Jalan Alternatif: Rekonsiliasi dari Bawah
F.4. Jalan Alternatif: Rekonsiliasi dari Bawah
Bagian sebelumnya telah menunjukkan bagaimana kebencian terhadap komunisme diwariskan dan menjadi legitimasi berdirinya Orde Baru melalui peringatan Hari 1 Oktober. Pada kasus Chile dan Afrika Selatan, semangat rekonsiliasi, terutama terhadap korban sesungguhnya telah ada melalui ornop yang aktif dalam kampanye HAM dan memberikan pelayanan kepada korban. Di Indonesia sendiri, untuk peristiwa 1965, telah terdapat beberapa upaya inisiasi lokal.
Model rekonsiliasi semacam ini, menurut Jaspers, adalah model munculnya kesalahan eksistensial dari dalam. Berbeda dari kesalahan dari luar yang ditujukan oleh satu pihak kepada pihak yang lain, kesalahan dari dalam; kesalahan moral dan kesalahan metafisik, hanya dapat muncul dari kesadaran eksistensial saja, yaitu perasaan senasib sepenanggungan, rasa bersalah, yang muncul apabila terjadi kekejaman, bahkan yang terjadi di tempat maupun waktu yang berbeda. Rasa bersalah dari luar adalah rasa bersalah yang muncul dari pengadilan maupun akusasi politik. Sementara itu, rasa bersalah dari dalam tidak hanya menunjukkan empati, namun juga tindakan, bahwa ada sesuatu yang dapat diperbuat atas penderitaan yang dialami. Otensitas tindakan, menurut Jaspers, terletak pada jenis rasa bersalah kedua, yaitu kesalahan dari dalam.
Syarikat, yang berisikan generasi terpelajar NU, telah bertindak progresif dengan melampaui sejarah kekerasan organisasinya. Sementara inisiasi SKP- HAM dan Rusdy Mastura di Palu adalah contoh paling berhasil bagaimana Syarikat, yang berisikan generasi terpelajar NU, telah bertindak progresif dengan melampaui sejarah kekerasan organisasinya. Sementara inisiasi SKP- HAM dan Rusdy Mastura di Palu adalah contoh paling berhasil bagaimana
F.4.1 Blitar dan Palu, Pengalaman-Pengalaman Inisiasi Lokal
Salah satu penggagas rekonsiliasi kultural adalah dari golongan muda NU. Sebagaimana diketahui, benturan yang terjadi antara golongan Islam dan PKI berlangsung terutama semenjak 1948, reforma agraia 1960, dan memuncak pada peristiwa 1965 dimana menurut pengakuan Gus Dur sendiri, juga turut serta dalam tindak kekerasan terhadap tertuduh PKI. Tidak hanya golongan muda, ada pula beberapa golongan tua yang mengakui penderitaan korban meski banyak pula yang resisten. Golongan terpelajar muda tersebut adalah Syarikat (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat) dengan mengusung gagasan pemberdayaan masyarakat rekonsiliasi korban pembantaian 1965-66, melanjutkan semangat rekonsiliasi dari Gus Dur dengan semangat ukhuwwah wathaniyyah. 592
592 Op Cit Budiawan. Mematahkan Pewarisan Ingatan… hlm 106
Menurut Budiawan, dibandingkan dengan para generasi tua yang memandang PKI sebagai paria dan musuh pengkhianat bangsa dan negara, para golongan muda tersebut menginisiasi persamaan hak kemanusiaan dalam bermasyarakat. Kontras sikap tersebut sesunggunhnya dapat pula diamati dari terbitnya buku putih NU : Benturan NU-PKI 1948-1965 yang berisikan klarifikasi atas kekerasan yang dilakukan oleh pihak NU yang pada intinya mengembalikan posisi dibunuh atau membunuh dengan militer sebagai partner, dan kesaktian para
kader NU. 593 Penerbitan buku tersebut kemudian disayangkan oleh para NU muda. 594
Apa yang dilakukan oleh Syarikat bukan saja memberikan hak berbicara kepada musuh politik, melainkan bahwa hak tersebut telah inheren ada pada setiap warganegara. Bahkan, penulisan ulang sejarah, seharusnya dilakukan justru
melalui kisah-kisah pribadi musuh politik NU. 595 Syarikat juga bersikap kritis terhadap sejarah tunggal versi orde baru, yang menganggap PKI sebagai dalang
pembunuhan dan pembenaran terhadap pembantaian sesudahnya. Syarikat menerbitkan majalah Ruas dengan fokus terutama untuk penyintas eks-tapol 1965. Keunggulan dari ruas ini adalah, menyediakan ruang bagi para penyintas untuk menulis sejarah mereka sendiri. Tekanan dari kubu NU sendiri tentu ada,
593 Lihat H. Abdul Munim DZ. Benturan NU-PKI 1948-1950. Depok. PBNU & Langgar Swadaya Nusantara. 2014 dengan catatan terdapat pula aspek positif dalam buku ini, yaitu bagaimana NU
mengasuh anak para korban pembantaian. Bagaimanapun, perspektif yang disajikan dalam buku tersebut terhadap para korban adalah hubungan subyek-obyek, yang sangat berbeda dengan pendekatan Syarikat, hubungan antar subyek yang setara.
594 Lihat ulasan mengenai buku putih dalam http://indoprogress.com/2013/12/lagi-tentang-nu-
http://indoprogress.com/2013/12/dari-benturan-ke-konsolidasi- tentang-nu-dan-buku-putih-1965/ kedua tulisan tersebut ditulis oleh Muhammad al-fayyadl dari PCI NU Perancis dan Najib Yuliantoro, PCI NU Belgia. Keduanya menyatakan bahwa buku putih tersebut perlu untuk direvisi.
dan-buku-putih-1965/ dan
595 Op Cit Budiawan. Menolak Pewarisan Ingatan… hlm 108 595 Op Cit Budiawan. Menolak Pewarisan Ingatan… hlm 108
Dari penelitian Budiawan, aksi nyata yang dilakukan oleh Syarikat adalah pada kasus Blitar, dimana pada saat benturan kekerasan, militer mengerahkan Banser yang diperintahkan untuk menangkap atau membunuh para tertuduh komunis yang lolos dari kepungan militer. Semenjak itu, komunitas Blitar yang selamat dari Operasi Trisula tersebut ttidak pernah berkomunikasi dengan komunitas NU selama tiga dekade. Para aktivis Syarikat mengadakan kontak dan menjalin hubungan intens dengan para penyintas. Dilain pihak, Syarikat juga menghubungi para Kyai dan veteran Banser. Dari keterangan keduanya, terlihat kontras ingatan: baik pihak BTI maupun NU masing-masing menerima selebaran yang berisi daftar sasaran masing-masing, sehingga baik BTI maupun NU saling merasa terancam sebelum akhirnya NU mengawali kekerasan. 597 Setelah kedua
belah pihak bertemu, masing-masing menyatakan telah menjadi korban dari kampanye penghancuran PKI.
