xciii
2. Deskripsi Struktur Teks Novel
Pasar
, Novel
Mantra Pejinak Ular,
dan Novel
Wasripin dan Satinah
Salah satu analisis dari penelitian ini yaitu mengkaji struktur teks novel
Pasar
, novel
Mantra Pejinak Ular MP U,
dan
Wasripin dan Satinah WS.
Setiap novel terdapat unsur-unsur intrinsik yang membangun cerita. Pembahasan dalam
bab ini dilakukan melalui pemaparan aspek struktur yang meliputi tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, dan sudut pandang. Analisis tersebut dijabarkan
sebagai berikut: 1.
Tema Tema adalah gagasan utama yang menjalin struktur isi karangan, Maka,
tema merupakan pokok permasalahan yang menjadi bahan utama atau latar belakang cerita. Dari seluruh cerita novel
Pasar, MPU,
dan
WS
tampak permasalahan yang menonjol yaitu masyarakat Jawa yang harus menghadapi
realita transisi kehidupan sosial budaya dan politik. Permasalahan sosial yang menjadi sejarah kemanusiaan itulah yang tidak lepas dari latar belakang cerita
novel
Pasar
. Novel
Pasar
mengungkapkan proses pewarisan nilai-nilai Jawa dan transisi perubahan sosial budaya masyarakat. Cerita
Pasar
menampilkan bagaimana semestinya budaya Jawa yang dianut dan diwariskan masyarakat
bertransformasi dalam kehidupan modern. Tokoh Pak Mantri dalam novel itu dijadikan sebagai andaian ideal yang seharusnya dimiliki para pemimpin di
masyarakat. Dalam konteks Jawa yang harus dimiliki para pemimpin itu adalah filosofi orang Jawa yang dengan tetap menstransformasikan sari-sari akar budaya
xciv dalam mengelola kehidupan modern. Fakta tersebut dalam novel
Pasar
dapat dilihat pada ujaran Pak Mantri kepada Paijo seperti berikut:
“Rumusnya adalah kebahagiaan bagi orang banyak. Sesuaikanlah kepentinganmu dengan kepentingan yang lebih besar. Inilah yang
diperbuat Arjuna ketika menghadapi Resi Bima. Tidak salah lagi, pahlawan itu mencintai musuhnya, yang juga moyangnya. Tetapi
layapkanlah dirimu bersama tujuan yang mulia. Muliakanlah dirimu bersama dengan kepentingan manusia. Mungkin itu menyiksamu.
Menyedihkanmu. Menyengsarakanmu. Tetapi apa arti setitik air dalam samudera luas? Dan siapakah sangkamu Adipati Karna itu? Ia tahu
Pandawa itu saudaranya sendiri. Tetapi ia memihak Kurawa, padahal sudah jelas bahwa ia akan hancur? Mengapa? Ia seorang pemberani. Dia
itu menempatkan dirinya sebagai bagian dari warga yang hidup di Astina. Ia adalah bagian dari negara itu. Ia hanya satu bagian yang harus ikut
dalam arus besar yang hidup di Astina. Ia adalah bagian dari negara itu. Ia hanya satu bagian yang harus ikut dalam arus besar yang disebut Perang
Baratayuda.” Kuntowijoyo, 2002: 270-271.
Persoalan utama yang diangkat dalam kisah
MP U
yaitu upaya perlawanan terhadap proses dehumanisasi dan objektivasi yang berlangsung di masyarakat,
baik secara material maupun spiritual. Cerita
MPU
menampilkan masalah perjuangan seorang pegawai biasa yang tidak mau menjadi alat politik kekuasaan.
Benturan-benturan kepentingan yang harus dialami sang tokoh baik sebagai dalang dengan lingkungan sosialnya maupun posisinya sebagai Pegawai Negeri
Sipil PNS, oleh pengarang dijadikan peranan yang baik untuk menyuguhkan tema yang bermakna itu kepada pembaca.
Abu Kasan Sapari, seorang pegawai rendahan di kecamatan, menolak menjadi pegawai lebih tinggi untuk menunjukkan sikap penolakannya menjadi
pengikut partai pemerintah yang berkuasa kala itu. Sang tokoh menganggap bahwa sistem mesin politik yang diterapkan partai tersebut merupakan bentuk
dehumanisasi modern yang harus dilawan. Kesadaran yang kuat untuk tetap teguh
xcv pada hati nurani siap menghadapi risiko penekanan bahkan penyingkiran atas
dirinya. Baginya, itu lebih baik daripada menjadi pejabat atau anggota legislative tetapi tunduk pada sistem politik kepentingan. Berikut ini kutipan yang
menggambarkan masalah tersebut: “Terimalah ucapan selamat kami. Kami dari DPD telah memilih
Pak Abu sebagai caleg jadi,” kata Ketua Badan Seleksi. “Pak Abu lolos ketimbang sembilan calon lain.”
Abu bingung. Ia tak pernah menghubungi atau dihubungi siapa- siapa. Kejadian itu sangat tiba-tiba.
“Saya-saya tidak tahu apa-apa” “Ya, Pak Abu tidak tahu. Tapi kami punya banyak telinga. Ini
kehormatan. Jangan ditolak. “Tapi saya tak pernah mengharapkan.”
“Banyak memang peristiwa di dunia ini yang berada di luar harapan.”
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi.
Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?” Kuntowijoyo, 2000: 144 Sang tokoh juga menentang dehumanisasi tradisional yang masih ada di
dalam masyarakatnya. Bentuk-bentuk dehumanisasi tradisional tersebut dalam masyarakat Jawa di antaranya ialah pemujaan pohon besar, mantra tahayul, jimat,
sesaji, tapa, kekeramatan kuburan, dan lain-lain. Sang tokoh mewujudkan penolakan dehumanisasi tradisional tersebut dengan membuang ularnya, memutus
mata rantai mantra pejinak ular dan tidak menggunakan sesaji waktu mendalang. Secara halus sang tokoh berusaha bersikap kritis terhadap gejala mitologisasi
dengan mengajak masyarakatnya cara berpikir lebih rasional. Kutipan berikut ini menggambarkan sikap yang diambil sang tokoh:
Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan
memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah
xcvi itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia
sanggup menanggung. Kuntowijoyo, 2000: 242 Sebagaimana ditunjukkan dalam novel
MPU
, budaya tradisi dan modern dalam novel
Pasar
pun dihadirkan dalam konteks sejarah dan kemanusiaan. Tokoh Pak Mantri yang mencoba dan berhasil mengatasi persoalan yang muncul
di pasar merupakan satu tipe ideal pemimpin modern dibandingkan dengan camat, kepala polisi, dan pemimpin umumnya sekarang yang tidak mengerti baik akar
tradisi sendiri maupun semangat modernitas. Di tangan orang yang tidak mengerti hakikat masa lalu dan masa kini, tradisi dan modernitas, manusia dan Tuhan,
kehidupan modern akan tampil dalam bentuk-bentuknya yang melemahkan spiritualitas manusia. Sikap itulah yang ditunjukkan Pak Mantri sebagaimana
kutipan berikut: Biarlah perempuan itu keheranan. Begitulah kalau mau tahu watak
Pak Mantri. Itulah sikap ksatria, perwira. Dipandangnya burung- burungnya yang berkeliaran. Ditinggalakannya Zaitun dalam keadaan
bertanya-tanya. Memang, dirasanya juga, bahwa burung-burung itu mengganggu para pedagang. Ah, selama ini ia tidak tahu itu. Untunglah
datang juga petunjuk itu. Ia menempatkan diri pada pihak pedagang, dan ia bisa jengkel juga. Pantaslah, saya memahami kalian, saudara-saudara. Ia
bisa menghitung, kalau setiap ekor burung dara makan beras segenggam setiap hari, berapa kuintal dalam sebulan. Ah, lebih baik beras itu
diberikan pada fakir miskin daripada burung Kuntowijoyo, 2002: 254
Pasar sebagai simbol tempat bertemunya manusia dengan segala karakternya yang melakukan interaksi sehingga membentuk komunitas sosial
yang spesifik. Pasar di saat sekarang merupakan saksi sejarah atas proses perubahan sosial budaya pada masyarakat yang terus berlangsung.
Dalam Novel
WS
yang diangkat adalah ketidakberdayaan dalam menghadapi proses marjinalisasi yang berlangsung di masyarakat pesisir yang
xcvii disebut sebagai ekstrem kanan, subversive, dan dedengkot golput. Novel
WS
menampilkan seorang modin dan satpam TPI yang tidak mau menjadi alat politik kekuasaan. Berbagai konflik yang dialami tokoh oleh pengarang dijadikan
peranan yang baik untuk menyuguhkan tema yang bermakna itu kepada pembaca. “Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkanbila partai ingin
menang,” kata renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat “disingkirkan” artinya “dimusnahkan”, “dipenjara”, atau “ditahan”
Kuntowijoyo, 2003: 137
Pagi TVRI dan Koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati ditembak tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di
suatu tempat yang dirahasiakan karena dapat menimbulkan syirik. Kemudian juga dikatakan bahwa dia komandan DITII Pantura, anti-
Pancasila, dan ingin mendirikan Negara Islam dengan kekuatan senjata. Kuntowijoyo, 2003: 231
“Kenalkan saya Mister Mudin, Presiden NII.” “Bukan. Tapi Pak Modin, imam surau TPI.”
“Saya berani sumpah. Pengangkatan sudah saya tanda tangani.
Disaksikan dua kopral bersenjata lengkap.” Kuntowijoyo, 2003: 255 Jika dalam novel
Pasar
dan
MPU
tokoh mampu menjadi pioneer dalam perubahan, tokoh novel
WS
tidak demikian. Tokoh dalam novel
WS
pada akhirnya tidak berdaya menghadapi kekuasaan politik dan militer. Meskipun demikian,
perlawanan yang dilakukan Pak Modin dan Wasripin telah membakar semangat masyarakat pesisir untuk berani melawan meskipun risikonya besar.
Bupati menugaskan kepala Dinas Perikanan untuk menemui para nelayan dan mengatakan bahwa melaut adalah untuk kepentingan nelayan
sendiri, sambil menyampaikan ancaman itu. “Kami mau melaut, tapi pulangkan Pak Modin.” Kuntowijoyo,
2003: 247 2.
Alur Novel
Pasar
,
MPU,
dan
WS
dibangun di atas alur yang menarik. Kontinuitas struktur cerita yang ditunjukkan dibentuk oleh peristiwa-peristiwa
yang tersusun secara berurutan menjadi karakter alur novel
Pasar
. Secara jelas
xcviii novel
Pasar
memiliki alur maju. Agak berbeda, cerita novel
MPU
dan
WS
memiliki struktur sastra konvensional roman yang kuat. Cerita
MPU
dan
WS
mengisahkan perjalanan hidup tokoh sejak kecil hingga menjadi sosok manusia dewasa. Alur dalam cerita
MPU
dan
WS
bersifat campuran karena gaya penceritaan waktu peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh tidak selamanya linear
ke depan, tetapi juga terdapat kilas peristiwa yang bersifat
flashback
“mundur ke masa belakang”. Studi analisis tahapan alur dalam novel
Pasar
,
MPU,
dan
WS
dapat dipaparkan sebagai berikut: a.
Eksposisi Cerita novel
Pasar
,
MPU,
dan
WS
diawali dengan menampilkan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita bersama kedudukannya masing-
masing. Di samping itu juga dipaparkan kondisi pembentuk latar cerita. Kutipan novel
Pasar
berikut mendeskripsikan tokoh-tokoh yang terlibat di dalam cerita:
Kalau engkau
terpelajar, dan
tinggal di
kota itu,
berhubunganlah dengan Pak Mantri Pasar. Sebab tidak seorang pun kecuali Kasan Ngali, tentu yang mengaku orang Jawa tidak
memujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat atau Pak Kepala Polisi, dan ibu jari mereka akan diacungkan: “Nah, Pak Mantri Pasar itu.
Begini” Segala yang baik bagi hidup jujur, setia, sopan santun, tahu diri memupuk padanya. Kuntowijoyo, 2002: 1
Kutipan di atas memunculkan tokoh Pak Mantri Pasar sebagai sentra
cerita dan tokoh Kasan Ngali sebagai kontra. Tokoh Pak Camat dan Pak Kepala Polisi diperlihatkan sebagai pejabat pemerintah yang memiliki
interaksi formal dan informal terhadap tokoh Pak Mantri Pasar. Di samping itu juga terdapat tokoh Siti Zaitun hal. 3 sebagai pegawai Banak Pasar dan
xcix tokoh Paijo hal.6 sebagai pegawai pasar yang membantu Pak Mantri Pasar
serta tokoh para pedagang pasar hal. 2. Peristiwa dalam kutipan novel
MPU
di bawah ini digunakan untuk memperkenalkan karakter sang tokoh utama. Berikut ini kutipan yang
memperlihatkan hal tersebut: Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah
yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk
ngalap berkah,
meminta restu. Sambil menyerahkan kembali bayi itu dikatakannya kepada dua orangtuanya, “Hati-hati memelihara anak ini.
Besok dia akan jadi pujangga. Aku mendapat firasat, ketika aku keluar dari makam ada rombongan orang
membarang,
menyanyi, dan menabuh gamelan. Anak itu memiringkan telinganya, seperti
mendengar
sinden
dan
klenengan
.” Kuntowijoyo, 2000: 2 Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa sang tokoh, yang
kemudian dikenal dengan Abu Kasan Sapari, diperkenalkan masih keturunan pujangga besar Ronggowarsito, meskipun masih bayi memiliki karakter yang
dewasa Abu Kasan Sapari pun membawanya untuk menjadi dalang, sebagaimana nampak dalam kutipan berikut:
Pada tahun ketiga, kalau ada permintaan mendalang, Ki Lebdo selalu menanyakan pada yang datang, “Apa bisa diwakilkan?” Kalau orang yang
datang setuju, pekerjaan itu akan diserahkan pada Abu. Kuntowijoyo, 2000: 14
Pada tahap ini terdapat deskripsi cerita mundur dalam alur novel
MP U
. Deskripsi tersebut terlihat pada proses penceritaan pada peristiwa yang terjadi
di masa lalu, yaitu deskripsi tentang Desa Palar di masa lalu dan kisah pertemuan antara ayah Abu dengan ibu Abu masa sebelum menikah. Berikut
kutipan yang mendeskripsikan hal tersebut.
c Dulu Palar adalah desa
perdikan
, desa yang dibebaskan dari pajak dengan maksud supaya seluruh penghasilan desa diperuntukkan
guna keperluan makam. Praktis, lurahnya sama dengan juru kunci makam. Tetapi ketika desa perdikan itu dihapuskan pada 1915, juru
kunci makam tidak lagi otomatis menjadi lurah desa. Waktu pilihan lurah, juru kunci
cum
lurah pada waktu itu suka
ma-lima
, yaitu
madon, minum, madat, main
“wanita, minuman keras, mengisap candu, judi” sehingga tidak terpilih jadi lurah. Kuntowijoyo, 2000: 4
Waktu itu ibu calon Abu berdagang pakaian dari pasar ke pasar dengan sepeda merek Releigh yang bisa bunyi
ck-ck-ck
dan ayah calon Abu menjalankan ternak apa saja milik para tetangga. Maka
bertemulah ayah-ibu Abu. Ayah Abu suka membeli soto dekat ibu Abu berjualan. Kuntowijoyo, 2000: 8
Peristiwa dalam kutipan novel
WS
di bawah ini digunakan untuk memperkenalkan karakter sang tokoh utama. Berikut ini kutipan yang
memperlihatkan hal tersebut: “Wasripin naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagi-pagi sekali.
Ia tidak bodoh, ia juga makan sekolahan. … Lalu Wasripin meloncat keluar, melambaikan tangan untuk mengucapkan terima kasih.
Lambaian tangan itu juga berarti bahwa dia mengucapkan selamat tinggal untuk dunianya yang lama. “Inilah tumpah darah ibuku”,
katanya dalam hati. Ia berjalan ke kiri, ke mana pun kaki melangkah, tanpa tahu tempat yang dituju. Pokoknya, pantai, pantai
Kuntowijoyo, 2003: 1 Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa sang tokoh diperkenalkan
sebagai keturunan orang pantai dan sudah lama berada di Jakarta.
b. Inciting Moment
Pada tahap ini baik novel
Pasar, MPU,
maupun
WS
mulai nampak permasalahan yang mengenai tokoh cerita. Gambaran permasalahan yang
muncul pada tokoh novel
Pasar
, Pak Mantri, nampak dalam peristiwa berikut: Ternyata, lebih banyak pedagang yang berjualan di jalanan
muka pasar daripada masuk los-los. Pak Mantri Pasar sudah berusaha
ci menggiring mereka ke dalam, tetapi sia-sia. Makin hari los-los makin
sepi. Dengan bermacam-macam alasan. Seperti: “lebih baik di jalan”, “lebih dekat dengan pembeli” sampai “peruntungan saya di jalan,
bukan di pasar”, itu membuat jengkel Pak Mantri Pasar saja. Akhirnya orang tua itu menyerah. Bahkan akhir-akhir ini orang yang telah
menjual kambing di jalanan juga dan bukanya di pasar hewan. Semakin hari semakin parah dengan pedagang itu. Dan sialan, Pak
Mantri Pasar pula yang disalahkan Soalnya ialah karena burung- burung dara itu. Tunggulah duduk perkaranya. Kuntowijoyo, 2002: 4
“Coba. Mereka membunuh burung daraku. Seberani itu.” “Siapa?”
“Orang pasar.” …..
“Juga Bank Pasar akan rugi. Burung-burung itu membunuh
bank.” Kuntowijoyo, 2002: 29 “Menabung, Ning?” Ah, untungnya saja habis dimakan burung
dara Kuntowijoyo, 2002: 32 “Hitunglah, Pak, “kata perempuan itu pada polisi. “Tiga ekor
burung dara telah mencocok berasku. Berapa harus dibayar, kalau aku mau menghitung. Masih diminta karcis pasar lagi Mestinya aku minta
ganti rugi Orang mengangguk-angguk. Rugi, rugi itu Betul tak mau bayar Kuntowijoyo, 2002: 35
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas permasalahan yang muncul disebabkan oleh keberadaan burung-burung dara. Munculnya permasalahan
terlihat ketika sebagian besar para pedagang berjualan di jalanan, bukan di los- los pasar yang telah ada. Di antara para pedagang itu beralasan karena
terganggu oleh keberadaan burung-burung dara di pasar dalam jumlah yang sangat banyak. Mereka pun menyalahkan Pak Mantri karena burung-burung
dara tersebut dianggap milik Pak Mantri. Permasalahan berkembang saat para pedagang yang masih berjualan di
dalam pasar pun mengalami emosi sehingga mereka berani membunuh burung dara Pak Mantri. Peristiwa itu kemudian diketahui oleh Pak Mantri dan
disampaikannya kepada Siti Zaitun, pegawai Banak Pasar. Namun Siti Zaitun
cii ternyata juga menyalahkan Pak Mantri. Siti Zaitun beranggapan bahwa
kemunduran Bank Pasar karena tidak adanya para pedagang yang menabung lagi disebabkan oleh keberadaan burung-burung dara di pasar. Keberadaan
burung-burung dara tersebut dianggap telah mengakibatkan berkurangnya penghasilan para pedagang, sehingga mereka pun enggan untuk menabung
lagi. Permasalahan lain muncul ketika para pedagang juga tidak mau lagi membayar retribusi pasar. Mereka beralasan karena dagangannya telah
dimakan burung-burung dara. Pada tahap ini, dalam novel
MPU
, tokoh Abu Kasan Sapari mulai tersentuh dengan permasalahan ketika Abu mendapatkan mantra pejinak ular
yang harus dipegangnya semasa dia hidup. Berikut ini kutipan yang memaparkan peristiwa tersebut:
“Apa itu?” “Mantra pejinak ular.”
