PENINGKATAN KAPASITAS PENDAMPING DESA
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi | 179
c. Politik Ekonomi Keuangan Desa menurut Undang-Undang Desa
Keuangan Desa sebagaimana diatur dalam pasal 72 sampai dengan pasal 77 merupakan pengejewantahan dari komitmen untuk memberdayakan Desa agar
menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat
yang adil, makmur, dan sejahtera konsideran menimbang hurup b UU Desa.
Dalam konteks politik ekonomi yang lebih luas, keuangan Desa harus dipandangan dari tiga sisi yaitu: 1 hubungan negara dengan desa; 2 hubungan
pemerintah desa dengan masyarakat desa; dan 3 pengelompokkan sosial di dalam desa.
Komponen penting dari keuangan desa menurut UU Desa adalah „dana transfer‟ dari pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Dana DesaDD dan dari pemerintah
daerah yang disebut dengan Alokasi Dana DesaADD dan bagi hasil pajak dan retribusi daerah untuk desa. Dalam konteks hubungan negara dengan desa, dukungan negara
melalui pemerintah dan pemerintah daerah terhadap keuangan desa dalam bentuk „dana transfer‟ tidak dapat dipandang sebagai „hadiah dan budi baik‟, melainkan
„kewajiban‟ negara sebagai implikasi dari pengakuan negara terhadap hak-hak tradisional desa sekaligus juga sebagai dukungan kepada desa untuk menjalankan
fungsi- fungsi subsidiaritas. Ini disebabkan karena „kewenangan asal-usul‟ sebagai
pengejawantahan prinsip pengakuan dan „kewenangan lokal skala desa‟ sebagai pengejewantahan prinsip subsidiaritas dari sisi substansi adalah menjalankan fungsi-
fungsi publik yang merupakan kewajiban negara. Ketika kewajiban tersebut diambil alih oleh desa, maka sebagai implikasinya sumber daya keuangan untuk mengelola fungsi-
fungsi publik tersebut juga beralih ke desa. Dengan kata lain, alokasi keuangan pemerintah dan pemerintah daerah merupakan belanja wajib, yang merupakan hak
desa.
Dari sisi ekonomi makro dan pembangunan wilayah, dana transfer ke desa merupakan upaya serius negara untuk meingkatkan pertumbuhan ekonomi dan
kesejateraan masyarakat desa. Menurut Budiman Sudjatmiko Kompas, 9 Juli 2015, dana desa akam mendorong terjadinya pertumbuhan desa yang berpotensi
menyejahterakan masyarakatnya. Pertama, pertumbuhan alamiah atau pertumbuhan yang terjadi secara natural tanpa dipengaruhi kebijakan belanja dari pemerintah.
Mengingat persentase dana belanja langsung pemerintah ke desa sebelum adanya UU Desa sangat kecil, kita anggap saja besarannya mengikuti pertumbuhan ekonomi
nasional, antara 4 dan 8 persen. Kedua, pertumbuhan langsung atau pertumbuhan yang terjadi akibat langsung dari belanja pemerintah. Jika total dana desa sudah
dioptimalkan 100 persen sesuai dengan amanat Pasal 72 Ayat 2 hingga mencapai Rp 103,6 triliun dari APBN dan APBD dan nilai pendapatan penduduk desa hasil
penghitungan adalah Rp 3.381,8 triliun, potensi pertumbuhan langsung adalah 3,06 persen. Ketiga, pertumbuhan rentetan atau pertumbuhan yang terjadi akibat efek
rentetan multiplier dari belanja pemerintah. Masuknya dana ke desa dapat memacu usaha baru di desa tersebut. Sebuah usaha baru dapat memacu timbulnya usaha baru
lainnya, demikian seterusnya.
Kombinasi pertumbuhan alamiah, langsung, dan pertumbuhan rentetan
PENINGKATAN KAPASITAS PENDAMPING DESA
180
| Modul Pelatihan Penyegaran Pendampingan Desa
berpotensi meningkatkan pendapatan penduduk desa mendekati 10 persen per tahun. Apabila pertumbuhan desa dapat dipacu di atas rata-rata nasional, diharapkan tingkat
kesenjangan akan berkurang secara signifikan. Pada akhirnya optimalisasi dana desa merupakan sebuah peluru yang dapat menembak dua sasaran secara bersamaan:
mendorong pertumbuhan sekaligus mengurangi kesenjangan. Karena itulah maka UU Desa membuka kemungkinan bagi desa untuk mengalokasikan belanja desa untuk
kegiatan ekonomi BUM Desa, pelyanan dan infrastruktur dasar, sekaligus mengekskalasi efisiensi alokasi melalui kerja sama antar desa.
Dalam konteks hubungan pemerintah desa dengan masyarakat, yang perlu difahami adalah bahwa desa pada dasarnya adalah „kesatuan masyarakat hukum‟ yang
oleh UU Desa diakui mampu menjalankan tata kelola bersama self governing community
untuk mencapai tujuan kesejahteraan. Sebagai satuan pemerintahan dengan unit terkecil dan terdekat dengan masyarakat, maka hubungan pemerintah
dengan masyarakat menjadi hubungan yang sifatnya „face to face‟ dan langsung.