Diantara proses rekonsiliasi 1965 baik secara nasional maupun lokal, barangkali proses rekonsiliasi paling sukses dari inisiasi lokal adalah di Kota Palu, yang dilakukan tidak hanya secara informal melainkan juga formal dengan tindak lanjut berupa Peraturan Daerah. Pada, 24 Maret 2012, dalam pertemuan sederhana yang dihadiri oleh korban 1965, korban konflik Poso, korban kekerasan seksual
596 Ibid hlm 124 597 Ibid hlm 128 596 Ibid hlm 124 597 Ibid hlm 128
selaku Kepala Pemerintahan Daerah Kota. 598 Di Kota Palu sendiri, pada saat peristiwa 1965 terjadi praktik-praktik kekerasan terhadap PKI maupun organisasi
massa dibawahnya seperti pembunuhan, pemerkosaan, penghilangan dan lain sebagainya. Pada tahun 1965 dan pada tahun 1966 yang menjadi sasaran adalah PKI beserta kelompok organisasi massnya. Pada tahun 1969-1970, yang menjadi sasaran adalah Kelompok Brawijaya Yon 711 Raksatama yang baru pulang dari pembebasan Irian Barat, dan gelombang terakhir adalah tahun 1975 yang ditujukan kepada orang daerah yang merupakan anggota PNI dengan isu
Komunisme Gaya Baru (KGB). 599
Menurut Lamasitudju, meski terdapat aksi kekerasan, situasi di Sulawesi Tengah berbeda dari wilayah lain di Indonesia. Angka kematian kecil saja, sementara mereka yang ditahan atas tuduhan KGB dibebaskan dan mendapat rehabilitasi. Hal tersebut dikarenakan sedikitnya konflik akar rumput di Sulawesi Selatan, juga baiknya hubungan antara PKI dan militer. Justru pada saat kerja paksa, Lamasitudju mengatakan bahwa telah muncul benih rekonsiliasi melalui posampesuvu, atau rasa kekeluargaan yang pada saat itu warga desa membantu tapol yang terlambat kiriman makananya. 600 Selain itu, terdapat pula tokoh Syekh
598 Nurlaela A.K. Lamasitudju. Rekonsiliasi dan Pernyataan Maaf Pak Wali Kota dalam Op Cit Baskara T. Wardaya. Luka Bangsa Luka Kita, Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Tawaran
Rekonsiliasi… hlm 371 599 Ibid hlm 372-373
600 Ibid hlm 376
Al-Jufri, pemuka agama di Sulawesi Tengah, yang melakukan pembelaan atas stigma bahwa PKI adalah tidak bertuhan.
Untuk permintaan maaf yang dilakukan oleh Walikota pada tahun 2012, berawal mula dari diskusi-diskusi yang dilakukan pada awal-awal tahun reformasi. LPKP 65 dan LPR-KROB, organisasi korban orde baru, membuka cabang di Kota Palu. Tidak lama kemudian, karena peristiwa Poso, mulai bermunculan ornop yang bergiat dalam bidang HAM. Kemudian dibentukal Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM), yang merupakan gabungan dari organisasi-organisasi korban, membuat dokumentasi, dan mengumpulkan 1.028 kesaksian dengan 1.210 korban yang tersebar di Sulawesi Tenggara. Berangkat dari situ kemudian dilakukan diskusi sederhana dari rumah ke rumah dan dari kampung ke kampung, yang berfungsi dengan baik dalam hal stigma PKI. Dalam acara yang digelar pada tahun 2012 diatas, terdapat pertemuan antara pelaku dan korban dimana keduanya saling membenarkan cerita satu sama lain dan saling mengucap maaf, Rudi Mastura, yang diundang dan menyaksikan acara tersebut kemudian mengucapkan permintaan maaf dan mengatakan bahwa dirinya dulu adalah termasuk orang yang menangkap para tertuduh PKI dan menjaga rumah tahanan, tidak hanya itu, Mastura juga menyanggupi permintaan reparasi
para korban. 601
Permintaan maaf tersebut kemudian mearik minat Watimres Albert Hasibuan ke Palu yang menghadiri seminar korban 1965. Dalam acara tersebut
601 Ibid hlm 382. Lihat juga Liputan Khusus Tempo. Pengakuan Algojo 1965, edisi 1-7 Oktober 2012. Hlm 107
Rusdy Mastura mengucapkan kembali permintaan maaf. Pada akhir tahun 2012, Rusdi kembali melontarkan permintaan maaf dan menganggarkan jaminan kesehatan gratis, beasiswa, jaminan hari tua dan bantuan usaha pada APBD kota
Palu 2013. 602
Tindak lanjut dari permintaan maaf tersebut adalah Rusdy Mastura mengeluarkan Peraturan Walikota Palu 15/2003 tentang Rancangan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Daerah yang merupakan tindak lanjut dari program Kota Palu sebagai Kota Sadar HAM. Berdasarkan ketentuan tersebut Walikota membentuk Ranham Daerah yang terdiri dari Wakil walikota, Sekertari Daerah sebagai ketua dan wakil Ranham Daerah, dan beranggotakan unsur dari pemerintah,
pakar/akademisi, dan masyarakat sesuai dengan kebutuhan. 603 Hak reparasi diberikan kepada korban pelanggaran HAM yang kemudian diverifikasi oleh
SKPD terkait, dan hasil tersebut ditetapkan oleh Keputusan Walikota. 604 Data hasil verifikasi sendiri adalah data korban dugaan pelanggaran HAM yang
diperoleh dari masyarakat atau ornop yang kemudian diverifikasi oleh SKPD. 605 Ketentuan tersebut menunjukkan partisipasi masyarakat sipil atau ornop pada proses reparasi. Hasil dari verifikasi tersebut kemudian akan dikoordinasikan
kepada kelompok kerja (pokja) yang dibentuk. 606
Di Kota Palu sendiri, SKP-HAM telah melakukan penelitian dan verifikasi tersendiri mengenai korban Pelanggaran HAM 65/66 mencakup penangkapan,
602 Ibid hlm 383 603 Pasal 5 Perwal Palu 25/2013 604 Pasal 10 Perwal Palu 25/2013 605 Pasal 1 angka 14 Perwal Palu 25/2013 606 Pasal 7 (1), (2) , (3) Perwal Palu 25/203 602 Ibid hlm 383 603 Pasal 5 Perwal Palu 25/2013 604 Pasal 10 Perwal Palu 25/2013 605 Pasal 1 angka 14 Perwal Palu 25/2013 606 Pasal 7 (1), (2) , (3) Perwal Palu 25/203
memunculkan 768 jumlah korban dimana 514 diantaranya terverifikasi, dan dari jumlah tersebut 485 diantaranya bersedia untuk memberikan informasi, yang apabila dilihat dari jumlah keluarga yang menurut definisi Perwal 25/2013 juga
merupakan korban, maka jumlah seluruhnya adalah 2.169 orang. 608 Hasil laporan tersebut juga mencantumkan rekomendasi kepada Pemda Kota Palu yang
isinya: 609
1. Permintaan maaf secara tertulis dalam bentuk dokumen resmi.
2. Menindaklanjuti Surat Keterangan Korban dari Komnas HAM, yaitu dengan mengeluarkan Surat Keterangan Khusus.
3. Terobosan penegakan HAM dalam perumusan kebijakan perencanaan dan pembangunan daerah,
4. Implementasi Perwali 25/2013 dengan merumuskan merancang program pemenuhan HAM, dan pengutamaan pemenuhan HAM terhadap korban langsung.