Kemudian orang itu mencari telinga kanan Abu, dan
membisikkan sebuah kalimat. “Paham?”
Kemudian orang itu kembali berbisik di telinga kanan Abu. “Sudah, ya? Abu mengangguk. “Mantra itu tidak boleh salah
ucap. Bacalah itu setiap kali kau menghadapi ular.” Kuntowijoyo,
2000: 19 Permasalahan yang juga dialami oleh Abu ialah ketika ia terlibat dalam
perpolitikan. Abu memanfaatkan wayang untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Abu mendalang dengan mengambil cerita partisipasi
rakyat dalam pemerintahan sebagai wujud kedaulatan dalam demokrasi. Di bawah ini adalah scenario wayangan yang dibuat oleh
dalang Ki Abu Kasan Sapari. Judulnya “Bambang Indra Gentolet
ciii Takon Bapa” atau “Bambang Indra Gentolet Menanyakan Sang Ayah”.
Kuntowijoyo, 2000: 61 Permasalahan berkembang ketika keterlibatan Abu dengan politik
semakin jauh. Ia mendalang untuk mendukung salah satu calon dalam pemilihan lurah. Padahal saat itu di samping sbagai dalang, kedudukan Abu
juga sebagai Pegawai Negeri Sipil PNS. Hal ini berarti ia mulai konflik berhadapan dengan Mesin Politik yang pada saat itu mempunyai kekuatan
politik besar. Gambaran tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: Kabar mengenai pemilihan lurah di Kemuning sudah didengar
oleh media massa yang telaten nongkorng di Pemda. Seorang wartawan dari
Suara Bengawan
menemuni Pak Camat dan oleh camat
diverwijs
pada Abu Kasan Sapari. Abu mengatakan bahwa banyak hal menarik perlu diberitakan. Kemudian dia bercerita tentang campur
tangan Mesin Politik, adanya
botoh
, dan peran dukun dalam Pilkades. Wartawan itu diberi kebebasan untuk meliput. Dia juga memberikan
jadwal dia akan mendalang untuk mendukung calon. Wartawan itu berjanji akan datang nonton, untuk mengetahui efektivitas kesenian
dalam politik, Kuntowijoyo, 2000: 93-94
Dalam novel WS, tokoh Wasripin mulai tersentuh dengan permasalahan ketika dia menjadi satpam dan memergoki pencurian kayu. Saat
itulah Wasripin kena pukul sampai pingsan dan mulai dibenci oleh para prnguasa. Berikut ini kutipan yang memaparkan peristiwa tersebut:
“Tiba-tiba saja orang menggebukku dengan kayu.” “Kayu-kayu?”
“Bukan itu saja.” “Kau pasti mengurus yang bukan urusanmu. Itu urusan polisi.”
Kuntowijoyo, 2003: 65 Masalah berkembang ketika kepala TPI Tempat Pelelangan Ikan
mendapat surat ancaman. TPI akan dibakar jika orang-orang TPI mencapuri
civ urusan mereka. Ternyata ancaman itu bukan omong kosong. Pada suatu
malam TPI memang dibakar habis, sampai ludes.
c. Rising Action
Peristiwa-peristiwa yang terjadi terus berkembang mengalami penajakkan konflik cerita. Pengarang berusaha mengembangkan konflik
dengan melibatkan tokoh-tokoh lain yang memiliki peran penting dalam kedudukan tokoh memacu peningkatan konflik. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut: “Pasar ialah satu pendekatan negara terpenting. Pajak yang
ditarik melalui pasar seyogyanya mendapat perhatian pula.” “Ya, Ya.”
“Tahukah Pak Camat,” ah napasnya tak begitu teratur sudah. “Akhir-akhir
ini di
pasar terjadi
pemogokan. Pemogokan
Pembangkangan” Kuntowijoyo, 2002: 65 “Coba, Nak. Saya memelihara burung-burung saya sendiri. Itu
sudah berjalan sejak lama. Burung-burung itu kubeli dengan uang saya sendiri. Dikandangkan di pasar sendiri. Tetapi mereka telah
memukulinya. Membunuhnya” Kepala Polisi itu hanya mengangguk- angguk. Cepat mengeluarkan catatan dari saku celananya, lalu menulis
itu. Kuntowijoyo, 2002: 84
Kutipan di atas menerangkan ketika Pak Mantri melaporkan masalah para pedagang yang tidak mau membayar retribusi kepada Pak Camat sebagai
bentuk upaya pembangkangan terhadap pemerintah. Sedangkan peristiwa matinya burung dara dilaporkannya kepada Pak Kepala Polisi sebagai tragedy
pembunuhan. Tindakan yang dilakukan Pak Mantri tersebut secara tidak langsung membawa tokoh lain terlibat dalam permasalahan yang terjadi. Pak
Mantri berkeinginan agar Pak Camat dan Pak Kepala Polisi, selaku abdi negara, turut menyelesaikan permasalahan yang terjadi di pasar.
cv Tekanan konflik pun semakin terasa saat Pak Mantri menuduh
keterlibatan Kasan Ngali, tokoh yang selama ini dikenal selalu bertentangan dengan Pak Mantri, dalam permasalahan yang terjadi. Hal tersebut dapat
diketahui dari kutipan berikut: “He, Jo. Aku tahu sekarang. Ini semua tentu ada biang
keladinya. Tidak ada asap tanpa api. Tentu ada yang di belakang. Siapa, coba?”
“Siapa, Pak?” “Orang itu, tentu.”
“Ya, orang itu” Ah, pantang bagi mulutku menyebut namanya. “Kasan Ngali, Pak?”
“Siapa lagi” “Terus bagaimana, Pak?”
“Aku akan menggugatnya.” Kuntowijoyo, 2002: 92-91
Bahkan hal yang tidak terduga terjadi, yaitu Pak Mantri harus berseteru
dengan orang yang selama ini dianggapnya dekat, Siti Zaitun. Berikut kutipan yang memperlihatkan fakta tersebut:
“Mengerti bagaimana, Pak? Pak Mantrilah sekarang yang bertanggung jawab untuk tutupnya bank ini. Setiap hari saya mencatat
peristiwa burung dara itu. Mereka tak mau menabung karena untungnya habis dimakan burung dara itu. Tetapi syukurlah. Itu
kebetulan. Makin cepat bank bangkrut makin baik. Segera saya dipindahkan dari kota gurem di gunung begini. Daerah setandus ini”
Kuntowijoyo, 2002: 107
Dalam novel
MP U
, konflik terjadi antara Abu dengan Mesin Politik menyebabkan ia harus menerima segala konsekuensi yang berat. Abu
dipindahtugaskan ke daerah lain. Kala itu Mesin Politik bisa dikatakan berkuasa terhadap tatanan pemerintahan.
Camat Tegalpandan tahu belaka sebab-sebab kepindahan Abu. Maka ketika ada waktu dikatakannya, “Jangan menyalahgunakan
kesenian.” “Yam Pak. Tetapi,” lalu ia pun berhenti. Sebenarnya Abu
cvi ingin menerangkan panjang lebar, tapi dipikirnya itu namanya
mencari-cari musuh. Kuntowijoyo, 2000: 105 Di samping itu, permasalahan lainnya muncul ketika Abu memelihara
ular karena keterikatannya dengan mantra pejinak ular yang telah dimilikinya pasalnya tindakan Abu itu mendapat tentangan dari warga karena dianggap
membahayakan keselamatan warga setempat. Dalam hal ini Abu pun melibatkan Lastri, seorang wanita yang berarti bagi hidupnya, ke dalam
konflik yang dialaminya. Abu sangat peduli dengan pendapat Lastri.
“Bagaimana, Yu Las?” Lastri mengangkat bahu, “terserah,” katanya.
Abu mengerti dari nada bicaranya ‘terserah’-nya
kok
seperti tidak rela Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular praktis
dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan tetapi, Abu nekad. Kuntowijoyo, 2000: 122
Dia dilaporkan bahwa telah membuat takut dan resah dengan memelihara ular. Bahkan orang banyak berkesimpulan bahwa
kedatangan Abulah penyebab dari banyaknya ular. Kuntowijoyo, 2000: 131
Permasalahan yang dihadapi Abu semakin berkembang pada pananjakan konflik. Konflik antara Abu dengan Mesin Politik menyebabkan ia
harus menerima segala konsekuensi yang berat. Abu dipindahtugaskan ke daerah lain. Kala itu Mesin Politik bisa dikatakan berkuasa terhadap tatanan
pemerintahan. Camat Tegalpandan tahu belaka sebab-sebab kepindahan Abu.
Maka ketika ada waktu dikatakannya, “Jangan menyalagunakan kesenian.” “Ya, Pak. Tetapi,” lalu ia pun berhenti. Sebenarnya Abu
ingin menerangkan panjang lebar, tapi dipikirnya itu namanya mencari-cari musuh. Kuntowijoyo, 2000: 105
Di samping itu, permasalahan lainnya muncul ketika Abu memelihara
ular karena keterikatannya dengan mantra pejinak ular yang telah dimilikinya.
cvii Pasalnya tindakan Abu itu mendapat tantangan dari warga karena dianggap
membahayakan keselamatan warga setempat. Dalam hal ini Abu pun melibatkan Lastri, seorang wanita yang berarti bagi hidupnya, ke dalam
konflik yang dialaminya. Abu sangat peduli dengan pendapat Lastri.
“Bagaimana, Yu Las?” Lastri mengangkat bahu, “terserah,” katanya.
Abu mengerti dari nada bicaranya ‘terserah’-nya
kok
seperti tidak rela Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular praktis
dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan tetapi, Abu nekad. Kuntowijoyo, 2000: 122
Dia dilaporkan bahwa telah membuat takut dan resah dengan memelihara ular. Bahkan orang banyak berkesimpulan bahwa kedatangan
Abulah penyebab dari banyaknya ular. Kuntowijoyo, 2000: 131 Tokoh Wasripin dan Pak Modin dalam novel
WS
mendapat teror berkali-kali karena tidak mau menuruti keinginan Militer dan partai penguasa
yaitu, Partai Randu. Ketika Pak Modin terpilih menjadi kepala desa, dia tidak dilantik karena diduga ekstrem kanan alias golput. Pak Modin kemudian
dituduh subversif dan dibawa ke Semarang. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut:
Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkan bila partai ingin menang,” kata renstra Partai Randu setempat.Kuntowijoyo,
2003: 137 Danramil lapor Dandim. Dandim lapor Danrem. Danrem lapor
pada Laksudda Pelaksana Khusus Daerah, mengurusi soal subversi. Maka Pak Modin pun dipanggil ke Semarang. Kuntowijoyo, 2003:
89
Nasib Wasripin tidak jauh berbeda, diapun ditangkap karena dituduh mengajarkan agama sesat. Penyebabnya adalah para nelayan
cviii memasang foto Wasripin pada kapal mereka. Ketika kepala polisi
membebaskannya, militer memfitnah Wasripin dengan tuduhan mau memperkosa. Tuduhan ini juga tidak terbukti dan gagal memenjarakan
Wasripin karena Wasripin menantang pihak pelapor untuk melakukan sumpah pocong. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut:
Di pengadilan jaksa menuduhnya dengan perkosaan yang berhasil digagalkan korban. Wasripin menolak tuduhan itu, dan
meminta diadakan sumpah pocong. Kuntowijoyo, 2003: 166
d. Complication
Perkembangan masalah yang terjadi dalam cerita menjadi lebih kompleks pada tahap ini. Dalam novel
Pasar
konflik yang terjadi semakin ruwet. Interaksi antara tokoh Pak Mantri dengan tokoh-tokoh lain menjadi
friksi atau benturan sehingga membuat jalinan masalah semakin rumit. Tindakan Kasan Ngali mendirikan pasar merupakan bentuk pertentangan
secara terang-terangan bagi Pak Mantri. Paijo melihat pasar itu. Benar-benar Kasan Ngali ingin
menyaingi pasar yang sah. “Lebih bersih. Lebih strategis. Tidak bayar karcis. Kita
berlomba dalam memberi servis masyarakat. Itulah ilmu dagang. Pegawai tak punya ilmu itu. Kau anggap pedagang-pedagang di pasar
mesti melayanimu, dan bukan sebaliknya. Kalau ingin jadi feudal jangan kerja macam begini. Masyarakat tak butuh lagi semangat itu”
Kuntowijoyo, 2002: 110-111
Konflik dengan Pak Mantri tidak hanya dengan Kasan Ngali. Di awal Pak Mantri sudah melibatkan Pak Camat dan Pak Kepala Polisi, apalagi
terhadap para pedagang yang menuntut banyak hal. Perkara itulah yang membuat kepercayaan dan harga diri Pak Mantri dipertaruhkan. Lebih-lebih
terhadap Paijo, orang paling dekat yang selama ini telah membantunya.
cix Pak Mantri sudah mengancm camat pula Dengan polisi belum
beres. Dengan pedagang-pedagang belum selesai. Dengan Kasan Ngali apalagi Pak Mantri terlalu banyak punya musuh. Dan Paijo harus
berdiri pada Pak Mantri Itulah susahnya. Kuntowijoyo, 2002: 143 Kesusahan yang dialami Pak Mantri semakin bertambah. Pak Mantri
digugat oleh dua perempuan yang dikenalnya baik. Karena kesalahpahaman Pak Mantri dilabrak Marsiyah, perempuan yang dikenalnya pada masa muda.
Pertemuan kembali dengan Marsiyah tidak pernah oleh Pak Mantri. Pak Mantri dilabrak oleh Marsiyah karena laporan anaknya yang telah dimarahi
dianggap memusuhinya. Peristiwa itu membuka kenangan lama yang dialami Pak Mantri terhadap Marsiyah.
Seperti tersayat hati Pak Mantri. Ia tak tahan dengan adegan itu. Pelan ia melangkah. Tidak berani menoleh lagi. Sangat kecewa
menyimpan muntahan pikiran yang tak jadi keluar. Oh, Marsiyah. Sampai hati kau Kuntowijoyo, 2002: 154
Di samping itu Zaitun, pegawai bank itu, menggugat Pak Mantri. Pak Mantri dianggap bertanggungjawab atas kepemilikan burung dara yang telah
menyebabkan kemunduran Bank Pasar tempat ia bekerja. Berikut ini kutipan yang menggambarkan peristiwa tersebut:
Mata Pak Mantri Pasar terbelalak. Orang bersalah mestinya minta maaf, itu yang betul. Siti Zaitun yang menurut Pak Mantri
bersalah, malahan membentaknya. Darah melonjak ke kepala. Suara perempuan itu keras, menusuk-nusuk. Berani-beraninya Apa urusan
Pak Mantri, sungguh kurang ajar mengatakan itu. Di tengah pasar, merendahkan kekuasan Mantri Pasar Urusan lain boleh saja ia
singkirkan, tetapi soal-soal pasar dan burung-burung adalah haknya. Hidupnya tidak terpisahkan dengan kedua hal itu. Jatuh pasar, jatuh
Pak Mantri. Jatuh burung dara, jatuh Pak Mantri. Untung dia cukup menghargai diri sendiri dengan memelihara adab pergaulan yang
beradab. Kuntowijoyo, 2002: 162
cx Dalam novel
MPU
pemasalahan yang dihadapi Abu semakin rumit ketika Abu mendalang lagi untuk mendukung salah satu calon, kali ini dalam
pemilihan kepala desa. Hal ini menandakan pertentangannya terhadap Mesin Politik semakin kuat, meskipun ia tahu risiko yang akan dihadapinya. Sikap
ini pun telah melibatkan lagi Lastri. Kutipan berikut menggambarkan peristiwa tersebut:
Lastri menyerahkan hal itu pada Abu. Abu cenderung menerima tawaran cakades itu, meski sebenarnya berat hatinya. Itu
akan berarti bahwa ia sudah nekad. Risiko paling kecil ialah dimarahi, diskors, dipindah lagi, atau paling-paling dipecat, ya biar saja.
Kepalang basah. Namun petang harinya ada tamu yang sudah dikenalnya, seorang fungsionaris Mesin Politik Tegalpandan.
Kuntowijoyo, 2000: 135
Kekalahan Abu pada pertarungan pemilihan kepala desa tidak membuatnya jera. Malah pada pemilu nasional ia mengambil sikap lain untuk
menyatakan ketidaksepakatannya dengan Mesin Politik. Pernyataan Abu tentang sikap independensi dalang sebagai seni dalam pemilu nasional
dipublikasikan media massa. Bahkan akhirnya ia membentuk Paguyuban Dalang Independen dan dibertakan media dengan wacana “Para Dalang
Menolak Politisasi Kesenian”. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Koran yang memuat interviu dengan Abu Kasan Sapari kebanjiran surat. Pada umumnya mreka mengatakan bahwa intervieu
itu menunjukkan visi dan misi pedalangan yang jelas sebagai sebuah profesi yang mandiri. Mereka juga menyatakan akan bergabung
seandainya didirikan sebuah paguyuban. Kuntowijoyo, 2000: 138- 139
Anehnya, pemberitaan di Koran pagi harinya menyatakan bahwa di Karangmojo sudah terbentuk Paguyuban Pedalangan
Independen. Berita itu diberi judul, “Para Dalang Menolak Politisasi Kesenian”. Kuntowijoyo, 2000: 143
cxi Permasalahan tersebut tampak jelas semakin bertambah ketika Mesin
Politik membuat respon negative terhadap sikap Abu. Mesin Politik berusaha menekan Abu agar tidak melakukan aktivitas yang merugikan Mesin Politik.
“Maksudnya, mm, Pak Abu jangan mengerjakan apa-apa dan jangan bicara apa-apa menjelang pemilu ini. Dan untuk itu kami akan
memberikan kompensasi.” Kuntowijoyo, 2000: 139
Permasalahan-permasalahan yang dialami Abu belum mencapai klimaksnya. Peristiwa-peristiwa dari seluruh cerita yang terjadi ditahan untuk
memperlihatkan proses menuju puncak klimaks cerita tersebut. Abu mengalami peristiwa yang semakin besar lagi terhadap permasalahan yang
dihadapinya. Klimaksnya ketika Abu menolak tawaran Mesin Politik yang hendak mencalonkannya menjadi calon anggota legislative. Sikap
pertentangannya tersebut menyebabkan Abu sempat ditahan pula dengan tuduhan tindakan subversi anti-Pancasila. Kutipan berikut menggambarkan
peristiwa tersebut: Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar
harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. Kuntowijoyo, 2000: 145
Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. Mereka menemui Camat, menuju ke kamar kerja Abu Kasan Sapari,
menunjukkan sebuah surat. “Kami dari Polres, Anda kami tahan,” kata seorang.
“Boleh-boleh, silakan,”
kata Abu
seperti sudah
mengharapkan. Kuntowijoyo, 2000: 148 Dalam novel
WS
, Wasripin diceritakan ditahan oleh kelompok geng yang kemudian disergap oleh geng lain. Meskipun dihajar, namun Wasripin
masih bertahan. “Begitulah hukumannya jika kamu bohong. Nama?”
“Wasripin” “Pekerjaan?”
cxii “Satpam.”
