commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan sumber daya manusia dalam setting industri dan organisasi semakin berkembang pesat, seiring dengan semakin kuatnya persaingan dalam
dunia industri dan organisasi ini. Sumber daya manusia menjadi salah satu aspek penting untuk menghasilkan ketercapaian suatu visi, misi, dan tujuan yang ingin
diraih oleh sebuah organisasi. Faktor sumber daya manusia dianggap sebagai faktor yang paling potensial dalam penyediaan keunggulan kompetitif bagi
organisasi, serta terkait dengan bagaimana mengelola sumber daya ini, sedangkan faktor lain seperti sumber daya keuangan, produksi, teknologi, dan pemasaran
tidak mendapat perhatian penuh karena faktor-faktor tersebut cenderung dapat ditiru Margaretha, 2008. Dasar pengelolaan manusia sebenarnya dapat ditiru,
namun strategi yang paling efektif bagi organisasi dalam menemukan cara-cara yang unik untuk menarik, mempertahankan, serta memotivasi karyawan mereka
lebih sulit untuk ditiru dibanding faktor-faktor selain sumber daya manusia Fisher dkk., dalam Margaretha, 2008. Ini berarti bahwa organisasi harus
menerapkan berbagai macam strategi sebagai usaha pemeliharaan karyawan dan mempertahankan kualitas sumber daya manusianya, agar organisasi dapat berjalan
secara dinamis. Apabila sebuah organisasi tidak menerapkan strategi dengan tepat untuk
mempertahankan karyawannya, maka dapat memungkinkan memicu adanya
commit to user
permasalahan-permasalahan dalam organisasi, seperti penurunan kinerja, ketidakpuasan dalam pekerjaan, terjadi burnout, dan adanya kecenderungan
turnover. Masalah turnover dalam menjadi salah satu permasalahan klasik dalam organisasi, tidak dapat dipungkiri bahwa turnover dapat saja terjadi di perusahaan
atau organisasi di manapun. Tingkat turnover karyawan yang tinggi, terutama di level manajerial secara lambat tetapi pasti, akan menyebabkan perusahaan
mengalami kemunduran kinerja Rochmadian, 2009. Permasalahan-permasalahan ini dapat mengakibatkan pencapaian tujuan, visi, misi, maupun prestasi
perusahaan tidak dapat terwujud.
Menilik pada fenomena tersebut, maka sebuah organisasi harus dapat mengerti dan memenuhi kebutuhan serta menciptakan lingkungan kerja yang
kondusif bagi pekerja untuk dapat mempertahankan dan memelihara pekerja dalam organisasinya. Untuk dapat mengerti dan memenuhi kebutuhan pekerja
serta menciptakan lingkungan kerja yang sesuai dengan pekerja, tentu dibutuhkan suatu proses, strategi, dan inovasi-inovasi. Salah satu hal yang dapat mendorong
agar segala strategi yang diterapkan oleh organisasi dapat memberikan hasil yang maksimal adalah keterikatan anggota organisasi dengan organisasinya, yang
dikenal dengan istilah employee engagement. Employee engagement merupakan salah satu perkembangan dari positive
psychology dan positive organizational behavior. Pandangan ini melihat manusia sebagai anggota dalam sebuah organisasi secara positif, memiliki sebuah potensi
atau kemampuan, dan kekuatan mental positif Kong, 2009. Kahn dalam Kular
dkk, 2008 mendefinisikan employee engagement sebagai pemanfaatan diri
commit to user
anggota organisasi terhadap peran mereka dalam setting pekerjaan, dengan bekerja dan mengekspresikan diri mereka secara fisik, kognitif, dan emosional,
yang akan mengarahkan pada keefektifan peran kerjanya di dalam organisasi. Lebih lanjut,
Kahn dalam Luthans dan Peterson, 2002 menyatakan bahwa employee engagement merupakan konstruk yang multidimensi. Karyawan
dapat secara emosional, kognitif atau fisik terikat. Terikat secara emosional adalah ketika individu membangun hubungan yang berarti dengan orang lain, berempati,
serta perhatian terhadap perasaan orang lain, misalnya terhadap rekan kerja dan manajer. Sedangkan, terikat secara kognitif merujuk kepada individu yang
menaruh perhatian lebih pada tugas dan peran mereka di lingkungan pekerjaan. Karyawan dapat diikat pada satu dimensi saja yaitu bisa secara emosional saja
ataupun kognitif saja. Tetapi semakin mereka merasakan keterikatan disetiap dimensi akan mendorong terciptanya keterikatan personal. Keterikatan personal
inilah yang mendorong tercipta employee engagement. Kahn, dalam Luthans dan Peterson, 2002
