melayani,  mendukung  pelaku  utama  disebut  tokoh  tambahan  atau  tokoh pembantu,
23
dalam  menyajikan  dan  menentukan  karakter  watak  para tokoh, pada umumnya pengarang menggunakan dua cara atau metode dalam
karyanya.  Pertama,  metode  langsung  telling  dan  kedua,  metode  tidak langsung showing.
24
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, seperti:
a. Jika  dilihat  dari  peran  tokoh-tokoh  dalam  perkembangan  plot  dapat
dibedakan  menjadi  tokoh  utama  dan  tokoh  tambahan.  Tokoh  utama  adalah tokoh  yang  diutamakan  penceritaannya  dalam  novel  yang  bersangkutan.  Ia
merupakan  tokoh  yang  paling  banyak  diceritakan,  baik  sebagai  pelaku kejadian  maupun  yang  dikenai  kejadian.  Dipihak  lain,  pemunculan  tokoh-
tokoh  tambahan  biasanya  diabaikan,  atau  paling  tidak,  kurang  mendapat perhatian.
25
b. Dilihat  dari  fungsi  penampilan  tokoh  dapat  dibedakan  ke  dalam  tokoh
protagonis  dan  tokoh  antagonis.  Tokoh  protagonis  adalah  tokoh  yang  kita kagumi  yang  salah  satu  jenisnya  secara  populer  disebut  hero  tokoh  yang
merupakan  pengejawantahan  norma-norma  nilai-nilai  yang  ideal  bagi  kita. Sedangkan,  tokoh  antagonis  adalah  tokoh  yang  beroposisi  dengan  tokoh
protagonis,  secara  langsung  maupun  tidak  langsung,  bersifat  fisik  ataupun batin.
26
c. Dilihat dari perwatakannya dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh
bulat.  Tokoh  sederhana  adalah  tokoh  yang  hanya  memiliki  satu  kualitas pribadi  tertentu,  satu  sifat  watak  tertentu  saja.  Ia  tidak  memiliki  sifat  dan
tingkah  laku  yang  dapat  memberikan  efek  kejutan  bagi  pembaca.  Dipihak lain,  tokoh  bulat  adalah  tokoh  yang  memiliki  dan  diungkapkan  berbagai
kemungkinan  sisi  kehidupannya,  sisi  kepribadian  dan  jati  dirinya.  Ia  dapat
23
Aminuddin, op. cit., h.79-80.
24
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, h. 6.
25
Nurgiantoro, op. cit., h. 258-259.
26
Ibid., h.260-261.
saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula  menampilkan  watak  dan  tingkah  laku  bermacam-macam,  bahkan
mungkin  tampak  bertentangan  dan  sulit  diduga.  Oleh  karena  itu, perwatakannya pun pada umumnya sulit dideskripsikan secara tepat.
27
4 Alur
Alur  adalah  rangkaian  cerita  yang  dibentuk  oleh  tahapan-tahapan peristiwa  sehingga  menjalin  suatu  cerita  yang  dihadirkan  oleh  para  pelaku
dalam suatu cerita.
28
Stanton  mengemukakan  bahwa  alur  plot  adalah  cerita  yang  berisi urutan  kejadian,  namun  tiap  kejadian  itu  hanya  dihubungkan  secara  sebab
akibat,  peristiwa  yang  satu  disebabkan  atau  menyebabkan  terjadinya peristiwa yang lain.
29
Brooks  mengungkapkan  alur  atau  plot  adalah  struktur  gerak  yang terdapat dalam fiksi atau drama.
30
Sudjiman  mengartikan  alur  sebagai  jalinan  peristiwa  di  dalam  karya sastra  untuk  mencapai  efek  tertentu.  Jalinannya  dapat  diwujudkan  oleh
hubungan  temporal  waktu  dan  oleh  hubungan  kausal  sebab  akibat. Aminudin membedakan tahapan-tahapan peristiwa atas pengenalan, konflik,
komplikasi, klimaks, peleraiaan, dan penyelesaian.
31
Berdasarkan pemaparan di atas, alur adalah rangkaiaan peristiwa  yang direka dan dijalin oleh pengarang yang menggerakan jalannya cerita.