“Bohong” sebuah tinju bersarang di kepalanya. Kuntowijoyo, 2003:184
e. Klimaks
Pada tahap ini rangkaian-rangkaian peristiwa yang terjadi mencapai klimaks. Puncak dari seluruh cerita atau peristiwa sebelumnya ditahan untu
dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut. Pada novel
P asar
permasalahan yang dihadapi Pak Mantri tidak kunjung menemui titik solusinya, bahkan semakin bertambah besar. Klimaks cerita tejadi ketiak Pak
Mantri sedang berusaha keras menyelesaikan masalahnya, tetapi pada saat itu Paijo malah mencabut laporan yang pernah disampaikannya kepada Pak
Camat berkenaan dengan pasar baru yang didirikan oleh Kasan Ngali. “Anu, Pak. Dulu itu ada yang salah. Ini, tentang pasar baru
punya Kasan Ngali itu. Yang benar ialah, bahwa di pasar baru itu tidak ditarik karcis. Jadi salah dulu itu. Sudah, Pak. Permisi.” Kuntowijoyo,
2002: 210
Pak Mantri marah atas perbuatan yang dilakukan Paijo. Apalagi, setelah itu ia mendapat kabar bahwa Kasan Ngali telah mendirikan bank
kredit. Tidak terkiarakan bencinya pada orang itu. Kasan Ngali telah
mendirikan pasar. Sekarang mendirikan bank. Ia tahu mendirikan bank itu bukan gampang beigut saja asal mempunyuai papan nama. Mesti
ada urusan dengan hukum Rasanya kalau ia buka orang yang arif, tentu sudah memutuskan bahwa Kasan Ngalilah sejahat-jahatnya orang
di muka bumi. Atau sebenarnya ia telah menuruti hawa nafsu dengan membenci orang lain itu? Camat, polisi, semua sudah dihubunginya.
Ah, orang itu semoga pendek umurnya Semoga disambar petir Pak Mantri mengurut-urut dada. Tidak pantas ia berdoa yang seburuk itu,
sebenarnya. Kuntowijoyo, 2002: 226
cxiii Akumulasi permasalahan yang dialami Pak Mantri memuncak ketika
dalam kegagalannya menarik retribusi pasar dari para pedagang sehingga tidak bisa menyetorkan uang ke negara, ia malah dituduh melakukan tindak pidana
korupsi uang pasar. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut: “Celaka, Pak” Katanya mendahului.
“Apa yang celaka, Paijo?” “Kita dituduh”
“Dituduh apa?” “Mengorupsi uang pasar”
“Siapa bilang itu?” “Ada pegawai ke camatan kesini” Kuntowijoyo, 2002: 250
Dalam novel
MPU
permasalahan-permasalahan yang dialami Abu mencapai klimaksnya ketika Abu menolak tawaran Mesin Politik yang hendak
mencalokannya menjadi calon anggota legislative. Sikap pertentangannya tersebut menyebabkan Abu sempat ditahan pula dengan tuduhan tindakan
subversi anti-Pancasila. Kutipan berikut menggambarkan peristiwa tersebut: Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar
harapan para tamunya. Sebab, orang lain tersebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. Kuntowijoyo, 2000: 145
Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. Mereka menemui Camat, menuju ke kamar kerja Abu Kasan Sapari,
menunjukkan sebuah surat. “Kami dari Polres, Anda kami tahan,” kata seorang.
“Boleh-boleh, silakan,”
kata Abu
seperti sudah
mengharapkan. Kuntowijoyo, 2000: 148 Wasripin dalam novel
WS
difitnah menyembunyikan senapan dan granat tangan. Dia kemudian ditahan. Peristiwa tersebut diceritakan sebagai
berikut: Seorang tentara memadamkan listrik yang terang benderang.
Lapangan jadi gelap. Dalam gelap itu Wasripin diantar oleh enam orang bersenjata ke rumahnya di samping surau. Tangan Wasripin
diborgol. …. Seorang tentara menggeledah ruangan itu, tidak
cxiv menemukan apa-apa, lalu menengok kolong tempat tidur Wasripin. Ia
menunjuk ke seonggok senapan dan granat tangan. Kuntowijoyo, 2003: 228
Pak Modin ditahan pula dengan tuduhan tindakan subversi anti- Pancasila. Kutipan berikut menggambarkan peristiwa tersebut:
Keesokan paginya sehabis dari surau, sebuah jip hijau dating ke rumah. Tentara menghormat. Katanya, “Aku diperintahkan komandan
untuk menjemput Pak Modin. Mari ikut kami.” Bu Modin yang punya firasat buruk berteriak-teriak, “Jangan Jangan” teriakan itu membuat
orang keluar rumah. Tapi, mereka hanya sempat melihat jip itu semakin jauh. Bu Modin ingat Wasripin; dibawa tentara selalu berarti
mati. Kuntowijoyo, 2003: 246
f. Falling Action
Setelah mencapai klimaks dengan pengungkapan masalah-masalah yang menimpa tokoh, kemudian pada tahap tertentu konflik cerita mulai
menurun. Dalam novel
Pasar
, Pak Mantri mulai menemukan solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapinya. Pak Mantri mencoba untuk bersikap
tenang. Ketenangan batinnya membawa ia berpikir jernih untuk memulihkan situasi pasar serta mengembalikan kepercayaan warga pasar. Pak Mantri
mengajurkan kepada para pedagang agar mereka kembali berjualan ke pasar. Bahkan dengan pertimbangannya para pedagang tidak dipungut retribusi.
Gambaran tersebut tercantum dalam kutipan berikut: “Kita anjurkan mereka ke pasar. Anak-anak nakal akan pulang
juga ke orang tuanya. Kerbau mesti pulang ke kandang. Pedagang mesti pulang ke pasar. Dan satu lagi.”
Pak Mantri diam. Agak susah ia mengatakan ini. Ada pertimbangan-pertimbangan. Lama menanti, Paijo menyela.
“Dan apa, Pak?” “Hm. Dan katakana mereka tidak akan dipungut pajak.”
Kuntowijoyo, 2002: 252
cxv Malam hari Pak Mantri selalu tidur dengan tenang.
Kemenangan batinnya membuat ia tenteram. Itulah saat-saat paling besar paling besar dalam hidupnya. Tidak lagi diingatnya Kasan Ngali,
Siti Zaitun, orang-orang pasar. Ia melihat diri sendiri. Penemuannya sungguh mengagumkan, sangat jarang ditemukan orang macam itu
dalam sejarah. Ternyata, ia mampu mengorbankan dirinya sendiri. Dan hal itu akan ditambahnya lagi. Sesuatu yang tak terjangkau oleh
gagasan orang lain. Sambil tiduran ia memikirkan, kalau perlu burung- burung daranya bisa saja ditangkap. Supaya orang-orang pasar itu
selamat. Tentang caranya bisa dierahkan pada Paijo. Keputusannya yang luar biasa itu memberi harapan, bakan baginya sendiri. Dan ia
yang setua itu mempunyai kerelaan yang demikian besar. Semoga diterima amalnya Kuntowijoyo, 2002: 253
Di sinilah kemudian nampak jiwa kepemimpinan yang dimiliki Pak Mantri. Pak Mantri menyadari bahwa solusi dari semua permasalahan terdapat
di dalam dirinya. Solusi tersebut akan dapat dimunculkan dan diwujudkan dengan keberanian mengambil sikap diri tanpa harus bergantung pada orang
lain. Jiwa ksatira seorang pemimpin dinyatakan dengan kemampuan mengorbankan dirinya untuk sesuatu yang lebih besar, bahkan tanpa harus
diketahui banyak orang, maka respon kebaikanlah yang akan diterimanya. Keberhasilan dari hasil perjuangan Pak Mantri tersebut dapat kita lihat
pada kutipan berikut” Aksi penertiban itu dijalankan dengan berhasil, tanpa
pertengkaran polisi dan teriak-teriak keras. “Kalau mau negara teratur, pasar harus diatur. Pasar memegang peranan penting dalam Negara.
Tanpa pasar ekonomi tidak jalan. Ayo los-los masih luang. Kesempatan bagi yang pandai. Tanpa tempat yang tetap, pedagang
akan rugi. Tidak dikenal pembeli. Tidak dikenal pembeli, tidak dikenal rezeki. Iya, to Kang? Betul, to Yu?” Dia berjalan-jalan sambil
mengomel. “Sebentar lagi musim hujan. Kalau hujan, mana enak, di jalanan atau di los pasar. Tidak hujan, tidak panas, tidak angina.” Maka
bergeser sedikit-sedikit orang-orang masuk los. Sangat cemerlang pekerjaan itu dilakukan. Hanya tukang karcis Pak Mantri sanggup
mengerjakan itu. Paijo sudah meningkat satu taraf lebih pandai. Kuntowijoyo, 2002: 340
cxvi Dengan kembalinya para pedagang berjualan di los-los pasar
merupakan tanda kepercayaan mereka kepada negara. Kepercayaan warga pasar dengan sistem perbaikan yang digalakkan, yang berarti kepercayaan
kepada Paijo juga Pak Mantri Pasar. Lebih-lebih kepercayaan itu juga terwujud dengan kemauan para pedagang untuk membayar kembali retribusi
pasar yang lama tidak dipungut. Dengan diam, Paijo memuntahkan uang dari saku bajunya di
meja. Pak Mantri heran. Apa pula ini? Ah, sudah mulai lagi karcis itu Ya, hanya senyumlah yang keluar pada bibirnya. Kuntowijoyo, 2002:
342
Pada tahap ini terjadi kilas balik peristiwa dalam cerita
MP U
. Kilas balik peristiwa masa lalu tersebut terlihat ketika Kakek Abu bercerita kepada
Abu tentang kisah hidup leluhurnya hal. 175-189. Fakta tersebut sedikit dapat diketahui dari kutipan berikut:
Abu Kasan Sapari pulang ke desa tempat ia dibesarkan. Kakek bercerita.
Eyang pendiri desa kita waktu masih muda menjadi prajurit keratin. Dia berhasil menyelamatkan raja Pakubuwana II dari
Surakarta dari perampok waktu raja menyamar untuk melihat-lihat kerajaannya. Maka ia mendapat hadiah sebuah hutan gung liwang-
liwung, hutan lebat. Kuntowijoyo, 2000: 175 Setelah mencapai klimaks dengan pengungkapan masalah-masalah
yang menimpa tokoh, kemudian pada tahap tertentu konflik cerita mulai menurun. Abu tidak lagi mendalang untuk mendukung calon yang berhadapan
dengan Mesin Politik. Oleh karena itu sebutan dalang politik anti-Randu yang semula melekat pada dirinya sudah hilang.
Buktinya, para bakul di pasar tidak lagi menambahkan kata ‘dalang politik’ ketika Abu mendalang untuk juragan bis di
Tegalpandan. Kenyataan itu dikabarkan Lastri pada Abu Kasan Sapari,
cxvii “Soal ‘dalang politik’ sudah beres. Sampeyan bebas sekarang.
Kuntowijoyo, 2000: 206 Perihal lain yang menjadi menurunnya cerita ialah semakin
harmonisnya hubungan antara Abu dengan Lastri. Dalam hal ini, Abu memastikan apakah Lastri mau kalau ia nantinya menjadi istrinya. Peristiwa
tersebut diwujudkan melalui dialog wayang ‘Cangik Bertanya pada Limbuk” sebagai berikut:
Cangik : Aku sudah bilang Mas Petruk. Katanya, tidak ting-ting tidak apa. Malah sudah pengalaman, bisa ngajari Mas
Petruk. Limbuk : Jadi biyung sudah menerima lamaran Mas Petruk?
Cangik : Sekarang ini bukan zamannya anak menurut orang tua, tapi orang tua menurut anak.
Limbuk : Aku konservatif
kok
yung. Cangik : Artinya?
Limbuk : Artinya, monat-manut saja. Mas Petruk yam au, Mas Gatokaca ya mangga. Kuntowijoyo, 2000: 226
Dalam novel
WS,
menurunnya cerita ditandai dengan kematian Wasripin dan sikap pasrah masyarakat pada takdir Tuhan. Pak modin sebagai sesepuh di
perkampungan nelayan memberi nasihat untuk menenangkan masyarakat. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut:
“Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisi-Nya” kata Pak Modin “Dan Wasripin telah syahid. Negara Mendzalimi anaknya
sendiri yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan ia sebagai
washilah
. Itu syirik.” Kuntowijoyo, 2003: 246 g.
Denovement Setelah cerita melalui proses pemecahan masalah dari semua peristiwa,
maka mengarah pada penyelesaian. Dalam novel
Pasar,
Pak Mantri telah kembali pada keluhuran sikap dan ketenangan batin. Keseluruhan sikapnya
membawa ia berpikir jernih untuk memulihkan situasi pasar dan memulihkan
cxviii kepercayaan warga pasar. Lebih dari itu, ketenangan batinnya membawa pada
pandangan bahwa semua peristiwa dan permasalahan yang dialaminya merupakan
jaring-jaring menuju
pemahaman kesempurnaan
makna kehidupan.
Masalah-masalah yang ada telah terselesaikan dengan solusi yang tepat. Pak Mantri memulihkan kembali kepercayaan warga pasar terhadap
dirinya. Para pedagang berpindah menempati los-los. Uang karcis mulai ditarik kembali. Tidak ada lagi persaingan dengan Kasan Ngali. Bahkan ia
bisa membebaskan perasaannya terhadap Siti Zaitun. Kutipan berikut menjelaskan deskripsi tersebut:
Siti Zaitun masih berdiri di tangga. Ia menatap semua orang. Ada Pak Mantri, Paijo, ibu-ibu, camat, kepala polisi. Dan Kasan Ngali
Ah Terlalu banyak yang dikenangnya atau yang harus dilupakan. Ia telah memaafkan semua. Pak Mantri terpaku. Ia berbisik: Saya cinta
kepadamu, Nak.” Kuntowijoyo, 2002: 362
Pak Mantri selalu tahu tindakan apa yang harus dilakukannya. Dengan keyakinan yang mantap ia mewariskan nilai-nilai luhur kepemimpinan kepada
generasi penerusnya, yaitu Paijo. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Dan kalau aku mati. Itulah warisanku, Nak. Pewarisnya, siapa saja yang menyebut diri orang Jawa. Aku akan menghubungi ini.” Lalu
Pak Mantri mengeluarkan majalah bahasa Jawa. “Akan kurikulum ke sini. Tetapi ketahuilah, engkaulah yang sebenarnya pewaris. Maukah,
Nak?” Paijo mengangguk. Kertas-kertas disusunnya. “Kalau macam mati meninggalkan belangnya. Kalau Pak Mantri mati meninggalkan
tembang.” Lalu ia pun tertawa, terkekeh. Paijo tertawa. Tertawa yang sopan dan ringan. Paijo berkeringat. Tembang-tembang itu dibacanya.
Bisa saja, tetapi lebih baik waktu lain. Kuntowijoyo, 2002: 346
“Hari-hari terakhir untukku, Nak. Hari-hari pertama untukmu. Sebentar lagi saya akan meniggalkannya. Tetapi saya percaya padamu.
cxix “Kemudian suara itu tidak jelas, serak, berakhir dengan isak. Mereka
masuk lingkungan kantor. Kuntowijoyo, 2002: 363
Pada tahap ini, dalam novel
MPU
, semua peristiwa telah mengarah pada proses pemecahan masalah sebagai penyelesaian. Tokoh Abu telah
mencapai kesadaran terhadap realitas kehidupan yang dialaminya dengan berinteraksi di masyarakat. Ia meyakini bahwa kemampuan manusia
diwujudkan karena berusaha keras bukan karena mantra. Oleh karena itu, Abu rela melepas mantra yang pernah melekat dalam dirinya sehingga ia terikat
pada pemahaman dan perilaku yang irasional sampai merugikan diri sendiri dan orang lain. Deskripsi tersebut dapat diketahui dalam kutipan berikut:
Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan
memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri Ia bermaksud memutus mata-
rantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung. Kuntowijoyo, 2000: 242
Pada tahap ini, dalam novel
WS
, semua peristiwa telah mengarah pada proses pemecahan masalah sebagai penyelesaian. Tokoh Wasripin telah
meninggal dan Pak Modin menjadi gila karena siksaan yang biadab. Berikut kutipan yang menjelaskan hal tersebut:
“Kenalkan saya Mister Mudin, Presiden NII.” “Bukan. Tapi Pak Modin, imam surau TPI.”
“Saya berani sumpah. Pengangkatan sudah saya tanda tangani.
Disaksikan dua kopral bersenjata lengkap.” Kuntowijoyo, 2003: 255 Selain itu, masalah berakhir ditandai dengan pulangnya emak angkat
Wasripin. Setelah menyatakan bertaubat di depan kyai, Emak mencari Wasripin dan Paman Satinah. Namun kedua orang itu telah meninggal.
cxx Akhirnya Emak mencium tanah dua kali sebagai permohonan maaf untuk
Wasripin dan Paman Satinah. Berikut ini kutipannnya: Perempuan itu mencium tanah dua kali.
“Maafkan, emakmu. Maafkan, Mas.” Kuntowijoyo, 2003: 254
3. Tokoh dan Penokohan
Sebuah cerita novel berjalan seiring dengan peran tokoh dan penokohan yang terdapat dalam cerita tersebut. Analisis struktur tokoh dan penokohan dalam
novel
Pasar
,
MP U,
dan
WS
dilakukan dengan melihat penggambaran watak tokoh dari beberapa sisi, yaitu melalui metode deskripstif maupun dramatik.
a. Deskripsi Tokoh-Tokoh dalam Novel
Pasar, MP U, dan Wasripin dan Satinah
Novel
Pasar
karya Kuntowijoyo menampilkan tokoh utama Pak Mantri, Paijo, Kasan Ngali, dan Siti Zaitun. Nama tokoh kemudian
berkembang dengan nama-nama Pak Camat, Pak Kepala Polisi, Marsinah, pedagang pasar, anak-anak kecil, anak buah Kasan Ngali, Darmokendang,
Jenal, pegawai kecamatan, dan pegawai kepolisian. Novel
MPU
memiliki tokoh dan penokohan yang menarik karena tidak semua tokoh diwujudkan dengan sosok tunggal manusia. Cerita
MPU
menampilkan tokoh utama Abu Kasan Sapari, Sulastri, dan Mesin Politik. Perkembangan cerita kemudian melibatkan tokoh tambahan seperti orang tua
Abu, kakek nenek abu, wartawan, Haji Syamsudin, Ki Lebdocarito, Ki Manut Sumarsono, polisi, rakyat atau masyarakat desa, Kismo Kengser dan laki-laki
tua. Tokoh-tokoh tambahan tersebut hanya muncul sekali atau beberapa kali dalam jalannya cerita.
cxxi Sedangakan novel
WS
memiliki menampilkan tokoh utama Wasripin, Satinah, Emak, dan Paman Satinah. Nama tokoh kemudian berkembang
dengan nama-nama Pak Modin, Bu Modin, Danramil, Kapolsek, Perwira Pati, Camat, Sekdes, Nelayan, dan warga perkampungan nelayan.
Novel
Pasar
menempatkan tokoh Pak Mantri sebagai pusat bagi pengarang untuk mengungkapkan ceritanya. Pak Mantri merupakan tokoh
sentral yang mengalami banyak peristiwa dalam keterlibatannya di dalam cerita
Pasar
. Fakta tokoh Pak Mantri sebagai tokoh sentral dapat dilihat dari banyaknya hubungan yang dimiliki dengan tokoh-tokoh lain di dalam cerita.
Tokoh Pak Mantri berhubungan dengan tokoh pedagang pasar. Sebagai pengelola pasar tentu Pak Mantri sangat dekat dengan para pedagang
yang setiap harinya mencari penghidupan di pasar. Oleh karena itu tokoh Pak Mantri tidak hanya memiliki hubungan strata dengan tokoh pedagang pasar.
