lxxvii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di depan, maka akan dibahas secara berturut-turut mengenai pendekatan strukturalisme genetik dan
nilai pendidikan dalam novel
Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah
karya Kuntowijoyo. Analisis tersebut meliputi: 1 analisis pandangan dunia pengarang, 2 analisis struktur teks novel
Pasar, Mantra Pejinak Ular,
dan
Wasripin dan Satinah
, 3 analisis struktur sosial budaya masyarakat novel
Pasar, Mantra Pejinak Ular,
dan
Wasripin dan Satinah
, dan 4 analisis nilai-nilai pendidikan dalam novel
Pasar, Mantra Pejinak Ular,
dan
Wasripin dan Satinah
.
A. Hasil Penelitian
Sebelum dilakukan analisis dan pembahasan, berikut ini dipaparkan temuan penelitian yang menyangkut aspek pandangan dunia pengarang, struktur
teks, struktur sosial, dan nilai-nilai pendidikan dalam novel
Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin
dan
Satinah
karya Kuntowijoyo.
1. Deskripsi Pandangan Profetik Kuntowijoyo
Menurut Kuntowijoyo, disadari atau tidak, ternyata cara berpikir masyarakat saat ini tak jauh berbeda dengan sistem pengetahuan nenek moyang;
sejarah sepertinya berjalan di tempat. Nenek moyang dulu berpikir berdasarkan mitos. Kuntowijoyo melihat sebagai bangsa, masyarakat kita pun rupanya
sekarang masih hidup dalam mitos. Masyarakat lebih suka menghindar dari realitas dan bukan menghadpinya, persis seperti nenek moyang dulu yang
57
lxxviii menghindar menggunakan
ruwatan, petung,
dan sesaji yang dijadikan sebagai simbol yang dapat menghindarkan orang dari malapetaka. Pandangannya tersebut
tertuangkan dalam kutipan berikut: Abu Kasan Sapari berjalan hilir mudik di rumah. Ia pusing, secara
resmi Lurah memintanya untuk mendalang dalam selamatan desa. Ia ingat, Eyangnya saja telah menebang pohon-pohon keramat tanpa upacara.
Sekian ratus tahun kemudian cucunya akan mendalang untuk selamatan karena pohon tumbang. “Ini benar-benar kemunduran,” pikirnya. Kepada
Lurah dikatannya bahwa dia minta waktu, soalnya rapat LKMD menolak selamatan. Akan dicobanya minta pendapat Lastri. Kuntowijoyo, 2000:
196.
Mereka memutuskan untuk sowan orang pintar itu dan minta nama baru lagi. Sial bagi mereka, orang pintar itu sudah meninggal. Usaha sang
ayah untuk menyepi malam-malam dikuburan oran pintar dengan harapan ada nama baru yang dipesankannya tidak berhasil. … Maka, saudara dekat
suami-istri mengusulkan untuk mengadakan kenduri dan
lek-lekan
semalam suntuk tidak tidur guna membuang sial. Maka empat puluh santri dari sebuah pondok diundang untuk mengaji di rumahnya.
Kuntowijoyo, 2003: 44
“Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisi-Nya” kata Pak Modin “Dan Wasripin telah syahid. Negara Mendzalimi anaknya
sendiri yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan ia sebagai
washilah
. Itu syirik. Kuntowijoyo, 2003: 246 Kuntowijoyo adalah budayawan yang mengerti nilai keluhuran seni.