Secara  teoretis-kronologis  tahap-tahap  pengembangan  struktur  plot dijelaskan di bawah ini.
a Tahap Awal
Tahap  awal  sebuah  cerita  biasanya  disebut  sebagai  tahap  perkenalan. Tahap  perkenalan  pada  umumnya  berisi  sejumlah  informasi  penting  yang
27
Nurgiantoro, op. cit., h. 265-266.
28
Aminuddin, op. cit., h.83.
29
Nurgiantoro, loc. cit., h.167.
30
Tarigan, op. cit., h.126.
31
Siswanto, op. cit., h. 159.
berkaitan  dengan  berbagai  hal  yang  akan  dikisahkan  pada  tahap-tahap berikutnya.  Misalnya,  berupa  penunjukan  dan  pengenalan  latar,  seperti
nama-nama tempat, suasana alam, waktu  kejadian misalnya  ada kaitannya dengan  waktu  sejarah,  dan  lain-lain  yang  pada  garis  besarnya  berupa
deskripsi  fisik,  bahkan  mungkin  juga  telah  disinggung  walau  secara implisit perwatakannya.
32
b Tahap Tengah
Tahap  tengah  cerita  dapat  juga  disebut  sebagai  tahap  pertikaian menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan
pada tahap
sebelumnya, menjadi
semakin meningkat,
semakin menegangkan.  Bagian  tengah  cerita  merupakan  bagian  terpanjang  dan
terpenting  dari  sebuah  cerita.  konflik  berkembang  semakin  meruncing, menegangkan  dan  mencapai  klimaks,  dan  pada  umumnya  tema  pokok,
makna  pokok  cerita  diungkapkan.  Pada  bagian  ini  pembaca  memperoleh cerita, memperoleh sesuatu dari kegiatan pembacaannya.
33
c Tahap Akhir
Tahap  akhir  sebuah  cerita  atau  dapat  juga  disebut  tahap  pelarian, menampilkan  adegan  tertentu  sebagai  akibat  klimaks.  Jadi,  bagian  ini
misalnya  antara  lain  berisi  bagaimana  kesudahan  cerita,  atau menyarankan  pada  hal  bagaimanakah  akhir  sebuah  cerita.  bagaimana
bentuk  penyelesaian  sebuah  cerita,  dalam  banyak  hal  ditentukan  atau dipengaruhi  oleh  hubungan  antartokoh  dan  konflik  termasuk  klimaks
yang  dimunculkan.  Dalam  teori  klasik  yang  berasal  dari  Aristoteles, penyelesaian  cerita  dibedakan  ke  dalam  dua  macam  kemungkinan  :
kebahagiaan happy end dan kesedihan sad end. Namun, novel-novel seperti Belenggu, Pada Sebuah Kapal, Supernova,
dan lain-lain adalah novel-novel yang memiliki penyelesaiaan yang masih menggantung,
masih menimbulkan
tanda tanya,
tidak jarang
menimbulkan,  atau  bahkan  rasa  ketidakpuasan  pembaca.  Sebenarnya,
32
Nurgiantoro, op. cit., h. 201-202.
33
Ibid., h.204-205.
adanya novel-novel yang sudah selesai, tetapi tidak diselesaikan ceritanya, boleh  jadi  disebabkan  pengarang  memberikan  kesempatan  pada  pembaca
untuk  ikut  memikirkannya.  Dengan  melihat  model-model  tahap  akhir berbagai cerita fiksi yang ada sampai dewasa ini, penyelesaian cerita dapat
dikategorikan  ke  dalam  dua  golongan:  penyelesaian  tertutup  dan penyelesaian terbuka. Penyelesaian tertutup menunjuk pada jeadaan akhir
sebuah  cerita  fiksi  yang  memang  sudah  selesai,  cerita  sudah  habis  sesuai dengan  tuntunan  logika  cerita  yang  dikembangkan.  Dipihak  lain
penyelesaian  terbuka,  menunjuk  pada  keadaan  akhir  sebuah  cerita  yang masih  belum  berakhir.  Berdasarkan  tuntutan  logika  dan  cerita,  masih
potensial untuk
dilanjutkan secara
konflik belum
sepenuhnya diselesaikan.
