Homo Sacer 1965 Perampasan Hak dan Pelam
HOMO SACER 1965: PERAMPASAN HAK DAN PELAMPAUAN ATASNYA TESIS
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Program Magister Ilmu Hukum
Oleh
Rian Adhivira Prabowo, S.H.
PEMBIMBING : Prof. Dr. Suteki., SH., M.Hum.
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2015
HALAMAN PENGESAHAN HOMO SACER 1965: PERAMPASAN HAK DAN PELAMPAUAN ATASNYA
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 11 November 2015
Tesis ini telah diterima sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum
Disusun Oleh: Rian Adhivira, SH. 11010112420147
Pembimbing Mengetahui Ketua Program Magister Ilmu Hukum
Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum NIP. 197002021994031001
NIP. 197002021994031001
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kumpulkanlah kata-kata sedih, pilu, dari bahasa di seluruh dunia, yang ditulis oleh para pujangga baik di bumi maupun akhirat sekalipun, tetap tidaklah dapat
melukiskan penderitaan dan rasa rindu para tapol ! –ES, Eks-Tapol Pulau Buru.
Untuk (alm) Busono Wiwoho dan Heriyani Busono Wiwoho, dan persahabatan yang tak akan pernah dapat terlukiskan.
MOTTO
Lantas, dengan ini sudahkah saya jadi terpelajar?
KATA PENGANTAR
Pemilihan topik dalam Tesis ini didasarkan oleh setidaknya beberapa hal, seperti masih jarangnya studi yang berkaitan dengan permasalahan 1965 dan relevansinya terhadap hukum dan HAM di Indonesia. Akan tetapi alasan yang lebih penting adalah bahwa menurut saya, hampir tidak mungkin membicarakan ilmu sosial di Indonesia tanpa membicarakan 1965. Berbagai konsep hidup yang seolah adiluhung bangkrut dihadapan 1965. Penghargaan terhadap sesama manusia, dipatahkan melalui pembunuhan sadis, diantaranya bahkan kelewat sadis, seperti menyembelih ibu-ibu hamil dari perut hingga kepala, pemerkosaan dalam waktu lama dan dengan alat-alat keji. Konsep toleransi dan keberagaman, hangus dalam distingsi kawan-lawan yang beberapa diantaranya sangat sepele, stigma theisme-atheisme, atau kiri pemberontak-militer berujung pada diskriminasi hak yang sewenang-wenang. Konsep keadilan? Habis dalam kerja paksa, penyiksaan, stigma, baik melalui instrumen hukum positif maupun melalui tindakan negara baik aktif maupun pasif. Anak kehilangan orang tuanya, orang kehilangan istri, suami, atau kekasih yang dicinta, anak-anak dijenggungi sembari dikatai dasar anak tapol! Dasar anak PKI! Dasar anak gerwani! Sementara disekolah diajarkan bahwa PKI bersama Gerwani membunuhi Jenderal dengan mencongkel mata para jenderal. Maka, kemanusiaan macam apa yang kita punya? Pancasila macam apa yang kita banggakan?
Pertanyaanya kemudian, apa yang tersisa setelah 1965? Jawabanya banyak. Tanah bisa direbut atas nama pembangunan. Apabila pemilik tanah Pertanyaanya kemudian, apa yang tersisa setelah 1965? Jawabanya banyak. Tanah bisa direbut atas nama pembangunan. Apabila pemilik tanah
Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat tesis ini memakan waktu lebih lama dari yang saya duga. Saking lamanya, studi maupun advokasi yang berkaitan dengan Tesis ini membuat masa studi mengalami keterlambatan selama beberapa semester. Pertanyaan diatas pula yang membuat saya kesulitan untuk memahami baik konsep maupun peraturan yang menjadi ruang lingkup studi dalam tesis ini. Untuk itu, saya sungguh sangat berterimakasih atas segala bantuan yang diberikan kepada saya untuk menyelesaikan studi ini.
Pertama-tama, terimakasih saya haturkan untuk segenap responden dalam wawancara ini. Mereka yang telah bersedia untuk membuka kembali luka-pedih yang mereka alami dan membaginya kepada saya. Tentu membuka luka tersebut bukan hal yang mudah, melainkan menyakitkan. Dalam beberapa wawancara, satu menit dapat terasa demikian lama, bukan hanya karena cerita yang dituturkan, melainkan juga karena emosi yang timbul. Atas kesakitan tersebut, saya haturkan terimakasih. Ucapan terimakasih selanjutnya adalah kepada Prof. Dr. Suteki S.H., M.Hum, yang telah berperan tidak hanya sebagai pembimbing yang terbuka dan sabar, melainkan juga sebagai seorang pengayom. Ucapan terimakasih lain saya Pertama-tama, terimakasih saya haturkan untuk segenap responden dalam wawancara ini. Mereka yang telah bersedia untuk membuka kembali luka-pedih yang mereka alami dan membaginya kepada saya. Tentu membuka luka tersebut bukan hal yang mudah, melainkan menyakitkan. Dalam beberapa wawancara, satu menit dapat terasa demikian lama, bukan hanya karena cerita yang dituturkan, melainkan juga karena emosi yang timbul. Atas kesakitan tersebut, saya haturkan terimakasih. Ucapan terimakasih selanjutnya adalah kepada Prof. Dr. Suteki S.H., M.Hum, yang telah berperan tidak hanya sebagai pembimbing yang terbuka dan sabar, melainkan juga sebagai seorang pengayom. Ucapan terimakasih lain saya
Terimakasih saya haturkan kepada Prof. Dr. Yusriadi, S.H., M.Hum, Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum, dan Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum yang telah berkenan untuk menguji tesis ini. Terutama kepada Prof. Dr. Yusriadi S.H., M.Hum, tesis ini terinspirasi dari disertasi beliau yang berjudul Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Atas Tanah yang ide dasarnya memuat mengenai perbedaan cara baca terhadap hukum antar rezim yang berbeda. Hukum boleh sama, namun rezim yang berbeda akan menggunakan cara baca yang berbeda demi kepentingan rezimnya. Dalam konteks studi ini, Pancasila, yang tadinya menoleh kekiri menjadi sangat kanan, dan dari situ hak boleh dirampas.
