Rekonsiliasi 1965: Sumbangsih dari Chile Pasca-Allende dan Afrika Selatan Pasca-Apartheid untuk Indonesia Pasca-1965.

F.3. Rekonsiliasi 1965: Sumbangsih dari Chile Pasca-Allende dan Afrika Selatan Pasca-Apartheid untuk Indonesia Pasca-1965.

Kasus Chile pasca-Allende dan Afrika Selatan pasca-apartheid dipilih karena kedua peristiwa tersebut merupakan perubahan atas registrasi komunitas politik dari momen peneguhan kedaulatan. Setelah Allende jatuh, orang-orang kiri di Chile menjadi homo sacer, begitupula warga kulit hitam Afrika Selatan selama Apartheid. Keduanya boleh dibunuh dengan impunitas atasnya. Kemenangan Aylwin yang kemudian diterukan oleh para penerusnya mengembalikan kaum kiri dalam komunitas politik, di Afrika Selatan, kemenangan ANC dan diadakanya pemilu 1994 menunjukkan masuknya warga kulit hitam maupun berwarna dalam komunitas politik. Ketika masa transisi berlangsung, perubahan pertamakali yang dilakukan oleh keduanya adalah dengan menolak legitimasi dari rezim yang sebelumnya, yaitu pelarangan kaum kiri di Chile dan sistem Apartheid di Afrika Selatan.

Chile melakukanya secara bertahap, masih kuatnya rezim Pinochet dengan warisan Konstitusi 1980 dan peraturan Amnesti 1978 membuat terbatasnya pilihan politik yang diambil. Tapi toh Aylwin pada masa itu, meski masih secara Chile melakukanya secara bertahap, masih kuatnya rezim Pinochet dengan warisan Konstitusi 1980 dan peraturan Amnesti 1978 membuat terbatasnya pilihan politik yang diambil. Tapi toh Aylwin pada masa itu, meski masih secara

Afrika Selatan memiliki cerita yang berbeda. Sedari awal warga kulit hitam yang merupakan mayoritas tidak memiliki hak politik yang dikuasai oleh kulit putih yang justru merupakan minoritas. Hasilnya, ketika konflik meningkat dan berakhir dengan negosiasi dan pemilu demokratis pertama kali di Afrika Selatan, ANC menang dengan 63% suara, membawa Mandela sebagai presiden kulit hitam pertama, melalui pemilu yang untuk pertama kali diikuti oleh warga kulit hitam semenjak merdeka. Dengan modal politik yang kokoh, rekonsiliasi Afrika Selatan berjalan dengan tiga hal : reparasi korban, dan pengungkapan kebenaran yang juga melibatkan pelaku dengan amnesti sebagai imbalanya. Meskipun terdapat ketentuan amnesti, komisi dapat memutus untuk menolak mengabulkan permohonan amnesti apabila tidak memenuhi ketentuan dan dilanjutkan dengan penuntutan secara pidana.

Indonesia pasca-1965 adalah juga merupakan registrasi ulang dari komunitas politik, dari revolusi menjadi pembangunan, dari Nasakom dengan politik massa, menjadi asas tunggal dan depolitisasi massa, sekaligus menunjukan legitimasi atas berdirinya rezim otoriter dengan sikap represif selama tiga dekade lamanya. Masa transisi dengan jatuhnya Soeharto pada tahun 1998 memunculkan kesadaran akan demokrasi dan HAM yang ditunjukkan dalam hal perubahan struktur kenegaraan dan instrumen-instrumen HAM baik melalui legislasi maupun ratifikasi instrumen internasional. Telah ada pengadilan HAM ad hoc untuk kejahatan masa lalu, kasus Tanjung Priok, Timor-Timur, dan Pengadilan HAM untuk perkara Abepura dimana hasilnya tidak ada pemidanaan dan reparasi terhadap korban dari putusan pengadilan tersebut. Akan tetapi permasalahan yang paling penting, yaitu legitimasi atas berdirinya rezim Orde Baru melalui kekerasan yang terjadi pada tahun 1965 tetap nyaris tidak tersentuh. Gus Dur hendak melakukanya dengan terutama mencabut TAP XXV/MPRS/1966, dan perangkat kebijakan lainya namun tidak kunjung dilakukan hingga dirinya dimakzulkan. Megawati tidak menanggapi rekomendasi Mahkamah Agung untuk memberikan rehabilitasi, begitupula dengan Yudhoyono yang selama dua periode tidak membuat kebijakan berarti untuk masalah 1965. KKR yang diinisiasi semenjak awal reformasi, baru diundangkan pada tahun 2004 dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sebelum komisi tersebut sempat dibentuk.