34
Loban  dkk.  Menggambarkan  gerak  tahapan  alur  cerita  seperti  halnya gelombang.  Gelombang  itu  berawal  dari  1  eksposisi,  2  komlikasi  atau
intrik-intrik awal  yang  akan berkembang menjadi  konflik hingga menjadi konflik, 3 klimaks,  4 revelasi atau penyingkatan tabir suatu  problema,
dan  5  denouement  atau  penyelesaian  yang  membahagiakan,  yang dibedakan  dengan  catastrophe,  yakni  penyelesaian  yang  menyedihkan;
dan  solution,  yakni  penyelesaian  yang  masih  bersifat  terbuka  karena pembaca  sendiri  yang  dipersilahkan  menyelesaikan  lewat  daya
imajinasinya.
35
5 Sudut Pandang
Sudut  pandang  adalah  cara  pengarang  menampilkan  para  pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.
36
Abrams  mengungkapkan,  sudut  pandang    Point  Of  View, menunjukan  cara  sebuah  cerita  dikisahkan.  Ia  merupakan  cara  dan  atau
pandangan  yang  dipergunakan  pengarang  sebagai  sarana  untuk
34
Nurgiantoro, op. cit., h. 205-208.
35
Aminuddin, op. cit., h.84.
36
Ibid., h. 90.
menyajikan  cerita  dalam  sebuah  karya  fiksi  kepada  pembaca.
37
Dalam Wahyudi  Siswanto,  sudut  pandang  adalah  tempat  sastrawan  memandang
ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.
38
Pengarang  menampilkan  tokoh  dalam  cerita  yang  dipaparkannya melalui  sudut  pandang.  Dengan  demikian,  segala  sesuatu  yang
dikemukakan  oleh  pengarang  disalurkan  melalui  sudut  pandang  tokoh. Selain  itu,  dalam  sudut  pandang  posisi  pengarang  juga  ditentukan.  Unsur
terpenting  dalam  karya  sastra  adalah  pengarang  sebab  tanpa  pengarang tidak  ada  karya  sastra.  keberhasilan  suatu  karya  sastra  tidak  tergantung
pada  pentingnya  suatu  kejadian  atau  tokoh-tokoh  yang  diceritakan,  tetapi bagaimana  sudut  pandang,  gaya  bahasa  dan  plot  dioprasikan.  Peristiwa
besar,  tokoh  terkenal,  bukan  jaminan  bahwa  sebuah  karya  sastra  akan berhasil. Sebaliknya, kompleksitas sudut pandang, kekayaan gaya bahasa,
dan  koherensi  pemplotan,  jelas  merupakan  jaminan  keberhasilan  suatu karya sastra.
39
Ada  berbagai  macam  sudut  pandang  dalam  karya  sastra.  dalam penelitian  ini  sudut  pandang  yang  peneliti  ambil  adalah  berdasarkan
pemaparan Burhan Nurgiantoro. Berikut ini adalah macam-macamnya:
a Sudut Pandang Persona Ketiga : “Dia”
Pengisahan  cerita  yang  mempergunakan  sudut  pandang  persona ketiga,  gaya  “Dia”,  narator  adalah  seseorang  yang  berada  di  luar  cerita
yang  menampilkan  tokoh-tokoh  cerita  dengan  menyebut  nama,  atau  kata gantinya; ia, dia, mereka.
Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua  golongan  berdasarkan  tingkat  kebebasan  dan  keterikatan  pengarang
terhadap  bahan  ceritanya.  Di  satu  pihak  pengarang,  narator,  dapat  bebas menceritakan  segala  sesuatu  yang  berhubungan  dengan  tokoh  “dia”,  jadi
bersifat  mahatahu,  di  lain  pihak  ia  terikat,  memunyai  keterbatasan
37
Nurgiantoro, loc. cit., h. 338.
38
Siswanto, op. cit., h. 151.
39
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007,  h. 315.
“pengertian”  terhadap  tokoh  “dia”  yang  diceritakan  itu,  jadi  bersifat terbatas, hanya sebatas pengamat saja.
b Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada seorang  narator  yang  ikut  terlibat  dalam  cerita.  dalam  sudut  pandang
persona pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan.
c Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti  dari  teknik  yang  satu  ke  teknik  yang  lain.  Semua  itu
tergantung pada kemauan pengarang untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karya.