5. Mengambil langkah afirmatif bak dalam bidang politik, sosial ekonomi maupun psiko-sosial.
607 SKP-HAM sesungguhnya menemukan terdapat enam belas pelanggaran HAM antara lain: kerja paksa, wajib lapor, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pengambilan dan pemutusan
sumber penghidupan,
manusiawi, pemerasan, pencurian/penjarahan/perampkan barang milik, pengadilan yang tidak adil, pembiaran yang mengakibatkan kematian, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pembakaran dan pengerusakan rumah dan hak milik, usaha eksekusi, dan perkosaan. Lihat dalam Syafari Firdaus dkk. Ringkasan Eksekutif, Penelitian dan Verifikasi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu. Bappeda Kota Palu, SKP-HAM Sulteng, NHRF & AJAR. 2015. Hlm 16-17
608 Ibid hlm 31 609 Ibid hlm 54
6. Menjaga dan memperkuat proses rekonsiliasi dengan memberi ruang untuk mengungkapkan kebenaran bagi korban.
7. Pengakuan dan penghargaan korban kerja paksa atas sumbangsihnya bagi pertumbuhan ekonomi.
8. Verifikasi lanjutan anak-anak korban terdampak langsung.
9. Pemda untuk mengusulkan kepada Dinas Pendidikan untuk memasuukkan HAM dan 1965/66 di Kota Palu sebagai bahan ajar, setidaknya sebagai muatan lokal.
10. Sosialisasi hasil penelitian kepada berbagai pihak. Meski sampai tulisan ini dibuat reparasi tersebut masih dalam proses,
namun dapat terlihat bahwa terdapat dua elemen utama dari berlangsungnya proses di Palu. Elemen pertama adalah good will eksekutif dalam menggunakan wewenangnya untuk pemenuhan HAM, yang dilakukan secara formal maupun informal oleh Rusdy Mastura. Elemen kedua adalah inisiasi beragam ornop HAM dalam kampanye HAM, baik dalam bentuk aksi maupun edukasi melalui penelitian-penelitian HAM. Pemerintah Kota Palu, terutama Rusdy Mastura merupakan terobosan progresif dalam mempelopori penegakan HAM untuk perkara 1965 di Indonesia.
F.4.2 Rekonsiliasi Roh Mbah Kelik di Plumbon, Ngaliyan Semarang
Permasalahan rekonsiliasi tidak hanya menyangkut kepada mereka yang hidup, melainkan juga kepada kuburan tanpa nama yang tersebar di berbagai tempat, yang merupakan lokasi eksekusi terhadap para tertuduh komunis. Bagi Permasalahan rekonsiliasi tidak hanya menyangkut kepada mereka yang hidup, melainkan juga kepada kuburan tanpa nama yang tersebar di berbagai tempat, yang merupakan lokasi eksekusi terhadap para tertuduh komunis. Bagi
penderitaan adalah bagaimana membuat mereka berbicara. 610 Dalam konteks penghilangan paksa ini, kuburan massal tersebut dapat digunakan sebagai saksi
yang berbicara, yang tadinya berada dalam garis batas antara hidup dan mati, menjadi bukti tentang kekejaman pada masa lalu.
Kuburan tanpa nama, yang diselingi dengan banyak mitos adalah tempat yang aneh, karena ketidakpastian daripada isi maupun kisahnya. 611 Tapi lain
ceritanya apabila yang dikuburkan adalah pesakitan yang dituduh melakukan pemberontakan. Rasa takut, haru, dan heroisme bercampur menjadi satu. Menurut Agamben, kekejaman yang ditujukan terhadap para homo sacer ini adalah sebuah pameran akan pornografi kengerian, 612 kengerian yang sekaligus menumbuhkan
610 Giorgio Agamben. Remnants of Auschwitz, The Witness and The Archive. Zone Books. New York. 1999. Hlm 165
611 Op Cit Benedict Anderson. Imagined Communities… hlm 9, 10 612 John Lechte & Saul Newman. Agamben and The Politics of Human Rights: Statelessness, Images, Violence. Edinburg University Press. 2013. Hlm 101.
rasa takut dan rasa ingin tahu. Kuburan tidak bernama tersebut kemudian menjadi suatu situs dimana wacana bersaing, antara sejarah resmi orde baru, dan kisah personal para keluarga korban. Rezim Soeharto boleh saja telah tumbang, dan Soeharto telah meninggal, akan tetapi wacana sejarah tunggalnya belum mati, ketakutan terhadap komunisme dan aksi kekerasan terhadapnya masih sering berlangsung.
Astana Giribangun, kompleks pemakaman Soeharto, adalah sebuah fasilitas pemakaman komplit di tengah perbukitan yang rindang. Berbanding terbalik, momen peneguhan kedaulatan dan homo sacer, mereka yang dibunuh dan impunitas atasnya, menyisakan kuburan-kuburan tidak bernama di tengah sunyi hutan maupun sungai-sungai. Pembunuhan tersebut disertai impunitas, mengingat yang muncul dalam tiga dekade rezim orde baru memunculkan
amnesia sosial. 613
Setelah reformasi, terdapat bebapa upaya untuk merawat pengkuburan massal, yang pertama adalah eksvakasi kuburan massal di Hutan Kaliwiro Wonosobo. Eksvakasi tersebut adalah inisiasi dari YPKP dengan ketua Ibu Sulami, pada tahun 2000. Acara itu berjalan lancar, antara lain karena kedekatan
politis antara YPKP dan PDI-P, serta kerjasama dengan Pemuda NU. 614 Peran
613 Benedict Anderson. Exit Obituary for a Mediocre Tyrant. The New Left Review 50 Maret-April 2008. Hlm 52-54
614 Trimawan Nugrohadi (PDI-P) dan Kholiq Arief (PKB). Kholiq Arief sempat meminta acara aksvakasi untuk ditunda, menunggu keputusan Komnas HAM. Komnas HAM sendiri pada saat itu
hanya memiliki wewenang untuk melakukan penelitian pada korban Pulau Buru saja. Lihat dalam Katharine Mcregor. Mass Graves and Memories of the 1965 Indonesian Killings dalam Douglas Kammen & Katharine McGregor. The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68. Asian Studies Association of Australia & Unversity of Hawaii Press. Honolulu. 2012. 238 hanya memiliki wewenang untuk melakukan penelitian pada korban Pulau Buru saja. Lihat dalam Katharine Mcregor. Mass Graves and Memories of the 1965 Indonesian Killings dalam Douglas Kammen & Katharine McGregor. The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68. Asian Studies Association of Australia & Unversity of Hawaii Press. Honolulu. 2012. 238
Penemuan kuburan massal berawal dari kesaksian penjaga penjara yang menyebutkan adanya makam di Wonosobo. Kesaksian lain adalah dari penggali kuburan, dan dari keluarga korban. 615 Eksvakasi berjalan dengan lancar, para pemuda Ansor membantu tanpa mengenakan seragam, baik dalam hal penanganan maupun acara lainya. Dari eksvakasi, terdapat 26 kerangka, dan dihadiri baik oleh warga, wartawan, maupun keluarga. Dari hasil forensik, dr. Handoko dari UI menyatakan para korban dibunuh dengan menggunakan senjata militer. Pada awalnya, hasil forensik tersebut selain untuk mengidentifikasi korban juga hendak dipergunakan sebagai bukti adanya pembunuhan massal, namun akhirnya hasil forensik, tanpa dukungan dari Komnas HAM, tidak dapat digunakan sebagai alat
bukti tindak pidana. 616
Sempat terkatung-katung di rumah sakit, Kerangka yang diambil dari Kaliwiru akan dipindahkan ke Kaloran, hibah dari seorang mantan tahanan politik 1965. Maret 2001, pada saat pemakaman ulang hendak dilangsungkan, rombongan dihadang oleh Forum Ukhuwah Islamiyah Kaloran, FUIK. Sembari membawa senjata tajam, mereka mengancam dan menolak pemakaman di Kaloran. Mereka mengambil beberapa kerangka, dan membakarnya. Pak J, salah
615 Ibid hlm 243 616 Ibid hlm 242 Untuk dapat dipergunakan sebagai alat pidana, harus dilakukan oleh aparat yang berwenang, dalam hal ini kepolisian menurut UU 8/1980, dan Komnas HAM untuk perkara pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam UU 26/2000 . Eksvakasi secara mandiri tersebut dengan demikian menggugurkan kerangka-kerangka menjadi alat bukti kejahatan.