Karyawan yang engaged atau memiliki keterikatan dengan pekerjaan dan organisasi mereka, berarti memiliki komitmen untuk memberikan keunggulan
yang kompetitif bagi perusahaan, meningkatkan produktivitas yang lebih tinggi, dan mengurangi tingkat intensitas turnover karyawan Vance, 2006. Senada
dengan penelitian yang dilakukan oleh Vazirani 2007, ia mengungkapkan bahwa karakteristik pekerja yang terikat adalah menunjukkan komitmen yang lebih untuk
tetap berada di organisasi, memiliki kinerja yang lebih baik, dan memberikan energi yang lebih pada pekerjaannya. Sedangkan Kahn, 1992 dalam Margaretha,
commit to user
2008 menyatakan bahwa employee engagement mempengaruhi kualitas kerja karyawan, meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi jumlah ketidakhadiran
karyawan absenteeism dan menurunkan kecenderungan untuk berpindah pekerjaan
Sejumlah penelitian mengenai employee engagement pun telah banyak dilakukan oleh para praktisi dan lembaga konsultan. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Gallup Organization 2004 pada perusahaan layanan jasa pengiriman Deutsche Post divisi DHL Express di Amerika Serikat, menunjukkan
bahwa employee engagement dapat meningkatkan produktivitas dan menurunkan tingkat turnover sebesar 27 pada pekerjanya dalam Smoak dan Endres, 2008.
Penelitian yang dilakukan oleh Right Management a Manpower Company di 15 lima belas Negara di Dunia, yaitu U.S., Kanada, Australia, New Zealand, Brazil,
UK, Paris, Jerman, Norwegia, Swedia, Denmark, China, India, Japan, dan Korea Selatan pada tahun 2008-2009, menemukan hubungan employee engagement
terhadap intensitas pekerja untuk bertahan di tempat kerjanya, dengan persentase, 2 karyawan yang engaged memiliki rencana bertahan di tempat kerjanya selama
satu tahun ke depan, 26 berencana antara satu sampai lima tahun ke depan, dan 72 berencana untuk bertahan di tempat kerjanya selama lebih dari lima tahun ke
depan. Sebaliknya, jumlah persentase karyawan yang disengaged, sebesar 14 berencana untuk bertahan di tempat kerjanya selama satu tahun ke depan, 39
karyawan berencana antara satu sampai lima tahun ke depan, dan hanya 47 yang berencana untuk bertahan selama lebih dari lima tahun ke depan. Besarnya
persentase intensitas karyawan yang engaged untuk bertahan dalam pekerjaannya
commit to user
berarti bahwa kecenderungan terjadi turnover rendah dibanding dengan karyawan yang disengaged.
Membangun employee engagement membutuhkan suatu proses yang tidak mudah, proses pembentukan employee engagement ini dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik. McBain 2007, menjelaskan ada 3 tiga hal yang dapat menjadi penggerak employee
engagement, yaitu working life, manajemen dan kepemimpinan, serta organisasi. Working life adalah berkaitan dengan kenyamanan kondisi lingkungan kerja
karyawan dalam sebuah organisasi, seperti lingkungan kerja yang memiliki keadilan distributif dan prosedural, lingkungan kerja yang melibatkan karyawan
dalam pengambilan keputusan, organisasi yang memperhatikan keseimbangan kehidupan kerja dan keluarga karyawan. Sedangkan mengenai pentingnya aspek
manajemen dan kepemimpinan dalam pembentukan employee engagement ini adalah, bahwa engagement dibangun melalui proses dan butuh waktu yang
panjang serta komitmen yang tinggi dari pemimpin, untuk itu dibutuhkan kekonsistenan pemimpin dalam mementoring karyawan Paradise, dalam
Margaretha, 2008. Untuk dapat menciptakan employee engagement, pimpinan organisasi
diharapkan memiliki beberapa keterampilan, beberapa diantaranya adalah kemampuan berkomunikasi, terutama kemampuan mendengarkan, memberikan
umpan balik dan penilaian kinerja, serta memberikan pengakuan atas hasil kinerja McBain, 2007. Sejalan dengan pendapat tersebut, tim peneliti Development
Dimensions International DDI mengungkapkan, pemimpin memiliki fungsi
commit to user
dalam pembentukan employee engagement, yaitu bahwa kinerja pemimpin yang baik meningkatkan engagement karyawan dengan organisasi Wellins, dkk.,
2008. Hal tersebut berarti bahwa, penciptaan dan pemeliharaan employee engagement dalam organisasi tidak terlepas dari peran pemimpin organisasi.