Tokoh Pak Mantri juga membangun hubungan persahabatan dengan mereka. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Biasanya, pada hari pasar macam begini Pak Mantri akan berkeliling, sekadar berbicara dengan orang-orang, terutama dengan
penjual obat yang dari jauh. Sekadar bersahabat. Hari pasar sekali ini benar-benar kehilangan selera untuk berkelakar. Ia terpaksa duduk-
duduk di kantor. Tak ada minat. Kuntowijoyo, 2002: 101
Tokoh Pak Mantri juga berhubungan dengan tokoh Siti Zaitun. Secara fisik tokoh Pak Mantri bertetangga dekat dengan tokoh Siti Zaitun karena Siti
Zaitun bekerja sebagai pegawai bank yang letaknya bersebelahan dengan kantor pasar. Oleh karena itu mereka memiliki kedekatan emosional satu sama
lain.
cxxii Tobat Alangkah malu. Siti Zaitun yang berkantor di sebelah
itu sudah datang. Sepanjang hidupnya, mantra pasarlah yang membuka kantor paling pagi di kecamatan pelosok itu. Kebetulan mereka
bertatapan. Perempuan itu tidak tersenyum, hanya mengangguk dingin. “Selamat pagi, Pak.” Itu di luar kebiasaan. Kuntowijoyo, 2002: 7
Tokoh Pak Mantri berhubungan erat dengan Tokoh Paijo sebagai
rekan kerja, meskipun kedudukan mereka berbeda. Tokoh Pak Mantri berkedudukan lebih tinggi daripada tokoh Paijo. Tokoh Paijo merupakan
pegawai yang membantu kerja tokoh Pak Mantri dalam mengelola pasar, yaitu menarik retribusi pasar. Hubungan mereka dekat.
Paijo telah membuka pintu dan jendela. Pak Mantri masuk, menghela napas, duduk di kursi sambil melemparkan tas dan topi di
meja. Nampaknya Paijo tergesa pergi. Pak Mantri ingat ketela itu, tegurnya: “Kau membakar sampah lagi, ya? Disapu dulu kantor ini.
Sudah kerja seumur hidup, belum tahu tugasnya.” Kuntowijoyo, 2002: 9
Tokoh Pak Mantri memiliki hubungan yang kurang baik dengan tokoh Kasan Ngali. Tokoh Kasan Ngali sebagai pedagang kaya merupakan rival bagi
tokoh Mantri Pasar baik dalam pengaruh di pasar maupun persaingannya dalam menarik hati tokoh Siti Zaitun. Dalam novel
Pasar
, tokoh Pak Mantri tidak pernah berbicara langsung kepada tokoh Kasan Ngali. Kutipan berikut
menjelaskan hubungan tersebut. Kasan Ngali? Huh. Hanya dia belum juga punya alasan yang
tepat untuk mengumumkan permusuhannya dengan laki-laki kurang sopan itu. Mungkin ia bisa menuntut atas dasar kucing itu? Nah ini
bisa dipikir. Akal tuanya tak membenarkan hal seremeh itu dibesar- besarkan. Lagi pula Kasan Ngali bukan kucing dan kucing bukan
Kasan Ngali. Ia bisa memaafkan kucing, tetapi memaafkan Kasan Ngali tidak mungkin. Kuntowijoyo, 2002: 57
Tokoh Pak Mantri sebagai tokoh berpengaruh juga berhubungan dengan tokoh Pak Camat. Kedekatan hubungan antara Pak Mantri dengan Pak
cxxiii Camat merupakan penghormatan antartokoh berpengaruh di kota kecamatan.
Adanya kepentingan masing-masing sangat memengaruhi hubungan mereka. Hal tersebut nampak pada kutipan berikut:
Pak Camat datang juga. Pak Mantri mendahului memberi selamat: “Selamat siang, Pak.” Keduanya termasuk orang-orang
penting dalam kota kecil itu. Kalau ada orang kawin merekalah duduk paling muka, mendapatkan penghormatan yang pertama. Juru tulis
menyodorkan buku tamu. Pak Camat memeriksanya. Kuntowijoyo, 2002: 61
Di samping itu tokoh Pak Mantri juga berhubungan dengan tokoh
Kepala Polisi sebagai penanggung jawab keamanan di kota kecamatan tersebut. Hubungan antara tokoh Pak Mantri dan tokoh Kepala Polisi pun
terkait masalah kebutuhan dan tanggung jawab satu sama lain sebagaimana dalam kutipan berikut:
Sekarang baru itulah yang disebut polisi. Pak Mantri menghapus keringatnya. Sapu tangan itu wangi. Kepala Polisi
mengantarnya sampai luar. Tidak ada orang lain di kecamatan itu yang diantar sampai pelataran oleh Kepala Polisi. Kuntowijoyo, 2002: 86
Tokoh Pak Mantri juga berhubungan dengan tokoh anak-anak. Pak
Mantri memandang anak-anak adalah kehidupan masa lalu yang pernah dialaminya pula. Oleh karena itu, Pak Mantri sangat sayang kepada anak-anak.
Hubungan Pak Mantri dan anak-anak tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Pak Mantri mengelus-ngelus anak itu. Dan tangan yang dipegang anak itu dilihatnya. Ah, ada yang salah di sini. Anak itu
ketakutan. Anak ini perlu ditolong. Ia harus mengangkatnya kuat-kuat, kalau mau menolongnya mengantar pulang. Ia tak bisa, ia terlalu
lemah. Terpaksa ia melambai pada anak-anak yang diketahuinya menunggu di luar pagar. Ah, ia ingin menangis untuk anak itu. Ia
sendiri senakal itu pula waktu kecil. Barangkali anak itu sangat patut
cxxiv menjadi cucunya. Anak-anak yang di luar pagar itu ragu-ragu datang.
Ia memanggil-manggil. Mereka datang juga. Kuntowijoyo, 2002: 147
Di samping itu, tokoh Pak Mantri juga berhubungan dengan tokoh Marsiyah. Bagi Pak Mantri, Marsiyah merupakan seorang wanita yang pernah
dicintainya, tapi ia menerima takdir yang berbeda yang menurutnya itu lebih baik. Hubungan Pak Mantri dan Marsiyah tersebut nampak pada kutipan
berikut: Lho O, tentu salah urus, ini. Bagaimana memulai omong yang
baik pada Marsiyah. Untunglah dia tak kawin dengan perempuan ini. Syukurlah. Akhirnya ia membenarkan nasib juga bagaimana
keterangannya sampai perempuan itu melabraknya. Ini yang ingin diketahuinya. Kuntowijoyo, 2002: 150 – 151
Tokoh Abu Kasan Sapari merupakan tokoh sentra yang digunakan
pengarang untuk mengungkapkan ceritanya dalam novel
MPU
. Tokoh Abu paling banyak mengalami peristiwa atau paling banyak diceritakan pengarang.
Fakta tersebut menjadikan tokoh Abu sebagai tokoh sentra yang memiliki masalah kompleks juga berhubungan dengan tokoh-tokoh lain.
Waktu kecil tokoh Abu sudah dipelihara oleh kakeh neneknya karena ikatan janji keluarga hal. 6. Padahal tokoh Abu baru satu tahun diasuh kedua
orangtunya. Menginjak masa pendidikannya juga untuk mengembangkan karir dalangnya tokoh Abu tinggal bersama tokoh Ki Lebdocarito hal.13 bahkan
kemudian tokoh Abu diangkat sebagai anak. Kutipan berikut menunjukkan adanya hubungan tokoh Abu dengan tokoh Ki Lebdocarito:
Dalam musyawarah keluarga ketika anak-anak berkumpul, Ki Lebdo mengutarakan maksud untuk mewariskan gamelan dan wayang
kepada Abu, semuanya setuju. Kemudian ditulislah wasiat. Kuntowijoyo, 2000: 15
cxxv Sebagai dalang tokoh Abu juga berinteraksi dengan tokoh Ki Manut
Sumarsono. Selain sebagai dalang senior, tokoh Ki Manut Sumarsono juga merupakan guru yang harus dihormati baginya. Berikut kutipan yang
menunjukkan hubungan tokoh Abu dengan tokoh Ki Manut Sumarsono: Ia dipercaya untuk mendalang pada peringatan hari lahir Ki
Manut Sumarsono. Selain itu, Ki Manut Sumarsono punya cara sendiri untuk mempromosikannya. Mula-mula Ki Manut akan memulai,
kemudian dia melanjutkan. Sesudah itu kadang-kadang orang yang datang pada Ki Manut akan di-
verwijs
padanya. Kuntowijoyo, 2000: 106
Posisi tokoh Abu yang memiliki pandangan berbeda menyebabkan
tokoh Abu terlibat masalah dengan tokoh Mesin Politik dan warga. Berikut ini kutipan yang memperlihatkan interaksi pertentangan tokoh Abu dengan tokoh
Mesin Politik juga warga: Bahwa Abu Kasan Sapari suka mendalang untuk calon kepala
desa cakades yang bermusuhan dengan calon Mesin Politik sudah diketahui pegawai kecamatan dan Camat Tegalpandan sejak duluan
lewat jalur birokrasi dan Mesin Politik. Kuntowijoyo, 2000: 133
Masalah Abu dan ular itu telah membagi warga menjadi dua: yang mendukung Abu dan yang menentang. Kuntowijoyo, 2000: 131
Di samping itu, tokoh Abu juga memiliki hubungan cinta kasih dengan tokoh Sulastri. Berikut ini kutipan yang memperlihatkan fakta tersebut:
Di luaran, di kecamatan, di pasar, dan di terminal telah berkembang rerasan bahwa Abu akan mengawini Lastri. Orang-orang
akan berhenti bekerja dan diam-dia memerhatikan Abu dan Lastri, kalau mereka sedang lewat. “Wajahnya sudah mirip,” kata orang.
Kuntowijoyo, 2000: 116 Tokoh Wasripin merupakan tokoh sentra yang digunakan pengarang
untuk mengungkapkan ceritanya dalam novel
WS
. Tokoh Wasripin paling
cxxvi banyak mengalami peristiwa atau paling banyak diceritakan pengarang. Fakta
tersebut menjadikan tokoh Wasripin sebagai tokoh sentra yang memiliki masalah kompleks juga berhubungan dengan tokoh-tokoh lain.
Dalam novel WS, tokoh Wasripin mulai tersentuh dengan permasalahan ketika dia menjadi satpam dan memergoki pencurian kayu. Saat
itulah Wasripin kena pukul sampai pingsan dan mulai dibenci oleh para prnguasa. Berikut ini kutipan yang memaparkan peristiwa tersebut:
“Tiba-tiba saja orang menggebukku dengan kayu.” “Kayu-kayu?”
“Bukan itu saja.” “Kau pasti mengurus yang bukan urusanmu. Itu urusan polisi.”
Kuntowijoyo, 2003: 65
Wasripin ditangkap dengan tuduhan mau memperkosa. Tuduhan ini
juga tidak terbukti dan gagal memenjarakan Wasripin karena Wasripin menantang pihak pelapor untuk melakukan sumpah pocong. Hal itu terlihat
dalam kutipan berikut: Di pengadilan jaksa menuduhnya dengan perkosaan yang berhasil
digagalkan korban. Wasripin menolak tuduhan itu, dan meminta diadakan sumpah pocong. Kuntowijoyo, 2003: 166
Di bagian akhir, Wasripin akhirnya mati ditembak karena dituduh sebagai komandan DITII. Berikut petikan cerita yang menunjukkan hal
tersebut: Pagi TVRI dan Koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati
ditembak tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di suatu tempat yang dirahasiakan karena dapat menimbulkan syirik.
Kemudian juga dikatakan bahwa dia komandan DITII Pantura, anti- Pancasila, dan ingin mendirikan Negara Islam dengan kekuatan senjata.
Kuntowijoyo, 2003: 231
cxxvii b.
Penggolongan Tokoh dalam Novel
Pasar
dan Novel
MPU
Dalam novel
Pasar,
tokoh Pak Mantri merupakan tokoh yang melakukan segala tindak tokoh utama sebagaimana diamanatkan oleh
pengarang. Karena itu tokoh Pak Mantri memenuhi syarat disebut sebagai tokoh protagonist. Tokoh protagonist memiliki watak yang baik sehingga
disenangi oleh pembaca. Tokoh Kasan Ngali tidak disenangi karena sebagai seorang pedagang
kaya, dalam bertindak selalu mendahulukan kepentingan pribadi juga memperhitungkan masalah keuntungan materi. Ketika pasar dalam keadaan
kacau, sebagai orang yang mampu ia tidak mau ikut serta dalam memberikan solusi malah membuat kondisi semakin kacau. Di awal ia membantu orang
menabung di bank pasar karena ingin mendekati tokoh Siti Zaitun. Bahkan karena keangkuhannya ia mendirikan bank kredit untuk membuat keadaan
pasar menjadi labil. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: Pasar baru Kasan Ngali telah mengacaukan pikirannya benar.
Keparat Kepada orang banyak yang lewat di jalan ia ingin mengatakan, bahwa mantra pasar sedang lewat, minggir, beri jalan
Tetapi ia tidak suka dengan penonjolan diri, justru dialah yang mencari-cari jalan di sela-sela orang. Mereka yang berbudi mesti
mengalah, tidak berebutan jalan. Kalau berbuat baik boleh berebut, kalau berjalan tak usahlah berebut. Maka bukannya ia sengaja
mengutuki Kasan Ngali, tetapi Kasan Ngali telah merugikan pasar yang dipegangnya. Karena tanggung jawablah ia berbuat. Sedang dia
lupa membicarakan dengan polisi. Itu saja sayangnya. Kuntowijoyo, 2002: 87
Dari sisi pandang lain, dapat diketahui kalau tokoh pedagang merupakan tokoh datar atau tokoh sederhana karena tokoh pedagang dan
tokoh anak-anak kecil merupakan tokoh yang mudah dikenali tanpa perlu
cxxviii analisis. Dari dulu dimana pun dan sampai kapan pun yang namanya pedagang
dan anak-anak kecil memiliki karakter yang jelas. Sedangkan tokoh Pak Mantri, Paijo, Siti Zaitun, dan Kasan Ngali merupakan tokoh bulat karena
dapat dimaklumi pembaca setelah dilakukan analisis mendalam tentang tokoh. Tokoh-tokoh tersebut diketahui setelah ada deskripsi fisik yang ditampilkan
oleh pengarah juga dapat melalui analisis tindakan, pemikiran, dan interaksi dengan tokoh lainnya. Berikut ini gambaran tokoh pedagang yang selalu
memperhitungkan segala sesuatu dengan perhitungan uang: “Hitunglah, Pak, “kata perempuan itu pada polisi. “Tiga ekor
burung dara telah mencocok berasku. Berapa harus dibayar, kalau aku mau menghitung. Masih diminta karcis pasar lagi Mestinya aku minta
ganti rugi” Orang mengangguk-angguk. Rugi, rugi itu Betul tak mau bayar Kuntowijoyo, 2002: 35
Sedangkan tokoh anak-anak memiliki watak nakal, suka berbuat iseng. Hal tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut:
Yah, suara anak-anak. Ah, sebagai lelaki tua yang pernah jadi anak-anak ia tahu apa kerja mereka di luar. Bersembunyilah dulu
Jangan usik mereka. Lalu tangkap basah Dari rebut-ribut itu ia tahu, anak-anak itu sedang mencuri burung-burung dara dari paguponnya.
Kuntowijoyo, 2002: 146
Dalam penyebutan lain, kecuali tokoh Pak Mantri, semua tokoh-tokoh yang disebut dalam novel
Pasar
merupakan tokoh statis karena tokoh-tokoh tersebut secara esensial dari awal hingga akhir cerita tidak mengalami
perubahan dan atau perkembangan perwatakan yang diakibatkan oleh adanya pengaruh peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sedangkan tokoh Pak Mantri
disebut sebagai tokoh dinamis karena tokoh tersebut mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan akibat pengaruh peristiwa-peristiwa yang
cxxix terjadi. Perubahan tokoh Pak Mantri tersebut dapat dicermati melalui jalan
pikiran tokoh Pak Mantri dalam berusaha menyelesaikan permasalahan yang terjadi di pasar. Pak Mantri mengalami perkembangan pola piker yang
mencerdaskan dalam mengambil keputusan-keputusan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di pasar.
“Coba, Nak. Saya memelihara burung-burung saya sendiri. Itu sudah berjalan sejak lama. Burung-burung itu kubeli dengan uang saya
sendiri. Dikandangkan di pasar sendiri. Tetapi mereka telah memukulinya. Membunuhnya” Kuntowijoyo, 2002: 84
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Pak Mantri memiliki sikap keras perlakuan tokoh pedagang pasar terhadap burung-burung
daranya. Sikap tersebut kemudian berubah setelah tokoh Pak Mantri mencapai kesadaran akal dan pikirannya. Tokoh Pak Mantri merubah sikap egois yang
telah dimilikinya dulu menjadi sikap empati. Hal tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut:
Begitulah kalau mau tahu watak Pak Mantri. Itulah sikap ksatria, perwira. Di pandangnya burung-burung yang berkeliaran.
Ditinggalkannya Zaitun dalam keadaan bertanya-tanya. Memang, diarasanya juga, bahwa burung-burung itu mengganggu para
pedagang. Ah, selama ini ia tidak tahu itu. Untunglah datang petunjuk itu. Ia menempatkan diri pada pihak pedagang, dan ia bisa jengkel
juga. Pantaslah, saya memahami kalian, Saudara-saudara. Ia bisa menghitung, kalau setiap ekor burung dara makan beras segenggam
setiap hari, berapa kuintal dalam sebulan. Ah, lebih baik beras itu diberikan pada fakir miskin daripada burung Kuntowijoyo, 2002:
254
Deskripsi yang ditampakkan pengarang dalam novel
MPU
kepada tokoh Abu mencakup watak dan sikap tokoh tersebut merupakan hal-hal yang
disenangi pembaca. Tokoh Abu menghadapi dan menyelesaikan problema
cxxx hidup diri juga masyarakat dengan sikap yang berani. Oleh karena itu tokoh
Abu Kasan Sapari dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Sedangkan tokoh yang menentang sikap tokoh Abu Kasan Sapari ialah
tokoh Mesin Politik. Tokoh Mesin Politik memiliki watak dan sikap yang buruk sering melakukan tindakan yang jauh dari nilai-nilai kebenaran. Oleh
karena itu, tokoh Mesin Politik mempunyai konflik dengan tokoh Abu Kasan Sapari. Tokoh Mesin Politik ini dikategorikan sebagai tokoh antagonis.
Kutipan berikut mendeskripsikan tokoh-tokoh tersebut: Bahwa Abu Kasan Sapari suka mendalang untuk calon kepala
desa cakades yang bermusuhan dengan calon Mesin Politik sudah diketahui pegawai kecamatan dan Camat Tegalpandan sejak duluan
lewat jalur birokrasi dan Mesin Politik. Kuntowijoyo, 2000: 133 Berdasarkan pandangan lain, tokoh Abu Kasan Sapari, tokoh Mesin
Politik, dan tokoh Lastri merupakan tokoh bulat karena tokoh-tokoh tersebut baru dapat diketahui karakternya setelah memahami benar sikap dan perilaku
tokoh, tidak serta merta dapat diketahui secara langsung. Sedangkan tokoh- tokoh lain seperti tokoh wartawan, tokoh warga kampung, tokoh-tokoh rakyat,
dan tokoh mahasiswa digolongkan sebagai tokoh datar. Tokoh-tokoh tersebut memiliki karakter umum yang khas, mudah dikenali dan bersifat permanent.
Kutipan berikut menunjukkan watak tokoh wartawan yang suka menggunakan bahasa jurnalistik sebagai persepsi kebenarannya juga tokoh rakyat yang
memiliki watak suka bertindak dengan emosi, tidak mengindahkan logika rasional:
“Aku tahu kau heran. Aku telah menyulap angka.” Kuntowijoyo, 2000: 143 – 144
cxxxi Rakyat dari dua desa yang merasa calon lurahnya kalah oleh
calon yang dijagoi Mesin Politik datang memprotes Camat baru. Mereka datang membawa spanduk dengan tulisan seadanya.