seorang keluarga yang berhasil menyelamatkan kerangka yang hendak dibakar, menceritakan sebagai berikut:
Situasi waktu itu sangat mengancam mas, mobil depan berhasil lolos tapi mobil saya tidak. Saya satu rombongan dengan mbah-mbah tua. Waktu dicegat kami ditodong senjata tajam, sementara mbah-mbah tua perempuan yang satu rombongan dengan saya sempat dikamplengi sembari dikata-katai. Waktu kondisi kacau itu, gerombolan preman itu mengambil beberapa mayat dan disembunyikan. Saya yang sadar kalau mayat kakak saya hilang, kerangka nomor [x], langsung mencari, ternyata disembunyikan di mobil warna merah. Saya ambil, dan waktu itu datang preman besar berambut gondrong mau menyabetkan golok, saya pasrah dan bilang “assalamu’alaikum!” dan ndak tahu kenapa dia tidak jadi nyabet. Kerangka kakak saya kemudian diamankan, namun tidak kerangka lain yang belum sempat diselamatkan, waktu itu, kesalamatan kami yang terancam membuat tak bisa begitu saja fokus pada kerangka. Saya
beruntung. 617 Pengalaman Wonosobo memberikan banyak arti untuk upaya serupa di
Semarang. Penemuan kuburan massal tersebut pada awalnya telah dilakukan dalam misi YPKP, akan tetapi baru muncul ke permukaan ketika penelitian dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Semarang memaparkan hasil temuanya dalam beberapakali diskusi. Pertama adalah diskusi dalam Pekan Peringatan Munir, dan dilanjutkan dalam beberapa forum diskusi lain. Keterangan yang diberikan pada saat itu adalah, adanya kuburan massal pembunuhan tertuduh komunis di Plumbon, Ngaliyan.
Menanggapi temuan tersebut, dibentuklah satu kelompok kecil: Perkumpulan Masyarkat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM). Kelompok ini bersifat cair dan terdiri dari berbagai latar belakang. Kelompok mulai melakukan investigasi awal, mendatangi makam dan berhubungan dengan
617 Pertemuan ini berlangsung pada 11 Juni 2015.
warga. Kuburan Plumbon terletak di Kecamatan Ngaliyan, Semarang, yang dahulu merupakan bagian dari Kabupaten Kendal. Lokasi kuburan terletak di tengah hutan jati yang dimiliki oleh Perhutani, dengan adanya dua gundukan batu sebagai penanda. Korban diperkirakan adalah warga Kendal, dan selama kegiatan, kelompok melibatkan pula para pegiat HAM di Kendal.
Pertemuan awal kepada warga, kelompok ditanya mengenai tujuanya, dan ketika diutarakan hendak memasang nisan dan pemakaman ulang, reaksi warga mendapatkan tanggapan yang positif dari warga. Salah satu tokoh masyarakat, Mbah Kelik, yang nantinya akan menjadi pelopor penggerak warga dalam gerakan penisanan, bersama dengan masyarakat lain menyetujui ide tersebut. Sedari awal, Mbah Kelik telah mengajukan gagasan mengenai pentingnya rekonsiliasi, tentang mengakhiri kekejaman masa lalu, dan bahwa hal tersebut tidak hanya ditujukan kepada mereka yang masih hidup, namun juga terhadap para roh, dia menyebutnya sebagai rekonsiliasi roh.
Selama ini, kuburan massal di Plumbon tersebut terkenal sebagai tempat mencari peruntungan untuk memasang nomor togel. Awalnya warga mengatakan tidak ada orang yang berkunjung ke makam untuk berziarah, namun belakangan selama proses gerakan, mereka mengatakan terkadang beberapa orang keluarga korban datang berziarah. Terdapat beberapa variasi mengenai perkiraan jumlah korban, antara 12-40 orang, hasil investigasi kemudian menunjukkan jumlah 12-
24 orang.
Pada beberapa pertemuan selanjutnya, kelompok bertemu dengan dua dari empat penggali kubur yang masih hidup. Dari keduanya, disusun cerita sebagai berikut:
Malam hari, sekitar pukul 21.00 datang truk dan jip. Sebelum kedatangan mereka, warga telah terlebih dahulu mendapat pengumuman untuk tetap tinggal dirumah. Hanya orang tertentu yang boleh meninggalkan lokasi. Mbah S adalah pengecualian karena dirinya adalah menantu dari pamong desa sehingga harus menemani mertuanya dalam menyambut kedatangan tentara. Jip dan truk tersebut mengangkut orang berbaju tentara baret merah dan –kira-kira- 24 orang yang saling terikat sama lain. Mereka turun dari kendaraan dan digiring menuju hutan jati, diperintahkan menggali lubang dan ditembak. Eksekusi berlangsung tengah malam ditengah hujan lebat dan baru selesai pada pukul 02.00. Selama rentang waktu tersebut warga mendengar bunyi rentetan senjata. Kisah yang cukup terkenal adalah cerita mengenai salah satu korban yang dipercaya adalah perempuan sakti, Mutiah, yang tidak bisa mati sehingga perlu untuk dihilangkan dulu kesaktianya. Karena eksekusi berlangsung malam hari dan hujan deras, tidak semua tubuh yang dieksekusi masuk secara sempurna. Pagi hari, pamong desa memerintahkan kepada M, S, dan dua orang lainya untuk merapikan jenazah-jenazah tersebut. S melihat masih ada bagian tubuh yang tidak masuk dalam lubang, juga ceceran daging yang dikerumumi semut. Dilain pihak, Mukarmaen yang menyaksikan hal tersebut tidak kuat dan ambruk beberapa kali sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang kerumah. Setelah jenazah dirapikan kuburan kemudian diberi penanda berupa dua pohon jarak sebagai pembeda diantara pohon jati lainya. Awalnya terdapat tiga liang, namun berdasarkan kesaksian hanya dua dari tiga yang berisi kerangka mayat.
Berdasarkan dari hasil investigasi selanjutnya, ditemukan sejumlah nama- nama yang diduga merupakan korban. Nama tersebut diperoleh dari kesaksian keluarga korban yang mengetahui adanya eksekusi. November 2014, Hasil temuan sementara tersebut kemudian menjadi bahan laporan dan permohonan rekomenasi kepada Komnas HAM dengan tembusan KontraS, Imparsial, dan
Elsam. 618 Lamanya tanggapan, kawan-kawan selaku mewakili PMS-HAM
618 Surat laporan tersebut mempertanyakan tiga hal kepada Komnas HAM antara lain: 1. Dapatkah jenazah korban dilakukan pemakaman ulang, dan bagaimana prosedurnya.
mengunjungi kantor Komnas HAM dan diterima oleh Roychatul Aswidah, namun setelah penyampaian, masih belum ada tanggapan. Hingga Februari 2015, akhirnya diputuskan untuk tidak melibatkan Komnas HAM. Tanpa Komnas HAM, maka kelompok tidak dapat melakukan pembongkaran seperti yang dilakukan di Wonosobo yang apabila dilakukan menggugurkan kuburan sebagai alat bukti. Kegiatan yang dipilih adalah penisanan ulang.