Pimpinan organisasi harus turut berperan aktif terhadap organisasi dalam menciptakan lingkungan yang dapat membuat karyawan mereka terikat secara
emosional, fisik, dan kognitif. Kepemimpinan merupakan pola hubungan antara individu-individu yang
menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan Fiedlr, dalam Sanaky, 2003. Kemampuan
memimpin dan keinginan untuk diikuti oleh bawahan didasarkan pada gaya kepemimpinan, gaya kepemimpinan adalah pola perilaku konsisten yang mereka
terapkan dalam bekerja dengan orang lain dan melalui orang lain Sumarsono, 2004. Salah satu gaya kepemimpinan yang dapat memberikan dampak yang baik
dalam perkembangan organisasi adalah gaya kepemimpinan transformasional, karena gaya kepemimpinan ini mengilhami dan memotivasi bawahan untuk
berbuat lebih dari yang diharapkan Bass, 1985. Burns dalam Yukl, 1994 mendefinisikan pemimpin transformasional sebagai pemimpin yang menjalin
kebersamaan dengan bawahan untuk meningkatkan kualitas moral dan motivasi kerja, tipe pemimpin transformasional memandang bawahannya sebagai pengikut
yang sejajar dan bukan hanya sebagai pelaksana perintah. Pemimpin transformasional berusaha mencapai tujuan dengan cara
meningkatkan ketertarikan anggotanya terhadap organisasi, sehingga anggota
commit to user
kelompok yang dimotivasi menjadi percaya, kagum, hormat, dan setia kepada pemimpinnya Bass, 1985. Tingkat usaha ekstra bawahan dari model pemimpin
transformasional ini mungkin disebabkan oleh komitmen mereka pada pimpinan, motivasi kerja intrinsik mereka, tingkat perkembangan mereka atau merasa
memiliki misi, sehingga mendorong mereka untuk bekerja lebih mandiri Bass, 1985. Baron dan Byrne, 2005, dalam Nashori, 2009 menambahkan, pemimpin
yang transformatif memiliki dampak yang sangat kuat pada kelompok, karena mereka mampu memanfaatkan kemampuan mereka yang luar biasa untuk
meningkatkan motivasi dan komitmen para pengikut mereka. Maka dengan adanya ketertarikan bawahan terhadap organisasi, komitmen pada pimpinan, dan
rasa kepemilikan terhadap misi organisasi yang dimiliki oleh bawahan dari hasil model kepemimpinan transformasional ini, diharapkan pula bawahan akan
memiliki keterikatan yang lebih pada organisasinya. Bono dan June, 2003, dalam Roberson dan Strickland, 2010, dalam
penelitiannya menemukan bahwa pengikut dari pemimpin transformasional menghasilkan bawahan yang lebih engagement atau lebih terikat dengan
pekerjaannya. Albrecht 2010 turut memperkuat pernyataan tersebut, melalui pernyataan berikut:
The perception of working for a transformational leader and the subsequent high quality relationship, increased employee levels of hope and optimism.
Hopeful employees are more motivated to attain goals “willpower”, and to find ways to reach the set goals, even if the initial paths towards their goals
are blocked “waypower” Snyder etal., 1991. Optimistic employees make more positive attributions about succeeding now and in the future, as they
have an explanatory style that attributes negative events to external, temporary and situation specific factors, while attributing positive events to
internal, stable and pervasive causes Seligman, 1998. This higher state of optimism, and especially the higher state of hope, was found to be associated
commit to user
with increased levels of engagement of the employees in our study. Interesting to note is that at the same time this mechanism led employees to
feel generally happier in life as well.
Pada pernyataan tersebut, Albrecht menjelaskan bahwa adanya persepsi pekerja terhadap pemimpin transformasional dan kemudian menghasilkan
hubungan yang berkualitas tinggi, dapat meningkatkan harapan dan optimisme karyawan pada level yang lebih tinggi. Harapan yang penuh tersebut dapat
memotivasi pekerja untuk meraih tujuan-tujuan, sedangkan optimisme karyawan dapat membuat atribusi yang lebih positif tentang pandangan kesuksesan saat ini
dan di masa depan. Adanya harapan dan optimisme yang lebih tinggi ini, terkait dengan peningkatan employee engagement. Mekanisme ini juga menyebabkan
karyawan umumnya merasa lebih bahagia dalam kehidupan pekerjaanya. Selain working life serta manajemen dan kepemimpinan, elemen
organisasi juga berperan penting sebagai salah satu penggerak employee engagement, seperti yang diungkapkan oleh Mc Bain 2007. Organisasi
memiliki elemen-elemen penting di dalamnya, seperti struktur dan sistem organisasi, budaya organisasi, visi dan nilai yang dianut, brand organisasi.
Budaya organisasi yang dapat mengarahkan pekerja pada engagement adalah budaya organisasi yang memiliki keterbukaan dan sikap supportive serta
komunikasi yang baik antara rekan, selain itu keadilan dan kepercayaan sebagai nilai organisasi juga memberikan dampak positif bagi terciptanya employee
engagement McBain, 2007. Hal-hal ini akan memberikan persepsi bagi karyawan bahwa mereka mendapat dukungan pimpinan dan organisasi.
commit to user
Robbins 2006 menjelaskan, budaya organisasi adalah suatu sistem nilai yang diperoleh dan dikembangkan oleh organisasi dan pola kebiasaan dan falsafah
dasar pendirinya, yang terbentuk menjadi aturan yang digunakan sebagai pedoman dalam berfikir dan bertindak dalam mencapai tujuan organisasi. Budaya
organisasi tidak hanya berperan sebagai simbol ataupun filosofi perusahaan yang bersifat abstrak. Budaya organisasi ditempatkan sebagai suatu strategi untuk
mencapai tujuan perusahaan. Pengaruh budaya organisasi ini melebihi pengaruh elemen lain dalam
organisasi, seperti struktur, sistem, manajemen. Wood, dkk; 2001 dalam Hermala, 2011 mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem yang dipercayai
dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dan dapat menuntun perilaku dari anggota organisasi itu sendiri. Pendekatan budaya organisasi ini menitikberatkan
penciptaan keselarasan nilai-nilai dan lingkungan kerja yang kondusif dalam menumbuhkan employee engagement dalam Hermala, 2011.
Berdasar penjelasan dan fakta-fakta di lapangan mengenai dampak positif employee engagement tersebut, maka menjadi hal penting bagi sebuah organisasi
atau perusahaan untuk dapat membangun employee engagement pada karyawannya. Hal ini berarti bahwa penting pula sebuah organisasi untuk dapat
menciptakan kondisi lingkungan kerja yang nyaman bagi pekerja, dan ini dapat dibangun melalui model kepemimpinan yang diterapkan secara efektif oleh
pemimpin, serta terhadap budaya organisasi yang diinternalisasikan pada anggota organisasi. Seperti yang diungkapkan oleh Yukl 1994, bahwa lingkungan dan
kondisi kerja dalam organisasi dipengaruhi oleh perilaku dari pemimpinnya.