Dengan jenis hubungan seperti ini maka responsifitas pemerintahan desa terhadap kebutuhan masyarakat di satu sisi, dan di sisi lain partisipasi masyarakat menjadi satu
keniscayaan yang harus terus dipelihara dan dikembangkan.
Sebagai implikasi dari hubungan tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan monitoring anggaran bukan menjadi hak eksklusif dari pemerintahan desa, melainkan
dibentuk oleh hubungan langsung antara pemerintahan desa yang responsif terhadap kebutuhan warga dengan warga desa yang berpartisipasi aktif dalam pembangunan
dan pemberdayaan. Karena itulah UU Desa mengembangkan wahana-wahana bertemuanya pemerintah supply dan warga demand seperti: informasi desa,
musyawarah desa, musyawarah pembangunan desa, dan konsep swakelola pelaksanaan pembangunan desa. Wahana-wahana ini harus terus diisi dengan
„demokrasi yang substantif‟ yaitu demokrasi dalam mengalokasikan sumber daya bersama berdasarkan pada kebutuhan masyarakat yang akan direspon melalui
instrumen pengalokasian keuangan desa.
Isu ketiga yang sangat penting adalah bahwa desa bukanlah satu entitas yang homogen, melainkan terdiri dari kelompok-kelompok dan stratifikasi sosial berdasarkan
pekerjaan, jenis kelamin, lama tinggal, agama dll. Dalam kontek pengelompokkan dan strata sosial inilah maka menjadi penting dijaga agar sumber daya desa
–dalam hal ini keuangan- tidak dimonopoli dan hanya melayani kepentingan kelompok elit desa.
Sebaliknya keuangan desa harus menjadi instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok terbawah dari masyarakat yaitu kelompok miskin dan kelompok yang ter-
eksklusi secara sosial politik seperti kelompok minoritas yang lemah, kelompok perempuan dalam struktur masyarakat yang patriarkhat dan kelompok yang memiliki
keterbatasan fisik disable
. Pasal 74 UU Desa menyatakan” Belanja Desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam Musyawarah Desa..”.
“Kebutuhan pembangunan meliputi, tetapi tidak terbatas pada kebutuhan primer, pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa”. Pasal ini
sesuai deng an tujuan dari pembangunan desa yaitu: “..meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa,
PENINGKATAN KAPASITAS PENDAMPING DESA
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi | 181
pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan”.
Dengan demikian maka alokasi dalam keuangan desa haruslah merupakan bentuk dari „affirmasi‟. Affirmasi, secara substantif berarti alokasi keuangan desa harus
dapat secara langsung mengurangi kemiskinan melalui belanja kebutuhan primer, pemenuhan sarana dan prasarana dasar, dan pemberdayaan masyarakat. Yang perlu
dicatat adalah bahwa kebutuhan kelompok miskin dan kelompok yang tersisihkan
– misalnya kelompok perempuan dan kelompok minoritas- tidak selalu sama dengan
kebutuhan mayoritas. Mendukung keadilan dan inklusi sosial kadang-kadang berarti mengalokasikan sumber daya lebih banyak kepada kelompok masyarakat yang paling
membutuhkan. Ini berarti tidak selalu menguntungkan mayoritas penerima manfaat desa secara keseluruhan, tetapi pemenuhan kebuthan dan prirotias kelompok yang
seringkali tidak memiliki akses dan suara. Yang perlu diperhatikan, meskipun dalam jangka pendek, mayoritas mungkin menganggap mereka tidak secara langsung
mendapatkan keuntungan, tetapi dalam jangka panjang alokasi ini akan mendorong kohesi sosial yang lebih besar, inklusi dan stabilitas. Ini juga akan mendorong
keutungan ekonomi bagai masyarakat desa secara keseluruhan karena kelompok masyarakat yang sebelumnya tidak dapat berpartisipasi sekarang dapat terlibat dalam
dan berkontribusi terhadap ekonomi lokasl masyarakat.
Sedangkan dari sisi prosedural affirmasi berarti melibatkan kelompok masyarakat yang menjadi target alokasi -terutama masyarakat miskin dan tereksklusi secara sosial
politik- dalam proses pembuatan keputusan untuk alokasi anggaran melalui wahana- wahana yang telah tersedia seperti akses terhadap informasi desa, terlibat dalam
musyawarah desa, dan terlibat dalam pelaksanaan dan monitoring pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Ini tidak mudah, membutuhkan pendidikan, penguatan,
pengorganisasi dan pendampingan terhadap kelompok ini baik dari dalam desa
– terutama melalui perangkat dan kader desa- maupun melalui pendampingan dari pihak
luar. Dalam hal ini, pengusasaan kader desa dan pendamping dalam metode partisipasi menjadi sangat penting tema ini akan menjadi topik utama dalam modul
pendampingan desa.
d. Kerangla Hukum Keuangan Desa