Kuntowijoyo, 2000: 197 – 198
Penyebutan lain tokoh dalam cerita
MP U
terdapat tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh Abu Kasan Sapari dapat disebut tokoh dinamis karena
tokoh Abu mengalami perkembangan sikap yang diakibatkan adanya keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sikap keras yang
dimiliki tokoh Abu pada masa awal berubah menjadi moderat dan strategik dalam menyikapi masalah yang dialaminya. Begitu pula pandangannya
terhadap pengaruh mantra yang dimilikinya terhadap kehidupannya menjadi tidak percaya hal takhayul. Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut:
Betul, ia pergi pada Pak Camat dan menyatakan niatnya untuk mendalang menggantikan Ki Manut. Pak Camat keheranan, dia adalah
Pembina Randu di kecamatannya, dan Abu ‘dalang politik anti- Randu’. Kuntowijoyo, 2000: 205
Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan
memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri Ia bermaksud memutus mata-
rantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung. Kuntowijoyo, 2000: 242
Sedangkan tokoh-tokoh lain tergolong sebagai tokoh statis karena tokoh-tokoh tersebut tidak mengalami perkembangan perwatakan secara
esensial. Tokoh-tokoh tersebut tidak ikut berubah sejalan dengan plot yang dikisahkan.
Deskripsi yang ditampakkan pengarang dalam novel
WS
kepada tokoh Wasripin dan Satinah mencakup watak dan sikap tokoh yang disenangi
pembaca. Tokoh Wasripin dan Satinah menghadapi dan menyelesaikan
cxxxii problema hidup diri dengan sikap yang lugu dan berani. Oleh karena itu tokoh
Wasripin dan Satinah dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Tokoh lain yang juga dikategorikan dalam tokoh protagonis adalah tokoh Pak Modin.
Sedangkan tokoh yang menentang sikap tokoh protagonist ialah tokoh Ketua Partai Randu, orang-orang militer, dan Presiden Sadarto. Tokoh-tokoh
tersebut memiliki watak dan sikap yang buruk sering melakukan tindakan yang jauh dari nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu, tokoh-tokoh tersebut
mempunyai konflik dengan tokoh Wasripin, Satinah, dan Pak Modin. Tokoh Ketua Partai Randu ini dikategorikan sebagai tokoh antagonis. Kutipan berikut
mendeskripsikan tokoh-tokoh tersebut: “Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkan bila partai ingin
menang,” kata renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat “disingkirkan” artinya “dimusnahkan”, “dipenjara”, atau “ditahan”
Kuntowijoyo, 2003: 137
Berdasarkan pandangan lain, tokoh Wasripin, Satinah, Pak Modin, dan
Ketua Partai Randu merupakan tokoh bulat karena tokoh-tokoh tersebut baru dapat diketahui karakternya setelah memahami benar sikap dan perilaku
tokoh, tidak serta merta dapat diketahui secara langsung. Sedangkan tokoh- tokoh lain seperti tokoh Danramil, tokoh warga kampong nelayan, dosen,
Satgas, dan tokoh mahasiswa digolongkan sebagai tokoh datar. Tokoh-tokoh tersebut memiliki karakter umum yang khas, mudah dikenali dan bersifat
permanen. Penyebutan lain tokoh dalam cerita WS terdapat tokoh statis dan tokoh
dinamis. Tokoh Wasripin dan Pak Modin dapat disebut tokoh dinamis karena tokoh Abu mengalami perkembangan sikap yang diakibatkan adanya
cxxxiii keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sedangkan tokoh-
tokoh lain tergolong sebagai tokoh statis karena tokoh-tokoh tersebut tidak mengalami perkembangan perwatakan secara esensial. Tokoh-tokoh tersebut
tidak ikut berubah sejalan dengan plot yang dikisahkan.
c. Perwatakan Tokoh
Salah satu hal yang menjadi karakteristik novel yaitu perwatakan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Setiap tokoh yang ditampilkan dalam
novel
Pasar
memiliki watak yang berbeda yang menjadi karakteristik masing- masing tokoh. Meskipun begitu tokoh-tokoh tersebut saling melakukan
interaksi sosial satu sama lain. Selanjutnya akan diuraikan tentang bagaimana pengarang mendeskripsikan tokoh-tokoh ceritanya.
Deskripsi watak tokoh Pak Mantri seperti dalam kutipan berikut: Kalau engkau terpelajar, dan tinggal di kota kecamatan itu,
berhubunganlah dengan Pak Mantri Pasar. Sebab tidak seorang pun kecuali Kasan Ngali, tentu yang mengaku orang Jawa tidak
memujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat atau Pak Kepala Polisi , dan ibu jari mereka akan diacungkan: “Nah, Pak Mantri Pasar itu.
Begini Segala yang baik bagi hidup jujur, setia, sopan santun, tahu diri menumpuk padanya. Siapa tidak percaya kebaikan budi Pak
Mantri Pasar, baik bertanya pada diri sendiri apakah keputusan itu sepantasnya. Kuntowijoyo, 2002: 1
Habis, memang tak akan ada orang lain. Dalam hal membuat
candrasengkala
, Pak Mantri tak ada duanya. Kuntowijoyo, 2002: 63 Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Pak Mantri
dideskripsikan sebagai tokoh utama yang dikenal karena interaksi sosialnya yang baik kepada masyarakat baik pedagang maupun pejabat pemerintah.
Tokoh Pak Mantri diwujudkan sebagai sosok yang jujur, setia sopan, dan tahu
cxxxiv diri. Di samping itu tokoh Pak Mantri adalah guru yang baik bagi tokoh Paijo
hal. 155 – 159. Tokoh Pak Mantri senantiasa memberikan nasehat dan teladan mengenai hakikat hidup kepada tokoh Paijo. Tokoh Pak Mantri juga
sosok yang
bertanggung jawab
hal. 252.
Ia senantiasa
mempertanggungjawabkan hasil perbuatan yang telah dilakukannya. Hal itu bisa dilihat ketika Pak Mantri memperbolehkan burung daranya untuk
ditangkap dan dimiliki, juga berjiwa besar ketika dituduh telah menggunakan uang pasar. Pak Mantri pun memiliki sifat sabar hal. 273 dalam menghadapi
tantangan hidup yang dialaminya. Hal lain yang melekat dalam diri tokoh Pak Mantri ialah ia merupakan orang yang telah berumur dengan pemahaman ilmu
kejawen yang baik. Dapat dikatakan tokoh Pak Mantri merupakan sosok kawulo Jawa yang hidup di jamannya.
Deskripsi watak tokoh Paijo seperti dalam kutipan berikut: Paijo telah membuka pintu dan jendela. Pak Mantri masuk,
menghela napas, duduk di kursi sambil melemparkan tas dan topi di meja. Nampaknya Paijo tergesa pergi. Pak Mantri ketela itu, tegurnya:
“Kau membakar sampah lagi, ya? Disapu dulu kantor ini. Seumur hidup, belum tahu tugas-tugasnya.” Paijo menggapai sapu ijuk di
pojok kamar. Kuntowijoyo, 2002: 9
Itulah Paijo yang tak mengerti benar. Dan perasaan itu berlainan sama sekali bila yang menepuk pundak adalah Kasan Ngali.
Seperti Kasan Ngali menjanjikan pekerjaan dan uang, sedangkan Pak Mantri menjanjikan yang lain. Hanya Paijo tidak tahu persis, apa yang
telah membuatnya terikat dengan laki-laki tua itu. Di samping Pak Mantri, ia merasa kecil. Sekalipun kadang-kadang ia kurang ajaran.
Namun jauh dalam hatinya ada yang menyuruhnya hormat. Tidak dimengerti apa sebabnya, tetapi begitulah. Maka siang ia menurut saja
pulang sampai larut siang, sambil kadang-kadang merasa kasihan pada laki-laki tua yang dihadapannya. Ah, Pak Mantri Kuntowijoyo, 2002:
116
cxxxv Paijo kembali ke pasar. Dengan dua orang polisi Bagaimana ia
berhasil membawa polisi, itu luar biasa. Persahabatan telah menolongnya. Ah, sedikit terlambat ia punya pikiran itu. E, Paijo juga
punya polisi Keuntungan dari main bola. Kuntowijoyo, 2002: 316
Pengarang mendeskripsikan tokoh Paijo sebagia juru karcis, pegawai bawahan tokoh Pak Mantri, yang penurut, meskipun terkadang harus
diperingatkan dalam menjalankan tugasnya. Tokoh Paijo juga merangkap tukang sapu, mengurusi burung-burung peliharaan Pak Mantri serta pekerjaan-
pekerjaan lain hal. 6. Tokoh Paijo memiliki watak yang lugu sehingga jalan pikirannya senantiasa diarahkan oleh hati nuraninya yang jujur, bukan oleh
nafsu dan emosi. Tokoh Paijo sangat menghormati tokoh Pak Mantri sebagai atasnnya juga orang yang memiliki teladan dan kharismatik lebih baginya.
Tokoh paijo juga termasuk orang yang sabar dalam menghadapi pertentangan dengan tokoh lain, seperti tokoh pedagang dan tokoh Kasan Ngali hal. 275.
Bagaimanapun juga tokoh Paijo memiliki relasi yang bagus dengan tokoh- tokoh yang mempunyai kekuasaan, seperti tokoh polisi. Sebagai sosok
pegawai, ia termasuk orang yang cukup cerdas dalam menangani permasalahan tertentu.
Deskripsi watak tokoh Kasan Ngali seperti dalam kutipan berikut: Kasan Ngali jelas tak pernah bercermin. Aduh, biasanya pakai
celana komprang kolor. Sekarang bukan main. Lihatlah, he ada babi pakai baju Sekarang orang itu pakai topi betul, berkacamata putih,
celana panjang, dan baju kotak-kotak. Pak Mantri tahu saja, topi itu adalah untuk menutupi botaknya di gundul itu Hanya tongkat itu
Pakai tongkat segala. Kenapa tidak naik kuda sekalian? Itu menimbulkan tertawaa Pak Mantri. Kuntowijoyo, 2002: 94
Kasan Ngali di tokonya. Orang kaya akan selalu memenangkan pertandingan, Bung Ia akan menunjukkan bahwa uang itu berkuasa.
Akan ditunjukkannya siapa Kasan Ngali sebenarnya. Bahwa dengan
cxxxvi uang itu, sebenarnya orang bisa berbuat banyak. Ya, biar orang tahu. Ia
tersenyum melihat kemungkinan-kemungkinan itu. Kuntowijoyo, 2002: 267
Berdasarkan kutipan di atas secara fisik tokoh Kasan Ngali
dideskripsikan bertubuh gemuk dengan analogi “hewan babi” dan “celana komprang kolor” serta berkepala botak. Tokoh Kasan Ngali adalah sosok
pedagang kaya. Namun, cara berdagang yang dilakukannya menunjukkan bahwa ia bukan pedagang yang jujur karena senang menimbun bahan pokok
untuk dijual kemudian hari. Tokoh Kasan Ngali menampakkan watak suka bergaya pamer atas kekayaan yang ia miliki seperti uang, busana mahal, dan
mobil. Dengan kekayaan yang dimilikinya tokoh Kasan Ngali menjadi sombong karena ia merasa dapat berbuat sesuai keinginannya. Tokoh Kasan
Ngali tidak memiliki interaksi sosial yang bagus dengan tokoh-tokoh yang lain, seperti tokoh Pak Mantri, tokoh Paijo, tokoh Siti Zaitun, tokoh Pak Polisi
bahkan kepada pegawainya sendiri yang sering diperlakukan kasar. Oleh karena itu, tokoh Kasan Ngali tidak disukai tokoh lain.
Deskripsi watak tokoh Siti Zaitun seperti dalam kutipan berikut: Kabar kepergian Siti Zaitun itu sudah meluas. Di pondoknya
Siti Zaitun sibuk menerima tamu-tamu. Pak Camat, polisi, ibu-ibu, tetangga-tetangga, guru-guru. Hadiah menumpuk di meja. Zaitun tidak
bermaksud meramaikan kepergiannya itu. Tetapi tercium juga. Gadis itu sengaja akan pergi diam-diam, maka ia sengaja pula tidak
berpamitan. Besok, setibanya di kota, dia akan menulis surat atau datang lagi berpamitan. Tetapi orang datang juga. Dan hadiah-hadiah
mengalir. Ah, kota itu menyenangkannya juga. Tidak disangkanya orang-orangnya yang ramah. Sampai ia menangis terisak setiap
menerima tamu. Kuntowijoyo, 2002: 350
Siti Zaitun, gadis cantik, pegawai bank, yang sosial, suka membantu, yang peramah, yang menyenangkan, yang matanya
bercahaya, yang kulitnya kuning itu, yang selalu rapi pakaiannya. Kuntowijoyo, 2002: 361
cxxxvii Deskripsi tokoh Siti Zaitun dinampakkan dengan jelas yaitu sosok
gadis cantik yang matanya bercahaya, kulitnya kuning dan memerhatikan penampilan yang rapi. Tokoh Siti Zaitun juga seorang pegawai bank yang
berjiwa sosial, suka membantu, ramah dan menyeyangkan. Watak tokoh Siti Zaitun membuat ia disenangi oleh tokoh-tokoh lain sehingga keberadaannya
begitu terasa bagi tokoh-tokoh lain. Di samping itu, tokoh Siti Zaitun juga memiliki sikap berani menentang pikiran dan perilaku tidak baik dari tokoh
lain terhadap dirinya, seperti yang dilakukannya terhadap tokoh Pak Mantri hal. 106-107 dan tokoh Kasan Ngali hal. 139.
Deskripsi watak tokoh Pak Camat seperti dalam kutipan berikut: Hari sudah siang waktu itu. Pak Camat tahu juga kesopanan, ia
minta maaf pada Pak Mantri karena ada sedikit keperluan. Ya, nonton adu jago. Itu Mantri Pasar sudah tahu. Lalu Camat itu juga
membisikkan bahwa ia baru saja nonton adu jago. Kuntowijoyo, 2002: 62
Pengarang mendeskripsikan tokoh Pak Camat sebagai sosok pegawai
pemerintah yang kental dengan budaya-budaya feodal. Dalam hal birokrasi misalnya, tokoh Pak Camat masih menggunakan aturan formal janji temu,
tetapi kepada tokoh-tokoh tertentu yang dihormati ia lebih fleksibel. Dalam interaksi sosial, tokoh Pak Camat membedakan keeratan terhadap siapa orang
yang dihadapi, terutama dipandang dari status sosial di masyarakat. Tradisi terlambat dan tidak hadir dalam acara tertentu pun melekat dalam diri tokoh
Pak Camat karena menimbang aspek kepentingan bagi dirinya hal. 143. Di samping itu, tokoh Pak Camat juga menyukai perilaku nonton adu jago.
Perilaku tersebut sebenarnya bagi kapasitas tokoh masyarakat dipandang
cxxxviii kurang tidak layak, bahkan jika sampai meninggalkan tugasnya sebagai abdi
negara dan masyarakat. Deskripsi tokoh Pak Kepala Polisi seperti dalam kutipan berikut:
Ah, kepala polisi, pada jam kerja sempat masuk pasar dan menawar burung Keterlaluan Tidak sudi Pak Mantri melanjutkan
omong tentang yang bukan urusan dinas di kantor macam ini. Mesti ditertibkan Kuntowijoyo, 2002: 83
“Ya, ya. Sekarang begini saja, Pak. Bapak bisa pulang. Dan urusan ini kami tampung. Akan kami pertimbangkan, tindakan apa
yang bisa dilakukan.” “Nah, itulah”
Pak Mantri lega sebentar. Kemudian timbul pikirannya yang lain.
“Coba gambarkan, perbuatan apa yang akan dilakukan oleh polisis?”
“Kita pikir dulu.” “Tanggap saja”
“Pendek kata yang setimpal,” kata kepala polisi “Pendek kata yang setismpal,” kata Pak Mantri
Sekarang baru itulah yang disebut polisi. Pak Mantri
menghapus keringatnya. Saputangan itu wangi. Kepala Polisi mengantarnya sampai luar. Tidak ada orang lain di kecamatan itu yang
diantar sampai pelataran oleh Kepala Polisi. Kuntowijoyo, 2002: 86
Pengarang mendeskripsikan watak tokoh Pak Kepala Polisi mirip dengan watak tokoh Pak Camat, yaitu kenal dengan budaya-budaya feudal.
Pak Kepala Polisi membedakan sikap dalam berinteraksi dengan memberi penghormatan lebih kepada tokoh yang memiliki status tinggi di masyarakat.
Di samping itu, tokoh Pak Kepala Polisi juga biasa melakukan sesuatu kesenangan dalam waktu dinas. Dalam kutipan di atas, perbuatan tersebut
dicontohkan dengan masuk pasar dan menawar burung pada jam dinas. Pak Polisi juga bertindak tidak gagabah dalam sesuatu masalah dan ia pandai
melakukan komunikasi yang birokratif dengan tokoh lain.
cxxxix Deskripsi watak tokoh Marsiyah seperti dalam kutipan berikut:
Bening matanya Putih wajahnya Terurai rambutnya Ada yang memancar-mancar pada muka itu Dulu ia berpendapat bahwa Marsiyah ini
pasti keturunan kerabat kerajaan yang terlempar dari desa. Ada yang lain padanya, yang tak ditemukan pada perempuan desa biasa. Kuntowijoyo,
2002: 152
“Engkau salah paham, Marsiyah.” “Cukup,” kata perempuan itu sengetah membentak.
Hilanglah kalimat-kalimat yang tersusun di kepala Pak Mantri.
Tinggal potongan-potongan. “Saya datang kemari…..”
“Tidak butuh orang” Kuntowijoyo, 2002: 152 – 153 Deskripsi tokoh Marsiyah dinampakkan secara jelas. Secara fisik,
tokoh Marsiyah adalah seorang wanita paruh baya hal. 152 yang memiliki tubuh terawat dengan mata bening, wajah putih, dan rambut terurai serta muka
yang bersinar-sinar. Watak tokoh Marsiyah digambarkan sebagai sosok penuh emosi dan tidak mau menerima penjelasan tokoh lain.
Deskripsi watak tokoh pedagang pasar seperti dalam kutipan berikut: “Hitunglah, Pak,” kata perempuan itu pada polisi. “Tiga ekor
burung dara telah mencocok berasku. Berapa harus dibayar, kalau aku mau menghitung. Masih diminta karcis pasar lagi Mestinya aku minta
ganti rugi” Orang mengangguk-angguk. Rugi, rugi itu Betul tak mau bayar Kuntowijoyo, 2002: 35
Umpatan, teriakan, kegemasan. Sebuah
tenggok dagangan
, entah apa isinya, tertumbuk. “Hati-hati, e” “Awas” “Bajingan”
“Anjing” “Dagangan Dagangan” “Wo” “Kurang ajar, dagangan disusun baik-baik, tumpah.” Kuntowijoyo, 2002: 38
Tokoh pedagang memiliki pendeskripsian watak yang jelas. Tokoh pedagang
pasar merupakan
tokoh yang
memiliki watak
selalu memperhitungkan dengan uang segala sesuatunya. Di samping itu, tokoh
pedagang pasar juga tokoh yang suka berbicara dengan bahasa kasar dengan berbagai umpatan-umpatan sehingga dikenal adanya bahasa pasar.
cxl Deskripsi watak tokoh anak-anak kecil sebagai berikut:
Yah, suara anak-anak. Ah, sebagai lelaki tua yang pernah jadi anak-anak ia tahu apa kerja mereka di luar. Bersembunyilah dulu
Jangan usik mreka. Lalu tangkap basah Dari rebut-ribut itu ia tahu, anak-anak itu sedang mencuri burung-burung dara dari dari
peguponnya. Kuntowijoyo, 2002: 146 Tokoh anak-anak memiliki watak nakal, suka berbuat iseng. Mereka
bertindak belum mempertimbangkan baik buruk nilai perbuatannya tersebut. Berdasarkan kutipan di atas contoh dari perbuatan yang dilakukan tokoh anak-
anak kecil ialah berusaha akan mencuri burung-burung dara milik tokoh Pak Mantri.
