melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu,
23
dalam menyajikan dan menentukan karakter watak para tokoh, pada umumnya pengarang menggunakan dua cara atau metode dalam
karyanya. Pertama, metode langsung telling dan kedua, metode tidak langsung showing.
24
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, seperti:
a. Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam perkembangan plot dapat
dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia
merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Dipihak lain, pemunculan tokoh-
tokoh tambahan biasanya diabaikan, atau paling tidak, kurang mendapat perhatian.
25
b. Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero tokoh yang
merupakan pengejawantahan norma-norma nilai-nilai yang ideal bagi kita. Sedangkan, tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh
protagonis, secara langsung maupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin.
26
c. Dilihat dari perwatakannya dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh
bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak tertentu saja. Ia tidak memiliki sifat dan
tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Dipihak lain, tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai
kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat
23
Aminuddin, op. cit., h.79-80.
24
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, h. 6.
25
Nurgiantoro, op. cit., h. 258-259.
26
Ibid., h.260-261.
saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan
mungkin tampak bertentangan dan sulit diduga. Oleh karena itu, perwatakannya pun pada umumnya sulit dideskripsikan secara tepat.
27
4 Alur
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku
dalam suatu cerita.
28
Stanton mengemukakan bahwa alur plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab
akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
29
Brooks mengungkapkan alur atau plot adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama.
30
Sudjiman mengartikan alur sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Jalinannya dapat diwujudkan oleh
hubungan temporal waktu dan oleh hubungan kausal sebab akibat. Aminudin membedakan tahapan-tahapan peristiwa atas pengenalan, konflik,
komplikasi, klimaks, peleraiaan, dan penyelesaian.
31
Berdasarkan pemaparan di atas, alur adalah rangkaiaan peristiwa yang direka dan dijalin oleh pengarang yang menggerakan jalannya cerita.
Secara teoretis-kronologis tahap-tahap pengembangan struktur plot dijelaskan di bawah ini.
a Tahap Awal
Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang
27
Nurgiantoro, op. cit., h. 265-266.
28
Aminuddin, op. cit., h.83.
29
Nurgiantoro, loc. cit., h.167.
30
Tarigan, op. cit., h.126.
31
Siswanto, op. cit., h. 159.
berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Misalnya, berupa penunjukan dan pengenalan latar, seperti
nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadian misalnya ada kaitannya dengan waktu sejarah, dan lain-lain yang pada garis besarnya berupa
deskripsi fisik, bahkan mungkin juga telah disinggung walau secara implisit perwatakannya.
32
b Tahap Tengah
Tahap tengah cerita dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan
pada tahap
sebelumnya, menjadi
semakin meningkat,
semakin menegangkan. Bagian tengah cerita merupakan bagian terpanjang dan
terpenting dari sebuah cerita. konflik berkembang semakin meruncing, menegangkan dan mencapai klimaks, dan pada umumnya tema pokok,
makna pokok cerita diungkapkan. Pada bagian ini pembaca memperoleh cerita, memperoleh sesuatu dari kegiatan pembacaannya.
33
c Tahap Akhir
Tahap akhir sebuah cerita atau dapat juga disebut tahap pelarian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini
misalnya antara lain berisi bagaimana kesudahan cerita, atau menyarankan pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita. bagaimana
bentuk penyelesaian sebuah cerita, dalam banyak hal ditentukan atau dipengaruhi oleh hubungan antartokoh dan konflik termasuk klimaks
yang dimunculkan. Dalam teori klasik yang berasal dari Aristoteles, penyelesaian cerita dibedakan ke dalam dua macam kemungkinan :
kebahagiaan happy end dan kesedihan sad end. Namun, novel-novel seperti Belenggu, Pada Sebuah Kapal, Supernova,
dan lain-lain adalah novel-novel yang memiliki penyelesaiaan yang masih menggantung,
masih menimbulkan
tanda tanya,
tidak jarang
menimbulkan, atau bahkan rasa ketidakpuasan pembaca. Sebenarnya,
32
Nurgiantoro, op. cit., h. 201-202.
33
Ibid., h.204-205.
adanya novel-novel yang sudah selesai, tetapi tidak diselesaikan ceritanya, boleh jadi disebabkan pengarang memberikan kesempatan pada pembaca
untuk ikut memikirkannya. Dengan melihat model-model tahap akhir berbagai cerita fiksi yang ada sampai dewasa ini, penyelesaian cerita dapat
dikategorikan ke dalam dua golongan: penyelesaian tertutup dan penyelesaian terbuka. Penyelesaian tertutup menunjuk pada jeadaan akhir
sebuah cerita fiksi yang memang sudah selesai, cerita sudah habis sesuai dengan tuntunan logika cerita yang dikembangkan. Dipihak lain
penyelesaian terbuka, menunjuk pada keadaan akhir sebuah cerita yang masih belum berakhir. Berdasarkan tuntutan logika dan cerita, masih
potensial untuk
dilanjutkan secara
konflik belum
sepenuhnya diselesaikan.