Instrumen pemulihan hak yang dimiliki oleh Indonesia juga agaknya belum mencukupi untuk menyelesaikan permasalahan 1965. Baik UU 27/2004 maupun RUU KKR sama-sama lemah dalam memberikan daya paksa akan

pengungkapan kebenaran dan impunitas pelaku. Pertanyaanya, ketentuan sub- poena yang diatur dalam Pasal 28 RUU KKR tersebut sesungguhnya membuat pengaturan dalam bentuk Undang-Undang menjadi sia-sia. Di Chile, pengungkapan kebenaran bertitik berat pada reparasi hak korban, dimana temuan bukti-bukti yang dikumpulkan diserahkan kepada pengadilan untuk dilanjutkan dalam penuntutan. Tentu pengakuan pelaku menjadi sangat minim disini, dan dapat dipahami pilihan komisi untuk tidak mencantumkan nama pelaku secara personal, karena vonis bersalah adalah wewenang dari pengadilan. Sementara di Afrika Selatan, amnesti diberikan sebagai ganti atas pengungkapan kebenaran dengan syarat-syarat tertentu, dan hanya diberikan secara individual kepada pemohon amnesti. Di Indonesia, ketentuan mengenai reparasi secara mandiri, namun dilain pihak, meskipun tidak mengatur perihal amnesti, RUU KKR meniadakan pertanggungjawaban pidana terhadap perkara, dan bukan terhadap individu, yang berarti apabila suatu perkara dianggap telah diselesaikan oleh KKR sudah tidak dapa lagi dilanjutkan dalam pengadilan.

Telah disebutkan tadi bahwa dengan demikian, pengaturan KKR dalam bentu Undang-Undang menjadi sia-sia karena kewenangan sub-poena yang mustinya menjadi titik kuat dalam pengungkapan kebenaran tidak memiliki daya paksa apapun selain upaya paksa untuk meminta keterangan (yang dapat ditolak). Dengan demikian, berkaca pada pengalaman Chile pada masa Aylwin, dapatkah pengaturan KKR diatur dengan menggunakan instrumen lain? RUU KKR tersebut, dengan menghilangkan ketentuan dalam Pasal 28 dan penambahan Telah disebutkan tadi bahwa dengan demikian, pengaturan KKR dalam bentu Undang-Undang menjadi sia-sia karena kewenangan sub-poena yang mustinya menjadi titik kuat dalam pengungkapan kebenaran tidak memiliki daya paksa apapun selain upaya paksa untuk meminta keterangan (yang dapat ditolak). Dengan demikian, berkaca pada pengalaman Chile pada masa Aylwin, dapatkah pengaturan KKR diatur dengan menggunakan instrumen lain? RUU KKR tersebut, dengan menghilangkan ketentuan dalam Pasal 28 dan penambahan

Presiden melalui kewenanganya dalam memberikan rehabilitasi dapat dilakukan, dengan pertimbangan dari Mahkamah Agung. Inisiatif Presiden ini memiliki keuntungan lain yaitu proses yang lebih cepat karena tidak harus melalui negosiasi politik di DPR. Hambatan utama dari pembentukan KKR ini adalah ketentuan dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU 26/2000 yang menyatakan bahwa alternatif pelanggaran HAM berat dapat ditempuh melaui KKR dan dibentuk melalui UU. Akan tetapi Presiden sesungguhnya dapat membentuk semacam komisi pencari fakta, yang kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk rehabilitasi dan untuk pengaturan kompensasi menunggu untuk diatur dalam UU KKR yang dibentuk, atau merujuk padanya.

Selain Keppres, jalan lain yang dapat ditempuh adalah dengan mengubah ketentuan Pasal 28 RUU KKR, atau dengan perubahan klausula menjadi sebagai berikut:

Pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang telah bersedia mengungkapkan kebenaran oleh Komisi tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc, termasuk bantuan, rehabilitasi, dan kompensasi yang diterima oleh korban dari lembaga atau instansi yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Selain itu perlu pula penambahan lebih spesifik ketentuan mengenai pengungkapan kebenaran tersebut:

Bahwa yang dimaksud dalam bersedia mengungkapkan kebenaran adalah kebenaran dengan kriteria sebagai berikut: Bahwa yang dimaksud dalam bersedia mengungkapkan kebenaran adalah kebenaran dengan kriteria sebagai berikut:

b. merupakan pelanggaran HAM Berat sebagaimana komisi ditetapkan

c. merupakan sebuah tindakan dengan karakteristik tertentu sebagaimana komisi ditetapkan

Perumusan yang terbuka diatas diperlukan karena RUU KKR itu sendiri berlaku untuk seluruh kejahatan, sehingga memerlukan pengaturan lebih spesifik mengenai rentang waktu, lokasi, dan motif kejahatan yang dilakukan. Pada kasus 1965, maka motifnya adalah dilakukan dalam rangka pembersihan partai komunis atau perbuatan lain dengan tujuan serupa. Tentang pengadilan, dapat diberikan ketentuan tambahan:

Hasil dari penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi diserahkan kepada Komnas HAM, dengan tembusan kepada DPR dan Presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc.