40
6 Gaya Bahasa
Istilah  gaya diangkat  dari  istilah  style  yang berasal  dari bahasa  Latin stilus dan mengandung arti lesikal alat untuk menulis. Dalam karya sastra
istilah gaya
mengandung pengertian
cara seorang
pengarang menyampaikan  gagasannya  dengan  menggunakan  media  bahasa  yang
indah  dan  harmonis  serta  mampu  menuansakan  makna  dan  suasana  yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
41
Keraf  dalam  Tarigan  mengungkapkan  secara  singkat  gaya  bahasa adalah  cara  mengungkapkan  pikiran  melalui  bahasa  secara  khas  yang
memperlihatkan  jiwa  dan  kepribadian  penulis  pemakai  bahasa.  Sebuah gaya  bahasa  yang  baik  harus  mengandung  tiga  unsur  berikut:  kejujuran,
sopan-santun, dan menarik.
42
Gaya  bahasa,  seperti  yang  diungkapkan  Slamet  Muljana  adalah susunan  perkataan  yang  terjadi  karena  perasaan  yang  timbul  atau  hidup
dalam hati penulis,  yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati
40
Nurgiantoro, op. cit., h. 347-359.
41
Aminuddin, op. cit., h. 72.
42
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, Bandung: Angkasa, 2009, h. 5.
pembaca.  Gaya  bahasa  disebut  pula  majas.
43
Majas  Figure  of  speech adalah  suatu  bentukan  pernyataan  dengan  cara  memakai  sesuatu  untuk
mengatakan  tentang  sesuatu  yang  lain.
44
Serta  bahasa  indah  yang dipergunakan  untuk  meninggikan  serta  meningkatkan  efek  dengan  jalan
memperkenalkan  serta  membandingkan  suatu  benda  atau  hal  tertentu dengan  benda  atau  hal  lain  yang  lebih  umum.  Pendek  kata,  dapat
mengubah nilai rasa dan konotasi tertentu.
45
Gaya  bahasa  berdasarkan  makna  diukur  dari  langsung  tidaknya makna,  yaitu  apakah  acuan  yang  dipakai  masih  mempertahankan  makna
denotatifnya  atau  sudah  ada  penyimpangan.  Gaya  bahasa  berdasarkan ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of
speech, dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata- mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek
tertentu,  dan  gaya  bahasa  kiasan  yang  merupakan  penyimpangan  yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna.
46
7 Amanat
Nilai  nilai  yang  ada  di  dalam  cerita  rekaan  bisa  dilihat  dari  diri sastrawan  dan  pembacanya.  Dari  sudut  sastrawan,  nilai  ini  bisa  disebut
amanat. Amanat adalah gagasan  yang mendasari karya sastra; pesan  yang ingin  disampaikan  pengarang  kepada  pembaca  atau  pendengar.  Di  dalam
karya  sastra  modern  amanat  ini  biasanya  tersirat;  di  dalam  karya  sastra lama pada umumnya amanat tersurat.
47
43
Ernawati  Waridah,  EYD    Seputar  Kebahasaan  Indonesian,  Jakarta:  Kawan Pustaka, 2010,  h. 322.
44
Agus Sri Danardana, Anomali Bahasa, Pekanbaru: Palagan Press, 2011, h. 12.
45
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, Bandung: Angkasa, 1993, h. 112.
46
Gorys  Keraf,  Diksi  dan  Gaya  Bahasa,  Jakarta:  Gramedia  Pustaka  Utama,  2004, h. 129.
47
Siswanto, op. cit., H. 162.
B. Teknik Pelukisan Tokoh
Secara  garis  besar  teknik  pelukisan  tokoh  dalm  suatu  karya  atau lengkapnya pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain
yang berhubungan dengan jati diri tokoh dapat dibedakan ke dalam dua cara atau  teknik,  yaitu  pelukisan  secara  langsung  dan  pelukisan  secara  tidak
langsung. Kedua  teknik  tersebut  masing-masing  mempunyai  kelebihan  dan
kelemahan,  dan  penggunaannya  dalam  teks  fiksi  tergantung  pada  selera pengarang  dan  kebthan  penceritaan.  Teknik  langsung  banyak  digunakan
pengarang pada masa awal pertumbuhan dan perkembangan novel indonesia modern,  sedangkan  teknik  tidak  langsung  terlihat  lebih  diminati  oleh
pengarang  dewasa  ini.  Namun,  perlu  juga  dicatat  bahwa  sebenarnya  tidak ada  seorang  pengarang  pun  yang  secara  mutlak  hanya  mempergunakan
salah satu teknik itu tanpa memanfaatkan teknik yang lain. Pada umumnya pengarang  memilih  cara  campuran,  mempergunakan  teknik  langsung  dan
tidak  langsung  dalam  sebuah  karya  sastra.  hal  ini  dirasa  lebih menguntungkan  karena  kelemahan  masing-masing  teknik  dapat  ditutup
dengan  teknik  yang  lain.  Berikut  akan  dibicarakan  kedua  teknik  tersebut satu per satu.