34
Loban dkk. Menggambarkan gerak tahapan alur cerita seperti halnya gelombang. Gelombang itu berawal dari 1 eksposisi, 2 komlikasi atau
intrik-intrik awal yang akan berkembang menjadi konflik hingga menjadi konflik, 3 klimaks, 4 revelasi atau penyingkatan tabir suatu problema,
dan 5 denouement atau penyelesaian yang membahagiakan, yang dibedakan dengan catastrophe, yakni penyelesaian yang menyedihkan;
dan solution, yakni penyelesaian yang masih bersifat terbuka karena pembaca sendiri yang dipersilahkan menyelesaikan lewat daya
imajinasinya.
35
5 Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.
36
Abrams mengungkapkan, sudut pandang Point Of View, menunjukan cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau
pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk
34
Nurgiantoro, op. cit., h. 205-208.
35
Aminuddin, op. cit., h.84.
36
Ibid., h. 90.
menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
37
Dalam Wahyudi Siswanto, sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang
ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.
38
Pengarang menampilkan tokoh dalam cerita yang dipaparkannya melalui sudut pandang. Dengan demikian, segala sesuatu yang
dikemukakan oleh pengarang disalurkan melalui sudut pandang tokoh. Selain itu, dalam sudut pandang posisi pengarang juga ditentukan. Unsur
terpenting dalam karya sastra adalah pengarang sebab tanpa pengarang tidak ada karya sastra. keberhasilan suatu karya sastra tidak tergantung
pada pentingnya suatu kejadian atau tokoh-tokoh yang diceritakan, tetapi bagaimana sudut pandang, gaya bahasa dan plot dioprasikan. Peristiwa
besar, tokoh terkenal, bukan jaminan bahwa sebuah karya sastra akan berhasil. Sebaliknya, kompleksitas sudut pandang, kekayaan gaya bahasa,
dan koherensi pemplotan, jelas merupakan jaminan keberhasilan suatu karya sastra.
39
Ada berbagai macam sudut pandang dalam karya sastra. dalam penelitian ini sudut pandang yang peneliti ambil adalah berdasarkan
pemaparan Burhan Nurgiantoro. Berikut ini adalah macam-macamnya:
a Sudut Pandang Persona Ketiga : “Dia”
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “Dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita
yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka.
Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang
terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi
bersifat mahatahu, di lain pihak ia terikat, memunyai keterbatasan
37
Nurgiantoro, loc. cit., h. 338.
38
Siswanto, op. cit., h. 151.
39
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 315.
“pengertian” terhadap tokoh “dia” yang diceritakan itu, jadi bersifat terbatas, hanya sebatas pengamat saja.
b Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. dalam sudut pandang
persona pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan.
c Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain. Semua itu
tergantung pada kemauan pengarang untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karya.
40
6 Gaya Bahasa
Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin stilus dan mengandung arti lesikal alat untuk menulis. Dalam karya sastra
istilah gaya
mengandung pengertian
cara seorang
pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang
indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
41
Keraf dalam Tarigan mengungkapkan secara singkat gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis pemakai bahasa. Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran,
sopan-santun, dan menarik.
42
Gaya bahasa, seperti yang diungkapkan Slamet Muljana adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup
dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati
40
Nurgiantoro, op. cit., h. 347-359.
41
Aminuddin, op. cit., h. 72.
42
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, Bandung: Angkasa, 2009, h. 5.
pembaca. Gaya bahasa disebut pula majas.
43
Majas Figure of speech adalah suatu bentukan pernyataan dengan cara memakai sesuatu untuk
mengatakan tentang sesuatu yang lain.
44
Serta bahasa indah yang dipergunakan untuk meninggikan serta meningkatkan efek dengan jalan
memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek kata, dapat
mengubah nilai rasa dan konotasi tertentu.
45
Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna
denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of
speech, dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata- mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek
tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna.
46
7 Amanat
Nilai nilai yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan, nilai ini bisa disebut
amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam
karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.
47
43
Ernawati Waridah, EYD Seputar Kebahasaan Indonesian, Jakarta: Kawan Pustaka, 2010, h. 322.
44
Agus Sri Danardana, Anomali Bahasa, Pekanbaru: Palagan Press, 2011, h. 12.
45
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, Bandung: Angkasa, 1993, h. 112.
46
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, h. 129.
47
Siswanto, op. cit., H. 162.
B. Teknik Pelukisan Tokoh
Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalm suatu karya atau lengkapnya pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain
yang berhubungan dengan jati diri tokoh dapat dibedakan ke dalam dua cara atau teknik, yaitu pelukisan secara langsung dan pelukisan secara tidak
langsung. Kedua teknik tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan
kelemahan, dan penggunaannya dalam teks fiksi tergantung pada selera pengarang dan kebthan penceritaan. Teknik langsung banyak digunakan
pengarang pada masa awal pertumbuhan dan perkembangan novel indonesia modern, sedangkan teknik tidak langsung terlihat lebih diminati oleh
pengarang dewasa ini. Namun, perlu juga dicatat bahwa sebenarnya tidak ada seorang pengarang pun yang secara mutlak hanya mempergunakan
salah satu teknik itu tanpa memanfaatkan teknik yang lain. Pada umumnya pengarang memilih cara campuran, mempergunakan teknik langsung dan
tidak langsung dalam sebuah karya sastra. hal ini dirasa lebih menguntungkan karena kelemahan masing-masing teknik dapat ditutup
dengan teknik yang lain. Berikut akan dibicarakan kedua teknik tersebut satu per satu.