Deskripsi watak anak buah Kasan Ngali seperti dalam kutipan berikut: Kebetulan bagi mereka. Ketika mereka lewat tergesa-gesa di
muka Paijo, tukang karcis itu bertanya, mau kemana mereka. Lalu mereka berteriak keras. Supaya Kasan Ngali mendengar.
“Beli kambing benggala. Beli kambing bandot Yang besar Yang gemuk
“Untuk apa?” “Apalagi Kita mau pesta Hi-hu” Kuntowijoyo, 2002: 321
Tokoh anak buah Kasan Ngali dideskripsikan mewakili watak penurut
buta, yaitu selalu menuruti segala perintah majikannya, tokoh Kasan Ngali, tanpa pengetahuan karena rasa takut kepada majikannya. Tokoh anak buah
Kasan Ngali juga suka mencari muka di hadapan majikannya agar majikannya tersebut merasa senang.
Deskripsi watak tokoh Darmokendang seperti dalam kutipan berikut: Sebenarnya tidak sampai di rumah Sri Hesti. Hanya berbicara
sedikit dengan ketua perkumpulan, lalu minta diantar kembali. Ada pikirannya, sudah.
“Dia mau main juga,” katanya “Kalau sudah jadi biniku?”
cxli Kalau Paka Kasan sanggup memberi pekerjaan untuk semua
rombongan, ia mau berhenti.” “Mati Wong ayu mahal harganya Maksudnya bagaimana?”
“Ya, itu permintaannya, Pak” “Tidak mungkin”
“Lalu bagaimana?” Kuntowijoyo, 2002: 356
Tokoh Darmokendang adalah salah satu anggota rombongan ketoprak. Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa watak tokoh
Darmokendang ialah suka berbohong. Tokoh Darmokendang juga suka melakukan perbuatan dengan pertimbangan keuntungan bagi dirinya. Tokoh
Darmokendang pandai berdebat kata untuk mencapai keinginannya tersebut. Deskripsi watak tokoh Jenal seperti kutipan berikut:
Jenal berbisik juga, “Pak, wah saya mau bicara.” Dan Jenal menarik tangan Kasan Ngali. “Wah, seperti yang punya rumah kau
saja” Tetapi Kasan Ngali menurut juga. “Saya punya firasat tak baik tentang perempuan itu, Pak.
Untunglah menjadi tukang cukur itu banyak faedahnya. Waktu dicukur, semua omongan bisa keluar. Sungguh, Pak. Jangan kawin
dengan dia.”
“Mengapa tidak?” “Semua orang tahu Tidak seorang pun lupa bahwa ia main
ketoprak” “Itu jelas. Apa soalnya?”
“Pak Kasan itu kaya, terhormat. Mengapa harus kawin dengan dia?” Kuntowijoyo, 2002: 353
Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Jenal adalah seorang tukang cukur. Tokoh Jenal memiliki watak merasa dekat dengan siapa
saja yang pernah berinteraksi dengannya, termasuk kepada tokoh terpandang Kasan Ngali. Dari pekerjaannya itu tokoh Jenal menjadi orang yang suka
mendengarkan informasi dan menyampaikan informasi tersebut bilamana perlu. Hal tersebut dapat dicermati ketika tokoh Jenal memberikan saran
kepada tokoh Kasan Ngali.
cxlii Deskripsi tokoh pegawai kecamatan dan pegawai kepolisian seperti
dalam kutipan berikut: “Maaf, Nak. Apa Pak Camat ada?”
Tukang ketik itu mengangkat muka dan menjawab. “Coba tulis di buku tamu,” menunjuk ke meja buku tamu.
Kuntowijoyo, 2002: 58 “Kantor ini sepi saja. Di mana Pak Camat?” Kecurigaannya
diusahakannya untuk dilupakan. “Tunggu saja, di sana.” Juru tulis menunjuk deretan kursi.
Kuntowijoyo, 2002: 59 Ketika Kepala Polisi sudah kembali dan Pak Mantri sendirian
membenarkan letak pakaiannya di depan kantor itu, seorang agen menegur.
“Pasti perkara burung dara” Kurang ajar, pikir Pak Mantri. Sedangkan kepalanya saja
menghormati. Kuntowijoyo, 2002: 86
Berdasarkan deskripsi dialog di atas dapat diketahui bahwa tokoh pegawai kecamatan memiliki watak pragmatis, hanya menjalankan tugas apa
adanya karena tidak merasa kepentingan pribadinya. Sikap pegawai tersebut ditunjukkan dengan acuh tak acuh kepada yang memerlukan pelayanan
darinya. Sedangkan watak tokoh pegawai kepolisian cenderung apatis terhadap kepentingan orang lain.
Tokoh-tokoh dalam cerita
MPU
juga memiliki perwatakan yang berbeda satu sama lain. Pengarang menampilkan para tokoh cerita untuk
memerankan peran sesuai dengan watak dalam rangka menyampaikan amanatnya. Pengarang menguraikan peran watak tokoh-tokoh cerita dengan
mendeskripsikan setiap aktivitas dan fisik para tokoh yang dapat diketahui melalui bacaan dalam cerita.
cxliii Deskripsi watak tokoh Abu Kasan Sapari seperti dalam kutipan
berikut: Ketekunannya
nyantrik di
rumah Notocarito
sudah menghasilkan bukti. Di SD kelas V ia jadi dalang cilik yang punya
nilai tertinggi di Festival Dalan Cilik se-Kabupaten Klaten. Di SMP ia menjadi juara dalang cilik se-eks Karesidenan Surakarta. Di SMP ia
mewakili sekolahnya menjuarai Festival Dalang Pelajar se-Jawa Tengah. Kuntowijoyo, 2000: 12
Ketika dia berkeliling desa, dengan kuda inventaris, topi pedagang krupuk, tas sekolah yang digantung menyilang pundak, tiba-
tiba tangan kanannya ke udara, ibu jarinya bergeser dengan telunjuknya, berbunyi “cetit”, “Aku tahu” Ya, ia tahu: orang-orang
desa harus diajak membangun saluran air dari sumber dekat sendang sampai desa. Langkah pertama, menurut kursus, ialah sosialisasi
gagasan. Kuntowijoyo, 2000: 16
Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Abu Kasan Sapari sejak kecil telah memiliki watak baik. Ia adalah seorang yang tekun belajar
dan berprestasi. Masa dewasanya menunjukkan ia dapat menggunakan kecerdasannya untuk membantu masyarakat di tempat ia tinggal. Kepiawaian
utama yang dimilikinya ialah sebagai seorang dalang. Sebagai dalang ia juga termasuk orang yang menghindari perbuatan tabu bagi seorang muslim Jawa,
yaitu kepercayaan terhadap hal takhayul. Hal itu dapat dicermati pada kutipan berikut:
“Soal lakon, Pak, saya lebih suka ‘Semar Boyong’. Artinya kira-kira pemimpin itu butuh rakyat.”
“Bagus, ternyata kau diam-diam
nggembol watu item
. Diam di luar, tapi penuh isi di dalam.” Kuntowijoyo, 2000: 30
“Tidak akan ada sesajen,” kata Abu. “Itu tidak termasuk permintaan dalam mimpi.” Kuntowijoyo, 2000: 86
Tokoh Abu juga memiliki watak yang lugu, mengatakan sesuai dengan
apa yang terjadi hal. 28. Di samping itu ia juga ia aadalah warga yang peduli
cxliv terhadap lingkungan hidup hal. 54 serta pandai bersosialisasi dengan
masyarakat 114. Bahkan sisi lain seorang tokoh Abu, ia adalah sosok yang romantis. Tokoh Abu pandai membuat syair lagu Jawa hal. 113 – 114 dan
geguritan bernuansa cinta kasih hal. 163 -174. Watak utama yang dimiliki tokoh Abu ialah ia seorang yang tidak bisa
berlaku diam terhadap ketidakadilan. Tokoh Abu adalah seorang yang tegar dengan prinsip kebenaran yang dimilikinya. Fakta tersebut ditunjukkan ketika
ia menentang tindakan-tindakan tokoh Mesin Politik yang semena-mena terhadap rakyat. Bahkan ia menolak saat ditawari menjadi jabatan prestise
sebagai calon anggota legislative. Berikut ini kutipan yang mendeskripsikan hal tersebut:
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi.
Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?” “Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya
keinginan saya
ialah kalian
tidak mengganggu
kesenian.” Kuntowijoyo, 2000: 145
Tokoh antagonis dalam cerita
MPU
adalah tokoh Mesin Politik. Tokoh ini tergolong unik karena tidak berupa sosok seseorang. Tokoh Mesin Politik
merupakan perwujudan dari sikap, perilaku, dan pemikiran sebuah sistem kelompok. Jadi, tokoh ini dalam perannya bisa diwakili seseorang atau pun
kelompok dengan membawa tindakan dan pemikiran sistem komunitas. Tokoh Mesin Politik bisa berupa Randu bisa berupa personel sistem atau pun sistem
komunitas itu sendiri. Deskripsi watak tokoh Mesin Politik seperti dalam kutipan berikut ini:
cxlv Camat tidak bisa berbuat apa-apa ketika Mesin Politik berusaha
memindahkan sebelum waktunya, dan rasanan itu sudah beredar di Kemuning jauh sebelumnya. Pasalnya, lurah-lurah yang dijagoi Randu
banyak yang kalah di kecamatannya. Gara-gara itu ia dinilai tidak serius memperjuangkan Randu. Kuntowijoyo, 2000: 90
Ada perbedaan pendapat antara Mesin Politik dan Pak Bupati. Dalam pertemuan dengan para camat sekabupaten Bupai memberi
“Petunjuk Politik” agar jarak antara pengumuman dan pemilihan dipanjangkan kira-kira-kira dua minggu. “Itu baru
fair
kepada rakyat”, katanya. Mesin politik menghendaki agar jarak waktu antara
pengumuman dan pelaksanaan itu singkat saja, umpanya tiga hari, sehingga hanya orang-orang pilihan Mesin Politik akan menang, sebab
merekalah yang paling siap, paling terorganisir, orang-orangnya pasti lulus ujian, dan Mesin Politik itu
weruh sakdurunge winarah
tahu sebelum kejadian karena ada rekayasa. Kuntowijoyo, 2000: 91
Fungsionaris Mesin Politik datang lagi. “Nah, apa kata saya?”
“Apa boleh buat.” “Berpolitik itu jangan tanggung-tanggung.”
“Saya tidak berpolitik.” “Tidak berpolitik itu politik maut idak mau, suka tidak suka,
kita semua berpolitik. Dalam politik ada ungkapan ‘kalau kau kalah, bergabunglah dengan yang menang’. Kedatangan saya kemari untuk
mengajak Pak Abu bergabung. Bagaimana?” Kuntowijoyo, 2000: 136
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Mesin Politik merupakan sistem komunitas yang berpengaruh dan memiliki kekuatan
besar dari tingkat negara sampai tingkat kelurahan atau desa. Watak yang dominant ditunjukkan tokoh Mesin Politik ialah arogan. Tokoh Mesin Politik
sering menggunakan kekuatan yang dimilikinya untuk berbuat semena-mena terhadap orang lain yang tidak sejalan, menyimpang dari aturan yang tidak
menguntungkan, maupun menekan kaum lemah. Tindakan yang dilakukan Mesin Politik tersebut kerap dilakukan dengan manipulasi, terror, maupun
kekerasan.
cxlvi Deskripsi watak tokoh Lastri atau Sulastri seperti dalam kutipan
berikut: Itu karena dulu Lastri seorang primadona di Tegalpandan.
Membuka jatihan di pasar Tegalpandan, setelah tamat SKK Sekolah Kesejahteraan Keluarga. Ia adalah penyanyi keroncong di sebuah klub
amatir, yang pasti muncul di pesta-pesta di kecamatan itu. Ia menikah, suaminya meninggal, belum punya anak. Jadi, janda kembanglah.
Setahun setelah suaminya meninggal, ia memutuskan untuk kembali ke pasar. Mertuanya berusaha mencarikan suami, tapi ditolaknya.
Dikatakannya bahwa ia ingin hidup sendiri tanpa kesibukan rumah tangga. Meskipun mertuanya, Pakdenya, dan orang tuanya
menyuruhnya tinggal di tempat mereka, ia berkeras untuk kembali ke pasar. Maka Pakdenya memberikan tempat itu. Akhir-akhir ini, setelah
menikah, kesibukannya bertambah: banyak orang memintanya jadi juru rias temanten. Kuntowijoyo, 2000: 108
Jadi Lastri juga merias
temanten
, pikir Abu. Penjemput mengatakan bahwa orang memilih Lastri karena pengantin selalu
tampak lebih cantik, barangkali saja kena imbas Lastri. Abu tahu bahwa Lastri ramah, tetapi bahwa dia cantik ia baru mendengarnya,
namun ia sangat setuju. Kuntowijoyo, 2000: 112
Lastri tersinggung dikatakan ‘janda’, lalu menyela, “Tapi, Pak. Maaf, saya masih ingin sendiri.”
“Ya, jangan begitu. Pikirlah yang panjang.” Setelah Lurah pergi, dia membawa kaleng-kaleng biskuit ke
tempat sebelah. Matanya berkaca-kaca. Abu Kasan Sapari terkejut melihat dia membik-membik mau menangis. Lastri melempar kaleng-
kaleng ke dipan. Kuntowijoyo, 2000: 201
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Lastri merupakan seorang janda yang belum punya anak. Tokoh Lastri merupakan
tokoh serba bisa karena memiliki banyak kepiawaian profesi: seorang penjahit di Pasar Tegalpandan, juru rias pengantin, juga pernah menjadi penyanyi
keroncong primadona. Watak tokoh Lastri dideskripsikan sebagai sosok yang cantik, mandiri.
Telaten, cekatan dan ramah. Tokoh Lastri memiliki interaksi yang baik,
cxlvii terlihat dari hubungan dengan keluarganya juga dengan masyarakat. Tokoh
Lastri juga mempunyai sikap kepedulian terhadap orang lain seperti dengan tokoh Abu. Di samping itu tokoh Lastri juga bisa marah apabila perasaannya
tersinggung atas sikap orang lain. Deskripsi watak tokoh orang tua Abu seperti dalam kutipan berikut:
“Diapakan saja kau,” tanya ayah. “Ya disuruh makan kenyang, tidur cukup, olahraga.”
“Tidak disiksa, to?” “Mana ada orang berani menyiksa saya?”
“Jangan
kemaki
. Saya dengar ditahan itu artinya disiksa. Diestrum, disulut rokok, disuruh merangkak di atas kedelai?”
“Tapi, alhamdulillah anak Bapak-Ibu tidak.” “
Lha iya. Wong
ditahan di kantor polisi
kok
tidak nampak susah,
kok
malah
mrusuh
gemuk bercahaya?” kata ibu Abu. Kuntowijoyo, 2000: 154-155
“
Klangenan
ya boleh. Tapi jangan ular, jangan harimau, jangan buaya. Kakek-kakek kita paling-paling pelihara kucing, lutung,
perkutut, dan kuda. Soalnya ibu takut kalau kau syirik.” “Syirik? Ya boleh jadi, meskipun sedikit,”
“Kalau syirik jangan,
lho
.” Kuntowijoyo, 2000: 155 Lastri mengulurkan tangan, mencium tangan Ibu, yang segera
menarik tangannya. Demikian juga ayah Abu. Penolakan itu sepertinya mengejutkan Lastri. Suasana jadi kaku. Kuntowijoyo, 2000: 155
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas tokoh orang tua Abu memiliki watak yang perhatian dan peduli terhadap anaknya. Hal ini diperlihatkan
ketika tokoh orang tua Abu merasa cemas kemudian menengok anaknya saat sesuatu hal terjadi pada anaknya tersebut. Tokoh orang tua Abu juga
merupakan sosok masyarakat Jawa yang taat terhadap keyakinan agama yang kuat, seperti tampak pada penolakannya terhadap perbuatan syirik dan kehati-
hatian atas interaksi fisik non keluarga.
cxlviii Deskripsi watak tokoh kake nenek Abu seperti dalam kutipan berikut:
Kemudian, kakek meminta bayi itu. Di bawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk
ngalap berkah,
meminta restu. Kuntowijoyo, 2000: 2 Sesampai di desa baru, kakek nenek tahu bahwa kelahiran Abu
belum disambut dengan akikah. Maka dipotonglah dua ekor kambing Jawa. Kuntowijoyo, 2000: 6
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas diketahui kakek nenek Abu memiliki rasa sayang kepada cucunya. Tokoh kakek dari ayah masih
memercayai ritual tradisional masyarakat Jawa, begitu
klenik
. Sedangkan tokoh kakek nenek Abu dari ibu memercayai ritual religius agama yang
dianutnya. Deskripsi watak tokoh wartawan seperti dalam kutipan berikut:
Sejak saat itulah Abu Kasan Sapari akrab dengan kawan wartawannya. Wartawan itu anggota AJI Asosiasi Jurnalistik
Indonesia. Masih muda bersemangat. Ia mengatakan pada Abu bahwa jurnalisme dipilihnya sebagai profesi, dan sebagai alat untuk
memperjuangkan keadilan dan demokrasi. Ia hanya mengandalkan hati nurani, tidak segan-segan melakukan kritik kepada siapa pun.
Kuntowijoyo, 2000: 94
Sore hari teman wartawan itu datang di Tegalpandan. Belum sempat ditanya dia bilang:
“Aku tahu kau heran. Aku telah menyulap angka.” Kuntowijoyo, 2000: 143 – 144
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan tokoh wartawan berinteraksi baik dengan tokoh Abu. Tokoh wartawan didskripsikan sebagai sosok muda
bersemangat yang memiliki jiwa idealisme profesi tinggi. Sebagaimana seorang wartawan, tokoh wartawan pun berkata dan bertindak sesuai karakter
jurnalis. Tokoh wartawan kerap menyampaikan informasi dalam bentuk berita di media yang ia tulis dengan memberikan keterangan-keterangan tambahan
cxlix yang sesuai dengan pikiran pribadinya. Fakta tersebut dapat ditunjukkan
dalam kutipan berita yang ditulis tokoh wartawan berikut: Sumber yang tak mau disebut namanya mengatakan bahwa ada
konspirasi politik di balik penahanan AKS. Akhir-akhir ini sebuah kekuatan politik ingin merekrutnya untuk keperluan kampanye tapi
ditolaknya. Kuntowijoyo, 2000: 153
Deskripsi watak tokoh Haji Syamsudin seperti dalam kutipan berikut: Sore hari Haji Syamsuddin datang juga untuk menyalakan
lampu dan menutup jendela. Kucni pintu diserahkan Haji Syamsuddin, dan buka pada Lastri. Itu pasti kesengajaan Abu supaya ia tidak
terpaksa melihat kandang ular. Ketika melihat Lastri, Haji Syamsyuddin yang tahu perasaan Lastri berkata ringan, “Itulah politik,
Jeng. Nanti juga selesai. Tengan saja.” Ia berkata demikian karena pamannya pernah ditahan Polisi pada tahun 1960 selama sebulan
karena menjadi pengurus Masyumi. Kuntowijoyo, 2000: 150 Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Haji
Syamsuddin memiliki watak yang baik, mengerti perasaan orang, dan bijaksana. Haji Syamsuddin adalah sahabat dekat tokoh Abu juga warga
masyarakat yang baik. Tokoh Haji Syamsuddin juga tokoh yang pandai memetik pengalaman hidup.
Deskripsi watak tokoh haji camat seperti dalam kutipan berikut: Benar, Pak Camat benar. Desanya memenangkan Lomba Desa.