1. Teknik Ekspositori
Pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau  penjelasan  secara  langsung.  Tokoh  cerita  hadir  dan  dihadirkanoleh
pengarang  kehadapan  pembaca  dengan  cara  tidak  berbelit-belit,  melainkan begitu  saja  dan  langsung  disertai  deskripsi  kediriannya,  yang  mungkin
berupa sikap,sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya.
48
2. Teknik Dramatik
Penampilan  tokoh  cerita  dalam  teknik  dramatik,  mirip  dengan  yang ditampilkan  pada  drama,  dilakukan  secara  tidak  langsung.  Pengarang  tidak
mendeskripsikan  secara  eksplisit  sifat  dan  sikap  serta  tingkah  laku  para tokoh.  Pengarang  membiarkan  para  tokoh  cerita  untuk  menunjukan
48
Nurgiantoro, op. cit., h. 279-280.
kediriannya  sendiri  melalui  berbagai  aktivitas  yang  dilakukan,  baik  secara verbal maupun nonverbal.
Penampilan  tokoh  secara  dramatik  dapat  dilakukan  lewat  sejumlah teknik.  Biasanya  pengarang  menggunakan  berbagai  teknik  itu  secara
bergantian  dan  saling  bergantian  walau  ada  perbedaan  frekuensi penggunaan  masing-masing  teknik.  Berbagai  teknik  yang  dimaksud
diantaranya adalah sebagai berikut:
49
a. Teknik Cakapan
Percakapan  yang  dilakukan  oleh  tokoh-tokoh  cerita  biasanya  juga dimaksudkan  untuk  menggambarkan  sifat-sifat  tokoh  yang  bersangkutan.
Bentuk  percakapan  dalam  sebuah  karya  fiksi,  khususnya  novel,  umumnya cukup banyak, baik percakapan yang pendek maupun yang agak panjang.
Tidak  semua  percakapan,  memang  mencerminkan  kedirian  tokoh,  atau paling  tidak  semua  percakapan,  memang  memang  mencerminkan  kedirian
tokoh,  atau  paling  tidak,  tidak  mudah  untuk  menafsirkannya  sebagai demikian.
50
b. Teknik Tingkah Laku
Jika  teknik  cakapan  dimaksudkan  untuk  menunjukan  tingkah  laku verbal  berwujud  kata-kata  para  tokoh,  teknik  tingkah  laku  menyaran  pada
tindakan  yang  bersifat  nonverbal,  fisik.  Apa  yang  dilakukan  orang  dalam wujud  tindakan  dan  tingkah  laku,  dalam  banyak  dapat  dipandang  sebagai
menunjukkan  reaksi,  tanggapan,  sifat,  dan  sikap  yang  mencerminkan  sifat- sifat kediriannya.
51
c. Teknik Pikiran dan Perasaan
Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang sering dipikir dan dirasakan
oleh  tokoh,  dalam  banyak  hal  akan  mencerminkan  sifat-sifat  kediriannya jua. Bahkan pada hakikatnya, “tingkah laku” pikiran dan perasaanlah yang
kemudian  diejawantahkan  menjadi  tingkah  laku  verbal  dan  nonverbal  itu.
49
Ibid., h. 283-285.
50
Ibid., h. 286.
51
Ibid., h. 288.
Perbuatan  dan  kata-kata  merupakan  perwujudan  konkret  tingkah  laku  dan perasaan.
Teknik  pikiran  dan  perasaan  dapat  ditemukan  dalam  teknik  cakapan dan  tingkah  laku.  Artinya,  penuturan  itu  sekaligus  untuk  menggambarkan
pikiran dan perasaan tokoh.