Untuk mengukur tanggapan masyarakat luas, kelompok melakukan beberapa kegiatan sampingan. Pertama adalah pemutaran film The Look of Silence (Senyap), yang menceritakan Adi Rukun, penyintas 1965. Di beberapa kota seperti Yogyakarta dan Malang, pemutaran film tersebut dibubarkan paksa. Di Semarang, film diputar disejumlah tempat, dan kesuksesan terbesar adalah pemutaran Senyap di ruang terbuka di Taman Menteri Supeno, yang terletak di tengah kota. Kegiatan lain adalah menyelenggarakan diskusi publik seputar Kuburan Plumbon di Balaikota Semarang. Diskusi tersebut menghadirkan Mbah Kelik (warga), Romo Budi (keuskupan) Prof. Warsino (pakar sejarah), Tedi Kholiludin (NU) dan perwakilan PMS-HAM. Selain beberapa upaya terbuka, dilakukan pula diskusi-diskusi dengan para mahasiswa. Hal ini penting berkaca dari pengalaman kerusuhan dalam penanganan kuburan massal di Wonosobo dan mengingat di Kota Semarang sendiri sempat terjadi ancaman pembubaran diskusi Tan Malaka yang mendatangkan Harry Poeze oleh Front Pembela Islam dan Pemuda Pancasila.
2. Siapa yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemakman ulang. 3. Wewenang untuk melakukan dokumentasi, dan Komnas HAM untuk memfasiltasi.
Tambahan lain adalah permohonan kepada Komnas HAM untuk membentuk tim pencari fakta untuk kuburan Plumbon di Ngaliyan Semarang.
Pada bulan yang sama, PMS-HAM mengadakan pertemuan dengan Pemerintahan Kota Semarang. Bersama PMS-HAM adalah Camat Ngaliyan dan Lurah Wonosari dan diterima oleh Sekertaris Daerah Adi Tri Hananto dan mendapat sambutan positif. Mengingat lokasi kuburan terletak di tanah hutan produktif milik Perhutani, langkah selanjutnya adalah menyurati Perhutani Kendal, dan setelah melakukan review, Mei 2015 diputuskan bahwa kuburan tersebut boleh dijadikan kuburan yang layak dan kedepanya boleh dimakamkan ulang setelah mendapatkan izin negara dengan catatan tidak melakukan penebangan pohon.
Gagasan yang diusung dari penisanan ulang adalah perihal kebersamaan dengan melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat. Untuk melakukan hal tersebut, penisanan dilakukan dengan tiga cara: secara Islam, secara Katolik, dan secara Kejawen. Kegiatan ini juga melibatkan unsur mahasiswa dengan beragam latar belakang, antara lain: GMNI DPC Semarang, PMII Undip, IMM Ibnu Sina Undip, Exsara, RBSS, Komunitas Payung, dan lain sebagainya. Setelah sosialisasi sepanjang bulan September 2014-Mei 2015, beberapa hari sebelum acara dimulai kepanitaan mahasiswa dibentuk. Warga sendiri menyambut dengan antusias, dalam persiapanya berkoordinasi dan secara gotong royong bersama dengan mahasiswa menyiapkan perlengkapan acara. Prioritas utama adalah pelayanan dan persiapan terburuk pengamanan para eks-tapol yang telah berusia lanjut. Tajuk utama dari acara ini mengadopsi ide dari Mbah Kelik: Rekonsiliasi Roh, bahwa kedamaian bukan hanya untuk mereka yang hidup, namun juga kepada mereka yang telah tiada.
Acara berlangsung lancar, dengan dihadiri oleh warga, Pemkot, Camat, Lurah, Perhutani, Ketua Banser Jawa Tengah, mahasiswa, jurnalis, kawan pegiat HAM dari Kendal dan lain sebagainya. Isu-isu ancaman akan adanya kekerasan yang sempat muncul sebelumnya tidak terjadi. Upacara penisanan diawali dengan sambutan-sambutan, antara lain dari Kesbangpol mewakili Pemkot Semarang, Camat, Lurah, dan kemudian doa bersama. Sembari menaiki bukit menuju kuburan, shalawatan didengungkan, diiringi oleh sexophone dari Romo Aloysius Budi. Nuansa haru tidak tertahankan, baik eks-tapol, keluarga korban, mahasiswa, menangis baik pada saat pembacaan doa maupun pada saat Bagimu Negeri dinyanyikan. Kelana, seorang pegiat Kendal, membacakan puisi dan menyanyikan lagu hymne partai dan Internasionale. Setelah doa, acara kembali dilanjutkan dengan kesan dan pesan baik dari warga, aparat, maupun para ornop.
Berbeda dari Wonosobo, dimana dilakukan eksvakasi dan pemakaman ulang, Plumbon hanya terbatas pada kegiatan penisanan ulang. Dengan tidak adanya eksvakasi, maka sesungguhnya kebenaran mengenai keberadaan kerangka dan pembunuhan belum dapat dibuktikan. Meski demikian, penisanan yang dilakukan di Plumbon tetap memiliki dampak yang besar dalam upaya Berbeda dari Wonosobo, dimana dilakukan eksvakasi dan pemakaman ulang, Plumbon hanya terbatas pada kegiatan penisanan ulang. Dengan tidak adanya eksvakasi, maka sesungguhnya kebenaran mengenai keberadaan kerangka dan pembunuhan belum dapat dibuktikan. Meski demikian, penisanan yang dilakukan di Plumbon tetap memiliki dampak yang besar dalam upaya
politik. 619 Secara lebih luas, penisanan Plumbon, meskipun belum sampai dalam bentuk kebijakan seperti di Kota Palu, juga memperlihatkan bahwa melakukan
upaya rekonsiliasi dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat adalah mungkin dan dapat dilakukan.
Makna paling penting daripada penisanan pada kuburan massal tanpa nama adalah pada pengembalian nama, sebagai bagian paling subyektif dalam diri manusia. Berkaca dari pengalaman pada masa Nazi, maupun kamp konsentrasi pada umumnya, nama digantikan dengan tato atau nomor tahanan, yang menjadi penanda, membedakan antara mana manusia dan mana yang bukan. Mengembalikan nama, dengan demikian adalah mengembalikan subyektivitas, yang berarti pula mengembalikan status kemanusiaan yang tadinya hilang. Hubungan atara I-it berubah menjadi I-Thou, melampaui pornografi kengerian sekaligus menegaskan bahwa pengungkapan kebenaran adalah mungkin.
F.4.3 Pengadilan Rakyat Internasional 1965: Sebuah Upaya Rekognisi
Klaim terhadap hak adalah klaim terhadap status kemanusiaan. Melalui klaim terhadap hak, seseorang atau sekelompok orang mengajukan rekognisi
619 Stephanie Wolfe. The Politics of Reparation and Apologies. Springer. New York, Heidelberg, Dordrecht, London. 2014. Hlm 73 619 Stephanie Wolfe. The Politics of Reparation and Apologies. Springer. New York, Heidelberg, Dordrecht, London. 2014. Hlm 73
rekognisi adalah inklusi atas eksklusi yang tadinya ditimpakan terhadap mereka, atau dengan istilah Agamben, sovereign ban, dengan mengembalikan zoe kepada bios , persis karena hukum itu sendiri pada dasarnya adalah bersinonim dengan
hak (dikaion) yang dekat artinya dengan adil (dikaiosyne). 621 Tesis ini menunjukkan bagaimana upaya-upaya secara kelembagaan nyaris tidak berjalan,
bersamaan dengan kelemahan secara substansi hukum. Jawaban atas budaya bungkam tersebut, yang tampaknya adaah warisan utama dari Orde Baru, adalah dengan inisiasi dari bawah. Pengalaman di Blitar, Wonosobo, Plumbon, dan terutama Palu merupakan suatu bentuk upaya yang demikian dimana rakyat mengambil langkah inisiasi, mendahului negara yang dianggap abai. Seluruh upaya tersebut adalah dalam konteks lokal, dengan melibatkan masyarakat setempat dalam proses rekonsiliasi baik secara simbolik maupun materiil. Dengan alasan yang serupa, sekelompok masyarakat sipil mengadakan Pengadilan Rakyat 1965 yang baru saja berlangsung di Den Haag, Belanda.
