Nilai Pendidikan Moral Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel

clxxxiii Nilai pendidikan agama dalam novel WS juga dapat diperoleh dari ucapan-ucapan Pak Modin, seperti kutipan berikut ini: “Bapak-bapak, sudah waktunya sembahyang ashar. Bagaimana kalau pertemuan ditutup?” kata Pak Modin. Kuntowijoyo, 2003: 33 “Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisi- Nya” kata Pak Modin “Dan Wasripin telah syahid. Negara Mendzalimi anaknya sendiri yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan ia sebagai washilah . Itu syirik. Kuntowijoyo, 2003: 246 “Sudahlah, Bu. Memang sudah takdir. Mau punya anak dan menantu saja gagal.” Kuntowijoyo, 2003: 233 “Apapun yang terjadi, Bu, beristighfarlah dan ucapkan Alhamdulillah.” Ia menarik nafas panjang. Kuntowijoyo, 2003: 234 Dalam novel MPU, Kuntowijoyo juga memberi amanat agar manusia tidak berlaku syirik. Abu Kasan Sapari berjalan hilir mudik di rumah. Ia pusing, secara resmi Lurah memintanya untuk mendalang dalam selamatan desa. Ia ingat, Eyangnya saja telah menebang pohon-pohon keramat tanpa upacara. Sekian ratus tahun kemudian cucunya akan mendalang untuk selamatan karena pohon tumbang. “Ini benar-benar kemunduran,” pikirnya. Kepada Lurah dikatannya bahwa dia minta waktu, soalnya rapat LKMD menolak selamatan. Akan dicobanya minta pendapat Lastri. Kuntowijoyo, 2000: 196. Dalam novel Pasar, Kuntowijoyo juga memberi amanat agar manusia pasrah, bersahaja, samadya, dan tidak menuruti hawa nafsunya. Hal itu terungkap dari deskripsi pemikiran Pak Mantri berikut ini: Pak Mantri mencoba menerima nasibnya. Kalau nafsu sudah menguasai budi, nasihat tak ada gunanya. Kuntowijoyo, 2002: 6. Orang itu harus samadya jangan berlebihan, jangan makan terlalu panas atau terlalu dingin. Kuntowijoyo, 2002: 10.

b. Nilai Pendidikan Moral

Sikap tanggung jawab terhadap perbuatan adalah sikap moral yang wajib dilakukan. Hal itu terungkap dalam novel WS melalui pernyataan Pendekar Tingkat Desa ketika dirinya hamil karena ulah Pendekar Tingkat II. clxxxiv Ketika Pendekar Tingkat Desa ada tanda-tanda hamil, Pendekar Tingkat II mengusulkan seorang dukun yang bisa menggugurkan. Tapi Pendekar menolak, “Ini bayi, bayiku sendiri. Jangan gelem mangan nangkane, emoh pulute mau enaknya, tak mau susahnya. Kuntowijoyo, 2003: 115 Selain itu, sikap moral yang biak juga terlihat dari pernyataan kader Partai Randu yang disuruh menculik Wasripin. “Menculik Wasripin?” “Iya.” “Jangan, Pak. Seperti kata peribahasa itu namanya ‘air susu dibalas dengan air comberan’.” Kuntowijoyo, 2003: 219 Begitu pula dalam novel Pasar, Kuntowijoyo mengkritisi sikap pejabat camat dan kepala polisi yang masih hobi adu jago dan keluyuran pada saat jam kerja. Padahal mereka adalah figur yang dijadikan panutan. Hari sudah siang waktu itu. Pak Camat tahu juga kesopanan, ia minta maaf pada Pak Mantri karena ada sedikit keperluan. Ya, nonton adu jago. Itu mantri pasar sudah tahu. Lalu camat juga membisikkan bahwa ia baru saja nonton adu jago. Kuntowijoyo, 2002: 62 Ah, kepala polisi, pada jam kerja sempat masuk pasar dan menawar burung Keterlaluan Tidak sudi Pak Mantri melanjutkan omong tentang yang bukan urusan dinas di kantor macam ini. Mesti ditertibkan Kuntowijoyo, 2002: 83. Sikap Abu Kasan Sapari dalam novel MPU juga merupakan pendidikan moral. Dia menolak dijadikan caleg karena ada maksud lain yang tersembunyi. Yaitu agar Abu tidak menghalang-halangi usaha kotor politik uang dan pemaksaan Mesin Politik mendapat suara terbanyak. Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” clxxxv “Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Kuntowijoyo, 2000: 145

c. Nilai Pendidikan AdatBudaya