Ketentuan diatas akan berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana seseorang yang bersedia untuk mengungkapkan kebenaranya. Dengan demikian, rekonsiliasi akan bersifat komplementer dengan Pengadilan HAM ad hoc yang sekaligus memberikan daya paksa terhadap pengungkapan kebenaran. Kepada pelaku, dapat pula dimasukkan ketentuan mengenai amnesti dengan syarat pemberian amnesti yang dimaksudkan tidak memiliki hubungan apapun dengan reparasi yang akan diterima oleh korban. Alternatif lain adalah dengan menghapus sama sekali ketentuan Pasal 28 dan menambahkan penyerahan hasil penyelidikan kepada Komnas HAM dengan tembusan DPR dan Presiden, untuk tidak menutup kemungkinan akan dilakukanya pro justitia. Jadi, model KKR akan mirip sebagaimana kebijakan di Chile, dimana KKR tidak memiliki kewenangan sub- poena dan berfokus pada korban dan penyelidikan.

Akan tetapi, ketentuan dalam Pasal 47 UU 26/2000 sesungguhnya tidak mengatur KKR secara keseluruhan, hal ini terdapat pula dalam rekonsiliasi di Aceh dan Papua yang diatur secara tersendiri. Dengan demikian, sesungguhnya tidak menutup kemungkinan RUU KKR dapat dibuat secara lebih spesifik untuk menyelesaikan permasalahan 1965. Hal ini mengingat permasalahan 1965 berbeda dengan permasalahan Pelanggaran HAM berat masa lalu yang lain. Perbedaan tersebut terletak dalam hal bentang geografis dan waktu pelanggaran. Pilihanya adalah, apakah KKR akan dilangsungkan secara nasional atau tersendiri pada setiap daerah yang ditentukan oleh komisi. Hal ini berkaitan dengan corak konflik dari tiap daerah yang bisa saja memiliki kekhususan tersendiri.

Untuk permasalahan reparasi, ketentuan dalam RUU KKR dibagi menjadi dua saja yaitu kompensasi dan rehabilitasi. 589 Mengingat masih terbukanya

pengaturan internal dan rekomendasi kepada pemerintah, maka dalam bentuk rekomendasinya komisi dapat memperluas cakupan bentuk reparasi yang nantinya kan dituangkan dalam peraturan pemerintah. Definisi yang lebih luas terdapat dalam pengaturan Act 34/1995 di Afrika Selatan namun tidak dimiliki oleh Supreme Decree 355 Chile, akan tetapi keduanya dalam laporan, tindak lanjut, dan implementasinya dapat memperluas penggunaan istilah reparasi. Dalam hal rekomendasi, dalam hal mengembalikan kondisi seperti keadaan semula, maka

589 Pasal 1 angka 7 RUU KKR: Kompensasi adalah pemberian Negara kepada Korban atau Keluarga korban untuk

memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental. Angka 8 RUU KKR: Rehabilitasi adalah pemulihan harkat dan martabat seseorang yang menyangkut kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

komisi dapat memberikan rekomendasi reparasi baik secara formal maupun informal sebagaimana dilakukan di Chile dan Afrika Selatan. Komisi bisa pula memperluas kompensasi dalam bentuk bantuan pendidikan maupun jaminan sosial yang lain.

Selanjutnya, Pengalaman dari Chile dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa pelampauan atas kekejaman masa lalu tersebut tidak hanya dilakukan dalam bentuk pengungkapan kebenaran, pemulihan korban, maupun penuntutan terhadap pelaku, melainkan juga jaminan atas keberanggotaan dalam komunitas politiknya. Setelah dinyatakan terlarang dalam Konstitusi 1983, Chile pasca Pinochet mengamandemen ketentuan Pasal 8 konstitusi 1983 tentang larangan komunisme. Afrika Selatan Pasca Apartheid juga memberikan jaminan atas pengalaman masa lalu melalui pernyataan jelas dalam bagian pembukaan, Pasal 1, dan bagian Bill of Human Rights dalam Konstitusi 1996. Dengan demikian pengalaman dari keduanya menunjukkan registrasi ulang secara inklusif dari tadinya pihak yang dikeluarkan, atau dengan kata lain mengembalikan para homo sacer dari zoe kepada bios.