Meskipun tidak memiliki pakem, dasar pembentukan dari Pengadilan Rakyat sesungguhnya sederhana; bahwa jangan sampai ada kejahatan yang dibiarkan dengan meningkatkan kesadaran secara moril ketika baik mekanisme nasional maupun internasional mengalami kebuntuan. Karena negara tidak mau
620 Costas Douzinas. Human Rights and Empire, The Political Philosophy of Cosmopolitanism. Routledge-Cavendish. New York. 2007. Hlm 104
621 Ibid hlm 47 621 Ibid hlm 47
Pengadilan Rakyat sendiri dapat ditelusuri dari Pengadilan Russel-Sartre pada tahun 1967 di Stockholm yang hendak mengadili kejahatan agresi Amerika Serikat di Vietnam. Sesungguhnya, Pengadilan Rakyat ini melanjutkan Pengadilan Nuremberg, yang dinilai hanya menghakimi kejahatan satu pihak saja dan kemudian dibubarkan. Hal itu terlihat dari korespondensi antara De Gaulle dan Sartre mengenai penyelenggaraan Pengadilan Internasional Kejahatan Perang yang awalnya hendak diadakan di Perancis, tapi ditolak oleh pemerintah De Gaulle, yang menganggap bahwa bagaimanapun harus dilakukan oleh negara. Sartre menjawab bahwa tidak ada badan internasional yang mampu dan mau untuk menghakimi agresi tersebut sehingga pengadilan tetap dianggap perlu, dan
akhirnya dipindah ke Stockholm. 622
Menurut Mehta, Pengadilan Internasional Kejahatan Perang yang diselenggarakan oleh Russel memiliki dampak yang luas dengan menempatkan pemerintah Amerika sebagai pihak yang didakwa dengan kejahatan perang. 623
622 Dalam suratnya yang ditujukan kepada De Gaulle, Sartre mengatakan: There was Nuremberg, of course, but after having enforced the laws of the conqueror on the conquered-just laws, for
once- the court was quickly disbanded by its creators for fear that one day they might find themselves brough t before it… why did we appoint ourselves? For the precise reason that no one else did. Governments or peoples could have done it. But government want to retain the ability to commit war crimes without running the risk of being judged; they are therefore not about to set up an international body responsible for judging them. As for the people, save in time of revolution they do not appoint tribunals; therefore they could not appoint us. Dikutip dalam Robert M. Cover. The Folktales of Justice: Tales of Jurisdiction dalam Capital University Law Review Vol 141:179, 1985. Hlm 201-202. 623 Harish C. Mehta. North Vietnams Informal Diplomacy With Bertrand Russel: Peace Activism and the International War Crimes Tribunal dalam Peace & Change, Vol.37 No.1 January 2012 hlm 66
Pada tahun-tahun itu, PBB tidak menganggap Vietnam sebagai masalah penting, meskipun gerakan anti perang telah merebak dimana-mana. 624 Pengadilan tersebut
terselenggara berkat kerjasama antara Russel dan Ho Chi Minh, dimana keduanya menyatakan akan pembebasan Vietnam dari Amerika. 625 Russel membentuk tim
peneliti yang diterjunkan langsung ke lapangan mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan. Terhadap Russel-Sartre Tribunal, Pemerintahan Johnson melakukan propaganda balik dengan mempertanyakan keabsahan dan keberpihakan dari pengadilan tersebut. Pada akhirnya, bukti-bukti yang disajikan beserta hasil putusan pengadilan memberikan dampak yang luas terhadap gerakan anti perang dan citra Amerika Serikat di mata dunia.
Pengalaman pengadilan rakyat lain adalah mengenai kejahatan perang yang dilakukan oleh Jepang terhadap perempuan di negara-negara jajahanya termasuk Indonesia. Mereka ini dikenal dengan istilah comfort women, atau jugun ianfu, yang merupakan perempuan-perempuan yang dipekerjakan untuk melayani kebutuhan seksual tentara Jepang. Kejahatan jugun ianfu ini tidak termuat dalam International Military Tribunal for the Far East, dan tidak termasuk pula dalam kesepakatan pembayaran ganti rugi atas reparasi dan kompensasi tahanan perang yang pada saat itu hanya mencakup pengertian sempit saja, yaitu para tentara yang
624 Ibid hlm 67 625 Surat Russel kepada Presiden Johnson 28 Agustus 1966 untuk membuatnya hadir dalam sidang: Within living memory only the Nazis could be said to have exceeded in brutality the war waged by your administration against the people of Vietnam, and it is because this war is loathed and condemned by the vast majority of mankind that demands are heard throughout the world for a formal international tribunal to hear the full evidence. Dalam H.A. DeWeerd. Lord Russels War Crimes Tribunal. Rand Corporation. 1967. Hlm 9 Russel bahkan pada tahun-tahun sebelumnya telah menyatakan ketidaktundukan terhadap pemerintah atas kebijakan nuklir maupun invasi yang dilakukan di Vietnam.
ditahan dan bukan sipil. 626 Setelah sekian lama tidak terurus, baru empat dekade kemudian -tahun 1990an- ada beberapa korban yang menceritakan pengalaman
mereka dan tuntutan atas reparasi termasuk diantaranya permintaan maaf dan jaminan sosial. Pemerintah Jepang pada awalnya menolak pertanggung-jawaban dengan argumen bahwa situs-situs jugun ianfu adalah bukan inisiasi dari pemerintah melainkan pengusaha privat yang melibatkan pelacur secara sukarela. Korban, pada tahun-tahun ini hanya mendapatkan bantuan dari sumbangan sukarela yang dikumpulkan oleh Asian Womens Fund saja dan bukan dari pemerintah. Selain penolakan dari eksekutif, upaya mengajukan gugatan dalam
pengadilan juga mengalami kegagalan. 627
Pada intinya, apa yang terjadi terhadap para jugun ianfu adalah ketiadaan akses keadilan mengingat tidak adanya pengadilan yang memiliki wewenang untuk mengadili perkara. Strategi advokasi yang dilakukan adalah dengan membawa perkara tersebut pada PBB bersamaan dengan isu-isu hak asasi perempuan yang kemudian direspon dengan dibentuknya dua sub-komisi; kekerasan terhadap perempuan dan perbudakan seksual pada saat perang. Tahun 1998 diusulkan Womens International War Crimes Tribunal pada saat konferensi solidaritas para korban di Seoul yang kemudian pada akhirnya terbentuk 1999. Kesulitan utama dalam pengadilan tersebut adalah mengenai pembuktian
626 Pengadilan di Jakarta pada tahun 1948 sempat melakukan pengadilan dan memutus bersalah terhadap militer Jepang yang memperkerjakan secara paksa 35 perempuan Belanda. Lihat dalam
Christine Chinkin. Peoples Tribunals: Legitimate or Rough Justice dalam Windsor Yearbook of Access to Justice Vol.24(2) 2006. Hlm 204-205
627 Ibid hlm 207 termasuk pula ICC yang belum terbentuk dan kemudian tidak memiliki kewenangan retroaktif, ICJ dilain pihak hanya berwenang mengadili perkara antar negara dan
bukan warganegara.