Hampir tidak mungkin penulisan tesis ini dapat selesai tanpa mereka yang menyediakan ruang belajar bagi saya. Kepada Yunantyo Adi, Niken, dan Retno, keluarga yang menerima saya untuk memberikan sumber bacaan di kediamanya, saya ucapkan terimakasih. Ucapan terimakasih juga saya sematkan kepada Satjipto Rahardjo Institute, atas fasilitas yang diberikan. Termasuk di dalamnya adalah Abang Markus Y. Hage, Awaludin Marwan, Syukron Salam, Said Muhtar,
Unu Herlambang, Setya Indra, Edo Ermansyah, Andy Alvian, dan lain sebagainya. Kepada Komunitas Diskusi Payung, Rashid Ridha, Gerry Pindonta, Samuel, Kelvin, dan lain sebagainya, termakasih telah memberi kepada saya pengalaman berbagi pengetahuan. Kepada Komunitas Tjipian, rekan-rekan seperti Edi Atmaja, Diandra Preludio, Rahmat, Nindi Darifki, dan lain sebagainya, terimakasih telah mengajarkan apa itu hukum progresif kepada saya. Kepada Satrio Prabhowo, yang telah mau membuatkan kopi, menyediakan tempat menginap, dan selalu mau saya repotkan selama pembuatan tesis ini. Terima kasih.
Kepada Donny Danardono, yang bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi maupun memberi bantuan lain dalam studi ini, terimakasih. Kepada Hishom Prastyo, Otniel Prawiro, dan rekan-rekan lain di GMNI baik FH UNDIP maupun Semarang, terimakasih telah mau menerima saya. Kepada Gunawan Budi Susanto dan (alm) Mohammad Farid, terimakasih telah menjadi guru saya baik dalam hal akademik maupun perihal lain. Pengalaman belajar bersama mereka adalah pengalaman yang berharga. Kepada pengurus laman http://gen.lib.rus.ec , terimakasih banyak telah menyediakan bahan bacaan baik buku maupun jurnal yang tidak ternilai.
Untuk mereka yang selalu ada di dekat saya. Terimakasih kepada ayah, ibu, dan adik-adik saya, yang hampir selalu mau membukakan pintu untuk saya yang sering pulang malam. Untuk mengingatkan saya agar tidak lupa makan. Dan telah membiayai saya kuliah. Kasih sayang mereka jauh lebih rumit dibandingkan dengan asas maupun doktrin hukum. Terakhir meski bukan yang paling akhir, Untuk mereka yang selalu ada di dekat saya. Terimakasih kepada ayah, ibu, dan adik-adik saya, yang hampir selalu mau membukakan pintu untuk saya yang sering pulang malam. Untuk mengingatkan saya agar tidak lupa makan. Dan telah membiayai saya kuliah. Kasih sayang mereka jauh lebih rumit dibandingkan dengan asas maupun doktrin hukum. Terakhir meski bukan yang paling akhir,
Seluruh isi yang tertuang dalam tesis ini adalah sepenuhnya tanggung jawab saya, dan terbuka untuk kritik dan masukan dari segala sisi. Akhirnya, semoga kengerian dapat segela berakhir…semoga.
Rian Adhivira, 2015
ABSTRAK
Peristiwa 1 Oktober 1965 merubah wajah komunitas politik Indonesia. Peristiwa tersebut menandai akhir politik dari Soearno, dan terlebih dari itu, perubahan komunitas politik tersebut menyingkirkan para golongan kiri melalui praktik kekerasan; pembunuhan, penganiayaan, kekerasan seksual, penyiksaan, pembuangan, dan lain sebagainya. Pergantian rezim tersebut kemudian dilanjutkan dengan pemerintahan Orde Baru dengan dominasi militer dan praktik kekerasan negara terhadap oposisi politiknya. Selama rentang waktu tersebut komunisme menjadi dalih atas praktik kekerasan, termasuk kepada anak turunan para tertuduh komunis. Sebagai pembanding, praktik kekerasan dan eksklusi seseorang atas komunitas politiknya juga dialami oleh golongan kiri di Chile pasca-Allende dan warga kulit hitam di Afrika Selatan selama apartheid.
Penelitian ini merupakan studi non-doktrinal dengan melakukan analisa hukum dan analisa pengalaman empiris. Analisa hukum dilakukan dengan perbandingan pengalaman di Chile dan Afrika Selatan, baik kekerasan yang dilakukan maupun reparasi pada masa transisi. Untuk menunjukkan akibat dari kekerasan yang terjadi, penelitian ini juga menampilkan pengalaman personal korban dan bagaimana upaya pelampauan atas peramapasan hak dilakukan melalui inisiasi dari bawah.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan, bahwa peneguhan kedaulatan, sebagaimana terjadi di Indonesia pada tahun 1965, Chile pasca 11 September 1973, dan Afrika Selatan selama apartheid, memiliki implikasi pada penarikan garis batas antara manusia penuh (bios), dan mereka yang berada di luar komunitas politik namun ada dalam ruang lingkup daya paksa peneguhan kedaulatan, dalam hidup yang tereduksi (zoe). Pada masa transisi, Chile dan Afrika Selatan melakukanya dengan meruntuhkan legitimasi berdirinya rezim yang lama: kekerasan Pinochet dan berakhirnya rezim Apartheid melalui dua cara; pengungkapan kebenaran, reparasi korban, dan penuntutan terhadap pelaku. Indonesia pada masa transisi 1998 melalui jatuhnya Soeharto menunjukkan adanya peningkatan terhadap wacana HAM, melalui hukum nasional maupun ratifikasi hukum internasional. Akan tetapi, sejauh ini belum ada kemajuan mengenai legitimasi berdirinya rezim, yaitu pembantaian yang terjadi setelah 1 Oktober 1965, dengan tidak adanya reparasi hak korban, pengungkapan kebenaran, dan penuntutan pelaku.
Kata Kunci: Indonesia 1965, Komunisme, Rekonsiliasi
ABSTRACT
1 st October 1965 was a dramatic change on Indonesia society. It was Soekarnos aftermath and bannishment of his main supporter, the leftist. With the
failed attempted coup, the accused communists were butchered, it was mass killings, rape, torture, illegal detention, etc become pratice, and it is the very basis legitimation on New Order regime. Since then, the spectre of communism become doxa of state coercive attitude. As comparison, this practice were also occure on the Chilean leftist after the fall of Allende, and black South African under apartheid.
This is a non-doctrinal study, combining legal and empirical analysis. The first part through the atrocity and reconciliation on Chile and South Africa, and also in Indonesia. The other one through the victim experience during New Order exclusion, and also cultural reconciliation initiatives from the people.
The result of this research show that sovereign ban which happen in Indonesia after 1965, Chile after 1973 and South Africa during apartheid have an impact on the border of social exclusion: between bios and zoe. Chile and South Africa overcome their past atrocity based on three aspects: reparation for the victims, revealing truth, and prosecution for the perpetrators which also negating the basic legitimation of previous regime; Pinochet Junta and the Apartheid system. In contrast, Indonesia after the fall of Soeharto on 1998 show a contradictive tension between the rise of human rights discourse on the one hand, and impunity on the other. Indonesia not yet implemented the reparation of the victim, truth revealing, and prosecution for the perpetrator. The new Reformation era does not yet challenging the basis legitimation of Soeharto New Order coersive regime, which is the massacre of the accused communists.
