PENINGKATAN KAPASITAS PENDAMPING DESA
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi | 87
informasi, ruang untuk memahami dan membingkai ulang berbagai isu, saling menghormati, dan gerakan menuju konsensus.
Gagasan demokrasi deliberatif tentu tidak bermaksud menyingkirkan model demokrasi formal, tetapi hendak menjawab krisis demokrasi formal-liberal, memperluas
ruang-ruang demokrasi, sekaligus menjawab kesenjangan antara politik formal dengan kehidupan politik sehari-hari. Jika demokrasi formal yang dibangun melalui proses
elektoral hanya mampu menjangkau legalitas formal-prosedural, maka demokrasi deliberatif berupaya memperkuat legitimasi demokrasi. Beberapa penganjurnya
menyatakan bahwa model demokrasi deliberatif dikembangkan sebagai bentuk respon atas kelemahan teori dan praktik demokrasi liberal, sekaligus mengedepankan
perspektif kritis terhadap institusi perwakilan liberal. Pada prinsipnya, jika demokrasi liberal berupaya memperkuat “demokrasi representatif” melalui institusi-institusi
perwakilan dan prosedur elektoral, maka demokrasi deliberatif berupaya mengembangkan “demokrasi inklusif” yang membuka akses partisipasi warga. Jika
pandangan demokrasi liberal sangat percaya pada kompetisi melalui proses agregasi politik misalnya pemilihan umum, maka pandangan demokrasi deliberatif lebih
menekankan forum publik sebagai arena diskusi politik menuju kebaikan bersama. Dengan demikian, demokrasi deliberatif hendak mendemokrasikan demokrasi, seraya
memperluas ruang-ruang demokrasi yang bergerak dari institusi formal, lembaga perwakilan maupun prosedur elektoral menuju ruang-ruang yang lebih dekat dengan
masyarakat.
Model ideal demokrasi deliberatif adalah negara kota Athena, atau rapat kota New England di Amerika Serikat, atau dalam bentuk Dialogue with the City di Perth
Australia Barat. Dalam sistem pemerintahan ini semua warga memiliki kesempatan partisipasi melalui debat dengan sesama warga mereka, dan dapat mendengar dan
menilai poin pandangan alternatif. Dulu dan sekarang ada sedikit hirarki di antara partisipan dalam rapat ini, dan semuanya dapat sama-sama berbicara. Setelah debat
partisipan kemudian dapat memberikan suara, dengan suara mereka pada akhirnya menentukan kebijakan untuk diambil. Dua bentuk demokrasi ini dulu atau sekarang
relatif kecil, sehingga semua warga dapat ikut serta jika mereka ingin berbuat demikian.
d. Demokrasi Desa
Budayawan Belanda, J.F. Liefrinck 1886-1887 pernah melakukan penelitian di Buleleng Bali Utara yang merumuskan pengertian desa: yang memberikan rasa nyaman bagi
orang Bali. Desa versi Liefrinck adalah sebuah “republik kecil” yang memiliki hukum atau aturan adat sendiri. Desa adat merupakan wujud dari desa-desa yang bebas dari
tekanan luar. Susunan pemerintahan desa bersifat demokratis dan memiliki otonomi.
Demokrasi merupakan prinsip penting dalam republik, yang dibedakan dengan monarkhi, meskipun ada monarkhi konstitusional yang demokratis. Tetapi, republik
desa pada dasarnya semua hal dalam desa dikelola dengan mekanisme publik. Setiap warga desa mempunyai hak menyentuh, membicarakan bahkan memiliki setiap barang
maupun proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Desa tidak boleh secara kosmologis dikungkung sebagai institusi parokhial agama mupun kekerabatan
maupun institusi asli adat, tetapi juga harus berkembang maju sebagai institusi dan
PENINGKATAN KAPASITAS PENDAMPING DESA
88
| Modul Pelatihan Penyegaran Pendampingan Desa
arena publik. Sebagai contoh, meskipun ada desa adat mempunyai karakter monarkhi, tetapi dia juga harus menjalakan spirit dan institusi republik seperti fungsi
permusyawaratan, musyawarah desa, mengelola barang-barang publik dan melakukan pelayanan publik. Sebagai republik, desa tidak hanya membicarakan dan mengelola
isu-isu agama, kekerabatan dan adat, melainkan juga mengurus isu-isu publik seperti sanitasi, air bersih, kesehatan, pendidikan, lingkungan dan lain-lain.
Spirit dan institusi desa itu harus dikelola dengan demokrasi. Demokrasi macam apa?. Demokrasi desa yang dikemas oleh UU No. 62014 sebenarnya mengandung
gado-gado hibrid antara tradisi liberal, radikal dan komunitarian. Pertama, akuntabilitas atau pemimpin yang akuntabel bukanlah monopoli kaum liberal, tetapi
juga dikedepankan oleh kaum radikal, apalagi oleh kaum komunitarian. Komunitarianisme masyarakat lokal selalu mendambakan pemimpin yang bertang-
gungjawab amanah karena telah memperoleh mandat dari rakyat. Akuntabilitas pemimpin bukan hanya bersih dari korupsi, tetapi juga mengandung responsivitas
yakni pemimpin yang inovatif, visioner, proaktif, progresif dan berkinerja baik.
Kedua , menurut kaum liberal yang risau dengan UU Desa, demokrasi
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya risiko buruk dibalik kekuasaan besar kepala desa yang mengontrol dan menyerobot elite capture sumberdaya desa. Untuk itu
harus ada check and balance yang dilakukan oleh institusi representasi BPD, ditambah dengan pelembagaan nilai-nilai kebebasan, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi.
Ketiga , kaum radikal mengutamakan dimensi organisasi warga dan partisipasi
yang lebih kuat sebagai jalan untuk memperkuat hak-hak warga, citizenship dan kedaulatan rakyat. Organisasi dan partisipasi warga ini tidak cukup diwadahi dengan
lembaga kemasyarakatan, melainkan warga mengorganisir diri secara mandiri sebagai wadah popular participation. UU No. 62014 tidak mengatur secara eksplisit organisasi
warga itu, tetapi pada prinsipnya sesuai Pasal 68, warga masyarakat mempunyai hak untuk berpartisipasi, yang tentu bisa menggunakan organisasi mandiri sebagai wadah
partisipasi.
Keempat , pemikiran kaum komunitarian sangat cocok dengan konteks
sosiokultural masyarakat desa. Asas kebersamaan, kegotongroyongan, keleuargaan dan musyawarah dalam UU No. 62014 mencerminkan pemikiran kaum komunitarian.
Semua asas ini pada dasarnya untuk mencapai kebaikan bersama dalam payung desa.
e. Kepemiminan Kepala Desa