mengingat 50 tahun lamanya, dan dengan demikian mengandalkan pada kesaksian para korban dan kemudian didukung dengan dokumen yang tersedia dan saksi
ahli. 628 Keputusan dari pengadilan memutus bahwa Kaisar Hirohito beserta tersangka yang lain bersalah atas kejahatan pemerkosaan dan perbudakan seksual
sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga pemerintah Jepang bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi terhadap para jugun ianfu asia-
pasifik. 629
IPT 1965 memiliki latar belakang yang tidak jauh berbeda dari Pengadilan Rakyat lain, yaitu buntunya mekanisme hukum nasional maupun internasional mengenai permasalahan kejahatan yang terjadi pada tahun 1965, dengan ciri bahwa IPT 1965 diadakan tidak atas tuduhan kejahatan antara satu negara terhadap negara lain, melainkan kejahatan yang dilakukan oleh satu negara terhadap warganegaranya. Karena merupakan Pengadilan Rakyat dan bertujuan untuk mengakhiri kebuntuan dari kejahatan, maka IPT 1965 memiliki yurisdiksi yang lentur dengan definisi kejahatan mencakup kejahatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil dalam bentuk genosida maupun kejahatan terhadap kemanusiaan, dan juga kejahatan dalam hukum kebiasaan internasional, KUHP, dan hukum-hukum HAM di Indonesia, serta mencakup pula pertanggungjawaban negara baik pemerintah maupun keterlibatan negara lain dalam rentang waktu 1 Oktober 1965 hingga 2015.
628 Ibid hlm 214 629 Lihat Tina Dolgopol. The Judgment of The Tokyo Womens Tribunal dalam Alternative Law Journal Vol.28 No. 5 2003. Hlm 244-245 vonis tersebut sekaligus adalah vonis pertama yang menyatakan kaisar bersalah. Dolgopol adalah sekaligus salah satu jaksa penuntut umum dalam pengadilan tersebut.
Dua frasa yang menarik adalah mengenai tuduhan terhadap genosida dan rentang waktu kejahatan. Pertama, berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan sebelumnya, tuduhan kejahatan yang terjadi pada tahun 1965 adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan belum pernah ada sangkaan mengenai genosida. Hal ini dapat dimengerti karena berdasarkan definisi UU 26/2000 sendiri menyatakan bahwa genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama (…) dan tidak termuat di dalamnya kategori organisasi politik sebagai bagian dari genosida. IPT 1965 menyadari hal tersebut, namun tetap memasukkanya dalam dakwaan dan menyatakan bahwa unsur-unsur genosida telah terpenuhi, kecuali bahwa yang menjadi sasaran adalah bukan
identitas etnik, kebangsaaan, religius, melainkan identitas politik. 630
Struktur persidangan terdiri dari jaksa, registrar, dan hakim. Para hakim dan jaksa tersusun dari beragam latar belakang. Terdapat tujuh orang hakim, antara lain Sir Geoffrey Nice (mantan ICTY), Helen Jarvis (aktivis HAM, peneliti, pernah terlibat dalam ECCC), Mireille Fanon Mendes France (Anggota Permanent People Tribunal), John Gittings (Jurnalis), Shadi Sadr (Pengacara HAM), Cees Flinterman (akademisi dari Utrecht dan Maastricht), Zak Yakcoob (mantan hakim di Afrika Selatan). Jaksa terdiri dari tujuh orang anggota; Todung Mulya Lubis (Aktivis HAM, mantan direktur YLBHI), Silke Studzinsky (penasihat hukum di Trust Fund for Victims di ICC, terlibat pula dalam ECCC),
630 http://1965tribunal.org/id/about/faq-ipt-65/ diakses pada 20 November 2015 sebagai catatan tambahan, dalam rilis yang dikeluarkan oleh IPT 1965, tidak mencantumkan genosida dan hanya
kejahatan terhadap kemanusiaan semata.
Agustinus Agung Wijaya (Aktivis HAM, AIPD), Sri Suparyati (KontraS), Antarini Ana (mantan Jaksa di Women International War Crimes Tribunal on Japans Sexual Slavery), Uli Parulian Sihombing (LBH Jakarta), dan Bahrain Makmun (YLBHI). Satu orang Registrar adalah Szilvia Csevar (Pengacara HAM). Untuk rentang waktu kejahatan selama 50 tahun dipilih dengan tujuan bahwa masih adanya diskriminasi yang dialami bahkan pasca jatuhnya Soeharto. Tujuan secara spesifik dari IPT 1965 tercantum dalam Preamble adalah:
The International People’s Tribunal is set up to address this culture of impunity, to break down the vicious cycle of denial, distortion, taboo and secrecy. In the first place it will give voice to the victims. Their stories must ring out clearly, breaking down the stigma they and their families still suffer. Secondly the Tribunal will provide a public record of the crimes against humanity committed after October 1 1965. The 2012 report of the National Human Rights Commission has been the first public record of these crimes, but it has never received recognition of the state and no action has been undertaken so far. Thirdly the Tribunal will help open up a space for public debate on the history of Indonesia, on its postcolonial ambitions, on its efforts to build social justice, on its attempts to establish the rule of law, on its endeavours to combine the centrifugal forces of socialism and Islam, on its exertions to minimize its culture of violence.
Subyek dakwaan dalam IPT 1965 adalah Negara Republik Indonesia termasuk Soeharto dan penerusnya, jenderal-jenderal yang terlibat, dan para milisi, dan juga keterlibatan negara lain yang memiliki andil dalam terjadinya Subyek dakwaan dalam IPT 1965 adalah Negara Republik Indonesia termasuk Soeharto dan penerusnya, jenderal-jenderal yang terlibat, dan para milisi, dan juga keterlibatan negara lain yang memiliki andil dalam terjadinya
diputus di Jenewa, Swiss, pada 11 Maret 2016 yang sekaligus merupakan peringatan 50 tahun Supersemar. Panitia IPT 1965 mengundang secara resmi perwakilan dari Pemerintah Indonesia, meski tidak pernah hadir, meskipun demikian, Dianto Bachriadi, komisioner Komnas HAM hadir secara personal dan turut memberikan kesaksian atas penyelidikan Komnas Ham. Lembaga lain yang hadir adalah Mariana Amiruddin, komisioner dari Komnas Perempuan yang hadir dalam kapasitas resmi sebagai komisioner, dan memberikan kesaksian mengenai penelitian Komnas Perempuan terhadap kekerasan seksual berbasis gender pada tahun 1965-66. Keduanya menjadi rujukan penting dalam pertimbangan hakim. Dalam pembuktian, menurut Saskia E. Weiringa selaku ketua tim peneliti, karena data dari Komnas HAM tidak dapat dipergunakan dan masih bersifat rahasia,
maka IPT harus melakukan penelitian ulang untuk meyakinkan para hakim. 632
Persidangan Rakyat 1965 yangberlangsung selama 4 hari dengan fokus pembahasan yang berbeda-beda pada setiap harinya terdiri dari urutan sebagai berikut: Hari pertama membahas perihal praktik pembunuhan massal dan perbudakan; hari kedua mengenai penahanan, penyiksaan, dan kekerasan seksual; hari ketiga mengenai pembuangan, penghilangan paksa, dan propaganda; hari keempat mengenai keterlibatan negara-negara lain akan kekerasan yang terjadi
631 http://1965tribunal.org/id/dakwaan-tribunal-rakyat-internasional-tentang-kejahatan- terhadap-kemanusiaan-di-indonesia/ diakses pada 20 November 2015
632 Wawancara dengan Saskia E. Wieringa 25 November 2015 632 Wawancara dengan Saskia E. Wieringa 25 November 2015
1. Pembunuhan yang dilakukan secara meluas dan sistematik oleh militer, termasuk terhadap etnis tiong-hoa di Aceh dan Kalimantan Barat.
