visa  masuk  ke  Indonesia.  Ia  juga  harus  bercerai  dengan  Vivienne  dan bertengkar dengan Lintang karena Dimas selalu berkorespondensi dengan
Surti  dan  anak-anaknya  padahal  itulah  akses  yang  ia  miliki  untuk mengetahui gambaram situasi di tanah airnya, dia juga selalu menyimpan
stoples  kunyit  dan  cengkih  segar  yang  diletakan  di  ruang  tamu apartemennya supaya setiap hari bisa menghirup aroma khas tanah airnya.
Yang  paling  mengagumkan  adalah  Restoran  Tanah  Air  yang  dirintisnya bersama kelompok eksil politiknya dan sempat dilabeli sarang komunis.
Satu setengah dari buku ini bercerita tentang Dimas dan puterinya. Lintang  Utara,  yang  memutuskan  berkunjung  ke  Indonesia  pada  tahun
1998  untuk  membuat  film  dokumenter  tentang  kehidupan  eksil  politik  di Indonesia  sebagai  bagian  dari  proyek  terakhirnya  sebagai  mahasiswa  di
Universitas  Sorbonne.  Lintang  bertemu  Segara  Alam,  putra  Hananto Prawiro, yang membantu dia untuk mewawancarai keluarga aktivis politik
Indonesia yang menderita di bawah pimpinan Soeharto. Dalam  novel  ini,  tidak  lain  Dimas  Suryo  adalah  Sang  Ekalaya.
Seperti  Ekalaya,  Dimas  adalah  manusia  yang  memandang  lurus kehidupan. Dia tidak sadar bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang
suka  bertarung  dan  saling  memakan  sesamanya  demi  memenuhi kepentingan  masing-masing.  Meski  tidak  diakui  lagi  status  warga
negaranya dan selalu ditolak pulang oleh pemerintah di negaranya, Dimas tetap bertahan dengan langkah penuh jejak darah luka, sebab ia tahu persis
tanah  air  Indonesia  tidak  pernah  menolak  dirinya.  Pada  akhirnya,  setelah Orde  Baru  Soeharto  ditumbangkan  oleh  gerakan  mahasiswa  dan  rakyat
pada  21  Mei  1998,  dan  sebagai  upaya  terakhirnya  untuk  menegaskan bahwa  dirinya  adalah  putra  Indonesia  yang  punya  hak  mewarisi  tanah
airnya,  Dimas  Suryopun  berhasil  pulang  untuk  selamanya  ke  TPU  Karet Bivak Jakarta Pusat, tanah yang aromanya ia kenal dan mengenali dirinya.
C. Pemikiran Leila S. Chudori
Leila  merupakan  pengarang  yang  hampir  selalu  memilih  cerita pendek  sebagai  format  ketika  berkarya.  Baginya,  cerita  pendek  dalam
beberapa  hal  memiliki  peraturan  yang  lebih  ketat,  lebih  keras,  dan  lebih galak,  sebab  cerita  pendek  harus  memuat  ledakan  dalam  ruang  yang
sempit. Leila  sangat  tidak  percaya  dengan  bakat,  baginya  kata  bakat  itu
mengandung  misteri.  “Manusia  itu  ditentukan  oleh  faktor  internal  dan eksternal.  Kita  harus  menguji  diri  kita,  punya  jiwa  seni  atau  tidak.”
