Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Desa Keuangan Desa Sebelum Undang-Undang Desa

PENINGKATAN KAPASITAS PENDAMPING DESA Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi | 175 SPB 3.3 Lembar Informasi Pengelolaan Keuangan Desa

a. Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Desa

Bagian ini memaparkan perkembangan politik dan kebijakan Keuangan Desa, sebelum dan sesudah undang-undanga desa. Yang perlu dipahami secara benar mencakup: 1 Keuangan Desa setelah reformasi dan sebelum UU Desa ditetapkan; 2 Politik dan kebijakan Keuangan Desa menurut UU Desa; 3 Kerangka Hukum Keuangan Desa; 4 Sumber-sumber keuangan desa dan mekanisme penyalurannya; 5 prasyarat implementasi keuangan desa menurut cita-cita UU Desa.

b. Keuangan Desa Sebelum Undang-Undang Desa

Sebelum reformasi, keuangan desa nyaris sepenuhnya bergantung pada negara melalui skema pendanaan yang disebut Instruktsi Presiden Inpres Desa. Dana Inpres Desa bersumber dari pemerintah pusat yang disampaikan ke desa melalui kecamatan sebagai perangkat dekonsentrasi. Sebagai implikasinya desa tergantung pada Kecamatan secara personal Camat.Dana Inpres tidak terlalu besar, sehingga hanya mencukupi untuk kegiatan operasional kantor. Sedangkan program-program pembangunan langsung dilakukan oleh Kementrian Departemen ke Desa. Program- program pembangunan biasanya berupa pembangunan fisik atau sosial yang disertai oleh mobilisasi pemerintah dan masyarakat desa. Sebagai implikasinya, keuangan dan pembangunan pada dasarnya merupakan sarana mobilisasi masyarakat oleh negara baik melalui kecamatan maupun melalui Departemen pusat. Pasca Reformasi Keuangan Desa mulai diakui baik dalam UU 22 tahun 1999 maupun dalam UU 32 tahun 2004. Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, konsep Inpres Desa dihapus dan diganti dengan sumber-sumber pendapatan desa. Tetapi, jika Inpres Dati I dan Inpres Dati II diganti dengan DAU, desa tidak mendapatkan pengganti dari Inpres Desa, melainkan „bantuan keuangan dan hibah‟ baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan demikian, maka tidak ada lagi sumber kuangan yang bersifat mandatoris dari pemerintah pusat dan daerah yang dialokasikan ke desa. Baru pada tahun 2005 berdsasarkan PP 72 tahun 2005 pemerintah mengeluarkan skema Alokasi Dana Desa ADD yang merupakan sumber PENINGKATAN KAPASITAS PENDAMPING DESA 176 | Modul Pelatihan Penyegaran Pendampingan Desa pendanaan yang bersifat mandatoris kepada desa. Tetapi, karena jumlahnya yang sedikit dan tidak ada sanksi bagi kabupatenkota yang tidak mengalokasikan ADD, maka sumber pendanaan tersebut tidak secara signifikant berdampak pada pembangunan dan pemberdayaan desa. Salah satu sumber pendapatan desa, menurut UU 322004 dan PP 722005 adalah pendapatan asli desa. Persoalannya Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum tidak memiliki sumber-sumber pendapatan asli desa yang memadai. Sedangkan sumber pendapatan desa dari tanah, sebagai hak asal-usul, seperti tanah bengkok, dianggap bukan sebagai pendapatan desa yang diinternalisasi dalam sistem keuangan desa, melainkan sebagai pendapatan kepala desa dan perangkat desa. Pendapatan Desa dari pendapatan asli desa lebih memenuhi kebutuhan subsisten, yaitu pungutan desa untuk pelayanan langsung yang dibebankan kepada masyarakat pengguna jasa layanan. Ini menyebabkan masyarakat memandang berurusan dengan desa untuk mendapatkan pelayanan -seperti KTP, Surat Kelahiran, dll- berarti harus mengeluarkan uang. Tentu saja situasi berpotensi untuk mengeksklusi kelompok miskin yang tidak dapat mengeluarkan uang untuk mendapatkan pelayanan dari pemerintah desa. Karakteristik Keuangan Desa sebelum UU Desa 1. Pendapatan Asli desa sangat terbatas, dan dikelola tidak dengan transparant – lebih untuk pendapatan kepala dan perangkat desa dan pembayaran pelayanan langsung; 2. Pendanaan dari pemerintah dan pemerintah daerah ke tidak bersifat mandatoris, lebih merupakan „budi baik‟ dan menciptakan relasi bergantung desa terhadap pemerintahpemerintah daerah. 