Apalagi sebagai orang Jawa Kuntowijoyo memahami hakikat seni Jawa. Seni Jawa merupakan perpaduan antara olah rasa masyarakat jawa dan keyakinan
kepada Sang Pencipta. Kuntowijoyo menekankan pentingnya seni sebagai ruh pencerahan yang selaras dengan pandangan profetiknya. Pemahamannya ini
dinampakkan melalui tokoh Abu ketika diwawancarai seorang wartawan media massa dalam kutipan novel di bawah ini:
AKS berpendapat bahwa seni itu seperti air. Artinya, kalau ada yang benjol-benjol dalam masyarakat seni akan menutupinya,
menjadikannya datar. Kalau ada api seni akan menyiraminya. Mengutip ajaran Sunan Drajat, AKS berpendapat bahwa seni memberi air mereka
yang kehausan, memberi payung mereka yang kehujanan, memberi
lxxix tongkat pejalan yang sempoyongan. Sebaliknya, seni yang hanya menjadi
antek politik akan mengingkari tugasnya sebagai seni. Kuntowijoyo, 2000: 153.
“Kesenian itu berbeda dengan kekuasaan. Kesenian membujuk, kekuasaan memaksa. Kesenian berbicara dengan lambang, kekuasaan
thok-leh.
. Kesenian itu
sinamun ing samudana
, tersamar, tidak langsung. Semua ada tempatnya. Orang Jawa itu tanggap, Pak. Jangan
blak-blakan,
jangan menggurui, jangan dikatakan semuanya.” Kuntowijoyo, 2000: 83. “Ya kalau tidak, ya diulang-ulang sampai orang mengerti.
Kesadaran itu datangnya harus dari dalam, tidak bisa dipaksakan dari luar.” Kuntowijoyo, 2000: 83.
Kuntowijoyo menyesalkan krisis kultural dalam bentuk politisasi dan
komersialisasi kesenian. Politisasi dan komersialisasi kesenian berakibat buruk pada masyarakat. Komersialisasi misalnya menimbulkan pembodohan dan
dehumanisasi. Dehumanisasi merupakan penempatan manusia seperti mesin robot sebagai objek yang bisa diperalat untuk kepentingan kekuasaan. Berikut kutipan
yang menggambarkan hal di atas: Lalu dia menjelaskan bahwa esok hari akan ada pernyataan pers
dari Mesin politik bahwa mereka sudah mengumpulkan para dalang untuk keperluan Bapilu Badan Pemenangan Pemilu se-Kodya Surakarta
sebanyak 150 orang. Mereka memutuskan untuk menggunakan media tradisional pedalangan untuk kampanye. Dalang-dalang akan diterjunkan
di seluruh eks-Karesidenan Surakarta selama masa kampanye. Kuntowijoyo, 2000: 144.
Fenomena adanya kelas sosial digambarkan Kuntowijoyo dalam kutipan
cerita berikut: “Lagi pula yang penting, ingatlah bahwa kau orang Jawa. Ketika
engkau gembira, ingatlah pada suatu kali kau akan mendapat kesusahan. Apalagi menertawakan nasib buruk orang lain, Nak. Jangan, sekali-kali
jangan. Orang yang berpangkat harus berbuat baik, suka menolong. Kalau ada yang kesusahan, harus bisa membantu. Jangan malah menertawakan.
Kalau tidak bisa membantu, menyesallah. Dan berjanjilah suatu kali kau akan membantu. Sebaliknya ikutlah berduka cita atas kemalangan orang
lain. Engkau boleh tertawa apabila saudaramu beroleh kesukaan.
lxxx Bersusahlah bersama orang yang susah, bergembiralah bersama orang
yang bergembira. Renungkanlah, Nak.” Kuntowijoyo, 2002: 344. “Segala sesuatu dapat dirundingkan. Musyawarah untuk mufakat.
Mari” Kuntowijoyo, 2003: 74. Berdasarkan kutipan di atas, nampak bahwa Kuntowijoyo memberikan
gambaran peran intelektualitas dalam membangun interaksi sosial dengan melandaskan pada pandangan religius profetik.
Kuntowijoyo meyakini budaya Jawa yang telah mengakar di dalam masyarakat Jawa selama ratusan tahun sebagai sesuatu yang memiliki nilai luhur.