Beberapa wartawan datang dan Pak Camat dengan jujur mengatakan bahwa semuanya berkat kerja Abu. Kuntowijoyo, 2000: 28
Abu menilai camat baru adalah seorang professional tulen, bukan “orang baik” macam camat lama. Umurnya masih sangat muda
disbanding camat lama, namun jauh lebih bersemangat. Setidaknya, ia bukan tipe “camat santai”. Kuntowijoyo, 2000: 75
Kutipan-kutipan di
atas menunjukkan
watak tokoh
camat dideskripsikan seorang yang jujur. Berdasarkan pengamatan tokoh lain tokoh
camat dinilai sebagai sosok muda yang bersemangat dan professional. Tokoh
cl camat juga memiliki pengetahuan tinggi dilihat dari cara berbicara dan istilah
kata yang digunakan ketika melakukan pidato di depan warganya hal. 77. Di samping itu diketahui tokoh camat juga akrab dengan tokoh Abu hal. 78.
Deskripsi watak tokoh Ki Lebdocarito seperti dalam kutipan berikut: Ki Lebdo sendiri selalu memilih yang berdasar
pakem,
lakon yang aneh-aneh akan diserahkannya pada Abu. Ia menyimpulkan
bahwa enak yang punya uang, daripada dalangnya. “Jadilah yang punya uang, jangan jadi dalang”, nasihatnya pada anak-anak. Maka
anak-anak semua “jadi orang”, kecuali dalang. Kuntowijoyo, 2000: 14
Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Ki Lebdo adalah seorang dalang yang menggunakan cerita konvensional. Sebagai sosok Jawa
tokoh Ki Lebdo memiliki pemikiran yang berkembang dengan memerhatikan pendidikan anak-anaknya sampai ke tingkat tinggi, bahkan tokoh Ki Lebdo
tidak ingin anak-anaknya tersebut mewarisi profesi yang digelutinya. Kedudukan Ki Lebdo sebagai dalang di wilayahnya terhitung sebagai sesepuh
dalang hal. 211. Ki Lebdo seorang yang baik, ia mengangkat tokoh Abu sebagai anak hal.13 bahkan sampai mewariskan semua perangkat gamelan
dan wayahnya kepada tokoh Abu hal. 15. Deskripsi watak tokoh Ki Manut Sumarsono seperti dalam kutipan
berikut: Ki Manut Sumarsono tahu belaka rencana itu. Kedudukannya
sebagai dalang senior membuat dalang dari luar Karangmojo terpaksa
kulanuwun
minta restu padanya sebelum mendalang di wilayahnya. Dia memanggil Abu Kasan Sapari. Katanya, “Intuisi saya mengatakan
bahwa sudah tiba waktunya Rahwana dipecundangi kera-kera. ‘Rama Tambak’ adalah lakon yang pas saat ini. Kuntowijoyo, 2000: 210
Taktik Ki Manut Sumarsono cespleng. Ibarat panas setahun terhapus hujan sehari, julukan sebagai ‘dalang politik anti-Randu’,
cli julukan sebagai ‘dalang politik non-Randu’, bahkan julukan ‘dalang
politik’ lenyap. Kuntowijoyo, 2000: 206
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Ki Manut adalah seorang dalang senior di wilayahnya yang berpengaruh dan dihormati oleh dalang-
dalang lainnya. Tokoh Ki Manut juga memiliki karakter baik dan cerdas. Hal ini dapat dicermati ketika membantu tokoh Abu memperoleh persepsi positif
di masyarakat. Tokoh Ki Manut juga menentang sikap tokoh Mesin Politik dengan cara yang bijaksana tanpa menimbulkan permusuhan dan pertikaian.
Deskripsi watak tokoh polisi seperti dalam kutipan berikut: Kepala Polisi merundingkan soal Abu Kasan Sapari dengan
Kepala Bagian Penyelidikan, “Sudah kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita diperalat. Kita tidak mau demikian, kita
netral, kita tidak ke kanan tidak ke kiri.” Mereka bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan. Kuntowijoyo, 2000: 157
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa polisi merupakan tokoh yang memiliki kekuatan dalam menegakkan hukum. Oleh karena itu
tokoh polisi
terkadang dimanfaatkan
oleh pihak
tertentu untuk
kepentingannya. Fakta di atas menunjukkan sikap Kepala Polisi dan Kepala Bagian Penyelidikan yang jujur dalam menjalankan hukum dan tidak mau
diperalat pihak lain. Meskipun di lain hal terkadang aparat kepolisian melakukan tindak kesewenangan dengan menangkap orang tanpa adanya
proses hukum yang benar, seperti penangkapan yang dialami oleh tokoh Abu hal. 148 dan tokoh Kismo Kengser hal.192.
Deskripsi watak tokoh rakyat atau warga desa seperti dalam kutipan berikut:
clii Rakyat dari dua desa yang merasa calon lurahnya kalah oleh
calon yang dijagoi Mesin Politik datang memprotes Camat baru. Mereka datang membawa spanduk dengan tulisan seadanya.
Kuntowijoyo, 2000: 197 – 198
Kutipan di atas menunjukkan watak rakyat atau warga desa yang cenderung menggunakan emosi dan mudah memberikan reaksi terhadap hal-
hal yang terjadi. Hal ini dapat dilihat ketika tokoh rakyat atau warga mudah terpancing provokasi untuk memprotes camat baru dalam merespon peristiwa
hasil pilihan lurah. Deskripsi watak tokoh laki-laki tua atau Kismo Kengser seperti dalam
kutipan berikut: “Kismo Kengser meramal bahwa pemerintahan sekarang akan
segera ambruk, sebab ketakadilan sudah ada dimana-mana. Para penguasa bukan lagi pamong, tapi maling betulan, maling berdasi,
maling berbintang, maling berpendidikan. Persengkokolah penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu untuk memeras rakyat…..”
Kuntowijoyo, 2000: 1991 – 1992 Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh laki-laki tua yang
mengaku bernama Kismo Kengser memiliki watak yang berani. Tokoh Kismo Kengser juga mengaku pandai meramal. Hal tersebut dapat dilihat ketika
tokoh Kismo Kengser mengungkapkan ramalannya tentang keruntuhan pemerintahan saat itu di hadapan banyak orang sampai ia akhirnya ditangkap
polisi karena tuduhan tindakan subversive. Deskripsi watak tokoh laki-laki tua misterius seperti dalam kutipan
berikut: Orang tua itu menjauh, sambil memukul jidatnya dikatakannya:
“O, ya. Kau tidak akan mati, kalau tidak mewariskan ilmu ini.” Orang itu tertawa panjang, lega. Kemudian menghilang dalam
gelap. Kuntowijoyo, 2000: 20
cliii Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh laki-laki tua
merupakan sosok yang misterius, tidak dikenal, datang dan pergi dengan tiba- tiba. Pakaian dan tingkah lakunya aneh hal. 2 karena tidak seperti orang pada
umumnya. Laki-laki tua misterius itulah yang memberikan mantra pejinak ular kepada tokoh Abu.
Tokoh-tokoh dalam cerita
WS
juga memiliki perwatakan yang berbeda satu sama lain. Pengarang menampilkan para tokoh cerita untuk memerankan
peran sesuai dengan watak dalam rangka menyampaikan amanatnya. Pengarang
menguraikan peran
watak tokoh-tokoh
cerita dengan
mendeskripsikan setiap aktivitas para tokoh yang dapat diketahui melalui bacaan dalam cerita.
Deskripsi watak tokoh Wasripin digambarkan sebagi anak pungut yang dijadikan budak nafsu Emak dan wanita-wanita pinggiran h. 3 kemudian ia
sadar dan pergi meninggalkan kampungnya h.5-6. Wasripin pergi menuju pantura, tempat yang diyakini sebagai tanah kelahirannya. Setibanya di
pantura, dia diyakini telah menjadi murid Nabi Khidir dengan berbagai kelebihan. Wasripin menjadi tukang pijat yang mampu menyembuhkan
berbagai penyakit. Tukang cat medekat. Wasripin memijat leher, kepala, dan
semua bagian atas. Ia hanya mencoba-coba memijat. Ia heran tangannya seperti bergerak sendiri. Ia sendiri tidak yakin dengan
pijatannya. Kuntowijoyo, 2003: 37
Ketika Wasripin menjadi satpam, ia menjadi satpam yang sangat jujur dan memegang teguh prinsip. Berikut ini kutipannya:
“Jangan urus aku. Uruslah pencuri yang besar-besar.”
cliv “Besar atau kecil sama saja. Mencuri ya pencuri.”
Kuntowijoyo, 2003: 62 Wasripin adalah orang yang sederhana dan tidak suka berlebihan.
Ketika ia akan menerima penghargaan karena berhasil megungkap mafia pedagangan kayu illegal, ia merasa apa yang akan dia terima terlalu
berlebihan. Berikut ini kutipannya: “Dari stadion kita terus ke SDN. Ada sedikit upacara bendera
untuk menghormat bintang itu.” “Tapi itu terlalu berlebihan,” kata Wasripin
“Biar, berlebihan tak apa. Kata Bung Karno, kita bukan bangsa tempe tapi bangsa yang besar.” Kuntowijoyo, 2003: 226
Tokoh Pak Modin digambarkan sebagai seorang yang bijak, religius, dan disegani masyarakat. Kuntowijoyo menjadikan Pak Modin sebagai tokoh
yang menyampaikan amanat pengarang. Keikutsertaan Kuntowjoyo dalam organisasi Muhammadiyah mempengaruhi pemikirannya yang disampaikan
melalui tokoh Pak Modin. Meskipun kebanyakan masyarakat pantura adalah Nahdlatul Ulama, tetapi pemikiran dan perilaku Pak Modin yang menentang
keyakinan manusia sebgai
washilah
saranaperantara terkabulnya doa jelas menunjukkan bahwa ia adalah Muhammadiyah. Berikut kutipannya:
Sebelum waktu diberikan pada kiai, Pak Modin –sebagaimana selalu demikian- diminta menyambut selaku sesepuh surau. Orang-
orang dari desa sekitar berdatangan. “Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisi-
Nya” kata Pak Modin “Dan Wasripin telah syahid. Negara Mendzalimi anaknya sendiri yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan ia
sebagai
washilah
. Itu syirik. Kuntowijoyo, 2003: 245-246 “Sudahlah, Bu. Memang sudah takdir. Mau punya anak dan
menantu saja gagal.” Kuntowijoyo, 2003: 233 “Apapun yang terjadi, Bu, beristighfarlah dan ucapkan
Alhamdulillah.” Ia menarik nafas panjang. Kuntowijoyo, 2003: 234
clv Tokoh Emak digambarkan sebagai wanita yang mudah bersyukur.
Meskipun dia meminta Wasripin sebagai budak nafsunya dan menjadikan Wasrpin sebagai pemuas nafsu wanita-wanita lainnya demi mendapatkan
uang. “Kita sungguh beruntung, jelek-jelek kita punya rumah. Coba,
kalau tidak kita akan tidur di tepi jalan, di bawah jemabtan, di emperan toko. Kuntowijoyo, 2003: 3
Suatu sore Emak angkatnya berkata, “Yu Mijah butuh tenagamu.” Adegan penyekat di dipan pun terjadi, sementara emak
angkatnya dengan enak gentian tidur di dinap Wasripin. Ia menguras tenaganya.” Kuntowijoyo, 2003: 4
Tokoh Satinah yang dulunya bernama Waliyem h. 43 dan Satiyem h. 45 digambarkan sebagai seorang wanita yang pandai menyanyi dan
pemaaf. Masa lalunya yang pernah diperkosa pamannya menjadiakan ia merasa tidak pantas menjalin hubungan dengan lelaki. Berikut ini kutipan
yang menyatakan watak Satinah: “Kasihan dia, Lik.” Katanya pada paman yang buta,bersarung,
bersurjan, berikat kepala dengan bundar-bundar ke belakang. Kuntowijoyo, 2003: 14
“Jangan begitu, Paklik. Tidak ada dosa, tak ada yang harus ditebus.” Kuntowijoyo, 2003: 48
Tokoh Paklik atau Paman Satiyem digambarkan sebagai orang yang
nakal namun bertaubat setelah memerkosa keponakannya. Berikut ini kutipan yang menyatakan watak Paklik:
Paman mendapat gagasan. Disautnya sendok di meja, lalu cicungkilnya kedua matanya. Bola mata itu jatuh ke tanah.
“Aku bersumpah demi Tuhan, Mas-Mbakyu Saksikan, bahwa seumur hidup aku tidak akan menyentuh perempuan lagi”
Kuntowijoyo, 2003: 47 “Aku bersedia jadi budakmu, Yem. Untuk menebus dosaku
padamu. Kuntowijoyo, 2003: 48
clvi Tokoh ayah dan ibu Satinah diceritakan sebagai orang desa yang
sangat pasrah pada keputusan Tuhan. Mereka juga bisa memaafkan kesalahan orang lain. Ketika Paklik meratapi kesalahannya, kedua orang tua Satinah pun
memaafkannya. “Yang sudah ya sudah. Jangan dipikir terus.” Kuntowijoyo,
2003: 48 Tokoh antagonis dalam cerita
WS
adalah tokoh Ketua Partai Randu. Deskripsi watak tokoh tersebut seperti dalam kutipan berikut ini:
Upacara pemberian bintang itu membuat gelisah Ketua Partai Randu Kabupaten. Di tengah-tengah musim kampanye, hal itu
merupakan kampanye gratis dan besar-besaran bagi partai lain dan golput…. Maka wewenang itu diserahkan kepada Departemen Khusus.
Kapolri perlu dibuat berhalangan dan protocol ngoceh seperti burung. Itu bukan perkara sulit baginya. Ia bekerja cepat. Ditemuinya seorang
dukun yang bisa membuat niatnya kesampaian. Kuntowijoyo, 2003: 215-216
“Satgas saya tugaskan menculik Wasripin, sampai besok siang pukul 12.00. sudah itu boleh kau lepas dia. Tapi jangan sampai orang
tahu.” Kunowijoyo, 2003: 217 “Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkan bila partai
ingin menang,” kata renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat “disingkirkan” artinya “dimusnahkan”, “dipenjara”, atau “ditahan”
Kuntowijoyo, 2003: 137
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas diketahui bahwa Watak yang dominan ditunjukkan tokoh Ketua Partai Randu ialah arogan dan
menghalalkan segala cara. Tokoh ini sering menggunakan kekuatan yang dimilikinya untuk berbuat semena-mena terhadap orang lain yang tidak
sejalan, menyimpang dari aturan yang tidak menguntungkan, maupun menekan kaum lemah. Tindakan yang dilakukan sama dengan tokoh Mesin
Politik dalam MPU yaitu melakukan manipulasi, teror, dan kekerasan.
clvii Tokoh-tokoh lain yang membangun cerita menjadi utuh adalah germo
h. 57, pedagang, pemilik
koplakan,
dan anaknya h. 52, jamaah surau , lurah, dan tentara h. 11, pencuri h. 62 jin penunggu laut atau peri laut h
64, kepala TPI h. 66, pelacur h. 67, Camat, Danramil, dan Kapolsek H. 84, Kapten dan Pati berbintang satu h. 90, hakim, mahasiswa, jaksa h.104,
Pendekar Tingkat II dan Pendekar Tingkat Desa h. 115, Anggota Gerakan Pemuda Liar h. 120, pemuda desa h. 131, Legiun Veteran h. 149
Presiden Sadarto dan Menteri Penerangan h. 160 tokoh-tokoh lain yang tidak disebutkan secara detail wataknya.
4. Latar
a. Latar Waktu atau Masa
Setiap novel memilki latar waktu untuk mendukung cerita. Apalagi dalam novel karya Kuntowijoyo terbentuk dari sejarah kemanusiaan, tentu
memerhatikan hal tersebut. Peristiwa dalam novel
Pasar
terjadi pada masa perubahan sosial akhir tahun 50-an. Kala itu merupakan era pascakolonialisme
penjajahan bangsa barat di Indonesia. Pada masa itu pula bangsa Indonesia tengah memulai melakukan pembangunan di berbagai aspek dan wilayah.
Keberadaan berbagai sarana fisik maupun pranata sosial seperti kantor pasar, kantor kecamatan, kantor polisi, bank pasar juga sarana pendidikan dan
informasi menjadi gambaran fakta dalam novel
Pasar
berikut: Kantor pasar itu bergandeng dengan kantor Bank Pasar, Ada
bedanya, kantor Bank Pasar sedikit lebih putih temboknya, hanya tidak lepas dari rumah-rumah burung dara. Ada pula usaha mengecat jendela
clviii dan pintunya. Kalau saja tanpa burung dara, di bagian kantor Bank
Pasar itu akan sangat bagus jadinya. Kuntowijoyo, 2002: 3 Kalau
engkau terpelajar,
dan tinggal
di kota
itu, berhubunganlah dengan Pak Mantri Pasar. Sebab tidak seorang pun
kecuali Kasan Ngali, tentu yang mengaku orang Jawa tidak memujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat atau Pak Kepala Polisi,
dan ibu jari mereka akan diacungkan: “Nah, Pak Mantri Pasar itu. Begini” Segala yang baik bagi hidup jujur, setia, sopan santun, tahu
diri menumpuk padanya. Kuntowijoyo, 2002: 1. Dalam cerita
MP U
secara eksplisit peristiwa disebutkan terjadi pada tahun 1997 di masa pemilihan umum nasional. Dari penyebutan tersebut dapat
diketahui waktu antara terjadinya peristiwa dalam cerita
MP U
. Serangkaian peristiwa yang melatari cerita
MPU
terjadi dalam rentang masa panjang di antara tahun 90-an, mulai di awal kemunculan tokoh Abu Kasan Sapari,
kemudian perjalanan Abu bekerja sebagai PNS, aktivitas mendalang hingga, keterlibatan dalam konflik politik. Kutipan berikut ini memaparkan latar
waktu tersebut: Pemilu, 1997. Abu Kasan Sapari memilih di Rutan Rumah
Tahanan Karangmojo. Mesin Politik menang di Karangmojo, tetapi hanya dengan enam puluh persen suara. Bahkan, di kompleks
perumahan kepolisian dan tentara Mesin Politik kalah. Kuntowijoyo, 2000: 156
Dalam cerita
WS
tidak secara eksplisit peristiwa disebutkan terjadi pada tahun berapa tetapi secara implisit latar waktu dapat diketahui dari
berbagai peristiwa yang terjadi. Cerita tersebut berlatar waktu masa orde baru. Hal ini dapat diketahui dari adanya peristiwa penculikan orangng yang
dianggap subversive, ekstem kanan maupun kiri, dan golput. Selain itu juga ada pernyataan bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah tahun 1965.