3. Pendanaan pembangunan dengan skema program yang besaran alokasi dan lokasi program lahir dari kontestasi politik di DPRDPRD. Sebagaimana umumnya program, maka pendanaan ke desa tidak berkelanjutan. 4. Tata kelola keuangan desa yang pararel antara pemerintahan desa –untuk administrasi pemerintahan dan pelayanan langsung- dengan keuangan program yang bersifat rigit dengan aturan dan pelaksanaan langsung dikontrol oleh negara melalui pembentukan organ proyek di desa . 5. Partisipasi lebih merupakan mobilisasi sosial dari kelompok penerima program, ketimbang warga aktif yang kritis. Karakteristik tersebut tidak mendukung desa untuk menjadi maju, kuat, mandiri dan demokratis. PENINGKATAN KAPASITAS PENDAMPING DESA Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi | 177 Dengan keterbatasan pendapatan asli desa, maka pendapatan desa lebih bergantung pada sumber-sumber pendapatan dari pemerintah supra desa, terutama kabupaten dan pemerintah pusat. Persoalannya keuangan yang bersumber dari pamerintah supra desa dianggap sebagai „budi baik‟. Ini tercermin dengan istilah tunjangan penghasilan kepala dan perangkat desa TPKPD untuk gaji kepala dan perangkat desa, bantuan keuangan, hibah atau bantuan langsung masyarakat BLM. Sebagai budi baik, maka besaran alokasi ditentukan oleh kemampuan keuangan, dan yang lebih penting oleh seberapa strategis desa secara politik mobilisasi dari sisi kepentingan kepala daerah. Apalagi karena sifatnya „budi baik‟ maka tidak ada sanksi sedikitpun bagi daerah yang tidak menjalankan skema bantuan keuangan kepada desa. Sebagai akibatnya dukungan keuangan desa dari pemerintah daerah beragam antara satu daerah dengan daerah lain. Ini berpotensi menyebabkan disparitas kemampuan keuangan desa baik untuk gaji, operasional maupun pembangunan desa antar daerah. Bersamaan dengan melemahnya kemampuan desa untuk menjalankan pembangunan secara swadaya, pemerintah pusat menyelenggarakan program- program skala desa langsung di desa. Program-program tersebut – seperti PNPM, Pamsimas, PPIP, Posyandu, PUAP dll- langsung diselenggarakan oleh pemerintah, melalui pendampingan teknis atau mobilisasi kelompok masyarakat penerima program. Dalam banyak hal, pemerintah desa –yang dianggap rent seeker bagi program pemerintah- sengaja tidak dilibatkan dalam proses perancangan dan implementasi program. Dengan demikian tata kelola desa yang pararel di tingkat desa. Di satu sisi ada pemerintahan desa, yang menjalankan kegiatan-kegiatan administrasi kependudukan dan pelayanan sehari-hari. Di sisi lain adalah program-program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusatdaerah melalui pendamping teknis bersama dengan kelompok sosial ekonomi mayarakat yang dibentuk oleh program tersebut. Karena program- program pemerintahpemerintah daeral lebih „riil‟ dengan pendanaan yang relatif lebih besar daripada pendanaan pemerintahan desa, maka kelompok masyarakat lebih berorientasi pada program ketimbang kepada pemerintah desa yang pemimpinnya mereka pilih. Keuangan program dikontrol oleh negara melalui rejim kontrol administrasi yang ketat di luar sistem tata kelola desa. Dengan kata lain, program-program di desa telah melahirkan sistem dan aktor administrasi dan keuangan baru di tingkat desa yang terpisah dari tata kelola pemerintahan desa. Karena bersifat program, maka skema pendanaan pembangunan desa pada tingkat makro merupakan wahana „kontestasi politik‟ di DPR di tingkat pusat dan DPRD Daerah. Besaran dan –yang lebih penting- lokasi program sangat ditentukan oleh hubungan antara Komisi DPRDPRD yang mengalokasikan program-program tersebut. Dalam lingkungan DPRDPRD sudah menjadi rahasia umum, bahwa anggota komisi yang menangani infrastruktur dan pertanian akan menitipkan daerah pemilihannya menjadi lokasi program sebagai konpensasi dari persetujuan anggaran yang diajukan pemerintahpemerintah daerah. Karena