Gaya Bahasa Unsur Intrinsik Novel Pulang Karya Leila S. Chudori

Pada kutipan di atas, Leila mengumpamakan malam turun seperti makhluk hidup. Gerutu dan siasat adalah sifat yang dimiliki makhluk hidup seperti manusia. Maksud dari penggunaan majas ini dalam kalimat tersebut adalah kondisi di malam hari. Berdasarkan paparan gaya bahasa di atas penulis menyimpulkan novel ini menggunaan gaya bahasa didominasi oleh perumpamaan dalam mengungkapkan sebuah keadaan dan kehidupan. Perumpamaan yang digunakan dapat berupa perbandingan manusia dengan sesuatu hal, penggambaran benda yang memiliki sifat seperti manusia.

B. Analisis Tokoh Lintang dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori

Penelitian tokoh Lintang dalam novel Pulang berdasarkan dua alasan. Pertama, Lintang menjadi sosok yang juga amat penting dalam novel Pulang karena penceritaan mengenai kehidupan eksil politik pada beberapa bab 63 terutama di Jakarta diteruskan oleh Lintang. Kedua, Lintang adalah Tokoh Indo. Indo adalah satu sosok “Orang Lain” yang di sekitarnya dapat dibentuk identitas-identitas Indonesia, dan sekaligus satu sosok ambiguitas dan kegelisahan-kegelisahan yang terus menghantui. Dalam Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial Thomas M. Hunter dalam penelitiannya mengatakan; sejak semula orang Eurasia atau Indo merupakan sosok yang dikaitkan dengan kegelisahan-kegelisahan mendalam. Contohnya dalam Keberangkatan karya Nh. Dini tahun 1977. Dini bercerita tentang Elisabeth Frissart seorang wanita indo yang mencintai seorang pribumi yang berakhir dengan penghianatan. Keputusan Elisa untuk kemudian meninggalkan Indonesia untuk selamanya bisa dibaca di satu pihak mencerminkan keterasingan politik para orang Indo sesudah berdirinya republik. Ketegangan-ketegangan serupa tercermin dalam Annelies dalam Bumi Manusia 1981 karya Pramoedya tentang tragedi yang diakibatkan oleh kondisi historis kebijakan-kebijakan 63 Paris, April 1998, Narayana Lafebvre, L ’irreparable, Ekalaya, Surat-Surat Berdarah, Flaneur, Potret yang Muram, dan Mei 1998. kolonial tentang ras dan perkawinan. 64 Tokoh Lintang dalam novel Pulang juga Indo. Sebagai Indo, Lintang merupakan sosok yang merasakan kegelisahan-kegelisahan mendalam mengenai ras dan identitas. Lintang menjadi berbeda dari lingkungan sekitarnya lantaran status indonya. Lebih dari itu, ambiguitas dan kegelisahan mengenai posisinya terus menghantui kehidupan Lintang. Analisis tokoh Lintang dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori ini menggunakan teknik pelukisan tokoh. Seperti yang sudah dijelaskan dalam kajian teori, penulis menggunakan teknik pelukisan tokoh menurut Burhan Nurgiantoro. Hal ini dimaksudkan untuk menjabarkan secara jelas mengenai tokoh Lintang dalam novel Pulang. Leila menggambarkan tokoh Lintang dengan menggunakan teknik dramatik. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat, sikap, serta tingkah laku tokoh. Teknik dramatik terbagi menjadi delapan bagian. Hal tersebut akan dijelaskan satu-persatu seperti berikut ini.

