu sudah hidup sejak subuh. Hari itu hari Pasar. Orang membawa kambing, kerbau, dan sapi di pasar ternak di sebelah selatan pasar, yang ada kayu-kayu tempat orang menalikan ternaknya. Los-los pasar juga sudah penuh. Mulai terdengar orang tawar-menawar, kumandang pasar itu. Kuntowijoyo, 2000: 46 Hari Pasar di pasar TPI. Hari pasar yang dulu seekor sapi hilang. Tidak ada yang protes dari orang banyak, sebab pemiliknya memang dikenal pelit pada tetangga. Dan hari itu seekor sapi lagi, padahal pemiliknya dikenal pemurah. Maka, para belantik menolak untuk membayar pajak. Mereka marah kepada pasar TPI. Ketika petugas penarik pajak dating, mereka menuding-nudingnya. kuntowijoyo, 2003: 110 Kutipan di bawah ini memperlihatkan latar sosial masyarakat dalam deskripsi novel MPU : Kemuning dapat jadi tempat agrowisata. Lebih indah dari Tawangmangu, tempat peristirahatan itu. Dari Kemuning orang dapat menikmati matahari kemerahan waktu terbit dan tenggelam. Ditambah dengan adanya jalan-jalan yang mulus sampai puncak-puncak bukit- untuk itu Pemerintah Order Baru patut mendapat acungan jempol- Kemuning bisa berkembang. Kuntowijoyo, 2000: 86 Ada suasana sosial yang diperlihatkan dalam kutipan di atas yaitu gambaran warga yang mencari air ke sendang juga aktivitas mandi yang hanya sekali sehari. Di samping itu diperlihatkan juga kemajuan peradapan sosial budaya dari fakta Kemuning dijadikan sebagai tempat agrowisata juga adanya pembangunan jalur transportasi yang sudah baik. Latar dalam novel MP U berupa perkantoran pada kutipan sebelumnya, sebenarnya juga menunjukkan suasana modernitas di zamannya yang sedang berlangsung dikota kecil itu. Berdasarkan gambaran di atas diketahui kultur clxv interaksi antarpegawai dan aktivitas kerja di perkantoran. Latar tersebut juga didukung adanya peradaban budaya berupa perlengkapan teknologi mesin tulis serta adanya penataan ruang kantor. Bahkan media surat kabar kala itu sudah mulai bisa dinikmati sebagian masyarakat. Latar sosial lain dalam cerita MP U digambarkan dari latar Kemuning juga bisa kita cermati dari komunal sosial antarmasyarakatnya. Kutipan di bawah ini menunjukkan interaksi strata sosial masyarakat Kemuning. Sebuah daerah yang dipimpin oleh pejabat pemerintah dengan budaya pengaruh masyarakat feodalisme. Hal itu nampak pada fakta kebiasaan pejabat desa yang menyatakan sepakat tanpa pertimbangan ilmu. Seorang lurah menunjukkan jari. “Kalau semua pemimpin, siapa yang rakyat?” “Ya kita semua. Jadi sekaligus kita semua adalah pemimpin dan rakyat. Misalnya lurah adalah pemimpin di desanya, tapi sekaligus bagian dari desanya, dan bagian dari rakyat Indonesia. “Setuju, Bapak-bapak?” “Setujuuu” kata mereka. Seperti diketahui, para lurah biasa bersama-sama bilang “setuju” pada pidato pimpinan. Kuntowijoyo, 2000: 76 Sebagai latar sosial, Tegalpandan masih memiliki keamanan mandiri yang menggunakan sistem keamanan keliling siskamling. Latar sosial ditunjukkan dengan adanya interaksi sosial warga kaum laki-laki melalui perbincangan ringan di gardu. Sebuah kultur sosial yang memperat hubungan antarwarga. Berikut ini kutipan yang mendeskripsikan latar tersebut: Di gardu Abu terkenal sebagai tukang dongeng, ahli filsafat kecil-kecilan, dan cagak lek membuat terbangun hidup. Sebutan tukang dongeng itu didapatnya karena dia suka bercerita Ramayana dan Mahabarata yang belum pernah didengar orang, karena karangannya sendiri. Kuntowijoyo, 2000: 114 clxvi Dalam cerita Pasar , interaksi sosial terpengaruh oleh budaya feodalisme. Penghargaan status sosial sangat memengaruhi interaksi sosial. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut: Pak Camat datang juga. Pak Mantri mendahului memberi selamat: “Selamat siang, Pak.” Keduanya termasuk orang-orang penting dalam kota kecil itu. Kalau ada orang kawin merekalah duduk paling muka, mendapatkan penghormatan yang pertama. Juru tulis menyodorkan buku tamu. Pak Camat memeriksanya. Kuntowijoyo, 2002: 61 Dalam cerita WS, interaksi sosial terpengaruh oleh budaya pesantren yang begitu menghormati imam sebuah masjid atau surau. Pak Modin tidak bisa digantikan siapapun. Masyarakan pesisir begitu menghormati pemimpin agama. Dan rupanya Pak Modin cukup dihormati orang-orang desa. Kematian, sedekah laut, dan upacara-upacara resmi selalu memerlukan kehadirannya.kepercayaan orang melebihi Kaur Agama yang resmi.Kuntowijoyo, 2003: 73 Sebelum waktu diberikan pada kiai, Pak Modin –sebagaimana selalu demikian- diminta menyambut selaku sesepuh surau. Orang- orang dari desa sekitar berdatangan. Kuntowijoyo, 2003: 245 5. Sudut Pandang Sudut pandang merupakan cara pengarang memosisikan diri dalam cerita. Setiap pengarang memiliki kekhasan masing-masing dalam menyajikan cerita olahannya. Dalam novel Pasar , MPU, dan WS, pengarang menggunakan teknik penceritaan yang disebut “ omniscient narrative” atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan. Berikut kutipan novel Pasar yang menunjukkan sudut pandang pengarang tersebut: Lagi, Pak Mantri datang terlambat di kantor hari itu. Meskipun ia tiba dengan kereta terpagi dari kota. Maka segala pekerjaan Paijo sudah clxvii selesai. Burung-burung dan ruangan terpelihara semua. Rupanya tukang karcis itu ingin menunjukkan kesetiaannya yang akan luntur. “Bagus,” kata Pak Mantri. “Meski begitu. Selayaknya engkau menjadi pegawai.” Paijo senang. Pujian yang sangat jarang keluar dari kepalanya itu. Baru saja ia terancam akan pemecatan sekarang sudah dipuji-puji. Ada kegembiraan pada wajah tua itu. Pujian untuk Paijo sebagian disebabkan kegirangan pada Pak Mantra sendiri juga. Ada yang baru dikerjakan di kota. Sekali pergi ke kota. Paijo menebak-nebak. Alangkah cepatnya perubahan. Sekali pergi ke kota dan bereslah semua. Pak Mantri sadar juga bahwa perubahannya diketahui oleh tukang karcisnya. Kuntowijoyo, 2002: 117 Dalam novel MPU , fakta tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut: “Keluguanmu ternyata membawa berkah. Duduklah,” kata Pak Camat begitu dia muncul di pintu. Pak Camat mengatakan bahwa ia mendapat pujian dari Bupati. ‘Sudah jatah Kemuning’ itu artinya ada pemerataan pembangunan. Jangan sampai pembangunan hanya membangun desa yang sudah makmur. Yang tidak diketahui oleh Pak Camat dan Abu ialah kebijaksanaan Bupati menggilirkan pemenang lomba itu mendapat pujian dari Gubernur. Kuntowijoyo, 2000: 28-29 Dalam novel WS , dapat diketahui dalam kutipan berikut: Keesokan paginya sehabis dari surau, sebuah jip hijau dating ke rumah. Tentara menghormat. Katanya, “Aku diperintahkan komandan untuk menjemput Pak Modin. Mari ikut kami.” Bu Modin yang punya firasat buruk berteriak-teriak, “Jangan Jangan” teriakan itu membuat orang keluar rumah. Tapi, mereka hanya sempat melihat jip itu semakin jauh. Bu Modin ingat Wasripin; dibawa tentara selalu berarti mati. Kuntowijoyo, 2003: 246 Berdasarkan kutipan di atas, pengarang menempatkan diri benar-benar di luar cerita. Pengarang tidak memerankan diri menjadi salah satu tokoh pelaku cerita. Meski begitu, dalam posisi demikian pengarang seolah-olah mengetahui segala tindakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita. Pengarang tidak hanya tahu tindakan tokoh cerita, tetapi juga mengetahui perasaan yang dialami tokoh cerita. Pengarang menjelaskan secara detail tindakan dan perasaan yang dialami clxviii tokoh. Hal ini menunjukkan adanya penguatan terhadap cara pandang suatu permasalahan cerita. Pengarang seolah-olah meletakkan tokoh-tokohnya sebagai sarana berkomunikasi dengan pembaca dalam menjadikan tokoh-tokoh cerita tersebut sebagai saksi mata dan pelaku sejarah. Menilik pada penggunaan sudut pandang seperti di atas pada proses cerita pengarang memiliki maksud tertentu. Pengarang dalam hal ini Kuntowijoyo seolah-olah ingin mengusulkan kepada khalayak tentang gagasan-gagasan dan pikiran-pikirannya melalui pendekatan setiap tokoh cerita. Pengarang bisa memberikan pemahaman setelah ia tersublim dengan tokoh-tokoh tersebut dari segala kedudukannya, sebagai pemimpin, pejabat pemerintah, satpam, modin, pegawai swasta, bahkan pedagang. Inilah sudut pandang yang unik dari pengolahan empati rasa yang ingin ditunjukkan kepada pembaca.

3. Deskripsi Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel