PENINGKATAN KAPASITAS PENDAMPING DESA
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi | 65
yang sarat dengan banyak masalah dan membikin kewajiban berat yang merepotkan pemerintah.
Pemerintah kabupaten cenderung tidak memberikan kepercayaan kepada desa. Banyak kabupaten yang sampai sekarang tetap enggan menetapkan kewenangan asal
usul dan lokal dan keuangan ADD kepada desa karena didasari oleh sikap yang tidak percaya kepada desa. Ketika ADD digulirkan pada tahun 2005 dan dana desa yang
sekarang sedang dilaksanakan, banyak pihak menyambutnya dengan sinis. Mereka menganggap desa itu bodoh, sambil melecehkan desa dengan argumen desa tidak
siap atau tidak mampu. Mereka khawatir dan membikin takut dengan kata-kata korupsi dan penjara. “Banyak gubernur dan bupatiwalikota yang masuk penjara, apalagi kepala
desa”, demikian argumen yang sering muncul di media massa. Argumen tentang desa tidak siap, desa tidak mampu, desa tergantung, dan
argumen-argumen sejenisnya merupakan bentuk-bentuk cara pandang defisit dan pesimis terhadap desa. Cara pandang ini bukan sebatas wacana tetapi juga melahirkan
tindakan dan kebijakan pemerintah dalam memperlakukan desa. Pemerintah mempunyai beragam proyek pemberdayaan yang masuk ke ranah desa, tetapi tidak
memanfaatkan dan tidak memperkuat institusi desa, bahkan mengabaikan exclusion terhadap desa. Pemerintah membentuk institusi-institusi baru secara instan melalui
kelompok-kelompok masyarakat, termasuk kelompok perempuan, sebagai penerima manfaat dan kanal wadah bagi pelaksanaan proyek.
Argumen “tidak siap” itu sebenarnya ironis. Mengapa? Kalau desa tidak siap, lalu apa yang selama ini dikerjakan pemerintah untuk desa. Jangan-jangan pemerintah
selama ini hanya bisa main perintah, menipu, dan memanipulasi desa. Jika sampai sekarang para pejabat selalu bicara “tidak siap” sebagai stigma terhadap desa, berarti
mereka memang pantas dikatakan tidak bertanggungjawab mengelola pemerintahan.
Kekhawatiran dan ketidakpercayaan maupun sikap yang meremehkan desa itu diikuti dengan kontrol birokratis-administratif yang ketat. Rezim keuangan
menciptakan pengaturan dan petunjuk teknis secara detail dan ketat tentang penggunaan DD dan ADD agar kedua jenis dana ini dikelola desa secara efektif dan
akuntabel, atau tidak terjadi kebocoran. Tetapi pengaturan yang detail dan ketat yang didasari oleh kekhawatiran dan ketidakpercayaan ini sungguh bertentangan dengan
asas rekognisi dan subsidiaritas, sehingga bisa menjadi belenggu yang mematikan prakarsa dan kewenangan lokal. Oang desa hanya dijadikan operator mesin
administrasi keuangan, serta menggiring kepala desa sibuk dengan mesin itu, sehingga kesempatan untuk berpikir tentang desa dan rakyat menjadi berkurang.
d. Mental Baru
Belajar pada sejarah, mental lama itulah yang membuat desa menjadi lemah, tergantung, terbelakang serta menjadi beban pemerintah. Karena itu revolusi mental
dalam berdesa harus kembali kepada UU Desa. Sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas dalam UU Desa, harus ada revolusi mental cara pandang, sikap dan
tindakan orang luar terhadap desa.
PENINGKATAN KAPASITAS PENDAMPING DESA
66
| Modul Pelatihan Penyegaran Pendampingan Desa
Mental baru itu adalah menghormati, menghargai, mempercayai dan menantang desa. Asas rekognisi menegaskan bahwa negara maupun parapihak harus mengakui
dan menghomati eksistensi desa, asal-usul desa, prakarsa desa, karya desa dan lain- lain. Peraturan Desa, misalnya, merupakan salah satu karya desa yang sering
menantang pihak luar untuk mengakui dan menghormati.
Secara mikro tindakan rekognisi membutuhkan kepercayaan. Bagaimanapun kepercayaan merupakan etika dasar dalam rekognisi dan Mempercayai desa
merupakan sikap dasar untuk mendorong pemberdayaan dan penguatan kapasitas desa. Kepercayaan trust, menurut Francis Fukuyama 1995, merupakan harapan-
harapan terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku kerjasama yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama
oleh anggota komunitas itu. Umumnya trust ditempatkan sebagai sebuah unsur modal sosial yang sangat berguna untuk membangun soliditas relasi sosial secara horizontal.
Tetapi kepercayaan lebih dari sekadar modal sosial. Bagi Goran Heyden 1992, kepercayaan trust merupakan sebuah elemen struktural dalam governance yang bakal
menumbuhkan akuntabilitas dan inovasi pemerintahan. Trust bisa tumbuh kalau diawali dengan kerelaan atau ketulusan compliance.
Kalau institusi pemerintah mempunyai komitmen terhadap perubahan desa, maka sikap mempercayai desa adalah pilihan yang harus dilaksanakan. Keengganan,
keraguan, dan kekhawatiran pemerintah terhadap desa harus diubah menjadi kerelaan, ketulusan dan keyakinan, yang diterukan dengan pembagian kekuasaan, kewenangan,
keuangan, sumberdaya dan tanggungjawab kepada desa. Kepercayaan yang diberikan kepada desa tentu harus diikuti dengan fasilitasi, supervisi dan capacity building
sehingga kewenangan dan keuangan yang dibagi kepada desa betul-betul dikelola secara efektif, bertanggungjawab dan membuahkan kemajuan desa.
Menantang desa adalah tindakan kelanjutan dari rekognisi dan kepercayaan.
Dalam konteks negara yang hirarkhis-sentralistik, desa selalu menjadi obyek regulasi dari pemerintah supradesa. Regulasi berisi perintah maupun petunjuk yang “harus”
dilakukan desa, serta larangan- larangan yang tidak boleh atau “jangan” sampai
dilakukan desa. Karena pemahaman yang keliru tentang regulasi, maka desa hanya melakukan sesuatu yang diperintahkan dan menghindari larangan-larangan yang
ditentukan peraturan regulasi. Di luar pakem ini desa tidak bisa dan tidak berani berbuat sesuatu. Kreasi baru di desa yang tidak tercantum atau tidak diatur, meski tidak
dilarang, sulit dijalankan di banyak desa. Banyak kepala desa yang takut melangkahi kabupatenkecamatan karena berbuat sesuatu yang belum diatur dalam regulasi.
Contohnya adalah kerjasama dengan pihak luar seperti LSM. Sebelum era reformasi sampai awal refomasi, banyak kepala desa takut menjalin kerjasama dengan LSM,
karena belum diatur dalam regulasi, padahal regulasi tidak melarang secara eksplisit. Setelah reformasi, desa memperoleh ruang dan tantangan yang besar dalam
mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak, baik dunia usaha, LSM maupun perguruan tinggi. Namun demikian, dalam praktik di lapangan, kerjasama desa dengan
pihak luar sering terhambat oleh kontrol kabupatenkecamatan. Desa tidak bisa secara langsung menjalin kerjasama, melainkan harus memperoleh izin atau persetujuan dari
kabupaten. Termasuk kepala desa menghadiri undangan penting dari pihak luar.
PENINGKATAN KAPASITAS PENDAMPING DESA
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi | 67
Sampai sekarang regulasi masih diperlakukan sebagai perangkat yang mempersulit, bukan perangkat yang mempermudah, membuka ruang gerak dan
memberi tantangan bagi desa untuk mengembangkan kreasi dan potensi lokal. Lebih banyak regulasi maupun pernyataan resmi pejabat supradesa yang selalu memerintah
sekaligus membatasi jika bukan melarang ruang gerak desa. Tetapi pada sisi yang ekstrem, karena euforia, banyak desa yang punya “kreasi” berlebihan dan menabrak
peraturan. Fakta ini menggambarkan terjadinya kesenjangan antara regulasi dengan kehendak lokal, karena proses perumusan regulasi tidak memperhatikan aspirasi lokal,
serta substansi regulasi yang berorientasi mempersulit dan membatasi desa.
Sementara subsidiaritas mengajakarkan tentang prinsip “bukan campur tangan, apalagi cuci tangan, melainkan memberi uluran tangan
”. Dalam keseharian banyak
orang luar yang campur tangan terhadap desa, seperti pengaturan yang rigid terhadap asal-usul desa, pengadaan perlengkapan untuk Pilkdes oleh pemerintah supradesa,
membentuk BUMDesa secara serentak dan seragam, hingga membentuk kelompok- kelompok masyarakat sebagai kanal penerima bantuan proyek. Tindakan campur
tangan ini tidak dibenarkan oleh asas rekognisi dan subsidiaritas dalam UU Desa. Tetapi kalau desa menghadapi banyak masalah orang luar cenderung cuci tangan.
Sebagai contoh adalah banyak proyek yang mangkrak, Posyandu yang tidak berjalan, atau BUMDesa yang mati suri. Sejauh ini orang luar cenderung cuci tangan terhadap
masalah-masalah itu.
Kotak 1: Sejumlah Prinsip Menghargai, Mempercayai dan Menantang Desa
Menghilangkan stigma-stigma buruk kepada desa. Menghilangkan sikap mengancam menciptakan rasa takut pada pemimpin desa
tentang korupsi dan penjara. Menggantikan keraguan, keengganan dan kekhawatiran menjadi kerelaan,
ketulusan dan keyakinan. Mengurangi perintah, campur tangan dan larangan kepada desa.
Membagi kewenangan dan keuangan kepada desa. Kesediaan belajar pada masyarakat desa.
Menggantikan sikap defensif menjadi responsif terhadap tuntutan dari desa. Membuka ruang akses desa terhadap pembuatan kebijakan.
Membuka ruang dan mendorong akuntabilitas inovasi terhadap kreasi, prakarsa
dan potensi desa.
e. Revolusi Mental Berdesa