itu lokasi program, seringkali tidak berdasar pada pertimbangan rasional melainkan pada pertimbangan politik. Sebagai akibatnya lokasi program menjadi tidak merata dan tidak sesuai dengan tujuan pembangunan. PENINGKATAN KAPASITAS PENDAMPING DESA 178 | Modul Pelatihan Penyegaran Pendampingan Desa Di tingkat mikro „program pembangunan desa‟ akan hadir di desa seringkali dianggap sebagai hasil dari kepandaian kepala desa dalam melobi kabupaten. Atau dari sisi masyarakat, keberhasilan kepala desa ditentukan oleh seberapa berhasil kepala desa menghadirkan program-program di desa, bukan pada kemampuan mendayagunakan sumber daya desa. Ketika program pembangunan tersebut hadir, maka untuk menjustifikasi bahwa program tersebut melibatkan masyarakat maka program akan hadir melalui kelompok. Dengan kata lain, program akan membentuk kelompok sebagai modalitas kegiatan di tingkat lokal. Ini menyebabkan di tingkat desa terjadi mutilasi kesatuan komunitas desa dan kontestasi antara kelompok-kelompok masyarakat untuk mengakses program. Dan sudah dapat dipastikan bahwa anggota kelompok yang dapat mengakses program adalah kelas menengah desa. Program pembangunan yang hadir di desa –melalui kelompok masyarakat- seringkali juga mengatasnamakan partisipasi. Dalam praktek, partispasi dalam program dasarnya adalah mobilisasi sosial untuk menyukseskan penyelenggaraan program yang templatenya telah dirancang di tingkat nasionaldaerah. Dengan demikian partisipasi kelompok hanya mungkin terjadi di ruang-ruang yang telah disediakan, terutama menyangkut pembangunan fisikprasarana dan kegiatan pendanaan ekonomi mikro. Meskipun kegiatan ini dalam beberapa hal menunjukkan hasil yang positif, tetapi partisipasi ini tidak berhasil mengubah hubungan negara – warga, atau menciptakan warga yang kritis secara politik sebagai prasarat dari partisipasi yang sejati. Dalam konteks program, kelompok adalah penerima manfaat program, bukan warga aktif yang juga dapat bersifat kritis terhadap format program. Di sisi lain, secara formal pemerintah melembagakan mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan desa musrenbang desa sebagai wahana partispasi di tingkat desa. Tetapi „partisipasi‟ yang terjadi hanya sebagai „konsultasi dan usul‟ dari masyarakat desa terhadap pelayanan dan program pembangunan kabupaten di tingakt desa. Dalam praktek, seringkali usulan dari masyarakat ini tidak begitu diperhatikan oleh SKPD yang telah memiliki program unggulan berdasarkan pada penilaiannya sendiri. Hal inilah yang menjelaskan mengapa musrenbang desa tidak begitu diminati pemerintah dan masyarakat desa. Kalaupun musrenbang desa masih berjalan, ini tidak lebih hanya sebatas formalitas untuk memenuhi syarat prosedural perencanaan pembangunan. Minimnya alokasi pendanaan ke desa disertai dengan skema pendanaan untuk pembangunan desa menyebabkan pertumbuhan desa tertinggal jauh dari kota-kota yang tumbuh dengan dukungan pendanaan yang lebih besar baik dari daerah maupun pusat. Berdasarkan data BPS tahun 2014, pendapatan penduduk desa 32,08 persen dari PDB nasional atau sekitar Rp 3.381,8 triliun. Mengingat persentase penduduk desa dan kota tahun 2014 berimbang, 50-50, maka dapat pendapatan penduduk kota 2,11 kali lebih besar dibanding di desa. Angka ini menjelaskan mengapa terjadi urbanisasi besar-besaran yang menyebabkan turunnya jumlah angkatan kerja pertanian di desa- desa. Sementara di sisi lain, menimbulkan persoalan sosial yang serius di perkotaan. Kompleksitas seperti inilah yang salah satunya mendorong berbagai element untuk melakukan gerakan-gerakan pembaharuan politik dan perubahan kebijakan desa, yang akan lebih mendorong desa untuk lebih maju, kuat, mandiri dan demokratis. Gerakan ini mencapai kulminasinya dengan ditetapkannya UU No 6 tahun 2014 tentang Desa. PENINGKATAN KAPASITAS PENDAMPING DESA Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi | 179

c. Politik Ekonomi Keuangan Desa menurut Undang-Undang Desa