52
d. Teknik Arus Kesadaran
Teknik  arus  kesadaran  stream  of  consciousness  berkaitan  erat dengan  teknik  pikiran  dan  perasaan.  Keduanya  tak  dapat  dibedakan  secara
pilah,  bahkan  mungkin  dianggap  sama  karena  memang  sama-sama menggambarkan  tingkah  laku  batin  tokoh.  Dewasa  ini  dalam  fiksi  modern
teknik  arus  kesadaran  banyak  dipergunakan  untuk  melukiskan  sifat-sifat kedirian tokoh.
Arus  kesadaran  sering  disamakan  dengan  interior  monologeu, monolog  batin.  Monolog  batin,  percakapan  yang  hanya  terjadi  dalam  diri
sendiri,  yang  pada  umumnya  ditampilkan  dengan  gaya  “aku”,  berusaha menagkap  kehidupan  batin,  urutan  suasana  kehidupan  batin,  pikiran,
perasaan, emosi, tanggapan, kenagan, nafsu, dan sebagainya.
e. Teknik Reaksi Tokoh
Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian,  masalah,  keadaan,  kata.  Dan  sikap-tingkah-laku  orang  lain,  dan
sebagai  yang berupa “rangsangan” dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Bagaimana  reaksi  tokoh  terhadap  hal-hal  tersebut  dapat  dipandang  sebagai
suatu bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
53
f. Teknik Reaksi Tokoh Lain
Reaksi  tokoh  lain  dimaksudkan  sebagai  reaksi  yang  diberikan  oleh tokoh  lain  terhadap  tokoh  utama,  atau  tokoh  yang  dipelajari  kediriannya,
yang  berupa  pandangan,  pendapat,  sikap,  komentar,  dan  lain-lain.  Pendek kata:  penilaiaan  kidirian  tokoh  utama  cerita  oleh  tokoh-tokoh  cerita  yang
52
Nurgiantoro, op. cit., h. 289.
53
Ibid., h. 293.
lain  dalam  sebuah  karya.  Reaksi  tokoh  juga  merupakan  teknik  penokohan untuk menginformasikan kedirian tokoh kepada pembaca.
g. Teknik Pelukisan Latar
Suasana  latar  baca:  tempat  sekitar  tokoh  juga  sering  dipakai  untuk melukiskan
kediriannya. Pelukisan
suasana latar
dapat lebih
mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik lain. Keadaan latar tertentu adakalanya dapat menimbulkan
kesan  yang  tertentu  pula  dipihak  pembaca.  Pelukisan  keadaan  latar  sekitar tokoh  secara  tepat  akan  mampu  mendukung  teknik  penokohan  secara  kuat
walau  latar  itu  sendiri  sebenarnya  merupakan  sesuatu  yang  berada  di  luar kedirian tokoh.
54
h. Teknik Pelukisan Fisik
Keadaan  fisik  seseorang  sering  berkaitan  dengan  keadaan kejiwaannya,  atau  paling  tidak,  pengarang  sengaja  mencari  dan
memperhubungkan  adanya  keterkaitan  itu.  Misalnya,  bibir  tipis  menyaran pada  sifat  ceriwis  dan  bawel,  rambut  lurus  menyaran  pada  sifat  tidak  mau
mengalah,  pandangan  mata  tajam,  hidung  agak  mendongak  bibir  yang bagaimana,  dan  lain-lain  yang  dapat  menyaran  pada  sifat  tertentu.  Tentu
saja  hal  itu  berkaitan  dengan  pandangan  budaya  masyarakat  yang bersangkutan.
Pelukisan  keadaan  fisik  tokoh,  dalam  kaitannya  dengan  penokohan, kadang-kadang  memang  terasa  penting.  Keadaan  fisik  tokoh  perlu
dilukiskan,  terutama  jika  memiliki  bentuk  fisik  khas  sehingga  pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif.
55
C. Pembelajaran Sastra di Sekolah
Sastra itu mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka  pengajaran  sastra  harus  kita  pandang  sebagai  sesuatu  yang  penting
yang  patut  menduduki  tempat  yang  selayaknya.  Sudah  barang  tentu,  tidak
54
Nurgiantoro, op. cit., h. 295.
55
Ibid., h. 296.