Ardelia.
10
Dari beberapa  jenis novel  yang telah dipaparkan di  atas  Pulang masuk ke dalam kategori novel serius.
3. Unsur-unsur Novel
Prosa rekaan bisa dibedakan atas prosa lama dan prosa modern. Prosa lama sering berwujud  cerita rakyat  folktale bersifat  anonim, seperti cerita
binatang, dongeng, legenda, mitos, dan sage. Bentuk  prosa  rekaan  modern  dibedakan  atas  roman,  novel,  novelet,
dan  cerpen,  karena  tidak  ada  penelitian  yang  mendukung,  pembedaan  atas beberapa bentuk tersebut lebih banyak didasarkan pada panjang-pendeknya
dan luas-tidaknya masalah yang dipaparkan dalam prosa rekaan. Walaupun tidak  selalu  benar,  ada  juga  yang  dasar  pembedaannya  ditambah  dengan
bahasa dan lukisannya.
11
Berdasarkan  bentuk  novel  di  atas,  terdapat  unsur-unsur  penting  yang membangun  karya  sastra,  unsur  tersebut  terbagi  atas  unsur  intrinsik  dan
unsur ekstrinsik, pembagian tersebut bertujuan dalam mengkaji novel dalam suatu karya sastra pada umumnya.
a. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik  adalah unsur-unsur  yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks
sastra,  unsur-unsur  inilah  yang  secara  faktual  akan  dijumpai  jika  orang membaca  karya  sastra.  Unsur  intrinsik  sebuah  novel  adalah  unsur-unsur
yang  secara  langsung  turut  serta  membangun  cerita,  kepaduan antarberbagai  unsur  intrinsik  inilah  yang  membuat  sebuah  novel  terwujud.
Unsur-unsur  ini  misalnya,  tema,  latar,  tokoh  dan  penokohan,  alur,  sudut pandang, dan amanat.
12
1 Tema
Tema  adalah  gagasan  sentral  dalam  suatu  karya  sastra  dalam  novel, tema  merupakan  gagasan  utama  yang  dikembangkan  dalam  plot.  Hampir
10
Nurgiantoro, op. cit ., h. 26.
11
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Grasindo, 2008, h. 140.
12
Nurgiantoro, op. cit., h. 30.
semua  gagasan  yang  ada  dalam  hidup  ini  bisa  dijadikan  tema,  sekalipun dalam  praktiknya  tema-tema  yang  sering  diambil  adalah  beberapa  aspek
atau  karakter  dalam  kehidupan,  seperti  ambisi,  kesetiaan,  kecemburuan, frustrasi, kemunafikan, ketabahan, dan sebagainya.
13
Scharbach  berpendapat,  tema  berasal  dari  bahasa  Latin  yang  berarti “tempat meletakan suatu perangkat”. Disebut demikian karena tema adalah
ide  yang  mendasari  suatu  cerita  sehingga  berperanan  juga  sebagai  pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.
14
Aminuddin  mengungkapkan,  seorang  pengarang  memahami  tema cerita  yang  akan  dipaparkan  sebelum  melaksanakan  proses  kreatif
penciptaan,  sementara  pembaca  baru  dapat  memahami  tema  bila  mereka telah  selesai  memahami  unsur-unsur  yang  menjadi  media  pemaparan  tema
tersebut,  menyimpulkan  makna  yang  dikandungnya  serta  mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya.
15
Jadi  tema  tidak  lain  adalah  suatu  gagasan  sentral  yang  menjadi  dasar suatu cerita. tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan
berdampak.  Pengarang  adalah  pencerita,  tetapi  agar  tidak  menjadi  sekedar anekdot,  cerita  rekaannya  harus  mempunyai  maksud.  Maksud  inilah  yang
dinamakan tema.
16
2 Latar
Setting diterjemahkan sebagai latar cerita. Aminuddin memberi batasan setting  sebagai  latar  peristiwa  dalam  karya  fiksi  baik  berupa  tepat,  waktu,
maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Abrams  mengemukakan  latar  cerita  adalah  tempat  umum  general
locale,  waktu  kesejarahan  historical  time,  dan  kebiasaan  masyarakat social circumtances dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.
17
13
Furqonul  Aziez    Abdul  Hasim,  Menganalisis  Fiksi  Sebuah  Pengantar,  Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, h. 75.
14
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra,  Bandung: Sinar Baru, 1987, h.91.
15
Siswanto, op. cit., h.161.
16
Robert  Stanton,  Teori  Fiksi  Robet  Stanton,  Yogyakarta:  Pustaka  Pelajar,  2007, h.38.
17
Siswanto, loc. cit., h.149.
Brooks  berpendapat,  secara  singkat,  latar  adalah  latar  belakang  fisik, unsur  tempat  dan  ruang,  dalam  suatu  cerita.
