Klasifikasi Pelanggaran HAM Berat
D.1. Klasifikasi Pelanggaran HAM Berat
Kesulitan dari peristiwa 1965 sebagai Pelanggaran HAM Berat adalah karena belum adanya tindak lanjut pengadilan yang memutuskan peristiwa tersebut sebagai Pelanggaran HAM Berat. Klasifikasi peristiwa 1965 sebagai Pelanggaran HAM Berat oleh lembaga negara adalah oleh Komnas
225 Soekarno. Pidato Hari Ulang Tahun Kedua puluh satu Republik indonesia, 17 Agustus 1966: Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah! (Djas Merah) dalam Iwan Siswa (Peny). Panca
Azimat Revolusi, Tulisan, Risalah, Pembelaan, & Pidato Sukarno 1926-1966. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. 2014. Hlm 479. “[…] Surat Perintah 11 Maret itu mula-mula, dan memang
sedjurus waktu, membuat mereka bertampik sorak-sorai kesenangan. Dikiranja S.p>11 Maret itu satu ‘”transfer of authority”. Padahal tidak! S.P. 11 maret adalah satu Perintah Pengamanan.
Perintah Pengamanan djalanja Pemerintahan: Pengamanan djalanja any pemerintahan,- demikian kataku pada waktu melantik kabinet. Ketjuali itu djiga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah Pengamanan beberapa hal, -Djenderal Soeharto telah mengerdjakan perintah itu dengan baik. Dan saja mengutjapkan terimakasih kepada Djenderal Soeharto akan hal itu. Perintah pengamanan, bukan Penjerahan Pemerintah! Bukan Transfer of Authority! […]”
226 Dari Asvi Warman Adam. Demi Kemanusiaan, Cabut TAP XXV/MPRS/1966 dalam Asvi Warman Adam. Membongkar Manipulasi Sejarah, Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Kompas. Jakarta.
2009. Hlm 182-185
HAM berdasarkan hasil penelitian dan penyelidikan yang menyimpulkan terdapat sembilan titik dengan simpulan adanya indikasi pelanggaran HAM
berat. 227 Berkas tersebut telah diajukan kepada Kejaksaan Agung namun dikembalikan untuk diperbaiki yang hingga kini masih belum terdapat
kelanjutan berarti. 228
Pengaturan mengenai klasifikasi Pelanggaran HAM Berat terdapat dalam UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM, yang pada pasal 7 yang menyatakan:
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:
a. Kejahatan genosida
b. Kejahatan terhadap kemanusiaan Pengaturan mengenai kejahatan genosida diatur dalam Pasal 8 UU a
quo yang menyatakan: Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a
adalah yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. Membunuh anggota kelompok;
b. Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
227 Firdiansyah, D. Andi Nur Aziz. Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat. Komnas HAM RI. Jakarta. Tanpa Tahun. Hlm 1-40
228 http://nasional.tempo.co/read/news/2012/11/09/063440758/kasus-ham-1965-dikembalikan- komnas-ham-belum-tahu diakses pada 27 Juli 2015
Pengaturan mengenai kejahatan kemanusiaan diatur dalam Pasal 9 UU a quo yang menyatakan: Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politiki, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa; atau j. Kejahatan apartheid;
Berdasarkan ketentuan diatas, dapat ditarik simpulan bahwa pengaturan mengenai klasifikasi Pelanggaran HAM Berat dapat ditarik dari dua rezim hukum; yaitu hukum nasional dan hukum internasional. Pengaturan mengenai hukum nasional dapat dilakukan berdasarkan pada UU a quo, dengan merujuk menggunakan UU lain seperti UU 5/1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, KUHP, dsb. Sementara Berdasarkan ketentuan diatas, dapat ditarik simpulan bahwa pengaturan mengenai klasifikasi Pelanggaran HAM Berat dapat ditarik dari dua rezim hukum; yaitu hukum nasional dan hukum internasional. Pengaturan mengenai hukum nasional dapat dilakukan berdasarkan pada UU a quo, dengan merujuk menggunakan UU lain seperti UU 5/1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, KUHP, dsb. Sementara
Definisi Kejahatan HAM Berat menurut UU 26/2000 tersebut mengadopsi dari Rome Statute of the International Criminal Court, selanjutnya disebut sebagai Statuta Roma yang berlaku mengikat pada negara yang menandatangani semenjak 1 Juli 2002. Berbeda dari UU 26/2000, Statuta Roma dalam Article 5 memiliki empat klasifikasi Kejahatan HAM Berat, yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Article 6 dan Article 7 yang mengatur perihal kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki kesamaan dengan yang diatur dari Pasal 8 dan Pasal 9 UU 26/2000 dengan perbedaan dalam Statuta Roma kejahatan terhadap kemanusiaan terbagi dalam 11 kategori sedangkan dalam UU 26/2000 hanya 10 kategori, Pasal 9 UU 26/2000 tidak mencantumkan kriteria “other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health , ” yang diatur dalam Pasal 7 huruf k Statuta Roma. Selain itu, dalam ketentuan
229 Dalam beberapa pengalaman, pengadilan internasional dapat mengatasi pengadilan nasional sebagaimana terjadi dalam penerapan asas non bis in idem dan bis in idem, yaitu seseorang
apabila telah diputus dalam persidangan internasional tidak dapat lagi diputus dengan persidangan nasional, dan seseorang apabila telah disidang dengan pengadilan nasional tetap bisa diadili apabila pengadilan nasional tersebut memihak, dalam Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Pengadilan untuk Rwanda. Pada Pengadilan Nuremberg, pemidanaan tetap dijatuhkan atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan, meskipun apa yang dilakukan terhadap warga Yahudi selama masa Nazi adalah legal adanya. Hal ini menunjukkan posisi hukum internasional dalam rezim HAM. Lihat dalam I made Pasek Diantha. Hukum Pidana Internasional, Dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional. Prenadamedia Group. Jakarta. 2014. Pada intinya, penyelesaian perkara HAM ini dapat dilakukan dengan beberapa pilihan pengadilan nasional, pengadilan internasional, dan/atau melalui jalur non-yudikatif seperti rekonsiliasi.