Kutipan berikut ini memaparkan latar waktu tersebut:
clix Menyadari apa yang terjadi, seorang berteriak di tengah
lapangan, “Allahuakbar Allahuakbar” sebentar kemudian pintu-pintu di sekitar lapangan terbuka, orang-orang keluar dengan senjata di
tangan: golok, linggis, tangkai besi, cangkul, dan sabit. Pada tahun 1965 teriakan itu berarti bahaya dating. Kuntowijoyo, 2003: 229
b. Latar Tempat
Latar tempat memberikan deskripsi imajinasi tempat terjadinya peristiwa dalam novel. Latar cerita
Pasar
terjadi di kota kecil bernama Gemolong, secara geografis termasuk wilayah Kabupaten Sragen, yang baru
mulai mengalami kemajuan pembangunan di berbagai bidang. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut:
Koran itu dipinjamnya dari kantor kecamatan. Dan ketahuilah hanya lingkungan terpelajar di Kecamatan Gemolong itu suka
membaca Koran. Kuntowijoyo, 2002: 11 Namun begitu, secara dominan peristiwa dalam novel
Pasar
terjadi di area pasar. Dalam penceritaan tempat lainnya juga terjadinya di area sekitar
pasar, seperti kantor kecamatan, kantor polisi, bank pasar, rumah Kasan Ngali, rumah Pak Mantri, dan rumah Marsiyah. Kutipan berikut ini menunjukkan
tempat-tempat peristiwa yang terjadi dalam cerita
Pasar
. Kantor pasar itu bergandengan dengan kantor Bank Pasar. Ada
bedanya, kantor Bank Pasar sedikit lebih putih temboknya, hanya tidak lepas dari rumah-rumah burung dara. Kuntowijoyo, 2002: 3
Benarlah Ketika Paijo keluar dari rumah Kasan Ngali, ia terkejut. Di pekarangan Kasan Ngali sudah berdiri los-los pasar Dan
pedagangnya sekali. Tentu saja Kasan Ngali sengaja menggiring mereka ke pekarangannya. Kuntowijoyo, 2002: 77
Kutipan di atas menunjukkan latar kantor pasar, tempat Pak Mantri bekerja, dan kantor bank pasar yang letaknya berdampingan. Rumah Kasan
clx Ngali ditunjukkan dengan pekarangannya yang luas karena bisa dijadikan
tempat berdagang. Di samping itu, terdapat pula penunjukkan peristiwa yang terjadi dengan latar di kantor-kantor pemerintah. Secara geografis letak
kantor-kantor pemerintah tersebut digambarkan tidak jauh karena masih atau kompleks dengan pasar. Kutipan berikut ini menunjukkan adanya latar kantor
kecamatan dan kantor polisi. Di kota kecil itu kantor kecamatan punya gaya tersendiri.
Tobat, hanya ada seorang juru tulis sedang menghadapi mesin tulis besar. Muka orang itu tenggelam di belakang mesin tulis yang keras
bunyinya. Gaduhnya mesin itu. O, ya ada pegawai-pegawai wanita di ruangan lain. Ia mendekat dan juru tulis itu berhenti bekerja.
Kuntowijoyo, 2002: 58
Setiba di kantor, ia menjauhkan diri ke kursi yang terdekat, dan sebentar memejamkan mata. Asal bisa tenang, segalanya akan selesai.
Untunglah kantor polisi itu sepi. Jadi ia dapat agak lama berbaring ya begitulah sebenarnya di kursi itu. Kuntowijoyo, 2002: 82
Dalam cerita
Pasar
ditunjukkan tempat sarana publik sebagai latar, yaitu stasiun dan stanplat. Kutipan berikut memperlihatkan latar stasiun:
Sudah jam Kereta api ke kota akan tiba Kabarnya Zaitun akan pergi dengan kereta pagi itu Kuntowijoyo, 2002: 361
Novel
MPU
memiliki deskripsi latar yang luas. Hal ini karena cerita
MPU
itu sendiri memiliki alur dengan masa yang panjang. Namun demikian, deskripsi latar ditunjukkan dengan jelas secara spatial ‘kewilayahan’. Kutipan
berikut mendeskripsikan latar pada masa kecil Abu. Desa Palar, tempat makam Ronggowarsito, merupakan wilayah Klaten.
Sejak di SMP, dan dia sudah biasa bersepeda ke rumah ibunya, ia tahu bahwa Ronggowarsito dikubur di sana. Tetapi kuburan itu tidak
berarti apa-apa. Baru sejak SMA-lah ia sadar apa arti Ronggowarsito, dia masih sedarah. Mula-mula sosok pujangga itu kabur, tapi makin
clxi lama makin jelas. Ia makin mengerti arti Palar baginya, dan nama
pujangga itu pun masuk dalam doanya. Kuntowijoyo, 2000: 12 Masa dewasa Abu, masa ia sudah bekerja, tinggal di daerah Kemuning.
Kutipan di bawah ini mendskripsikan latar Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu hal. 15. Kemuning dideskripsikan sebagai latar yang
terletak di daerah pegunungan danmemiliki pemandanga yang indah, namun dengan saran air yang sulit meskipun terdapat mata air. Saat itu Abu menjadi
pegawai lokal yang ditempatkan di Bangdes Pembangunan Desa. Berikut ini deskripsi Kemuning sebagai latar cerita:
Di Kemuning, Abu Kasan Sapari menyewa rumah. Kandang kuda dibuatnya di depan. Tapi satu hal yang menyulitkannya, betul
sewa rumah di tempat itu murah, tapi untuk mandi orang harus ke sendang di atas yang jauhnya dua kilometer. Ada sumur, tetapi sangat
dalam, dan tak ada air bila musim kering. Air itu masih harus dibagi dengan tetangga, kadang-kadang habis, dan bisanya hanya untuk
mengisi gentong atau padasan. Dia beruntung, bisa naik kuda ke sendaang, dan kembali membawa air. Jadi, diputuskannya hanya
mandi sekali sehari di sendang sepuas-puasnya seperti semua orang. Kuntowijoyo, 2000: 16
Peristiwa cerita
MPU
juga terjadi di daerah lain, Kecamatan Tegalpandan. Latar Tegalpandan dimulai setelah Abu dipindahtugaskan ke
daerah tersebut. Berikut kutipan-kutipan yang mendeskripsikan Tegalpandan sebagai latar cerita:
Tegalpandan –kota kecamatan yang juga kota tempat Pembantu Bupati– lebih kota dari Kemuning, tetapi lebih desa dari Karangmojo.
Ada pasar dengan los-los, warung, kios, dan di sekitar terminal ada toko-toko. Pohon beringin tua tumbuh di terminal, tidak seorang pun
tahu kapan ditanam dan siap menanam. Begitu tua pohon itu, sehingga dulu ada orang yang menganggapnya bertuah. Kuntowijoyo, 2000:
104
clxii Kutipan
di atas
mendeskripsikan latar
Tegalpandan yang
diperbandingkan dengan latar Kemuning. Diketahui bahwa Tegalpandan merupakan kota kecamatan yang lebih berkembang daripada Kemuning
karena faktor letak geografis, meskipun tergolong masih daerah gunung. Sarana kemajuan yang disebutkan yaitu adanya pasar dengan los-los, warung,
kios, dan terminal dengan toko-toko di sekitarnya. Di samping itu, peristiwa dalam cerita
MPU
juga terjadi di tempat rekreasi. Kebon binatang yang bertempat di Solo diperlihatkan dengan
keterangan latar lain berupa jalan raya antarkota dan Sungai Bengawan Solo. Latar tempat tersebut memperkuat latar suasana yang ada berupa deskripsi
aktivitas di tempat wisata, semisal adanya panggung hiburan sebagai bentuk tontonan masyarakat. Berikut ini kutipan yang memaparkan latar tersebut:
Bonbin itu terletak di pinggir jalan Solo-Karangmojo di tepi Bengawan Solo. Untuk menarik wisatawan domestic, kebon binatang
itu setiap Minggu mengundang artis lokal untuk menyuguhkan atraksi, di hari-hari besar artis-artis nasional juga didatangkan. Sebuah
panggung dibangun secara khusus untuk keperluan itu. Kuntowijoyo, 2000: 125
Latar cerita
WS
dimulai dari Jakarta. Hal itu terlihat dalam kutipan
berikut: “Wasripin naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagi-
pagi sekali.
Ia tidak
bodoh, ia
juga makan
sekolahan.”Kuntowijoyo, 2003: 1 Latar tempat lebih banyak terjadi di perkampungan nelayan, secara
geografis termasuk wilayah Pantura, yang baru mulai mengalami kemajuan pembangunan di berbagai bidang. Secara spesifik latar yang digambarkan
clxiii meliputi Tempat Pelelangan Ikan, Surau, Pasar, Sungai, dan Lapangan. Hal ini
dapat diketahui dari kutipan berikut: Ia merasa tidur sangat nyenyak di emperan surau sampai Ashar,
sampai Maghrib, sampai Isya’. Jamaah Isya’ berkerumun di sekitarnya. Kuntowijoyo, 2003: 8
Lapangan itu sudah berubah menjadi pasar. Para pedagang measang tenda-tenda sendiri yang dengan mudah mereka bongkar.
Kuntowijoyo, 2003: 16 “Sungai itu panjang, berkelok-kelok, bermuara di teluk dan
mengairi sawah yang luas. Sungai yang pada ujungnya akan bermuara di teluk TPI.” Kuntowijoyo, 2003: 23
c. Latar Sosial
Dalam novel
Pasar
,
MPU,
dan
WS
latar sosial juga diperlihatkan beiringan dengan latar tempat dan waktu. Ruang pasar dengan ditunjukkan
dengan lingkungan yang mengelilingnya lengkap beserta masyarakatnya, pedagang dan pegawai pemerntahan setempat. Latar ruang tersebut juga
membentuk latar suasana dari hasil kultur sosial yang dimiliki oleh tokoh- tokoh pembentuk yang ada di situ. Aktivitas para pedagang didukung latar
waktu di pagi hari yang tidak nampak ramai menjadi latar kehidupan masyarakat di pasar. Di samping itu, diperlihatkan pula unsure budaya Jawa,
yaitu dikenalnya hari pasar sebagai puncak aktivitas pasar. Berikut ini gambaran dasar cerita
P asar
,
MPU,
dan
WS
sebagai tempat berlangsungnya cerita:
Hari masih pagi di pasar itu. Matahari kunng kemerahan, berbinar-binar menyentuh gumpalan-gumpalan daun asam di atas los-
los pasar. Di bawah pohon-pohon asam itu masih dingin. Los-los pasar dari besi dengan atap yang lumutan berjajar sepi. Sedikit orang saja.
Mereka membuka bungkus-bungkus dagangan menggelarnya di lantai, di bawah los-los pagar atau di emper, atau di jalanan. Hari itu hari
clxiv Pahing yang biasa, kalau mencari keramaian di pasar, pada Kliwon-
lah. Namun, mereka pun bersabar menunggu datangnya kesibukan. Juga orang hilir mudik di jalanan berbatu di muka pasar. Sekelompok
orang berdiri, atau duduk-duduk di bawah pohon waru di pojok stanplat bis di seberang pasar. Kuntowijoyo, 2002: 2
Hari masih pagi, agak dingin di tempat itu, tetapi pasar itu sudah hidup sejak subuh. Hari itu hari Pasar. Orang membawa
kambing, kerbau, dan sapi di pasar ternak di sebelah selatan pasar, yang ada kayu-kayu tempat orang menalikan ternaknya. Los-los pasar
juga sudah penuh. Mulai terdengar orang tawar-menawar, kumandang pasar itu. Kuntowijoyo, 2000: 46
Hari Pasar di pasar TPI. Hari pasar yang dulu seekor sapi hilang. Tidak ada yang protes dari orang banyak, sebab pemiliknya
memang dikenal pelit pada tetangga. Dan hari itu seekor sapi lagi, padahal pemiliknya dikenal pemurah. Maka, para belantik menolak
untuk membayar pajak. Mereka marah kepada pasar TPI. Ketika petugas
penarik pajak
dating, mereka
menuding-nudingnya. kuntowijoyo, 2003: 110
Kutipan di bawah ini memperlihatkan latar sosial masyarakat dalam deskripsi novel
MPU
: Kemuning dapat jadi tempat agrowisata. Lebih indah dari
Tawangmangu, tempat peristirahatan itu. Dari Kemuning orang dapat menikmati matahari kemerahan waktu terbit dan tenggelam. Ditambah
dengan adanya jalan-jalan yang mulus sampai puncak-puncak bukit- untuk itu Pemerintah Order Baru patut mendapat acungan jempol-
Kemuning bisa berkembang. Kuntowijoyo, 2000: 86
Ada suasana sosial yang diperlihatkan dalam kutipan di atas yaitu gambaran warga yang mencari air ke sendang juga aktivitas mandi yang hanya
sekali sehari. Di samping itu diperlihatkan juga kemajuan peradapan sosial budaya dari fakta Kemuning dijadikan sebagai tempat agrowisata juga adanya
pembangunan jalur transportasi yang sudah baik. Latar dalam novel
MP U
berupa perkantoran pada kutipan sebelumnya, sebenarnya juga menunjukkan suasana modernitas di zamannya yang sedang
berlangsung dikota kecil itu. Berdasarkan gambaran di atas diketahui kultur
clxv interaksi antarpegawai dan aktivitas kerja di perkantoran. Latar tersebut juga
didukung adanya peradaban budaya berupa perlengkapan teknologi mesin tulis serta adanya penataan ruang kantor. Bahkan media surat kabar kala itu
sudah mulai bisa dinikmati sebagian masyarakat. Latar sosial lain dalam cerita
MP U
digambarkan dari latar Kemuning juga bisa kita cermati dari komunal sosial antarmasyarakatnya. Kutipan di
bawah ini menunjukkan interaksi strata sosial masyarakat Kemuning. Sebuah daerah yang dipimpin oleh pejabat pemerintah dengan budaya pengaruh
masyarakat feodalisme. Hal itu nampak pada fakta kebiasaan pejabat desa yang menyatakan sepakat tanpa pertimbangan ilmu.
Seorang lurah menunjukkan jari. “Kalau semua pemimpin, siapa yang rakyat?”
“Ya kita semua. Jadi sekaligus kita semua adalah pemimpin
dan rakyat. Misalnya lurah adalah pemimpin di desanya, tapi sekaligus bagian dari desanya, dan bagian dari rakyat Indonesia.
“Setuju, Bapak-bapak?” “Setujuuu” kata mereka.
Seperti diketahui, para lurah biasa bersama-sama bilang
“setuju” pada pidato pimpinan. Kuntowijoyo, 2000: 76 Sebagai latar sosial, Tegalpandan masih memiliki keamanan mandiri
yang menggunakan sistem keamanan keliling siskamling. Latar sosial ditunjukkan dengan adanya interaksi sosial warga kaum laki-laki melalui
perbincangan ringan di gardu. Sebuah kultur sosial yang memperat hubungan antarwarga. Berikut ini kutipan yang mendeskripsikan latar tersebut:
Di gardu Abu terkenal sebagai tukang dongeng, ahli filsafat kecil-kecilan, dan
cagak lek
membuat terbangun hidup. Sebutan tukang dongeng itu didapatnya karena dia suka bercerita Ramayana
dan Mahabarata yang belum pernah didengar orang, karena karangannya sendiri. Kuntowijoyo, 2000: 114
clxvi Dalam cerita
Pasar
, interaksi sosial terpengaruh oleh budaya feodalisme. Penghargaan status sosial sangat memengaruhi interaksi sosial.
Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut: Pak Camat datang juga. Pak Mantri mendahului memberi
selamat: “Selamat siang, Pak.” Keduanya termasuk orang-orang penting dalam kota kecil itu. Kalau ada orang kawin merekalah duduk
paling muka, mendapatkan penghormatan yang pertama. Juru tulis menyodorkan buku tamu. Pak Camat memeriksanya. Kuntowijoyo,
2002: 61
Dalam cerita
WS,
interaksi sosial terpengaruh oleh budaya pesantren yang begitu menghormati imam sebuah masjid atau surau. Pak Modin tidak bisa
digantikan siapapun. Masyarakan pesisir begitu menghormati pemimpin agama. Dan rupanya Pak Modin cukup dihormati orang-orang desa.
Kematian, sedekah laut, dan upacara-upacara resmi selalu memerlukan kehadirannya.kepercayaan orang melebihi Kaur Agama yang
resmi.Kuntowijoyo, 2003: 73
Sebelum waktu diberikan pada kiai, Pak Modin –sebagaimana selalu demikian- diminta menyambut selaku sesepuh surau. Orang-
orang dari desa sekitar berdatangan. Kuntowijoyo, 2003: 245
5. Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan cara pengarang memosisikan diri dalam cerita. Setiap pengarang memiliki kekhasan masing-masing dalam menyajikan cerita
olahannya. Dalam novel
Pasar
,
MPU,
dan
WS,
pengarang menggunakan teknik penceritaan yang disebut
“ omniscient narrative”
atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bercerita, tetapi
semua tokoh mendapatkan penonjolan. Berikut kutipan novel
Pasar
yang menunjukkan sudut pandang pengarang tersebut:
Lagi, Pak Mantri datang terlambat di kantor hari itu. Meskipun ia tiba dengan kereta terpagi dari kota. Maka segala pekerjaan Paijo sudah
clxvii selesai. Burung-burung dan ruangan terpelihara semua. Rupanya tukang
karcis itu ingin menunjukkan kesetiaannya yang akan luntur. “Bagus,” kata Pak Mantri. “Meski begitu. Selayaknya engkau menjadi pegawai.”
Paijo senang. Pujian yang sangat jarang keluar dari kepalanya itu. Baru saja ia terancam akan pemecatan sekarang sudah dipuji-puji. Ada
kegembiraan pada wajah tua itu. Pujian untuk Paijo sebagian disebabkan kegirangan pada Pak Mantra sendiri juga. Ada yang baru dikerjakan di
kota. Sekali pergi ke kota. Paijo menebak-nebak. Alangkah cepatnya perubahan. Sekali pergi ke kota dan bereslah semua. Pak Mantri sadar juga
bahwa perubahannya diketahui oleh tukang karcisnya. Kuntowijoyo, 2002: 117
Dalam novel
MPU
, fakta tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut: “Keluguanmu ternyata membawa berkah. Duduklah,” kata Pak
Camat begitu dia muncul di pintu. Pak Camat mengatakan bahwa ia mendapat pujian dari Bupati. ‘Sudah jatah Kemuning’ itu artinya ada
pemerataan pembangunan.
Jangan sampai
pembangunan hanya
membangun desa yang sudah makmur. Yang tidak diketahui oleh Pak Camat dan Abu ialah kebijaksanaan Bupati menggilirkan pemenang lomba
itu mendapat pujian dari Gubernur. Kuntowijoyo, 2000: 28-29
Dalam novel
WS
, dapat diketahui dalam kutipan berikut: Keesokan paginya sehabis dari surau, sebuah jip hijau dating ke
rumah. Tentara menghormat. Katanya, “Aku diperintahkan komandan untuk menjemput Pak Modin. Mari ikut kami.” Bu Modin yang punya
firasat buruk berteriak-teriak, “Jangan Jangan” teriakan itu membuat orang keluar rumah. Tapi, mereka hanya sempat melihat jip itu
semakin jauh. Bu Modin ingat Wasripin; dibawa tentara selalu berarti mati. Kuntowijoyo, 2003: 246
Berdasarkan kutipan di atas, pengarang menempatkan diri benar-benar di
luar cerita. Pengarang tidak memerankan diri menjadi salah satu tokoh pelaku cerita. Meski begitu, dalam posisi demikian pengarang seolah-olah mengetahui
segala tindakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita. Pengarang tidak hanya tahu tindakan tokoh cerita, tetapi juga mengetahui perasaan yang dialami tokoh
cerita. Pengarang menjelaskan secara detail tindakan dan perasaan yang dialami
clxviii tokoh. Hal ini menunjukkan adanya penguatan terhadap cara pandang suatu
permasalahan cerita. Pengarang seolah-olah meletakkan tokoh-tokohnya sebagai sarana berkomunikasi dengan pembaca dalam menjadikan tokoh-tokoh cerita
tersebut sebagai saksi mata dan pelaku sejarah. Menilik pada penggunaan sudut pandang seperti di atas pada proses cerita
pengarang memiliki maksud tertentu. Pengarang dalam hal ini Kuntowijoyo seolah-olah ingin mengusulkan kepada khalayak tentang gagasan-gagasan dan
pikiran-pikirannya melalui pendekatan setiap tokoh cerita. Pengarang bisa memberikan pemahaman setelah ia tersublim dengan tokoh-tokoh tersebut dari
segala kedudukannya, sebagai pemimpin, pejabat pemerintah, satpam, modin, pegawai swasta, bahkan pedagang. Inilah sudut pandang yang unik dari
pengolahan empati rasa yang ingin ditunjukkan kepada pembaca.
3. Deskripsi Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel