Orde Baru dan HAM

B.3. Orde Baru dan HAM

Pada awal pemerintahanya, terutama untuk mengatasi kondisi ekonomi yang mencapai inflasi sebesar 600%, terdapat anggapan optimis mengenai pemerintahan Soeharto.Pada beberapa sisi, dengan keterbukaan ekonomi, pendapatan Indonesia naik 6%, terlebih pada masa lonjakan harga minyak pada tahun 90an, hampir selama masa Orde Baru, diluar masa krisis 1997, kondisi ekonomi lebih baik dibanding pada masa Soekarno. Pada sisi yang lain, lonjakan ekonomi tersebut dibarengi pula dengan tindakan-tindakan represif yang mengancam kebebasan.

Menurut Mahfud MD, sembari mengutip pendapat dari Gus Dur, Pemerintahan Orde Baru adalah pemerintahan otoriter yang tidak sampai pada tirani, terutama semenjak tumbangnya optimisme pemenuhan HAM

dengan cara-cara represif. 173 Menurut Suparman Marzuki, Pemerintahan Soeharto bahkan lebih buruk daripada pemerintahan Soekarno, hal tersebut

setidaknya dapat dilihat dari tiga hal; pertama, pengekangan hak berserikat, berekspresi dan berpendapat, kedua melakukan eliminasi dan kebijakan reduksionis terhadap konsep HAM, dan terakhir, melakukan pembunuhan

Soeharto mengijinkan alur modal asing masuk dan bertumbuh, namun pada sisi HAM, Soeharto memilih mengambil HAM Partikular dengan nilai-nilai Asia; Negara Patrimonial dengan dirinya sebagai seorang bapak pengayom.

173 Op Cit Mohammad Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia… hlm 229 173 Op Cit Mohammad Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia… hlm 229

Kehidupan kampus, dalam hal ini terutama setelah kejadian Malari 1974, Soeharto melalui Menteri Pendidikan PTIK Daoed Yoesoef mengeluarkan kebijakan

Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan, kebijakan yang membatasi kegiatan mahasiswa dan

Normalisasi

Kehidupan

infiltrasi militer kedalam kampus-kampus. 175

Ditengah arus kosmopolitan hukum HAM internasional, Soeharto dalam menerapkan kebijakanya tersebut mengambil langkah yang ditempuh Soekarno, yaitu dengan mengambil jalan partikularitas HAM. Apa yang dimaksud dengan partikularitas tersebut adalah: pertama, HAM Indonesia adalah apa yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945, menyatakan HAM yang keluar dari kerangka Pancasila dan UUD 1945 merupakan tindakan pengkhianatan dan mengancam ideologi dan konstitusi, dan Kedua, HAM unversal adalah barat yang jahat, intervensionis,

individualistik yang juga bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. 176 Pertanyaan mengenai universalitas HAM teraebut mencuat pada tahun

174 Suparman Marzuki. Politik Hukum Hak Asasi Manusia. Penerbit Erlangga. Jakarta. 2014. Hlm 106 ketiga hal tersebut terjawantahkan dalam pengekangan pers, kebebasan berpolitik yang

secara sinis oleh Marzuki sebut sebagai kemenangan yang telah disiapkan bagi bagian dari politik stabilitas kelangsungan kekuasaan di satu sisi an politik pemberangusan suara berbeda di sisi lain. Eliminasi terhadap lawan politik terjadi dengan mematikan mereka secara Perdata sebagaimana dialami oleh penandatangan Petisi 50, dan pembunuhan misterius serta pelanggaran HAM lain yang terjadi dalam rentang waktu pemerintahanya (hlm 107-108). 175 Melalui SK No.0156/U/1978 dan BKK SK RI No.037/U1979.Pengaturan NKK/BKK tersebut

ditujukan agar kampus tetap terbebas dari politik. 176 Loc cit hlm 107. Sebagai catatan, Meskipun menolak universalitas HAM, pada tahun 1984 dan

1990 Indonesia meratifikasi dua Konvensi internasional: Cedaw yang diratifikasi dalam UU 7/1984, dan CRC dalam Keppres No 36/1990

1990-an. Penekanan mengenai hak komunal ketimuran yang berbeda dari HAM barat, berkaitan dengan penegakan HAM setidaknya untuk dua alasan; bahwa negara-negara berkembang Asia akan kesulitan dalam pertumbuhan ekonominya apabila menegakkan HAM secara ketat dan juga akan mempengaruhi legitimasi rezim yang berlaku, akan tetapi pada sisi yang lain, tekanan dunia internasional mengenai kondisi HAM dapat juga mempengaruhi negara-negara donor dalam memberikan bantuan

keuangan. 177

Pertanyaanya, apakah yang disebut sebagai HAM dalam Pancasila dan UUD 1945 tersebut? Pada kenyataanya, Pancasila itu sendiri, memerlukan keputusan yang lebih kongkrit yang dalam hal ini adalah bagaimana orde baru memahami Pancasila: sebagai sesuatu yang sakti dengan memperlawankan dirinya dengan golongan kiri atau golongan manapun yang bertentangan dengan kehendak pemerintah. Dengan alasan yang sama pula militer, yang merupakan alat politik dan ekonomi utama selama orde baru, melalui dwifungsi memiliki peran yang besar terutama mengingat akses teritorinya. 178

177 Dalam Adam Schwarz. A Nation in Waiting: Indonesias Search for Stability.Westview Press. Oxford. 2000. Hlm 250

178 Michael R.J. Vatikiotis. Indonesian Politics Under Suharto, The Rise and Fall of the New Order. Routledge. New York & London. 1998. Hlm 62, 68 Posisi dua kaki ini sesungguhnya juga dilematis.

Bagi para perwira muda, kesibukan politik membuat ABRI tidak lagi mengikuti taktik maupun peralatan termutakhir. Sementara bagi perwira senior, posisi Abri secara politik harus dipertahankan mengingat keadaan militer Indonesia itu sendiri. Pada masa itu terdapat 533.000 prajurit ABRI termasuk didalamnya kepolisian, yang apabila diperbandingkan dengan jumlah penduduk adalah 0,15%, jumlah yang sangat sedikit apabila dibandingkan dengan Singapura 2,06%, Thailand 0,46%, atau Malaysia 0,68%. Anggaran untuk Abri juga apabila dibandingkan dengan total GNP terhitung kecil, yaitu 1,96% apabila dibandingkan dengan Singapura 5,48%,

Hingga akhir 70an, separuh dari kabinet dan dua per tiga pemerintah daerah adalah ditunjuk oleh militer. Pada lingkup yang lebih kecil lagi, 56% pegawai diduduki militer. Pada ranah birokrasi, 78% dari dirjen dan 84% sekertaris kementrian adalah orang-orang ABRI, hampir sebagian dari duta besar negara adalah juga berasal dari militer. 179 Pada bidang ekonomi, Suharto menyerahkan posisi strategis ekonomi negara kepada militer, terutama Kostrad. Pada tahun 1968, Ibnu Sutowo mengepalai Pertamina, perusahaan negara bidang migas yang kemudian menjadi sumber pemasukan utama militer, terutama semenjak naiknya harga minyak pada

tahun 1970an. 180

Keterlibatan politik dan ekonomi militer, serta kekuatan Golkar dengan jajaran birokrasinya membuat Orde Baru sebagai negara yang kuat, yang menjawab pandangan yang berbeda dengan pendekatan militeristik. Menurut rilis Amnesty International, beberapa kasus HAM pada masa Orde Baru ini yang cukup menonjol antara lain adalah pembantaian 1965, pembantaian di Timor Timur, dimana sepertiga populasi, 200.000 orang meninggal baik karena pembunuhan maupun kelaparan setelah invasi Indonesia pada tahun 1975. Pembunuhan 2000 warga sipil antara 1989 sampai 1993 di Aceh, dan ratusan pembunuhan di luar hukum di Irian Jaya. Pembunuhan 5000 orang preman di berbagai kota, atau yang dikenal

Thailand 3,26%. Meskipun demikian, satu hal yang tidak bisa dibantah adalah pengaruh militer melalui kehadiranya dalam setiap tingkat masyarakat. 179 Ibid hlm 70-71 180 Ibid hlm 71-72 Thailand 3,26%. Meskipun demikian, satu hal yang tidak bisa dibantah adalah pengaruh militer melalui kehadiranya dalam setiap tingkat masyarakat. 179 Ibid hlm 70-71 180 Ibid hlm 71-72

Pada tahun 1990an, tekanan dunia internasional mengenai keadaan HAM di Indonesia menguat. Pemerintah merespon tuntutan tersebut dengan jawaban partikularitas HAM, dan memulai menggunakan jargon

keterbukaan 182 , yang muncul awal-mulanya pada tahun 1989. Salah satu yang menonjol pada masa-masa ini adalah dengan pendirian Komnas HAM

pada tahun 1993 melalui Keppres No. 50/1993, menjelang tahun-tahun akhir kekuasaanya. Akan tetapi patut dicatat pula, bahwa yang disebut sebagai era keterbukaan dan negara hukum pada kenyataanya dapat disimpangi oleh kehendak penguasa sendiri, yaitu terutama melauli penggunaan UU 11/Pnps/1963 yang diberlakukan terhadap aktivis yang menentang orde baru. Slogan keterbukaan, yang menjadi slogan di dekade 1990an tidak mengurangi represi terhadap kebebasan berpendapat. Ketakutan mengenai label anti-Pancasila masih muncul dan diterapkan dalam setiap kegiatan

berpendapat maupun berserikat dan berkumpul. 183 Pada tahun-tahun ini

181 Amnesty International. Indonesia: Power and Impunity: Human Rights Under the New Order. New York. 1994. hlm 3

182 Ide ini muncul dari Edi Sudrajat, yang berpendapat bahwa seiring meningkatnya ekonomi dan pendidikan, mulai muncul keinginan akan partisipasi yang lebih aktif dan dialogis. Pendapat ini

kemudian dilanjutkan oleh Soeharto yang mengutarakan hal serupa. Tidak lama kemudian, Sudomo menegaskan bahwa pers harus menampilkan berita yang bertanggung jawab, menunjukkan arti keterbukaan sesungguhnya adalah terbuka sejauh tidak bertentangan dengan pemerintah. Selanjutnya, masih dalam suasana keterbukaan, pembacaan puisi oleh WS Rendra, Teater Kecoa dan Roro Sukaesi dibubarkan paksa karena dinilai terlalu vulgar. Kritik terhadap slogan keterbukaan mulai muncul sebagai bagian retorika semata. Lihat dalam Op Cit Adam Schwarz. A Nation in Waiting: Indonesias Search for Stability Hlm 231-232 183 Ibid hlm 233 termasuk pelarangan terhadap peredaran buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, yang melalui penekanan hubunganya dengan PKI, dikategorikan sebagai buku subversif dan dilarang. Masih menurut Schwarz, ancaman terhadap Pers diberlakukan terutama melalui kemudian dilanjutkan oleh Soeharto yang mengutarakan hal serupa. Tidak lama kemudian, Sudomo menegaskan bahwa pers harus menampilkan berita yang bertanggung jawab, menunjukkan arti keterbukaan sesungguhnya adalah terbuka sejauh tidak bertentangan dengan pemerintah. Selanjutnya, masih dalam suasana keterbukaan, pembacaan puisi oleh WS Rendra, Teater Kecoa dan Roro Sukaesi dibubarkan paksa karena dinilai terlalu vulgar. Kritik terhadap slogan keterbukaan mulai muncul sebagai bagian retorika semata. Lihat dalam Op Cit Adam Schwarz. A Nation in Waiting: Indonesias Search for Stability Hlm 231-232 183 Ibid hlm 233 termasuk pelarangan terhadap peredaran buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, yang melalui penekanan hubunganya dengan PKI, dikategorikan sebagai buku subversif dan dilarang. Masih menurut Schwarz, ancaman terhadap Pers diberlakukan terutama melalui

mengkritik pemilu dan mengajak boykot. 184

Pada beberapa praktik, aspek legalitas bahkan juga dapat disingkirkan. Hal itu diakui oleh Sudomo, Kepala Agen Keamanan Kopkamtib 1978- 1983, tentang perlakuan terhadap Kelompok Petisi 50. Kelompok ini, yang berisi nama-nama seperti Hoegeng, A.H. Nasution, Ali Sadikin, dan lain sebagainya, mengajukan kritik terhadap penggunaan kekuatan militer pada masa Soeharto yang mereka anggap telah melenceng dari Pancasila. Menurut Sudomo, kematian perdata yang terjadi terhadap penandatangan Petisi 50 adalah wajar saja dan dapat berlaku baik dengan atau tanpa

peraturan tertulis. 185 Penyimpangan hukum juga terjadi dalam hal hak-hak kesamaan dimuka hukum, seperti hak untuk mendapat bantuan hukum, hak