Katanya.  Bagi  Leila,  seorang  pengarang  memiliki  kepekaan  menagkap fenomena dalam
dirinya, kemudian diekspresikan lewat kertas. “Kita harus mengadakan  pendekatan  pada  kepekaan  itu.  Sesudah  mengenal  kepekaan
itu,  barulah  dilanjutkan  dengan  proses  edukasi,  ya  membaca,  belajar  dari pengalaman,  menghayati  kehidupan,”  Baginya,  seni  itu  tidak  diperoleh
dalam pendidikan dalam pendidikan akademis, kecuali masalah politik dan ekonomi.  Seorang  pengarang  berbakat  tidak  ditentukan  oleh  kuantitas
karyanya, tapi bobot karya itu sendiri. Pengarang yang terlalu produktif itu diragukan  kualitas  karya-ka
ryanya.  “Kapan  sih  kesempatannya  untuk mengendapkan  karyanya  dan  kemudian  merenung.  Lain  halnya  dengan
Putu  Wijaya  yang  benar-benar  produktif,  tapi  terasa  ada  pengulangan- pengulangan tanpa disadarinya,”
4
Leila beranggapan menulis haruslah dari hati dan menikmati prosesnya. Tidak hanya sekadar ingin terkenal, apalagi
memdapatkan  penghargaan.  Bila  suatu  karya  diapresiasi  baik,  maka  itu menjadi  nilai  tambah,  tapi  bukan  sesuatu  yang  diharapkan  dari  awal
pembuatan.  Hasil  karya  Leila  banyak  terinspirasi  dari  kisah-kisah perwayangan.  Beberapa  karyanya  banyak  memiliki  dasar  kisah  drama
keluarga  tidak  biasa  seperti  kisah  perwayangan.  Baginya,  kisah  keluarga yang  baik-baik  saja  tidak  menarik  untuk  diceritidakan.  Berbeda  hal  bila
cerita menggambarkan drama keluarga yang menjadi korban dari peristiwa
4
Leila  Salikah  Chudori, ”Saya  Tak  Percaya  Pada  Bakat”,  Jakarta:  Suara
Pembaruan, Senin, 31 Oktober 1988, h. 8.
30  September  1965  akan  sangat  menarik  jika  diceritidakan  dalam  sebuah karya.
Leila pergi kuliah ke Kanada tahun 1982, negri multikultural yang damai dengan standar hidup yang jauh lebih “menjanjikan”. Enam tahun
hidup  di  neg eri yang “tertib” tidak membuat Leila kehilangan selera atas
tanah  airnya.  Ia  memilih  pulang:  kembali  ke  tempat  yang  chaos,  sumpek dan penuh persoalan.Leila ingat pesan ayahnya, “ada alasan mengapa kita
dilahirkan  sebagai  orang  Indonesia.  Alasan  itu  harus  kita  cari  sepanjang hidup kita.”
“Karena  tanah  air  ini  sungguh  remuk  luka,  penuh  persoalan... Manusia  Indonesia?  Manusia  yang  gemar  duit  dan  malas  bekerja,  yang
gemar bergunjing hanya untuk kesenangan sehari-hari, yang main tembak, yang  mempermainkan  hukum...,
”  tulisan  Leila  dalam  peringatan  40  hari kepergian ayahnya.
Tetapi,  seperti  kata  Ayah  pula,  Indonesia  juga  memiliki  matahari yang  hangat.  Ada  banyak  orang  yang  baik,  yang  perduli,  yang  bekerja
tanpa  mengeluh,  banyak  yang  terus  berpeluh  tanpa  pamrih  agar  sekadar sejengkal-dua-jengkal  tanah  air  ini  membaik.  Kekaguman  Leila  pada
Ayahnya  Mohammad  Chudori  wartawan  kantor  Berita  Antara  dan  The Jakarta Post itu, tidak mampu disembunyikannya.
5
Pada  akhir  tahun  2012,  Leila  akhirnya  menerbitkan  novel pertamanya,  Pulang,  yang  diterbitkan  oleh  Kepustakaan  Populer
Gramedia,  dan  Diluncurkan  di  Institute  Goethe  di  Jakarta.  Leila menghabiskan  enam  tahun  melakukan  riset  untuk  pekerjaan  dan  dibayar
dua  kunjungan  ke  Paris  untuk  wawancara  antara  lain,  buangan  politik Oemar Said dan Sobron Aidit yang baik untuk sementara meninggal, dan
banyak  bekas  tahanan  politik  di  Jakarta,  termasuk  wartawan  Amarzan
5
Anonim,  Leila  Selalu  Ingin  Pulang, www.dw.deleila-yang-selalu-pulanga-
16821309 ,
diakses pada 09 Februari 2015 pukul 19:18.