PENINGKATAN KAPASITAS PENDAMPING DESA
30
| Modul Pelatihan Penyegaran Pendampingan Desa
pemerintah. Kalau desa mampu, maka kelompok itu akan dirawat, tetapi kalau desa tidak mampu maka kelompok itu dibiarkan mati dengan sendirinya.
BLM selalu mengandung dilema ketika berhadapan dengan orang miskin. Di satu sisi dana PNPM maupun PUAP dimaksudkan untuk mengentaskan orang miskin, tetapi
di sisi lain pemberian dana bergilir kepada orang miskin selalu rentan macet. Para elite lokal umumnya mengklaim sangat paham perilaku orang per orang di desa sehingga
tidak berani mengambil risiko kemacetan atau kegagalan dengan memberikan dana SPP kepada kaum miskin, dan karena itu dana bergulir lebih banyak diberikan kepada
kaum perempuan yang sudah mempunyai usaha agar proses pengembalian dana kredit menjadi lancar dan dana bergulir lebih cepat dan membesar. Dana UPK dengan
cepat menjadi besar di setiap kecamatan, kabupaten dan bahkan secara nasional karena ditempuh dengan cara membatasi akses kaum perempuan miskin.
Argumen itu juga paralel dengan studi SMERU 2010 tentang dampak PNPM Mandiri Perdesaan di Sumatera Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Tenggara. Secara
umum, studi ini menemukan bahwa PNPM-Perdesaan sudah dijalankan dengan baik. Untuk program open menu, hampir semua desa memanfaatkannya untuk
pembangunan infrastruktur. Namun, hanya sebagian kecil program SPP-PNPM betul- betul bisa dimanfaatkan oleh warga miskin. Terkait kemiskinan, terjadi penurunan
kemiskinan dengan tingkat yang bervariasi di hampir semua wilayah penelitian. Hanya saja, untuk isu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, ada perbedaan besar antara
apa yang terjadi di dalam program dan di luar program. Partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas berjalan dengan sangat baik dalam pelaksanaan PNPM-Perdesaan.
Namun, di luar PNPM, yaitu dalam pemerintahan desa atau dalam pelaksanaan program selain PNPM-Perdesaan, partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas tetap
rendah. Pemberdayaan masyarakat juga tidak berjalan dengan baik, yang bisa dilihat dari kenyataan bahwa hampir tidak ada proyek PNPM yang bersesuaian dengan
kebutuhan utama warga miskin.
c. Desa Baru
1. Desa Maju, Kuat, Mandiri dan Demokratis
UU Desa tidak melawan dan menantang tradisionalisme kearifan lokal, adat istiadat melainkan menantang ketertinggalan, keterbelakangan dan kemiskinan. Untuk
menantang kesenjangan struktural itu, UU Desa mengedepakan visi kemajuan desa. Kemajuan desa, atau desa maju, bukan dalam pengertian modernisasi atau
westernisasi, bukan juga mengubah seluruh desa menjadi kota atau menjadi kelurahan. Menurut teori modernisasi, tradisi adat merupakan kebiasaan kuno kolot dan menjadi
penghambat pembangunan, sehingga harus dimodernisasi agar membuahkan kemajuan.
Dihadapkan pada konteks kekinian, pandangan yang melemahkan adat itu tidak relevan. Kini semangat lokalisasi hijrah ke ranah lokal merupakan sebuah manifesto
global yang setara dengan modernisasi dan globalisasi. Di tengah globalisasi, orang juga rindu dan mencari kearifan lokal yang dihadirkan oleh adat. Adat tidak lagi
dipahami sebagai kebiasaan lama yang kolot, tetapi dipahami sebagai nilai-nilai dan
PENINGKATAN KAPASITAS PENDAMPING DESA
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi | 31
kearifan lokal serta prakarsa baru entitas lokal yang adaptif terhadap perubahan, yang di dalamnya mengandung roh dan jati diri sebagai benteng atas gempuran globalisasi.
Karena itu ada sebuah spirit dalam UU Desa, bahwa desa harus semakin maju tetapi tidak meninggalkan tradisi, dan tetap merawat tradisi tetapi tidak ketinggalan
jaman. Tradisi merupakan merupakan roh kehidupan dan sekaligus menjadi infrastruktur sosial bagi kebaikan pembangunan dan pemerintahan. Bruce Mitchell
1994, berdasarkan hasil studinya tentang pembangunan desa di Bali, mengambil kesimpulan bahwa kearifan lokal dan struktur pemerintahan tradisional Bali, yang
mengutamakan kerjasama, konsensus dan keseimbangan, telah memberikan fondasi yang kuat bagi pembangunan desa yang berkelanjutan.
Karena itu ekspresi, revitalisasi dan representasi tradisi lokal menjadi sangat penting dalam agenda pemberdayaan desa sesuai semangat UU Desa. Sedangkan frasa
kemajuan desa desa maju dapat dimaknai sebagai transformasi atau perubahan menuju kehidupan dan penghidupan desa yang lebih baik. Tolok ukur kemajuan desa
antara lain ketersediaan sarana dan prasarana desa yang lebih baik, pelayanan dasar yang semakin baik, melek informasi dan teknologi, ekonomi yang menguat, kualitas
hidup manusia yang kian meningkat, dan lain-lain.