Tantangan tersebut juga berlaku untuk pelarangan komunisme dan berbagai peraturan diskriminatif terhadap ideologi komunisme. Pengembalian mereka yang masuk dalam zoe kepada bios juga idealnya dilakukan dengan pencabutan terutama terhadap TAP XXV/MPRS/1966. Pelarangan terhadap suatu ideologi, -sebagaimana telah dikatakan oleh Gus Dur- bagaimanapun, adalah berlawanan terhadap semangat demokrasi itu sendiri. Akan tetapi harus diakui Tantangan tersebut juga berlaku untuk pelarangan komunisme dan berbagai peraturan diskriminatif terhadap ideologi komunisme. Pengembalian mereka yang masuk dalam zoe kepada bios juga idealnya dilakukan dengan pencabutan terutama terhadap TAP XXV/MPRS/1966. Pelarangan terhadap suatu ideologi, -sebagaimana telah dikatakan oleh Gus Dur- bagaimanapun, adalah berlawanan terhadap semangat demokrasi itu sendiri. Akan tetapi harus diakui

Pada kenyataanya, sikap diam dari negara untuk menyelesaikan masalah 1965 ini diikuti oleh sikap aktif dari bawah dalam hal penolakan atas legitimasi orde baru atas aksi kekerasan yang terjadi setelah 1965. Pembubaran diskusi maupun hak berkumpul dalam berbagai bentuk secara paksa sebagaimana terjadi di banyak tempat, penolakan atas reburial sebagaimana terjadi di Wonosobo, sensor atas kebebasan berekspresi dan berpendapat atas buku-buku kiri maupun pers, menunjukkan masih kuatnya resistensi dari bawah, sementara dilain pihak nasib korban terkatung-katung selama lebih dari 50 tahun, termasuk diantaranya yang tidak terlibat sama sekali dengan aktivitas politik, maupun anak keturunanya yang tidak mengetahui makam keluarganya dan kenapa mereka dibunuh.

Resistensi tersebut sesungguhnya dapat dipahami untuk beberapa alasan; pertama adalah propaganda dan tafsir tunggal sejarah versi Orde Baru 590 yang

590 Lihat Wijaya Herlambang. Kekerasan Budaya Pasca 1965, Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Marjin Kiri. Yogyakarta. 2013.

telah berlangsung konsisten disertai dengan sensor dan tindakan keras atas oposisi politik, dan berjalan bersamaan dengan depolitisasi massa. Di lain pihak, kekerasan yang terjadi pada masa 1965 dilakukan secara kolektif, sebagai dosa bersama yang melibatkan berbagai unsur seperti militer, agama, maupun ormas- ormas lain, jadi kekerasan dengan melibatkan dosa kolektif seperti itu membuat proses pengungkapan kebenaran menjadi sulit dilakukan. Selanjutnya adalah ketakutan yang diwariskan dari sikap represif rezim orde baru terhadap para korban maupun diskriminasi terhadap golongan kiri, membuat pilihan korban untuk melakukan gerak politik dalam rangka pemenuhan hak atas reparasi menjadi terbatas. Penyebab lain, yang cukup spekulatif dan memerlukan penelitian lebih jauh adalah, bahwa permasalahan pemulihan hak 1965 ini sesungguhnya bukanlah permasalahan ideologis, melainkan permasalahan aset- aset yang dirampas dari kerusuhan 1965. Telah terdapat beberapa kasus sengketa perdata di pengadilan untuk kasus 1965 atas tanah-tanah yang menurut penggugat di duduki secara melawan hukum. 591 Perlu riset lebih jauh tentang perihal terakhir yang disebutkan, namunn yang hendak disampaikan adalah, terdapat banyak faktor yang membuat permasalahan 1965 menjadi permasalahan yang sangat sensitif.

591 Perkara yang muncul misalnya Putusan 3108 K/Pdt/2012 tentang gugatan ahli waris penguasa sebidang tanah yang diduduki pada masa G30S dan baru berani mengajukan gugatan. Putusan

715 K/Pdt/2012 tentang tanah yang diduduki karena pada masa G30S harus meninggalkan tanahnya karena teror. Kedua gugatan tersebut ditolak dengan alasan lemahnya bukti yang diajukan. Pada kasus kedua bukti yang dimiliki hanyalah kertas fotokopi. Dalam gugatanya, penggugat menyatakan baru berani untuk menggugat karena takut akan teror yang ditujukan dalam peristiwa G30S.