18
Latar  memberikan  pijakan cerita  secara  konkret  dan  jelas.  Hal  ini  penting  untuk  memberikan  kesan
realistis  kepada  pembaca,  menciptakan  suasana  tertentu  yang  seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.
19
Biasanya  latar  muncul  pada  semua  bagian  atau  penggalan  cerita  dan kebanyakan  pembaca  tidak  terlalu  menghiraukan  latar  ini;  karena  lebih
terpusat  pada  jalannya  cerita;  namun  bila  pembaca  membaca  untuk  kedua kalinya  barulah  latar  ini  ikut  menjadi  bahan  simakkan,  dan  mulai
dipertanyakan mengapa latar ini menjadi perhatian pengarang.
20
3 Tokoh dan Penokohan
Tokoh  cerita  character,  sebagaimana  dikemukakan  Abrams,  adalah orang-orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau drama, yang
oleh  pembaca  ditafsirkan  memiliki  kualitas  moral  dan  kecenderungan tertentu  seperti  yang  diekspresikan  dalam  ucapan  dan  apa  yang  dilakukan
dalam tindakan. Tidak berbeda halnya dengan Abrams, Baldic menjelaskan bahwa  tokoh  adalah  orang  yang  menjadikan  pelaku  dalam  cerita  fiksi  atau
drama,  sedang  penokohan  characterization  adalah  penghadiran  tokoh dalam  cerita  dengan  cara  langsung  atau  tidak  langsung  dan  mengundang
pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya.
21
Aminuddin  mengatakan,  tokoh  adalah  pelaku  yang  mengemban peristiwa  dalam  cerita  rekaan  sehingga  peristiwa  itu  menjalin  suatu  cerita,
sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.
22
Para tokoh  yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan penting yang  berbeda-beda.  Seorang  tokoh  yang  memiliki  peranan  penting  dalam
suatu  cerita  disebut  tokoh  inti  atau  tokoh  utama.  Sedangkan  tokoh  yang memiliki  peranan  tidak  penting  karena  pemunculannyahanya  melengkapi,
18
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa, 1984, h. 136.
19
Nurgiantoro, op. cit., h.303.
20
Atar Semi, op. cit., h. 46.
21
Nurgiantoro, loc. cit., h.247.
22
Siswanto, op. cit., h. 142.
melayani,  mendukung  pelaku  utama  disebut  tokoh  tambahan  atau  tokoh pembantu,
23
dalam  menyajikan  dan  menentukan  karakter  watak  para tokoh, pada umumnya pengarang menggunakan dua cara atau metode dalam
karyanya.  Pertama,  metode  langsung  telling  dan  kedua,  metode  tidak langsung showing.
24
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, seperti:
a. Jika  dilihat  dari  peran  tokoh-tokoh  dalam  perkembangan  plot  dapat
dibedakan  menjadi  tokoh  utama  dan  tokoh  tambahan.  Tokoh  utama  adalah tokoh  yang  diutamakan  penceritaannya  dalam  novel  yang  bersangkutan.  Ia
merupakan  tokoh  yang  paling  banyak  diceritakan,  baik  sebagai  pelaku kejadian  maupun  yang  dikenai  kejadian.  Dipihak  lain,  pemunculan  tokoh-
tokoh  tambahan  biasanya  diabaikan,  atau  paling  tidak,  kurang  mendapat perhatian.
25
b. Dilihat  dari  fungsi  penampilan  tokoh  dapat  dibedakan  ke  dalam  tokoh
protagonis  dan  tokoh  antagonis.  Tokoh  protagonis  adalah  tokoh  yang  kita kagumi  yang  salah  satu  jenisnya  secara  populer  disebut  hero  tokoh  yang
merupakan  pengejawantahan  norma-norma  nilai-nilai  yang  ideal  bagi  kita. Sedangkan,  tokoh  antagonis  adalah  tokoh  yang  beroposisi  dengan  tokoh
protagonis,  secara  langsung  maupun  tidak  langsung,  bersifat  fisik  ataupun batin.
26
c. Dilihat dari perwatakannya dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh
bulat.  Tokoh  sederhana  adalah  tokoh  yang  hanya  memiliki  satu  kualitas pribadi  tertentu,  satu  sifat  watak  tertentu  saja.  Ia  tidak  memiliki  sifat  dan
tingkah  laku  yang  dapat  memberikan  efek  kejutan  bagi  pembaca.  Dipihak lain,  tokoh  bulat  adalah  tokoh  yang  memiliki  dan  diungkapkan  berbagai
kemungkinan  sisi  kehidupannya,  sisi  kepribadian  dan  jati  dirinya.  Ia  dapat
23
Aminuddin, op. cit., h.79-80.
24
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, h. 6.
25
Nurgiantoro, op. cit., h. 258-259.
26
Ibid., h.260-261.