Key word: 1965 Indonesia, Communism, Reconciliation
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara adalah pemberi jaminan atas hak-hak manusia dalam ruang- lingkup kedaulatannya. Penjaminan atas hak-hak tersebut kemudian tercantum dalam hukum yang berlaku, terutama semenjak meletusnya Revolusi Perancis yang merupakan cikal-bakal negara demokratis. Jaminan atas hak tersebut setidaknya terdapat dalam asas nula poena sine lege, asas legalitas yang membatasi kekuasaan negara. Selain itu, meski pada masa abad ke dua puluh adalah masa dimana jargon hak asasi manusia naik ke permukaan dunia internasional dan memiliki kekuatan politis yang kemudian tercantum dalam berbagai ketentuan internasional, namun pada kenyataanya, negaralah satu-satunya pihak yang secara de facto memiliki kuasa atas tubuh warganegaranya. Hanya saja, penjaminan hak dan penguasaan tubuh secara de facto tersebut dalam praktiknya dapat disimpangi pula oleh negara; bahwa atas nama penjagaan hak, negara bisa merampas hak. Momentum perampasan hak tersebut terjadi baik melalui instrumen yuridis maupun tanpa instrumen yang dilakukan dalam bentuk kebijakan negara.
Pada saat yang demikian, hukum berada dalam wilayah abu-abu; hukum ditegakkan, namun pada saat bersamaan juga telah kehilangan artinya, pada lain kesempatan, segi punitif hukum diberlakukan, namun Pada saat yang demikian, hukum berada dalam wilayah abu-abu; hukum ditegakkan, namun pada saat bersamaan juga telah kehilangan artinya, pada lain kesempatan, segi punitif hukum diberlakukan, namun
hukum. 1 Negara hukum dengan demikian memiliki asal muasal dari kekerasan, bukan semata sisi punitif dari hukum itu sendiri dengan
menerapkan sanksi atas pelanggaran norma, melainkan bahwa fondasi dasar dari negara-hukum itu sendiri pada dirinya merupakan laku penegasan
kedaulatan yang merupakan momen kekerasan. 2
Luaran dari momen peneguhan kedaulatan tersebut secara sosiologis adalah penciptaan manusia telanjang, manusia yang telah kehilangan hak- hak publik-politiknya menjadi manusia privat, dalam terminologi Agamben sebagai Homo Sacer. 3 Apa yang disebut dengan Hominus Sacri tersebut
dalam hukum Romawi adalah mereka yang boleh dibunuh namun tidak boleh dikorbankan dalam ritus keagamaan. 4 Dengan demikian pada satu sisi
mereka berada dalam ruang lingkup kedaulatan, namun pada sisi lain disingkirkan karena boleh untuk dibunuh tanpa sanksi pembunuhan dan larangan untuk pengorbanan dalam ritus keagamaan, atau dengan singkatnya, mereka yang dibuang tersebut tidaklah boleh untuk disucikan. Dalam studi doktrinal hukum pidana di Indonesia, hal tersebut dapat ditemukan dalam alasan penghapus pidana, alasan pembenar, dimana
1 Giorgio Agamben. Homo Sacer; Souvereign Power and Bare Life. Stanford University Press. California. 1998. Hlm 26
2 Ibid hlm 27 3 Ibid hlm 71 4 Ibid hlm 73 2 Ibid hlm 27 3 Ibid hlm 71 4 Ibid hlm 73
bedanya disini, serigala tersebut tidak lain adalah negara. 5
Fokus studi ini terletak dari bagaimana fondasi Indonesia sebagai negara hukum Orde Baru mendasarkan legitimasinya, yaitu momen penciptaan manusia telanjang, manusia yang boleh dibunuh tanpa pembunuhnya dikenai sanksi. Momen paling krusial atas kedaulatan orde
baru tersebut, ditegaskan melalui peristiwa 1965. 6 Kasus tersebut dipilih mengingat masih jarangnya studi sosiologi-hukum yang membahas tentang
legal-telos atau tujuan hukum. Satjipto Rahardjo sempat menyinggungnya dengan adegium yang kemud
ian tersohor bahwa “Hukum Untuk Manusia”. 7 Namun, studi ini menarik batas tersebut lebih jauh, yaitu melalui klarifikasi
lanjut tentang kriteria “manusia” tersebut, yaitu melalui studi tentang
5 John Lechte & Saul Newman. Agamben and The Politics of Human Rights, Statelessness, Images, Violence. Edinburgh University Press Ltd. 2013. Hlm 2
6 Douglas Kammen & Katherine McGregor.Introduction: The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68 dalam Douglas Kammen & Katherine McGregor (ed). The Contours of Mass
Violence in Indonesia, 1965-68. Asian Studies Association of Australia & University of Hawaii Press. Honolulu. 2012. Hlm 11, 15 lihat juga John Roosa. The September 30 th Movement: The Aporias of the Official Narratives dalam Ibid hlm 48-49
7 Satjipto Rahardjo.Penegakan Hukum Progresif.Kompas. Jakarta. 2010. Hlm 61, lihat juga dalam Sajipto Raharjo. Sisi-Sisi Lain Hukum di Indonesia. Kompas. 2003. Hlm 34 Pada intinya Satjipto
mengatakan bahwa hukum seharusnya “mengalir” saja untuk kebahagiaan. Adapun tulisan ringkas Satjipto tersebut belum sampai menilik bahwa pada kenyataanya, dalam mengalirnya hukum tersebut, tidak selalu mengarah pada kebahagiaan, namun juga penderitaan sebagaimana diutarakan oleh Agamben.
