Kuntowijoyo sebagai Sastrawan Pencetus Sastra Profetik

xlvii menunjukkan fungsi-fungsi pandangan dunia sebagai mediasi, sehingga memungkinkan terjadinya dialog antardisiplin Nyoman Kutha Ratna, 2003: 233

d. Kuntowijoyo sebagai Sastrawan Pencetus Sastra Profetik

Kuntowijoyo telah melahirkan karya-karya luar biasa, baik dalam kajian keislaman, sejarah, mau pun cerita pendek dan novel. Lebih dari 50 judul buku ia hasilkan selama masa sakitnya, 1992-2005. Belum lagi kolomnya di berbagai media. Karya sastranya, antara lain Hampir Sebuah Subversi 1999 Pasar 2000, Fabel Mengusir Matahari 2000, dan Wasripin dan Satinah 2003. Novelnya, yang pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas , Mantra Pejinak Ular , ditetapkan sebagai satu di antara tiga pemenang Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara Mastera, 2001. Tiga kali berturut-turut Cerpen-cerpennya menjadi Cerpen Terbaik Kompas, yiatu “Laki-laki yang Kawin dengan Peri” 1995, “Pistol Perdamaian” 1996, dan “Anjing-anjing yang Menyerbu Kuburan” 1997. Hingga ia pernah menelepon redaksi Kompas untuk meminta agar dirinya tidak lagi dimenangkan, seandai memang layak untuk menang lagi. Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI 1995, Satyalencana Kebudayaan RI 1997, ASEAN Award on Culture and Information 1997, Mizan Award 1998, Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek 1999 dan SEA Write Award 1999 dari Pemerintah Thailand. xlviii Memang, ia mudah lelah. Mengikuti pertemuan atau membaca 2 jam sudah sangat melelahkan baginya. Sewaktu masih bugar, ia membaca 8 jam dalam sehari. Sebelum sakit, konon 200 halaman buku dilalapnya tiap hari, kebanyakan pada pagi hari sebelum dan sesudah shubuh, serta malam hari menjelang tidur.Tapi, tetap, dengan keadaan sakit pun, hasilnya begitu optimal. Bila kita membaca dengan cermat karya-karya Kuntowijoyo— Kumpulan Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga, Mantra Penjinak Ular, Wasripin dan Satinah , dll— maka setidaknya dapatlah kita memiliki sebuah gambaran tentang sikap pengarang terhadap karya yang dihasilkannya. Dalam sastra, misalnya, Kuntowijoyo memetakan dua macam sastra yang bertentangan; pertama, sastra universal humanistik-emansipatoris-liberasi. Kedua, sastra religius-transendental-spiritual. Melihat peta semacam ini, maka sastra yang dipilih dan dicita-citakan oleh Kuntowijoyo adalah jenis sastra Islam profetik, yang menggabungkan keduanya. Karena itu, Kuntowijoyo menyatakan, kekuasaan Tuhan itu berbeda dengan kekuasaan manusia. Kekuasaan Tuhan itu membebaskan, ikatan yang membebaskan. Menurut Kuntowijoyo, itu “sebuah kebenaran paradoksal”. Iman, transendensi, ruh selalu menjadi perhatian Kuntowijoyo. Kesadaran itu dipeluknya dengan kuat, berdasarkan ayat suci, ia meyakini perjanjian dengan Tuhan di alam azali bahwa sebelum manusia lahir ke dunia telah menyatakan beriman kepada Allah. Karena itu, kelahiran ke dunia untuk tetap memelihara kesaksian itu dengan menjaga kesucian fitrah. Ibnu Anwar, 2008: 2 xlix Bagaimanapun, maklumat tentang ”Sastra Profetik” Kuntowijoyo benar-benar memiliki ruh, yang seolah-olah mewakilinya untuk membenarkan bahwa karya-karya yang dihasilkan oleh Kuntowijoyo. Di dalamnya terdapat strukturisasi pengalaman yang cukup tinggi, beserta strukturisasi imajinasi yang melebihi kognisi pengalamannya. Kuntowijoyo 2005: 80 menegaskan idealismenya tentang sastra, “Keinginan saya dengan sastra adalah sastra sebagai ibadah dan sastra yang murni. “Sastra ibadah” saya adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi tangkapan saya atas realitas, “objektif” dan universal.” Penulis novel Pasar dan Khotbah di Atas Bukit ini terus berkarya sampai detik-detik terakhir hayatnya. Ia masih sempat memberi kata pengantar kumpulan puisi Taufik, Malu Aku Jadi Orang Indonesia . Kuntowijoyo meninggalkan dua naskah yang belum sempat diedit, yaitu Pengalaman Sejarah Historical Experience dan Sejarah