commit to user
Maka, pemimpin harus mampu menetapkan arah dan tujuan dengan mengembangkan visi terhadap masa depan, seorang pemimpin yang baik akan
mengembangkan sebuah tim yang mampu bekerja sama dengan para anggota dan tim lainnya walaupun ia tidak berada langsung dalam lingkungan tersebut
Robbins, 2006. Selain itu, sebuah organisasi juga harus memiliki nilai-nilai budaya organisasi yang kuat, karena budaya organisasi yang kuat memperlihatkan
kesepakatan yang tinggi di kalangan anggota mengenai apa yang dipertahankan oleh organisasi itu, sehingga kebulatan semacam itu membina kekohesifan,
kesetiaan, dan komitmen organisasi Robbins, 2006. PT Tiga Serangkai merupakan salah satu perusahaan besar yang bergerak
di bidang bisnis percetakan di Surakarta, yang terus melakukan pengembangan strategi untuk memelihara sumber daya manusia demi kemajuan perusahaan. Pada
awal perkembangannya, PT Tiga Serangkai merupakan perusahaan berbasis keluarga atau management family, kemudian pada tahun 2000 PT. Tiga Serangkai
melakukan perubahan menjadi manajemen transformasional, yaitu dengan merekrut pihak eksekutif dari luar. Perubahan manajemen ini membawa PT. Tiga
Serangkai menjadi perusahaan yang bergerak lebih maju dan berkembang lebih besar, mulai tahun 2002 hingga kini PT. Tiga Serangkai telah mengembangkan
usaha dengan membuat Business Unit, diantaranya PT Tiga Serangkai Inti Corpora sebagai Holding Company, diikuti dengan bisnis unit PT Tiga Serangkai
International, PT Wangsa Jatra Lestari, PT Pantja Simpati, PT Assalaam Niaga Utama, PT Tiga Serangkai Nusantara, PT K-33 Distribution, PT Niaga Distrindo.
commit to user
Seiring dengan perubahan tersebut, PT. Tiga Serangkai terus melakukan pengembangan strategi dalam pengelolaan dan pemeliharaan sumber daya
manusianya. Salah satu usaha PT. Tiga Serangkai dalam strategi pemeliharaan sumber daya manusia ini adalah dengan membentuk nilai-nilai perusahaan yang
ditanamkan secara kuat dan mendalam pada anggota organisasi di PT. Tiga Serangkai Surakarta. PT. Tiga Serangkai memiliki sebuah konsep model
kepemimpinan yang selalu ditanamkan dan menjadi ciri khas perusahaan, yaitu: fathonah, amanah, qonaah, ilman nafiaan, dan husnudzon atau dikenal dengan
istilah “FIQIH”. Selain menanamkan model kepemimpinan tersebut, PT. Tiga Serangkai juga memiliki nilai-nilai yang menjadi budaya organisasi perusahaan
yang ditanamkan pula secara kuat, yaitu: spiritualitas, familiaritas, pembelajaran, daya juang, kerja sama tim, dan inovasi. Nilai-nilai ini menjadi “konsep unggul”
perusahaan dan diinternalisasi secara mendalam kepada pekerja PT. Tiga Serangkai Surakarta. Maka, dengan adanya penanaman model kepemimpinan
serta nilai-nilai budaya perusahaan yang diinternalisasi secara mendalam ini dapat menumbuhkan adanya keterikatan pekerja yang kuat terhadap perusahaan.
Dari pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti employee engagement pada karyawan PT. Tiga Serangkai Surakarta sebagai variabel
kriterium, dalam kaitannya dengan persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan transformasional dan persepsi terhadap budaya organisasi
perusahaan sebagai variabel-variabel prediktornya. Pemilihan variabel tersebut berdasar pada penjelasan-penjelasan di atas bahwa gaya kepemimpinan
transformasional merupakan tipe pemimpin yang menginspirasi para pengikut dan
commit to user
mampu membawa dampak mendalam dan luar biasa pada para pengikut Robbins, 2006, sedangkan budaya organisasi memberikan pengaruh yang positif pada
karyawannya, karena budaya organisasi akan mengarahkan individu pada perilakunya Ivancevich, dkk., 2007. Maka, diharapkan dengan adanya persepsi
karyawan yang positif terhadap gaya kepemimpinan transformasional dan budaya organisasi perusahaan, pekerja akan semakin terikat secara emosi, fisik, dan
kognitif, sehingga di sinilah karyawan berada pada tingkatan engagement dengan organisasinya.
Penelitian dengan judul “Hubungan antara Persepsi Kepemimpinan Transformasional dan Persepsi Budaya Organisasi dengan Employee Engagement
Pada Karyawan PT. Tiga Serangkai Surakarta” ini diharapkan dapat menjadi masukan, rekomendasi, dan evaluasi bagi perusahaan, bahwa employee
engagement sebagai perkembangan dari tema psikologi positif, dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan kinerja karyawan, memelihara karyawan,
dan mengurangi kecenderungan tingkat turnover karyawan.
B. Rumusan Masalah