Kuntowijoyo memperlihatkan hal itu dalam kutipan cerita
Pasar
sebagai berikut: Tidak ada orang Jawa yang lain. Juga camat, juga kepala polisi.
Ah, tahunya apa camat-camat sekarang. Adu jago saja patohan, membuat
candrasengkala
mesti ke Pak Mantri. Inilah kelirunya. Zaman dulu pegawai itu mesti tahu sastra. Bukan sekadar bisa baca tulis.
Kuntowijoyo, 2002: 63-64.
“Dan kalau aku mati. Itulah warisanku, Nak. Pewarisnya, siapa saja yang bisa menyebut diri orang Jawa. Aku akan menghubungi ini.”
Lalu Pak Mantri mengeluarkan majalah bahasa Jawa. Kuntowijoyo, 2002: 346.
Itulah kebudayaan kota, sebab toko-toko menempelekan harga, hingga orang tidak perlu menawar. Pasar itu ramai, orang-orang yang
sedang menawarkan dagangan. Kuntowijoyo, 2000: 46.
Sedikit berbeda dengan novel
Pasar
dan
Mantra Pejinak Ular
, Kuntowijoyo dalam novel
Wasripin dan Satinah
menyoroti budaya Jawa masyarakat pantura. Dia menyebutkan bahwa orang pantura lebih suka selawatan
daripada wayang. Hal ini dapat dilihat dari penggalan berikut ini. Wayangan dan ruwat yang diselenggarakan oleh Babinsa sepi
pengunjung. Di siskamling orang-orang rerasan, “maklum pendatang”, “Orang akan lebih suka selawatan daripada wayang dan ruwat.”
Kuntowijoyo, 2003: 83
lxxxi Politik yang mengarah pada kebersamaan tujuan disatukan dalam
perwujudan demokrasi. Kunto mengingatkan, kebudayaan bersifat unik dan particular. Karena itu, demokrasi kebudayaan harus hati-hati jangan sampai
demokrasi menyebabkan hilangnya kepribadian. Dalam demokrasilah hak-hak semua masyarakat dapat disampaikan. Berkenaan dengan itu maka harus dijaga
jangan sampai demokrasi berarti anarki, artinya terdapat tindakan untuk menekan dan memaksanakan agar hak individu atau golongan lebih diakui daripada
kepentingan umum. Kuntowijoyo mengungkapkannya dalam cerita
MPU,
dalam kutipan berikut:
Randu,
botoh
, dukun,
dan tokoh-tokoh
lokal berusaha
memengaruhi jalannya
pemilihan lurah dengan berbagai cara. Kemenangan dalam pemilihan lurah mempunyai makna sendiri bagi yang
berkepentingan. Bagi Mesin Politik kemenangan pilkades berarti kemenangan dalam pemilu nanti, uang bagi
botoh
, prestise bagi dukun, dan sekadar rezeki bagi orang-orang lain. Kuntowijoyo, 2000: 94
Pak Mantri Pasar menjadi contoh peran intelektual dalam menyelesaikan
masalah di pasar, seperti digambarkan dalam kutipan berikut: Beberapa kali ia memegang pensil. Beberapa kali direnung-
renungkan. Setiap kali akan menulis direnungkannya kembali. Tidak ragu- ragu lagi, bahasanya pasti yang terbaik. Bahasa Jawanya sempurna belaka.
Cepat dicoretnya judul-judul yang sudah dibuat. Dan dengan tegas saja ia mengulang menulis “Pemberontakan orang pasar”. Apalagi Tidak ada
yang lebih cepat. Dan lagi sebuah “Kerja
uler kambang
”. Ini untuk memberi istilah pada cara kerja polisi dan camat itu. Sekarang ialah baris-
baris yang pertama. Pokoknya yang mengenai pasar didahulukan. Dan baru kemudian tentang alat-alat pemerintah di kecamatan itu.
Kuntowijoyo, 2002: 145.