bagaimana hukum bekerja dalam keadaan khusus. Detil teoritik dari tulisan ini akan dibahas secara khusus dibagian lain dalam penelitian ini. Atas tujuan tersebut, pertama-tama akan dijelaskan terlebih dahulu konteks historis produksi manusia telanjang sebagai genesis hukum dan legitimasi rezim otoritarian. Dilain pihak, hal ini penting pula untuk menilai bagaimana keadilan transisional di Indonesia berlangsung. Secara umum, apa yang dimaksud dengan keadilan transisional melibatkan perpindahan kekuasaan masa lalu –yang biasanya bercorak autoritarian- menuju era demokratisasi baru dengan menyelesaikan masalah masa lalu dan pergantian
rezim dengan cara pandang baru. 8 Sebagaimana diketahui, permasalahan pergantian ini hingga lebih dari satu dekade pasca era Soeharto belum mengalami penyelesaian yang memuaskan termasuk perihal peristiwa 1965
yang menjadi landasan berdirinya. 9
8 Definisi ini diambil dari Stephanie Wolfe.The Politics of Reparations and Apologies.Springer. New York. 2014. Hlm 39 momen-momen ini bagi Wolfe menjadi satu diskursus global terutama pada
era 1970-1980an, yang ia –sembari kutip dari ICTJ- katakan sebagai “Transitional justice is a response to systematic or widespread violations of human rights. It seeks recognition for victims and to promote possibilities for peace, reconciliation and democracy. Transitional justice is not a special form of justice but justice adapted to societies transforming themselves after a period of pervasive human rights abuse. In some cases, these transformations happen suddenly; in others, they may take place over many decades. ”
9 Lihat Satjipto Rahardjo, Melangkah dengan Penuh Dignity. Wacana Suara Merdeka, Senin 28 Januari 2008.Satjipto menyatakan bahwa permasalahan Soeharto ini harus diselesaikan melalui
jalan pengadilan (yang tentu tak kunjung dilaksanakan hingga kematianya). Pendapat lebih keras dilontarkan oleh Ben Anderson yang menyatakan bahwa permasalahan pergeseran rezim terseut menyisakan tantangan berat berupa “Amnesia Sosial” seperti peristiwa 1965 dan permasalahan etnis tiong hoa yang “dihapus” dari sejarah era Soeharto (Kedua masalah tersebut sesungguhnya mengalami banyak kemajuan signifikan dalam masa Presiden Gus Dur meski untuk masalah pertama belum sepenuhnya selesai hingga pemakzulanya), lihat dalam Benedict Anderson. Exit Soeharto, Obituary for a Mediocre Tyrant. New Left Review 50 Maret-April 2008. Hlm 52-54. Lihat juga laporan secara lebih detil dalam ICTJ & KontraS. Indonesia Derailed, Transitional Justice in Indonesia Since the Fall of Soeharto. 2011 laporan Lebih jauh mengenai analisa praktik kekuasaan Soeharto tersebut dapat pula ditemukan dalam Robertus Robet.Politik Hak Asasi Manusia Dan Transisi di Indonesia, Sebuah Tinjauan Kritis.Elsam.Elsam, 2008
Pada masa Orde Lama, Soekarno dengan faham keseimbangan kekuatan menggelontorkan jargon Nasakom, gabungan dari tiga kekuatan besar; Nasionalis, Agama dan Komunis. Diluar tiga golongan tersebut
terdapat pula golongan angkatan bersenjata. 10 Ditengah tensi politik yang memanas ditambah dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria pada
tahun 1960 menciptakan situasi semakin mengerucut dimana BTI melakukan klaiming atas tanah dengan aksi sepihak. 11 Semakin condongnya
Soekarno kearah golongan kiri PKI kemudian mengkhawatirkan banyak pihak. Lawan-lawan politik mulai dicekal, pemenjaraan Mochtar Loebis beserta pemberedelan Harian Indonesia Raya misalnya, yang kemudian disusul dengan pembubaran Barisan Pendukung Soekarno (yang sesungguhnya oposan terhadap Soekarno), dan berbagai langkah politik lainya dinilai mengancam golongan kanan dalam hal ini adalah angkatan
bersenjata dan golongan agamis. 12
10 Harold Crouch. The Army and Politics in Indonesia.Equinox Publishing.Jakarta & Kuala Lumpur. 2007. hlm 48 Soekarno memainkan peranya untuk menjaga keseimbangan kekuatan diantara
golongan-golongan tersebut. Pasca 1965, golongan angkatan bersenjata adalah pemenang dan kekuatan politik paling dominan selama Soeharto berkuasa.
11 Aksi sepihak adalah aksi yang dipelopori oleh Barisan Tani Indonesia (PKI), ormas Ounderbouw PKI, dengan merampas tanah- tanah milik apa yang dianggap oleh mereka sebagai “tujuh setan
desa” dan membagi-bagikanya untuk para petani. Aksi ini dilakukan untuk mempercepat upaya land reform yang mereka nilai berjalan dengan lambat, lihat dalam Asvi Warman Adam. Pengantar, Pembantaian 1965/1966 Jangan Terulang. Dalam Robert Cribb (ed). The Indonesian Killings, Pembantian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Mata Bangsa & Syarikat
Indonesia.Yogyakarta. 2004. Hlm ix-x 12 John Roosa. Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto.Institut
Sejarah Sosial Indonesia & Hasta Mitra. Jakarta. 2008.hlm 297 selain itu Soekarno membubarkan Masyumi, PSI, Murba, dan melarang penyebaran Manifesto Kebudayaan karena dianggapnya bertentangan dengan Manifesto Politik yang dikumandangkanya. Melalui Jargon Revolusi, Soekarno semakin membutuhkan bantuan politik dari PKI dalam melaksanakan kebijakanya. Akan tetapi patut dicatat bahwa penangkapan tidak hanya dialami oleh para golongan kanan, namun juga golongan kiri, Pramoedya Ananta Toer pada masa ini juga mengalami penahanan.
Namun momen puncak baru terjadi pada akhir bulan september yang sebelumnya diawali dari desas-desus sakitnya Soekarno yang mengancam keseimbangan politik. Sekelompok perwira kelas menengah menculik jenderal angkatan darat, menewaskan lima orang jenderal dan Gadis mungil Ade Irma Nasution. Para Jenderal dibunuh dengan cara yang tak manusiawi, penis disayat, dimainkan dan mata dicongkel sembari menyanyikan lagu
Genjer-genjer 13 dan menarikan tarian erotis Harum Bunga. Dari Halim Perdana Kusuma, momen peneguhan kedaulatan antara Soekarno dan
Soeharto terjadi. 14 Soeharto yang kemudian berhasil menumpas kerusuhan tersebut melanjutkan aksi “penertiban” hingga kepelosok daerah. Dari sini,
kedaulatan diteguhkan melalui pembersihan seluruh anasir kiri.
Korban-korban berjatuhan, mereka yang dituduh terlibat dalam gerakan kiri beserta segenap afiliasinya segera ditumpas. Banyak diantara mereka dibunuh dengan cara-cara keji seperti diarak mengelilingi kampung untuk kemudian dieksekusi dihadapan umum, ditembak ditengah hutan- hutan dan sungai-sungai, perempuan yang dibelah perutnya hingga tenggorokan maupun diperkosa. 15 Selain pembunuhan, penangkapan besar-
13 Saskia E. Weiringa. Penghancuran Gerakan perempuan; Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Galang Press. Yogyakarta. 2010. Hlm 443 tentu saja, hasil autopsi yang
muncul bahwa tidak ada mata maupun penis yang dicongkel tidak pernah beredar, menyisakan gambaran tunggal bahwa Gerwani adalah Ounderbouw PKI yang rendah moralnya.