Article 7 Crimes against humanity, UU 26/2000 dalam Pasal 9 merubah kata “or” [atau] menjadi “dan,” selain itu terdapat pula perbedaan mengenai unsur “directed against civilian population” yang diterjemahkan menjadi “ditujukan secara langsung.” 230
Pembeda kejahatan yang diatur dalam Pasal 9 UU 26/2000 dengan KUHP adalah adanya unsur meluas dan sistematis. Baik UU 26/2000 maupun Statuta Roma tidak memberikan penjelasan lebih jauh mengenai definisi meluas (widespread) dan sitematik (systematic). Unsur meluas melihat pada dampak yang ditimbulkan, meski sesungguhnya tidak ada ukuran yang pasti untuk menentukan keluasan dari satu tindak pidana. Sementara unsur sistematik adalah bahwa kejahatan tersebut dilakukan secara terstruktur dalam satu rangkaian motif tertentu, apakah suatu
tindakan terorganisir dan memiliki pola. 231
Mengenai daluwarsa dari Pelanggaran HAM Berat berdasarkan Pasal
46 UU 26/2000 adalah tidak mengenal kadaluarsa.Untuk ratione temporis, Statuta Roma hanya berlaku kepada negara penandatangan dan kejahatan yang terjadi setelahnya, atau dengan kata lain tidak berlaku surut
230 Article 7 Rome Statute of the International Criminal Court: For the purpose of this Statute, Crime against humanity means any of the following acts
when committed as part of a widespread or systematic attack directed against any civilian population, with knowledge of the attack.
Bagian lain yang tidak terdapat dalam UU 26/2000 adalah tidak adanya penjelasan mengenai kejahatan yang terdapat dalam UU tersebut. Dengan demikian, sejauh tidak diatur khusus, delik kajahatan yang terdapat dalam UU 26/2000 mengacu pada kejahatan pada KUHP. Perbedaan antara penggunaan kata dan dan atau juga menimbulkan ambigu, karena apakah unsur meluas dan sistematik tersebut dalam hal pelanggaran HAM Berat cukup salah satu saja, atau apakah keduanya harus terpenuhi. 231 Rhona K.M. Smith dkk. Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pusham UII. Yogyakarta. 2008. Hlm 326 Bagian lain yang tidak terdapat dalam UU 26/2000 adalah tidak adanya penjelasan mengenai kejahatan yang terdapat dalam UU tersebut. Dengan demikian, sejauh tidak diatur khusus, delik kajahatan yang terdapat dalam UU 26/2000 mengacu pada kejahatan pada KUHP. Perbedaan antara penggunaan kata dan dan atau juga menimbulkan ambigu, karena apakah unsur meluas dan sistematik tersebut dalam hal pelanggaran HAM Berat cukup salah satu saja, atau apakah keduanya harus terpenuhi. 231 Rhona K.M. Smith dkk. Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pusham UII. Yogyakarta. 2008. Hlm 326
(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkanya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
(2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
(3) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan peradilan umum.
Upaya penyelesaian Pelanggaran HAM Berat terbagi menjadi dua bagian; pertama melalui pengadilan ad hoc dan melalui rekonsiliasi. Hal ini diatur dalam Pasal 47 UU a quo yang menyatakan:
(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi.
(2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang Berdasarkan ketentuan diatas maka jalur Pengadilan ad hoc
memerlukan persetujuan dari DPR dan Keppres.Sementara pada jalur kedua memerlukan pengaturan khusus mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (selanjutnya disingkat KKR). Kedua jalur tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) melalui frasa “tidak menutup kemungkinan” berarti rekonsiliasi memiliki sifat opsional dan tidak berlaku wajib, kecuali memerlukan persetujuan dari DPR dan Keppres.Sementara pada jalur kedua memerlukan pengaturan khusus mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (selanjutnya disingkat KKR). Kedua jalur tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) melalui frasa “tidak menutup kemungkinan” berarti rekonsiliasi memiliki sifat opsional dan tidak berlaku wajib, kecuali