Maka loyalitas tertinggi intelektual ialah pada masa depan bangsa, tidak pada elite kekuasaan, bisnis dan massa budaya,
voting behaviour
. Tindakan Abu Kasan Sapari ketika menolak dijadikan sebagai alat politik praktis yang tidak
lxxxii mengedepankan kebersamaan dan kejujuran pada kutipan cerita
MP U
berkut merupakan bentuk tindakan intelektualitas yang tepat:
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi.
Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?” Kuntowijoyo, 2000: 145 Selain itu, menurut Kunto politik adalah pengejawantahan moral bukan
sekadar kendaraaan menuju kekuasaan. Berikut ini kutipan yang menggambarkan pandangan tersebut:
“Wah, sampai di mana penataran politikmu? Politik itu
the art of possible.”
“Itu PKI, Pak. Katanya, politik itu pengejawantahan moral.” Kuntowijoyo, 2003: 222
“Rakyat berjasa tak dihargai” “Penggede korupsi malah jadi pahlawan”
“Ini demokrasi pancasila. Yang
gedhe diemuk-emuk,
yang kecil dikerasi” Kuntowijoyo, 2003: 188
Dalam pandangan Kuntowijoyo, masalah pokok yang dihadapi bangsa Indonesia adalah kemiskinan dan kesenjangan. Kuntowijoyo melontarkan
menurut persepsi intelektual bahwa dalam masyarakat terdapat kemiskinan struktural. Masyarakat miskin bukan karena kemalasan, tetapi karena dimiskinkan
oleh sistem dan struktur yang pincang. Dengan mudah investor mendapatkan tanah. Karena hotel
dibangun dalam hubungannya dengan agrowisata, maka sawah, kebun, tegal, dan tanaman jeruk harus ditata. Selain sedap dipandang, juga
diharapkan bahwa turis wisman, wisnu dapat ke kebun, ikut memanen tanaman…… Yang menjadi heboh ialah pasar dan terminal harus
dipindah. Kuntowijoyo, 2000: 87 Kesenjangan antara masyarakat kelas atas dengan masyarakat kelas bawah
yang lazim adalah monopoli. Hal itu tidak hanya menggeser eksistensi pasar
lxxxiii tradisional, tetapi juga mengubah tatanan sosial budaya yang telah terbentuk
sekian ratus tahun pada masyarakat Jawa. Kuntowijoyo menyampaikannya melalui cerita
MP U
dalam kutipan berikut: Itulah kebudayaan kota, sebab toko-toko menempelkan harga,
hingga orang tidak perlu menawar. Pasar itu ramai, orang-orang yang sedang menawarkan dagangan. Kuntowijoyo, 2000: 46
“Hari ini semua soal akan beres. Tidak usah menghadapkan kedatangan penabung dari luar pasar.” Berhenti sebentar, melihat perangai
Zaitun. “Aku menuntut pengesahan itu dari camat dan polisi. Soalnya Bank Pasar dimaksudkan untuk menolong rakyat kecil. Bukan untuk jatuh
dalam monopoli orang kaya. Itu tidak sesuai dengan undang-undang negara kita. Apalagi orang-orang yang kayanya entah dengan cara apa itu”
Kuntowijoyo, 2002: 120.
Kuntowijoyo juga memandang bahwa dalam kegiatan ekonomi pelaku utama adalah rakyat kecil. Tanpa mereka, kegiatan perekonomian tidak berjalan
dan dapat mengganggu stabilitas negara. Telepon rumah dan Kantor Bupati mendapat keluhan bahwa harga
ikan-ikan di kota-kota Jawa Barat naik berat. Minta supaya bupati menggunakan seluruh kekuasaan untuk memaksa para nelayan melaut.