untuk mendapatkan bantuan hukum pada setiap tahap proses hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP. Akan tetapi dalam praktiknya hal tersebut kerapkali disimpangi. Pieter Kooijmans, reporter PBB yang menyoroti permasalahan penyiksaan, dalam kunjunganya pada tahun 1991 menyatakan bahwa terutama diwilayah rawan konflik seperti Timor Timur, Aceh, dan Irian Jaya, penyiksaan terjadi secara rutin, juga terjadi di daerah

pencabutan SIUPP semenjak 1982 dan kembali diperkuat pada 1984 oleh Menteri Penerangan Harmoko. (hlm 239) 184 Ibid hlm 236. Atas kondisi ini, Goenawan Mohammad dalam catatan Schwarz menggambarkan kondisi kehidupan kampus sebagai: Universitas mati, ide-ide juga mati. Obsesi pemerintah akan keamanan sudah seperti lubang hitam yang menelan seluruh pemikiran merdeka (hlm 237). 185 Ibid hlm 245 pencabutan SIUPP semenjak 1982 dan kembali diperkuat pada 1984 oleh Menteri Penerangan Harmoko. (hlm 239) 184 Ibid hlm 236. Atas kondisi ini, Goenawan Mohammad dalam catatan Schwarz menggambarkan kondisi kehidupan kampus sebagai: Universitas mati, ide-ide juga mati. Obsesi pemerintah akan keamanan sudah seperti lubang hitam yang menelan seluruh pemikiran merdeka (hlm 237). 185 Ibid hlm 245

No.8/1990 tentang Pembinaan LSM. Tujuan dari Instruksi Mendagri tersebut adalah untuk melakukan kontrol keterlibatan LSM untuk terlibat dalam kegiatan politik, dan dalam rangka memelihara ideologi persatuan.Sebagai jawaban atas beberapa kritik yang muncul dari LSM, Pemerintah membela diri dengan menyinggung kepentingan asing, yaitu

dari donor luar negeri. 187

Setelah pergantian rezim, terdapat catatan penting mengenai pelanggaran HAM pada masa lalu. Pada tahun 2003, atas desakan dari masyarakat luas, Komnas HAM membentuk Tim Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Soeharto. Terdiri dari lima belas orang yang merupakan gabungan dari Komnas HAM dan masyarakat sipil, serta asistensi dari lembaga-lembaga ornop seperti Elsam, KontraS, NU, dan lain sebagainya. Laporan yang dihasil dari tim tersebut membagi empat fase dimana masing- masing dari fase tersebut terdapat kasus menonjol yang memiliki indikasi Pelanggaran HAM berat: pembunuhan 1965-66 dan penahanan politik Pulau Buru, Petrus, Tanjung Priok dan DOM Aceh-Papua, dan peristiwa 27 Juli

186 Ibid hlm 248 Mayor Jenderal Pramono, komandan militer di Sumatera Utara mengungkapkan, di Aceh, penahanan tanpa pengadilan diperlukan karena apabila dilakukan, pengadilan tidak akan

cukup menampung mereka. Mereka yang masuk hingga pengadilan dituntut dengan menggunakan UU 11/PNPS/1963 tentang Anti Subversi, peraturan yang ambigu yang mencakup berbagai hal seperti mengancam ideologi negara, ancaman terhadap pemerintah, dan lain sebagainya (hlm 249). 187 Sempat diatur dalam UU No. 8/1985 yang mengatur laporan dan kontrol penggunaan dana asing. Istilah LSM sendiri sebenarnya muncul dari pemerintah. Para penggiat sendiri pada awalnya menggunakan istilah Organisasi Non Pemerintah (Ornop). Lihat dalam Robertus Robet. Politik Hukum Hak Asasi Manusia. Elsam. Jakarta. Hlm 39

1996 dan kerusuhan Mei 1998. Akan tetapi Soeharto sendiri belum sempat dikenakan tuntutan atas pelanggaran HAM tersebut hingga kematianya pada tahun 2006 yang sekaligus menggugurkan pertanggungjawaban pidananya.

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa pada masa kekuasaan Orde Baru, HAM Partikular, yang membedakan dirinya dari HAM Universal, pada dasarnya dipergunakan semata untuk melegitimasi tindakan baik aktif maupun pasif rezim dalam menjalankan langkah represif pemerintahanya. Langkah tersebut diterapkan melalui keterlibatan militer yang besar baik dalam dunia politik maupun penguasaan posisi strategis ekonomi. Hampir seluruh rentang waktu tersebut, diteguhkan dengan menciptakan komunisme sebagai musuh bersama, melalui jargon bahaya laten yang terus mengancam.