14 Carl Schmitt mengatakan bahwa definisi dari kedaulatan adalah “he who decide state of Exception”.Pada konteks ini hukum menjadi satu ritus persaingan dalam aktivasi keadaan genting
dimana Soeharto kemudian MPRS berhasil memakzulkan Soekarno.Uraian Carl Schmitt tersebut diambil dari Carl Schmitt.Political Theology, Four Chapters on the Concept of Sovereignty.University of Chicago Press. 2005 hlm 1
15 Banyak penelitian lapangan mengenai hal ini, penelusuran Elsam di Jembatan Bacem Solo, Penelusuran PMS-HAM tentang makam massal di Hutan Jati Ngaliyan, atau penelusuran YPKP di
Hutan Kaliwiro Wonosobo.
besaran juga dilakukan untuk kemudian dibagi menjadi beberapa kategori. Dari kategori tersebut sebagian dibuang dalam kamp khusus seperti Pulau Buru, Nusakambangan dan Pelantungan sementara yang lain ditahan dalam
penjara-penjara lokal beberapa diantaranya dengan penyiksaan. 16 Disamping perampasan kemerdekaan tersebut, terdapat pula perampasan harta benda
dan tanah. 17 Berdasarkan penggolongan tahanan tersebut sebagian disidangkan melalui Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) sementara
penahanan yang lain tak kunjung diadili dan menjalani masa tahanan dan kerja badan bertahun-tahun lamanya. 18
Upaya Soekarno untuk menghentikan kerusuhan sia-sia. Ditengah merosotnya kekuatan politik kharismatiknya, Soekarno menghadapi jalan buntu puncaknya dengan ditolaknya laporan pertanggungjawaban Presiden dihadapan MPRS pada tahun 1966 yang berujung pada pemakzulan Presiden dan pengangkatan Soeharto sebagai pelaksana tugas
Presiden. 19 Inilah yang dikatakan diawal bahwa legitimasi kekuasaan Orde
16 Julie Suthwood & Patrick Flanagan.Teror Orde Baru; Penyelewengan Hukum & Propaganda 1965-1981. Komunitas Bambu. Yogyakarta. 2013. Hlm 144
17 Hal ini disampaikan oleh para narasumber dalam penelitian rintisan, juga pemaparan Budiawan dalam Bedah Film Senyap di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang pada 12 Desember
2014 diselenggarakan oleh eLSA, Unika Soegijapranata Semarang, & Komunitas Pegiat Sejarah.
18 Didasarkan pada Penetapan Presiden No.11 Tahun 1963 tentang Antisubversi yang diundangkan menjadi Undang-Undang UU 11/1963 Melalui UU 5/1969 yang pada intinya
memberikan kewenangan pada Jaksa agung untuk menahan terdakwa tanpa batas waktu. Lihat lebih jauh dalam Op Cit Julie Southwood & Patrick Flanagan. Teror Orde Baru… hlm 135-136. Pengadilan yang muncul pada kala itu juga jauh dari kata memuaskan, menurut Samuel Gultom, pengadilan perihal perkara G 30 S yang dilakukan oleh Mahmilub tidaklah lebih dari pengadilan pembenar semata. Lihat dalam Samuel Gultom.Mengadili Korban Praktek Pembenaran terhadap Kekerasan Negara. Elsam Jakarta. 2003. Hlm 46, 47, 48, 50.
19 Hamdan Zoelfa. Impeachment Presiden Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945.Konstitusi Press. Jakarta. 2014 hlm 136-140 Terdapat beberapa alasan mengenai
pemakzulan Soekarno antara lain kemunduran bidang ekonomi, tragedi 1965 dan kemerosotan
Baru dimulai dengan peristiwa 1965. Pada tahun 1966 pula, atas peristiwa G
30 S tersebut keluarlah TAP MPRS XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Pernyataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilayah negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunis/marxisme-lenninisme yang juga menjadi aturan induk mengenai larangan Marxisme, Komunisme, Leninisme dimana Pasal 1 dengan tegas menyatakan sebagai berikut :
Menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat piusat sampai ke daerah beserta semua organisasinya yang seazas/ berlindung/ bernaung dibawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, yang dituangkan dalam keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No.1/S/1966 dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut diatas menjadi Ketetapan MPRS.
Berdasarkan pada TAP tersebut, PKI berserta segenap organisasi yang dianggap berkaitan dan memiliki kesamaan haluan dibubarkan. TAP tersebut masih berlaku hingga hari ini sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 12/2011. Lebih lanjut, TAP tersebut juga menjadi gantungan peraturan lain dibawahnya yang mengatur perihal larangan serupa. Apabila peristiwa G30S adalah landasan legitimasi politik, maka
akhlak. Soekarno menjawab hal tersebut dalam Pidato Nawaksara dan Pelnawaksara pada tahun 1966 dan 1967 yang kemudian ditolak melalui Ketetapan MPRS No: XXXIII/MPRS/1967 dan menyerahkan kekuasaan pada Soeharto yang sebelumnya merupakan pelaksana Surat Perintah Sebelas Maret yang kemudian disahkan oleh TAP MPRS No. IX/MPRS/1966.
TAP tersebut adalah sumber legalitas hukum dari praktik eksklusi mereka yang dianggap “kiri.”
Sebagaimana asal-usul malam 1 September yang belum jelas, jumlah korban juga tak jelas adanya. Team Fact Finder yang dibentuk oleh Soekarno pada tahun 1966 memunculkan jumlah 78.000. Hanya saja jumlah tersebut dinilai terlalu kecil (atau dikecilkan) bahkan menurut ketua tim sendiri. Jumlah lain muncul pula dari sarjana barat yang berdasarkan penelitian merumuskan angka sekitar 300.000 hingga satu juta orang. Angka tertinggi justru muncul dari Sarwo Edhie selaku pemimpin operasi pembersihan dengan mengatakan jumlah tiga juta orang. Berikut adalah
angka prediksi dari berbagai pihak: 20
No.
Penstudi
Prakiraan Korban
1 Kirk -1966 150.000 2 Anderson & McVey -1966
200.000 3 Turner -1966
300.000-600.000 4 King-1966
300.000 5 Topping-1966
150.000-400.000 6 The Economist (mengutip Kopkamtib) -1966
200.000 10 Komisi Pencari Fakta -1965
20 Robert Cribb. Masalah-Masalah dalam Penulisan Sejarah Pembantaian Massal di Indonesia.
Dalam Op Cit Robert Cribb (ed). The Indonesian Killings, … hlm 23-24.