Kuntowijoyo, 2003: 246
Maka terjadilah peristiwa yang tidak ada duanya di dunia. Nelayan dipaksa melaut. Seorang polisi pilihan kekar, atletis, dan sehat berada di
atas perahu. Sehabis subuh, lima belas perahu nelayan berangkat bersamalima belas polisi. Para polisi berdiri tegar, tangan menyelempang
ke belakang, pistol di pinggang. Kuntowijoyo, 2003: 251-252
Dalam paradigma pendidikan, Kuntowijoyo juga mengkhawatirkan
mengenai gejala “refeodalisasi” atau “feodalisme baru” yang menyebabkan simbol-simbol kebudayaan sering dipakai sebagai sarana dominasi dari status
yang lebih tinggi. Dia juga mencemaskan kemungkinan sarana mobilitas sosial. Sebagai contoh yang nyata kini sekolah-sekolah kian mahal dan eksklusif
sehingga semakin menutup peluang bagi kalangan masyarakat bawah. Di sini
lxxxiv komersialisasi pendidikan sama berbahaya dengan indoktrinasi dalam pendidikan.
Komersialisasi pendidikan berakibat pembodohan dan kemiskinan. Kutipan berikut menunjukkan bahwa pendidikan menjadi sesuatu prestise yang hanya bisa
diperoleh oleh kalangan masyarakat kaya: Maka anak-anak semua “jadi orang”, kecuali dalang. Ada yang jadi
insinyur gula, ada yang jadi pegawai tinggi, ada yang jadi perwira tinggi, ada yang kerja di bank, ada yang jadi dosen, dan ada yang jadi bisnismen.
Kuntowijoyo, 2000: 14.
“Wasripin naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagi-pagi sekali. Ia tidak bodoh, ia juga makan sekolahan. Kuntowijoyo, 2003: 1
Kuntowijoyo memandang bahwa industrialisasi telah mengakibatkan dekadensi nilai dan moral. Awal dari krisis nilai dan moral disebabkan oleh tidak
adanya keteladanan. Kuntowijoyo juga berkali-kali mengingatkan bahwa bangsa kita berkali-kali mengalami krisis keteladanan. Yaitu, sirnanya tokoh-tokoh
anutan yang bisa dijadikan rujukan nilai dalam berperilaku dan bertindak. Ah, kepala polisi, pada jam kerja sempat masuk pasar dan
menawar burung Keterlaluan Tidak sudi Pak Mantri melanjutkan omong tentang yang bukan urusan dinas di kantor macam ini. Mesti ditertibkan.
Kuntowijoyo, 2002: 83.
Bahkan sebaliknya, para pejuang dituduh melakukan penyimpangan- penyimpangan yang sebenarnya hanyalah direkayasa belaka:
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi.
Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?” Kuntowijoyo, 2000: 145 “Celaka, Pak” Katanya mendahului.
“Apa yang celaka, Paijo?” “Kita dituduh”
“Dituduh apa?” “Mengorupsi uang pasar”
“Siapa bilang itu?”
lxxxv “Ada pegawai kecamatan kesini”
“Lah, betul tidak. Ada kau korupsi?” “Tidak, pak. Terang tidak.”
“Ah, kalau kau memang begitu boleh susah. Tetapi tidak, bukan?”
Kuntowijoyo, 2002: 250 “Menculik Wasripin?”
“Iya.” “Jangan, Pak. Seperti kata peribahasa itu namanya ‘air susu dibalas
dengan air comberan’.” Kuntowijoyo, 2003: 219 Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut, dapat dipetik inti dari pemikiran
profetik Kuntowijoyo yakni pentingnya peran agama dalam memperbaiki berbagai bidang kehidupan manusia. Selain itu, Peran intelektual dalam
membangun interaksi sosial hendaknya berlandaskan pandangan religius profetik, bukan religius sufistik yang menafikkan keberadaan manusia lain
sebagai objek dakwah. Hal ini bertujuan agar terbentuk masyarakat utama adil makmur yang diridaiAllah
dan terwujudnya negara yang
baldatun thoyibatun wa robbun ghofur
.
1. Kelompok Sosial Kuntowijoyo