Desa maju juga paralel dengan desa kuat dan desa mandiri. Desa kuat dan desa mandiri, keduanya menjadi visi-misi UU Desa, merupakan dua sisi mata uang. Di dalam
desa kuat dan desa mandiri terkandung prakarsa lokal, kapasitas, bahkan pada titik tertinggi adalah desa yang berdaulat secara politik. Konsep desa kuat senantiasa
diletakkan dalam satu tarikan nafas dengan daerah kuat dan negara kuat. Negara kuat bukan berarti mempunyai struktur yang besar dan berkuasa secara dominan terhadap
semua aspek kehidupan. Otonomi dan kapasitas merupakan tolok ukur negara kuat. Negara otonom adalah negara yang sanggup mengambil keputusan secara mandiri,
sekaligus kebal dari pengaruh berbagai kelompok ekonomi politik maupun kekuatan global. Kapasitas negara terkait dengan kemampuan negara menggunakan alat-alat
kekerasan dan sistem pemaksa untuk menciptakan law and order keamanan, keteraturan, ketertiban, ketentraman, dan sebagainya, mengelola pelayanan publik dan
pembangunan untuk fungsi welfare kesejahteraan, serta melakukan proteksi terhadap wilayah, tanah air, manusia, masyarakat maupun sumberdaya alam.
Negara kuat adalah impian umat manusia, kecuali manusia yang membela ideologi anti negara. Manusia begitu prihatin jika melihat negara lemah dan negara
gagal. Daron Acemoglu dan James A. Robinson 2014, dalam bukunya Mengapa Negara Gagal
, menegaskan bahwa negara gagal vs negara sukses kuat, makmur sangat tergantung pada institusi politik-ekonomi. Negara yang memiliki institusi
politik-ekonomi inklusif, cenderung berpotensi untuk menjadi negara sukses. Sementara negara dengan institusi politik-ekonomi yang bersifat ekstraktif, cenderung
tinggal menunggu waktu untuk terseret ke dalam jurang kemiskinan, instabilitas politik, dan berujung pada negara gagal.
Argumen itu penting untuk memahami betapa pentingnya satu tarikan nafas antara negara kuat, daerah kuat, desa kuat, masyarakat kuat, warga kuat. Cara pandang
kapasitas distribusi power to secara inklusif, yang berbeda dengan cara pandang akumulasi baik akumulasi kekuasaan dan akumulasi ekonomi yang eksklusif dan
PENINGKATAN KAPASITAS PENDAMPING DESA
32
| Modul Pelatihan Penyegaran Pendampingan Desa
ekstraktif, mengajarkan bahwa negara yang kuat bukanlah terpusat pada institusi- institusi negara di pusat, tetapi juga disertai oleh daerah kuat, masyarakat kuat, institusi
lokal yang kuat, desa kuat, warga yang kuat active citizen. Formasi inklusif tentu tidak datang dari atas ke bawah top down, tetapi dari bawah dan dari pinggir seperti pesan
Nawacita: membangun Indonesia dari pinggiran, dengan memperkuat daerah dan desa. Kalau negara kuat belum tentu desa kuat, tetapi kalau desa kuat pasti negara
akan kuat.
Apa makna desa kuat dan desa mandiri? Sebagai dua sisi mata uang, antara desa kuat dan desa mandiri, merupakan sebuah kesatuan organik. Dalam desa kuat terdapat
kemandirian desa, dan dalam desa mandiri terdapat kandungan desa kuat. Kapasitas tentu merupakan jantung dalam desa kuat dan desa mandiri. Tetapi secara khusus
dalam desa kuat terdapat dua makna penting. Pertama, desa memiliki legitimasi di mata masyarakat desa. Masyarakat menerima, menghormati dan mematuhi terhadap
institusi, kebijakan dan regulasi desa. Tentu legitimasi bisa terjadi kalau desa mempunyai kinerja dan bermanfaat secara nyata bagi masyarakat, bukan hanya
manfaat secara administratif, tetapi juga manfaat sosial dan ekonomi. Kedua, desa memperoleh pengakuan dan penghormatan rekognisi dan kepercayaan dari pihak
negara institusi negara apapun, pemerintah daerah, perusahaan, dan lembaga- lembaga lain. Jika mereka meremehkan desa, misalnya menganggap desa tidak
mampu atau desa tidak siap, maka desa itu masih lemah. Rekognisi itu tidak hanya di atas kertas sebagaimana pesan UU Desa, tetapi juga diikuti dengan sikap dan tindakan
konkret yang tidak meremehkan tetapi memercayai.
Desa yang demokratis serupa dengan makna “rakyat berdaulat secara politik”. Demokrasi merupakan keharusan dalam UU Desa, sekaligus keharusan dalam
penyelenggaraan desa. Jika rekognisi dan subsidiaritas merupakan solusi terbaik untuk menata ulang hubungan desa dengan negara, maka demokrasi merupakan solusi
terbaik untuk menata ulang hubungan antara desa dengan warga atau antara pemimpin desa dengan warga masyarakat. Rekognisi, subsidiaritas dan demokrasi
merupakan satu kesatuan dalam UU Desa. Rekognisi dan subsidiaritas, seperti halnya desentralisasi, hendak membawa negara, arena dan sumberdaya lebih dekat kepada
desa; sementara demokrasi hendak mendekatkan akses rakyat desa pada negara, arena dan sumberdaya. Tanpa demokrasi, rekognisi-subsidiaritas dan kemandirian desa hanya
akan memindahkan korupsi, sentralisme dan elitisme ke desa. Sebaliknya, demokrasi tanpa rekognisi-subsidiritas hanya akan membuat jarak yang jauh antara rakyat dengan
arena, sumberdaya dan negara.
2. Hakekat Desa