1. Teknik Ekspositori
Pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkanoleh
pengarang kehadapan pembaca dengan cara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya, yang mungkin
berupa sikap,sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya.
48
2. Teknik Dramatik
Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik, mirip dengan yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung. Pengarang tidak
mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku para tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukan
48
Nurgiantoro, op. cit., h. 279-280.
kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal maupun nonverbal.
Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan lewat sejumlah teknik. Biasanya pengarang menggunakan berbagai teknik itu secara
bergantian dan saling bergantian walau ada perbedaan frekuensi penggunaan masing-masing teknik. Berbagai teknik yang dimaksud
diantaranya adalah sebagai berikut:
49
a. Teknik Cakapan
Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.
Bentuk percakapan dalam sebuah karya fiksi, khususnya novel, umumnya cukup banyak, baik percakapan yang pendek maupun yang agak panjang.
Tidak semua percakapan, memang mencerminkan kedirian tokoh, atau paling tidak semua percakapan, memang memang mencerminkan kedirian
tokoh, atau paling tidak, tidak mudah untuk menafsirkannya sebagai demikian.
50
b. Teknik Tingkah Laku
Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjukan tingkah laku verbal berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran pada
tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak dapat dipandang sebagai
menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat- sifat kediriannya.
51
c. Teknik Pikiran dan Perasaan
Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang sering dipikir dan dirasakan
oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya jua. Bahkan pada hakikatnya, “tingkah laku” pikiran dan perasaanlah yang
kemudian diejawantahkan menjadi tingkah laku verbal dan nonverbal itu.
49
Ibid., h. 283-285.
50
Ibid., h. 286.
51
Ibid., h. 288.
Perbuatan dan kata-kata merupakan perwujudan konkret tingkah laku dan perasaan.
Teknik pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku. Artinya, penuturan itu sekaligus untuk menggambarkan
pikiran dan perasaan tokoh.
52
d. Teknik Arus Kesadaran
Teknik arus kesadaran stream of consciousness berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tak dapat dibedakan secara
pilah, bahkan mungkin dianggap sama karena memang sama-sama menggambarkan tingkah laku batin tokoh. Dewasa ini dalam fiksi modern
teknik arus kesadaran banyak dipergunakan untuk melukiskan sifat-sifat kedirian tokoh.
Arus kesadaran sering disamakan dengan interior monologeu, monolog batin. Monolog batin, percakapan yang hanya terjadi dalam diri
sendiri, yang pada umumnya ditampilkan dengan gaya “aku”, berusaha menagkap kehidupan batin, urutan suasana kehidupan batin, pikiran,
perasaan, emosi, tanggapan, kenagan, nafsu, dan sebagainya.
e. Teknik Reaksi Tokoh
Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata. Dan sikap-tingkah-laku orang lain, dan
sebagai yang berupa “rangsangan” dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai
suatu bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
53
f. Teknik Reaksi Tokoh Lain
Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya,
yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Pendek kata: penilaiaan kidirian tokoh utama cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang
52
Nurgiantoro, op. cit., h. 289.
53
Ibid., h. 293.
lain dalam sebuah karya. Reaksi tokoh juga merupakan teknik penokohan untuk menginformasikan kedirian tokoh kepada pembaca.
g. Teknik Pelukisan Latar
Suasana latar baca: tempat sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan
kediriannya. Pelukisan
suasana latar
dapat lebih
mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik lain. Keadaan latar tertentu adakalanya dapat menimbulkan
kesan yang tertentu pula dipihak pembaca. Pelukisan keadaan latar sekitar tokoh secara tepat akan mampu mendukung teknik penokohan secara kuat
walau latar itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang berada di luar kedirian tokoh.
54
h. Teknik Pelukisan Fisik
Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan
memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambut lurus menyaran pada sifat tidak mau
mengalah, pandangan mata tajam, hidung agak mendongak bibir yang bagaimana, dan lain-lain yang dapat menyaran pada sifat tertentu. Tentu
saja hal itu berkaitan dengan pandangan budaya masyarakat yang bersangkutan.
Pelukisan keadaan fisik tokoh, dalam kaitannya dengan penokohan, kadang-kadang memang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu
dilukiskan, terutama jika memiliki bentuk fisik khas sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif.
55
C. Pembelajaran Sastra di Sekolah
Sastra itu mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka pengajaran sastra harus kita pandang sebagai sesuatu yang penting
yang patut menduduki tempat yang selayaknya. Sudah barang tentu, tidak
54
Nurgiantoro, op. cit., h. 295.
55
Ibid., h. 296.