11 Anggota Komisi Pencari Fakta 780.000 12 Adam Malik
160.000 13 L.N. Palar
100.000 14 Washington Post
500.000 15 Contenay -1967
100.000-200.000 16 Grant-1967
200.000-300.000 17 Vittachi-1967
300.000-500.000 18 Paget-1967/68
100.000-300.000 19 Moser-1968
400.000 20 Sullivan-1969
300.000-500.000 21 Lyon-1970
200.000-500.000 22 Henderson-1970
400.000-200.000 23 Dahm-1971
200.000 24 Sloan-1971
300.000 25 Polomka-1971
150.000-300.000 26 Legge-1972
200.000-250.000 27 Neil-1973
750.000 28 Palmier-1973
200.000 29 Sievers-1974
200.000-400.000 30 Repression & Expliotation -1974
500.000-1.000.000 31 Laksamana Sudomo
450.000-500.000 32 Fryer & Jackson
100.000-500.000 33 Pluvier-1978
500.000-1.000.000 34 Caldwell & Utrecht -1979
500.000 35 Legge-1980
250.000 36 Ricklefs-1982
37 Frederick-1983 750.000 38 Anderson-1985
500.000-1.000.000 39 Mody-1987
500.000-1.000.000
Tabel 1
Disamping tabel diatas, jumlah paling tinggi justru muncul dari ketua operasi pembersihan sendiri; Sarwo Edhie Komandan Resimen Paramiliter Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang menyatakan bahwa tiga juta orang terbunuh dan sebagian besar diantaranya dilakukan dibawah
perintahnya. 21 Prakiraan jumlah korban yang dipaparkan diatas tersebut diluar mereka yang dibuang dan kerja badan maupun dipenjara selama
bertahun-tahun tanpa pengadilan. Sebagaimana jumlah korban pembunuhan, juga tidak terdapat jumlah yang pasti mengenai berapa orang yang mengalami pembuangan maupun penahanan. Pada tahun 1970 muncul angka 600.000-750.000 dari sarjana barat, Amnesty International di tahun 1977 memperkirakan angka sampai satu juta orang, dan pada tahun 1981 pemerintah merilis jumlah sebesar 1,5 juta orang dan 1,7 juta orang pada rilis tahun 1985 yang tersebar dalam berbagai penjara baik lokal maupun
pembuangan khusus seperti Pulau Buru dan Plantungan. 22
21 Op Cit Douglas Kammen & Katharine McGregor dalam Introduction …. Hlm 9 22 John Roosa dkk (ed). Tahun Yang Tak Pernah Berakhir Memahami Pengalaman Korban 65 Esai- Esai Sejarah Lisan.ELSAM, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia. Jakarta. 2004. Hlm 9 keterangan ini terdapat dalam bagian catatan kaki nomor 25 dalam buku tersebut. Lihat juga Robert Cribb. Introduction… dalam Op Cit Rober Cribb (ed). The Indonesian Killings… hlm 78 dengan detil keterangan tambahan pada catatan kaki nomor 90, 91, 92 dalam buku tersebut.
Berikut adalah sedikit gambaran mengenai kehidupan para tapol selama menjalani proses penahanan yang diperoleh dari penelusuran
kepustakaan maupun penelitian permulaan. 23 Dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pramoedya menyampaikan kehidupan para tapol. Beberapa diantara
mereka, karena buruknya persediaan dan suplai makanan (yang berikutnya mengharuskan mereka untuk kerja badan untuk memenuhi kebutuhan
hidup) 24 yang sangat terbatas. Para tahanan diberi jatah makanan tiga kali sehari dengan ukuran kaleng sepatu sehingga untuk memenuhi kebutuhan
gizi, mereka memakan apa saja yang dapat ditemukan. Dengan kondisi demikian, banyak pula yang hidup dengan hanya menyisakan kulit yang menempel dengan tulang. 25 Hasan (nama samaran), seorang pelajar yang
dikirim pada masa Soekarno belajar di Rusia. Ketika pulang pada tahun 1971, Hasan ditangkap dan dengan segera dimasukkan dalam sel isolasi selama enam bulan yang kemudian dilanjutkan sebagai tahanan penjara dan
kerja badan selama beberapa tahun lamanya. 26 Herlambang (nama samaran), tidak pernah terlibat sama sekali dengan organisasi politik, dirinya adalah korban salah tangkap. Selama proses pemeriksaan mengalami penyiksaan
23 Penelitian permulaan dalam bentuk proposal skripsi telah saya presentasikan dan pertahankan di Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijparanata Semarang pada 11 Maret 2015 dengan
judul; Pemaknaan Hidup Eks-Tapol 1965. Untuk selanjutnya, beberapa bagian yang memerlukan data empiris dari penelitian ini akan merujuk pada penelitian tersebut.
24 Pramoedya Ananta Toer.Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1. Hasta Mitra. Jakarta. 2000. Hlm 324 25 Ibid hlm 4 26 Hasil wawancara dengan Hasan, nama asli disamarkan 24 Pramoedya Ananta Toer.Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1. Hasta Mitra. Jakarta. 2000. Hlm 324 25 Ibid hlm 4 26 Hasil wawancara dengan Hasan, nama asli disamarkan
Tahanan perempuan pada umumnya mengalami siksaan yang lebih mengerikan. Selain siksaan fisik, tahanan perempuan mengalami pula kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Beberapa bahkan mengalami perkosaan dengan cara-cara yang demikian keji seperti penggunaan senjata,
perkosaan beruntun, dan lain sebagainya. 28 Hasil penelitian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sebagaimana dialami oleh tahanan laki-
laki, penangkapan tahanan perempuan juga dilakukan berdasarkan keanggotaan PKI maupun organisasi yang dianggap memiliki kedekatan ideologis, juga pada mereka yang tidak terlibat sama sekali dengan gerakan politik. 29
Terdapat penentangan terhadap tindakan orde baru tersebut. Mochtar Lubis dari Harian Indonesia Raya misalnya, meski merupakan oposan keras rezim Soekarno dan sempat ditahan beberapa lama pada masa Orde Lama, namun dirinya dalam berbagai kesempatan menolak keras dan meminta adanya klarifikasi serta upaya lebih lanjut atas pembunuhan dan
penangkapan massal. 30 Selain itu terdapat pula penentangan dari dunia
27 Hasil wawancara dengan Herlambang, nama asli disamarkan 28 Lihat Ita F. Nadia. Suara Perempuan Korban Tragedi ’65. Galang Press. Yogyakarta. 2007. Buku
ini menceritakan pengalaman para perempuan korban 1965 selama proses penahanan hingga setelah bebas. Seluruh cerita yang terkandung didalamnya berisikan ratapan korban yang telah mengalami kekerasan baik secara fisik, seksual, dan psikis.