2. Perbudakan sebagaimana terjadi di kamp-konsentrasi di Moncong Loe, Nanga-Nanga, Kamarau, Wadas, dan Pulau Buru.
3. Penahanan tanpa proses hukum dan berdasarkan pada kategori tahanan saja.
4. Penyiksaan yang dilakukan baik secara tersembunyi maupun publik.
5. Kekerasan Seksual
6. Penganiayaan yang mengakibatkan kelompok orang tidak dapat kembali ke tanah air dan menjadi eksil.
7. Penghilangan Paksa
8. Propaganda, melalui hate speech yang sekaligus merupakan bagian yang mengakibatkan kekerasan secara terstruktur dan sistematik terhadap tertuduh PKI maupun afiliasinya. Propaganda tersebut terutama dalam bentuk fitnah terhadap gerwani, film, buku sejarah tunggal.
9. Keterlibatan negara asing dengan melakukan bantuan untuk mendukung terjadinya kekersan pada tahun-tahun 1965 dalam bentuk penyediaan alat bantu komunikasi dan daftar nama-nama orang.
Hasil keputusan sementara yang dibacakan pada tanggal 13 November 2015 menyatakan bahwa tidak ada bukti yang dapat membantah telah terjadi pelanggaran berat HAM. Data-data yang diajukan kepada para hakim baik melalui saksi maupun saksi ahli menunjukkan bahwa Indonesia bertanggung jawab penuh Hasil keputusan sementara yang dibacakan pada tanggal 13 November 2015 menyatakan bahwa tidak ada bukti yang dapat membantah telah terjadi pelanggaran berat HAM. Data-data yang diajukan kepada para hakim baik melalui saksi maupun saksi ahli menunjukkan bahwa Indonesia bertanggung jawab penuh
It has been established that the State of Indonesia during the relevant period through its military and police arms committed and encouraged the commission of these grave human rights violations on a systematic and widespread basis. The judges are also convinced that all this was done for political purposes: to annihilate the PKI and those alleged to be its members or sympathizers, as well as a much broader number of people including Sukarno loyalists, trade unionists and teachers. The design was also to prop up a dictatorial violent regime which the people of Indonesia have rightly consigned to history. It cannot be doubted that these acts, evaluated separately and cumulatively, constitute crimes against humanity, both in International Law and judged by the values and the legal framework of the new reformist era accepted by the people of Indonesia seventeen years ago. This Tribunal has heard the detailed and moving evidence of victims and families as well as the evidence of established experts. It saw this evidence as no more than the mere tip of the iceberg, a few tangible, graphic and painful examples of the devastation of the human beings who appeared before them, as well as the wholesale destruction of the human fabric of a considerable sector of Indonesian society. (…)
In addition to the above conclusions the Tribunal is convinced on the evidence presented that material propaganda advanced in 1965 that motivated the de-humanisation and thus the killing of thousands of people included many lies. In particular, the repeated assertion that the generals were castrated has long been disproved by autopsy reports and these reports have been known to successive governments of Indonesia. It is the duty of the president and government of Indonesia forthwith to acknowledge this falsity, to apologise unreservedly for the harm that these lies have done, and to institute investigations and prosecutions of those perpetrators who are still alive. The Tribunal would have thought that the President would, of course, do all this and be eager to keep his electoral promise. Furthermore, the archives should be opened and the real truth on these crimes against humanity should be established.
Ketua IPT 1965, Nursjahbani Katjasungkana menyatakan bahwa hasil dari IPT nantinya akan dibawa kepada DK PBB dan Komisi HAM PBB untuk Ketua IPT 1965, Nursjahbani Katjasungkana menyatakan bahwa hasil dari IPT nantinya akan dibawa kepada DK PBB dan Komisi HAM PBB untuk
bersuara, muncul pula tanggapan-tanggapan negatif terhadap penyelenggaraan IPT 1965. Kivlan Zen, Jusuf Kalla, Luhut Pandjaitan, menyatakan penolakanya, Anhar Gonggong bahkan menyebutnya sebagai Kebodohan Sejarah. 634 Penolakan terhadap IPT tersebut sesungguhnya berangkat dari argumen bahwa pengadilan tersebut adalah pengadilan yang dilakukan oleh Belanda terhadap Indonesia.
Berdasarkan pemaparan diatas, meskipun Pengadilan Rakyat tidak memiliki keputusan yang bersifat mengikat, juga bahwa pada kenyataanya baik Amerika Serikat maupun Jepang menolak bertanggung jawab sebagaimana keputusan dari Pengadilan Rakyat yang telah diselenggarakan, dan barangkali demikianpula dengan Pemerintahan Indonesia, namun Pengadilan Rakyat tetaplah memiliki dampak yang signifikan. Kontribusi utama melalui Pengadilan Rakyat adalah menyudahi pembungkaman dimana mekanisme hukum tidak memiliki arti. Pada saat yang bersamaan, pertanyaan ini sekaligus merupakan pertanyaan mengenai legitimasi, yaitu apabila Pengadilan Rakyat, maka rakyat macam apa? demikian pula dengan unsur legalitasnya, melihat bahwa pengadilan dibentuk bukan secara resmi melainkan dari bawah, dengan ruang lingkup yurisdiksi tersendiri dan tanpa adanya daya paksa.
633 Wawancara dengan Nursjahbani Katjasungkana, 25 November 2015 634 http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/11/11/nxn7xw385-pengadilan- kasus-1965-di-den-haag-merupakan-kebodohan-sejarah diakses pada tanggal 20 November 2015, http://news.liputan6.com/read/2362889/tantangan-jk-untuk-belanda-jika-gelar- pengadilan-ham-kasus-65 diakses tanggal 20 November 2015, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/11/151111_indonesia_luhut diakses tanggal 20 November 2015.
Akan tetapi apabila ditilik lagi, sesungguhnya kekurangan tersebut juga terdapat pula dalam Pengadilan Nuremberg maupun Timur Jauh, dimana keduanya merupakan cikal bakal dari pengadilan pidana internasional dan hak asasi manusia internasional. Keduanya dibentuk tanpa adanya dasar hukum yang memadai, penyimpangan terhadap asas-asas hukum umum, dan keduanya memiliki latar belakang yang sama yaitu pelanggaran HAM yang berat. Bedanya, berbeda dari Pengadilan Rakyat, pengadilan pidana internasional tersebut memiliki potensialitas atas daya paksa sehingga dapat menerapkan putusan, sedangkan daya paksa yang dimiliki oleh Pengadilan Rakyat adalah melalui penggalangan wacana internasional terhadap suatu kasus HAM tertentu dan menarik perhatian politik masyarakat internasional. Pada lain pihak, apabila melihat adanya impunitas baik yang berangkat dari ketidakmauan maupun ketidakmampuan atas kejahatan yang terjadi, apa yang disebut sebagai rakyat adalah sesungguhnya para korban, yang dengan demikian mengembalikan eksklusi korban sebagai bagian dari rakyat secara keseluruhan, sebagai sebuah upaya rekognisi.