Eropa Barat pengembangan skripsinya pada 1969, serta ide tulisan untuk Muhammadiyah dalam rangka muktamarnya. Kunto sudah meninggal pada hari Selasa, 22 Februari 2005. Tapi ide dan semangatnya masih hidup. Ekky, 2009: 4 Kuntowijoyo sebagai pencetus maklumat sastra profetik tentu mempunyai pandangan yang khas. Sastra profetik adalah sastra demokratis. Ia tidak otoriter dengan memilih satu premis, tema, teknik, dan gaya style, baik yang bersifat pribadi maupun baku. Dahulu, di negeri-negeri yang terpengaruh komunisme, sastra memilih realisme sosialis dengan agresif dan berusaha l mematikan aliran lain. Keinginan sastra profetik hanya sebatas bidang etika, itu pun dengan sukarela, tidak memaksa. Kuntowijoyo, 2005: 10 Etika tersebut disebut profetik karena ingin meniru perbuatan nabi, Sang Prophet . Kuntowijoyo terinspirasi kutipan ungkapan sufi dalam buku Muhammad Iqbal, sang sufi mengagumi peristiwa Isra’-Miroj. Meskipun Nabi Muhammad telah mencapai tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik, tapi kembali ke dunia juga untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya. Menurut Kuntowijoyo 2005: 10-11 konsep etika profetik ditemukan dalam Al-Quran surat Al-Imron ayat 110. ”Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, danmencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah.” Etika profetik berisi tiga hal yaitu humanisasi ’amar ma’ruf , Liberasi nahi munkar, dan transendensi tu’minunna billaah. Liberalisme memilih humanisasi, Marxisme memilih liberasi, dan kebanyakan agama memilih transendensi. Etika profetik menginginkan ketiga-tiganya. Keikutsertaan Kuntowijoyo dalam Muhammadiyah juga mempengaruhi pemikirannya. Apa yang disampaikannya senada dengan khitah perjuangan Muhammadiyah. Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang telah menghembuskan jiwa pembaruan islam, menentang bid’ah dan khurafat. Sabili, 2003: 134 Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai persyarikatan memilih dan menempatkan diri sebagai Gerakan Islam ’amar-maruf nahi li mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah. Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar maruf nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.” www.muhammadiyah-online.com Menurut Suminto A. Sayuti, 2005: 5 Etika profetik yang digagas Kuntowijoyo merupakan perwujudan strukturalisme transendental. Dalam kaidah sastra profetik harus ada kesadaran bahwa sastra dimaknai sebagai ibadah. Kuntowijoyo pun menyatakan idealismenya dalam bersastra, “Inilah cara bagi saya untuk mengabdi pada Tuhan dan tanah air.” Menurut Moh. Wan Anwar 2005: 29 persoalan manusia dan kehidupan masyarakat modern ditampilkan Kuntowijoyo dalam atmosfer budaya Jawa dan pemikiran Islam. Hantu, takhayul, jin, peri, firasat, kepercayaan orang-orang Jawa yang irasional dan emosional dihayati Kuntowijoyo dalam perspektif Islam. Ia menghadapkan dua wawasan tersebut, tanpa membenturkannya. Sastra Profetik memiliki kaidah-kaidah yang memberi dasar kegiatannya. Kaidah-kaidah tersebut adalah: lii 1. Epistemologi Strukturalisme Transendental berdasar kitab suci yang transenden dan mempunyai struktur yang utuh, khususnya dalam terminologi Islam 2. Sastra sebagai ibadah Islam adalah agama yang utuh, kaffah , QS. Al- Baqarah: 208. Seorang muslim tidak dikatakan Islamnya kaffah jika dia mengamalkan rukun Islam dengan tertib, tetapi pekerjaannya tidak diniatkan sebagai ibadah Keterkaitan antar-kesadaran Tugas kemanusiaan sastra profetik adalah memperluas ruang batin, menggugah kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan. Hablumminallah dan hablumminannas . Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa etika profetik Kuntowijoyo mengarah pada pandangan religius. Pandangan religius tersebut bukan religius sufistik, melainkan religius profetik yakni mengarah pada keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama.

3. Nilai Pendidikan dalam Novel