29 Lihat Komnas Perempuan. Mendengar Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965. Jakarta. 2007 Khususnya pada bab III di hlm 68-105
30 Atmakusumah & Sri Rumiati Atmakusumah (peny).Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya; Seri 1: Politik Dalam Negeri dan Masalah Nasional. Buku Obor. Jakarta. 1997 30 Atmakusumah & Sri Rumiati Atmakusumah (peny).Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya; Seri 1: Politik Dalam Negeri dan Masalah Nasional. Buku Obor. Jakarta. 1997
dibebaskan. 31 Tekanan internasional tersebut berhasil dengan gelombang pembebasan yang dimulai pada tahun 1979. Sejak pembebasanya, para eks- tapol dikenai wajib lapor hingga tahun 1997 yang merupakan pemilu terakhir di masa Orde Baru, selain itu, kebijakan diskriminatif juga dialami oleh ratusan orang WNI di luar negeri karena paspornya dicabut paksa oleh
KBRI. 32 Meski dibebaskan dan diproses tanpa persidangan, para eks-tapol pada KTP berdasarkan Inmendagr i No.32/1981 dibubuhi tanda “ET” untuk membedakanya dari warga biasa, selanjutnya pada tahun 1991 berdasarkan
Pada masa-masa awal kek uasaan Orde Baru, Moctar Lubis “secara halus” telah menyampaikan keberatan atas penahanan dan pembunuhan massal yang dilakukan oleh Soeharto.Hal tersebut dapat dilihat dalam tajuk “Asal Jangan Jadi Pekerja Budak” yang menentang kerja badan dalam masa pembu angan tanpa pengadilan (27 Januari 1969), “Hadapilah dengan Muka Terbuka” (5 Maret 1969), “Jangan Jadi Simpang Siur” (6 Maret 1969), “Penyelesaian’Peristiwa Purwodadi’” (18 Maret 1969) tentang pembantaian massal di Purwodadi sebagaimana diungkapkan oleh H.J.C. Princen. Meski kemudian dia sempat kembali mengecam soal bahaya totalitarianisme Komunisme dalam “Menghadapi Komunisme, Soal Hidup atau Mati” (22 April 1969). Tak lama kemudian dia kembali mengingatkan soal hak para tahanan yang tak kunjung mendapat p engadilan dala “Penyelesaian Tahanan Gestapu/PKI” (20 Agustus 1969), ancaman stigma PKI pada petani dalam “Petani Jangan Ditakut-takuti!” (17 Februari 1970), Perlunya klarifikasi sejarah setidaknya keterlibatan Soekarno dalam G-30- S dalam “Demistifikasi Soekarno” (30 Juni 1970), Pengadilan terhadap tahanan PKI dalam “Mawas Diri Sebentar” (11 September 1970), soal penangkapan yang membabi buta pada “18 September, Hari Pengkhianatan PKI” (18 September 1970), kembali soal tahanan tertuduh PKI dalam “Penyelesaian Tawanan Gestapu/PKI kelas C” (25 September 1971), soal pembunuhan di Pulau Buru dalam “Pembunuhan di Pulau Buru” (19 Oktober 1972). Dari tajuk-tajuk tersebut setidaknya dapat terlihat sikap dari moderat Muhtar Lubis yang disatu sisi mengingatkan bahaya laten dan perlunya tindakan Kopkamtib, namun disisi yang lain menolak penangkapan dan pembunuhan besar-besaran. Tajuk-tajuk tersebut setidak- tidaknya memperlihatkan gambaran umum mengenai situasi politik pada saat itu.
31 Mudjayin. Dibebaskan Tanpa Kebebasan, Beragam Peraturan Diskriminatif yang Meilikit Tahanan Politik Tragedi 1965-1966. Kontras. Jakarta. 2008 hlm 1
32 Ibid hlm 2
Kepmendagri No.24/1991 menyatakanbahwa eks-tapol tak bisa memperoleh KTP hingga seumur hidup, yang belakangan baru dicabut pada tahun 2005.
Sebagaimana telah diutarakan, sejarah awal mengenai bagaimana awal-mula kejadian G-30-S tidaklah pernah beres, yang jelas adalah bagaimana kebenaran sejarah versi Orde Baru diteguhkan dengan pendirian Monumen Pancasila Sakti dan Hari Peringatan Kesaktian Pancasila, sebuah monumen di Lubang Buaya yang menceritakan kekejaman pembunuhan para Jenderal oleh PKI dan kader Gerwani, yang menceritakan pula sisi heroik dari Jenderal Soeharto. Rezim Orde Baru melegitimasi kekuasaan di bidang kebudayaan melalui pembuatan film Pengkhianatan G-30-S PKI karya Arifin C. Noer yang diputar secara rutin di Televisi negara dan Novel karya Arswendo Atmowiloto yang berulangkali naik cetak menunjukkan
bagaimana Orde Baru melegitimasi dirinya. 33 Keduanya dibuat berdasarkan sejarah versi Orde Baru yang disusun oleh Nugroho Notosutanto sejawaran
Universitas Indonesia yang memiliki kedekatan dengan militer. 34
33 Wijaya Herlambang. Kekerasan Budaya Pasca 1965; Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti- Komunisme Melalui Sastra dan Film.Marjin Kiri. Yogyakarta. 2013 hlm 163, 171
34 Peran Notosutanto sendiri sesungguhnya lebih memihak pada siapapun yang berkuasa, pada masa Soekarno misalnya, Notosutanto turut menyetujui pelarangan Manikebu yang dianggap
bertentangan dengan Manipol dalam Ibid hlm 145. Sejarah versi Nugroho Notosutanto ini dilawan dengan sajarawan Indonesianis yang dikenal sebagai Cornell Paper yang disusun oleh Benedict Anderson dan Ruth McVey, adanya dua versi sejarah ini membuah Nugroho Notosutanto untuk membuat ulang rangkaian sejarah Peristiwa 65 dengan lebih sistematis meski dengan esensi yang sama. Sejarah versi Orde Baru juga tidak mencatat misalnya bagaimana perjuangan dari golongan komunis untuk membantu Indonesia memperoleh kemerdekaan, peran Aidit misalnya hanya terhenti pada sumbangsihnya ketika menculik Bung Karno dalam peristiwa Rengasdengklok semata, bahkan peran PKI sebagai partai pertama yang menggunakan nama Indonesia juga tidak diberi catatan khusus. Sejarah versi Orde Baru terkesan memojokkan peran PKI sebagai biang kup 1965 yang hendak mengganti Pancasila.