1. Teknik Cakapan

Teknik cakapan atau dialog dilakukan antara tokoh utama dengan tokoh lain dalam cerita. Pada novel Pulang, teknik cakapan ini terjadi antara tokoh Lintang dengan tokoh-tokoh lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan sifatnya dalam sebuah novel. Dari teknik ini dapat diketahui bahwa Lintang memiliki sifat keras kepala, berkemauan tinggi, dan pantang menyerah. Sifat-sifat tersebut dapat terlihat dalam kutipan sebagai berikut: “Nara menggundang ayah makan malam untuk saling mengenal. Bukan untuk dihina.” “Menghina? Siapa yang menghina?” “Setiap ucapan dia selalu saja ada salahnya. Pilihan restorannya, pilihan filmnya, pilihan puisinya..” 65 64 Keith Foulcher dan Tony Day, Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial Edisi Revisi “Clearing a Space”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta, 2008, h. 136 65 Ibid., h. 177. Kutipan di atas menggambarkan sifat Lintang yang didominasi oleh pemikiran budaya Barat yang berani menyuarakan pendapat kepada ayahnya. Hal ini terlihat pada percakapannya dengan Dimas mengenai kelakuan ayahnya terhadap Nara. Dari kutipan tersebut, Lintang berpendapat bahwa ayahnya selalu mengkritisi apa saja yang dilihat matanya dan itulah yang membuat Lintang tidak bebas. Hal ini terlihat pada kutipan tersebut, saat ayahnya tahu bahwa Nara lahir dari keluarga kaya, ayahnya langsung mencap bahwa Nara adalah laki-laki yang mudah memperoleh apa saja dari kekayaan orangtuanya. Lintang jengkel dengan hal itu. Menurutnya, ayahnya mempunyai pandangan yang begitu sempit. Dalam budaya Timur, orangtua adalah yang paling benar. Anggapan yang dianut oleh perempuan Timur kebanyakan, yakni ucapan orangtua, apapun itu, tidak boleh dibantah, tidak bisa begitu saja diterima oleh Lintang karena meskipun ia memiliki sifat indo, tetapi dia dibesarkan dengan tradisi barat yang kental. Lintang besar dalam lingkungan keluarga yang memiliki keragaman pendidikan dan sejarah. Keinginannya untuk terbang langsung ke Indonesia adalah keinginannya sendiri setelah mendapat saran dari Monsieur Dupont untuk membuat tugas akhir mengenai sejarah Indonesia. Hal ini tergambar tergambar dalam kutipan berikut ini: “Maman,” dia menghela nafas, “aku merasa tidak cukup hanya mendengar cerita dari Ayah, Om Nug, Om Tjai, dan Om Risjaf. Tidak cukup juga mewawancarai orang-orang Kedutaan. Ada konteks kesejarahan yang harus kupahami, bagaimana absurditas sejarah di Indonesia ini dimulai.” 66 Kutipan tersebut menggambarkan bagaimana Lintang mempunyai kemauan yang keras dan bertindak sesuai apa yang dia inginkan. Dia bersikeras pergi ke Indonesia untuk membuat tugas akhirnya mengenai sejarah Indonesia padahal situasi pada saat itu sedang bergejolak. Keadaan 66 Ibid., h. 211. tersebut diperparah dengan predikatnya sebagai anak dari seorang eksil politik yang membuat segala sesuatunya tidak mudah. Kutipan lain yang menunjukkan sifat keras dan kemauan yang tinggi adalah saat Lintang berbicara dengan Alam. Saat itu dia menunjukan daftar nama-nama yang akan dia wawancarai untuk tugas akhirnya. “Lintang, Kamu tahu semua orang dalam daftarmu ini adalah nama-nama yang sangat disorot peme rintah?” Lintang m engangguk, “Ya, saya tahu. Topiknya sendiri pasti sudah kontroversial. Tapi...saya sudah memperhitungkan, untuk mewawancarai sekitar delapan atau sembilan eks tahanan politik dengan keluarganya paling tidak memakan waktu tiga pekan atau p aling lama sebulan.” 67 Dari kutipan di atas terlihat bagaimana sikap Lintang menghadapi berbagai kemungkinan kendala yang akan terjadi. Lintang memang sudah terbiasa dengan demonstrasi politik di Paris. Dia menganggap demonstrasi di Indonesia sama dengan di Paris. Namun, nyatanya demonstrasi politik di Paris dengan di Indonesia tentunya sangat berbeda. Kutipan-kutipan di atas jelas menggambarkan kemandiriannya sebagai perempuan yang berkemauan keras. Lintang tidak perduli dengan keadaan yang menakutkan sekalipun. Dia tidak ingin sumber untuk mengerjakan tugas akhirnya yang mengangkat tema tentang sejarah Indonesia hanya berasal dari para eksil politik yang ada di Eropa. Dia ingin menginjakkan kakinya langsung di Indonesia untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga membawa ayah beserta kawan-kawan ayahnya terdampar di Paris. Berdasarkan beberapa kutipan percakapan yang dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa tokoh Lintang memiliki sifat berkemauan keras dan bertindak sesuai apa yang diinginkannya. Sebagai Indo sifat yang begitu tampak, yakni keinginan selalu menjadi yang paling superior, sebagaimana perempuan Barat pada umumnya. 67 Ibid., h. 303.