Kembali pada catatan Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pram menunjukkan kehidupan eks-tapol yang dibuang ke Pulau Buru tanpa proses pengadilan dan seusai menjalani pembuangan, para eks-tapol diwajibkan untuk lapor pada tiap jangka waktu yang ditentukan walaupun tidak ada proses pengadilan yang pernah menjatuhkan vonis pada
mereka, 35 hal tersebut sekaligus menjadi pembeda antara narapidana politik dan tahanan politik, istilah pertama merujuk pada penangkapan yang
melalui proses hukum dan putusan pengadilan, sedangkan yang kedua tidak. Sebagaimana banyak dicatat oleh para sejarawan, peristiwa pasca September 1965 lebih banyak penangkapan dilakukan tanpa prosedur hukum. Catatan Pramoedya Ananta Toer mengenai penangkapan tanpa proses hukum dan pengadilan sejalan dengan alur sejarah, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975, yang mengatur bahwa seluruh pegawai negeri sipil yang ditengarai terlibat dalam anasir PKI untuk dipecat dan tidak diperbolehkan mengikuti pemilihan umum. Pada Tahun 1985 kembali lahir Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 1985 Tentang Tata Cara Penelitian dan Penilaian Terhadap Warga Negara Republik Indonesia yang Terlibat G.30.S/PKI Yang Dapat Dipertimbangan Penggunaan Hak Memilihnya Dalam Pemilihan Umum, berdasarkan Keppres tersebut Tahanan Politik dibagi menjadi tiga golongan; Golongan A adalah bagi yang terlibat secara langsung, Golongan B adalah bagi yang tidak terlibat
35 Op Cit Pramoedya Ananta Toer.Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1 … Pramoedya menceritakan bahwa dirinya meminta diadakan pengadilan untuk dirinya dan apabila dalam pengadilan ia dinyatakan
bersalah maka ia siap untuk menjalani hukuman, namun hingga pembebasanya, tak pernah ada pengadilan untuk para tahanan politik yang dibuang di Pulau Buru, selain itu mereka juga harus menjalani wajib lapor.
langsung dan Golongan C yang diduga terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung. Pembagian dalam tiga golongan tersebut memiliki
konsekuensi tersendiri dalam penggunan hak pilih. 36
Uraian diatas memperlihatkan bagaimana “manusia” sebagai adressat hukum bertemu dalam satu batas-batas tertentu.Dalam situasi khusus,
adegium seperti kesamaan dimuka hukum berhadapan dengan momen – meminjam istilah Agamben- tak-terputuskan. Maka hukum untuk manusia dimana hukum sebagai instrumen untuk manusia berubah menjadi hukum untuk peneguhan kedaulatan.Permasalahanya, situasi pergantian rezim otoritarian dengan harapan menuju masa yang lebih demokratis tidak dibarengi dengan penegakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM oleh penguasa pada masa sebelumnya.Upaya-upaya seperti reparasi; rekonsiliasi, restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan berbagai upaya pemulihan hak lainya tidak terjadi di Indonesia dimana yang terjadi adalah praktik pelanggengan
impunitas. 37
Terkhusus untuk peristiwa 1965, proses berjalan lebih lambat.Pengakuan maupun pengusutan secara resmi mengenai peristiwa tersebut berlaku seiring dengan masih kuatnya sejarah orde baru – pencongkelan mata dan pemotongan penis gerwani- dalam menciptakan
36 Terakhir terdapat dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 12/2003 yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-
017/PUU-I/ 2003
37 Suparman Marzuki. Pengadilan HAM di Indonesia, Melanggengkan Impunity.Penerbit Erlangga. Jakarta. 2012 dalam disertasi ini Marzuki memperlihatkan praktik pengadilan HAM di Indonesia
yang dalam simpulanya tidaklah mencerminkan semangat keadilan. Studi Marzuki mencakup Pengadilan Tanjung Priok, Timor-Timur, dan Tragedi 1998 yang dalam simpulanya mengatakan bahwa praktik pengadilan HAM di Indonesia melanggengkan impunitas.
fobia komunisme. Hal ini terlihat dari berbagai peristiwa; dari pembubaran
38 39 40 diskusi 41 , pembakaran peti mati, kampanye presiden, pemukulan tapol, sweeping buku-buku kiri 42 dan lain sebagainya menunjukkan hal tersebut.
Selain itu, pada masa pasca-Soeharto, adalah Presiden Abdurrahman Wahid yang pertama kali mengutarakan permintaan maaf dan bahkan wacana penghapusan TAP MPRS/XXV/1966 yang menurutnya sudah tidak lagi relevan. 43 Hanya saja, permintaan maaf tersebut mendapat tantangan yang luar biasa, termasuk dari basis akar-rumput Presiden Gus Dur sendiri. 44
Lebih lanjut, hasil dari penelitian dan penyelidikan Komnas HAM mengenai indikasi pelanggaran berat HAM 1965 dikembalikan oleh Jaksa Agung dan hingga kini belum ada kemajuan yang berarti. 45 Terlebih, upaya alternatif
melalui jalur rekonsiliasi juga kandas dengan Keputusan Mahkamah
38 Pembubaran diskusi Harry Poeze di Komunitas C59 Surabaya, ancaman pembubaran diskusi serupa di Semarang, pembubaran diskusi dan pemutaran film Act of Killings dan The Look of
Silence di berbagai tempat dilakukan dengan dalih penyebaran komunisme tersebut. 39 Peristiwa penggalian makam-massal di Hutan Kaliwiru Wonosobo dan pemakaman ulang yang
berujung pada pembakaran peti mati beserta rumah penyumbang tanah makam tersebut.Lihat dalam Katherine Mcgregor.Mass Grave and Memories of the 1965 Indonesian Killings.Dalam Op Cit Douglas Karmen & Katharine McGregor. The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965- 68… hlm 234-262.
40 Munculnya isu calon presiden masa itu, Joko Widodo, sebagai anak keturunan PKI yang sempat ramai dalam berbagai media massa dalam upayanya untuk mendiskreditkanya menunjukkan
bagaimana label “PKI” masih menjadi label yang menakutkan. 41 Peristiwa sosialisasi dan pengobatan gratis para tapol yang diadakan di Yogyakarta berujung
pada penggrebekan dan pemukulan para tapol yang kebanyakan telah berusia lanjut.
42 Di Yogyakarta, FPI membakar dan mensweeping buku-buku yang dianggap berbau kiri di berbagai toko buku di Yogyakarta. LihatIwan Awalludin dkk. Pelarangan Buku di Indonesia,
Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi. PR2Media. Yogyakarta. 2010.Hlm 108 disamping itu, Iwan Awalludin dkk juga menunjukkan berbagai praktik sensor seperti buku Pramoedya, buku Ribka Diah Tjiptaning, dan lain sebagainya.
43 lihat Marry S. Zurbucgen. History, Memory , and the ‘1965 Incident’ In Indonesia. University California Press 2002 hlm 572 upaya Gus Dur lain dapat dilihat dalam Budiawan. Menolak