Kesimpulan: Pelampauan atas Perampasan Hak.

A.2 Kesimpulan: Pelampauan atas Perampasan Hak.

Apabila hak dapat dirampas, maka bagaimanakah status kemanusiaan dari mereka yang dirampas tersebut? Tesis ini mengajukan ide mengenai rekonsiliasi, akan tetapi rekonsiliasi macam apa? Maka satu hal paling penting adalah bahwa rekonsiliasi harus dapat mengembalikan status kemanusiaan yang tadinya dirampas. Tetapi tentu tidak semudah itu, pertanyaan selanjutnya kemanusiaan macam apa?

Momen peneguhan kedaulatan adalah saat ketika kedaulatan membuka ulang registrasi dalam komunitas politiknya. Momentum tersebut memisahkan mana yang termasuk dalam anggota dan mana yang bukan. Konsekuensinya, mereka yang tidak termasuk dalam komunitas politik kehilangan satu hak paling primordial, yaitu hak untuk memiliki hak-hak [right to have rights]. Tanpa hak primordial tersebut, seseorang dapat dibunuh dengan impunitas atasnya. Hal inilah yang dialami oleh golongan kiri di Indonesia pasca 1965 dan Chile pasca 1973, serta Afrika Selatan selama apartheid. Setelah melalui masa penuh kekejaman, langkah yang ditempuh oleh Chile dan Afrika Selatan adalah dengan meruntuhkan legitimasi rezim sebelumnya, melalui pengungkapan kebenaran, reparasi korban, dan penuntutan terhadap pelaku, yang dengan demikian mengakui adanya kesalahan, memutus impunitas, dan menghapus sovereign ban dengan memberikan status korban. Tabel dibawah menunjukkan bagaimana perampasan hak dan pelampauan atasnya dilakukan:

Pengalaman di Chile menunjukkan rekognisi terhadap status korban membutuhkan waktu yang panjang. Pada tahun 1990, yang disebut sebagai korban adalah mereka yang hilang dan meninggal, dan baru pada dekade 2000 definisi tersebut diperluas terhadap mereka yang ditahan dan mengalami penyiksaan. Afrika Selatan tidak jauh berbeda, apartheid disudahi, dan definisi korban diberlakukan kepada kedua belah pihak baik penentang maupun pendukung apartheid, dan tentu saja digunakanya konsep keadilan restoratif. Pada kedua negara definisi korban tersebut diikuti dengan langkah-langkah reparasi. Sebaliknya Indonesia, semenjak jatuhnya rezim Orde Baru-Soeharto, yang menghilangkan nyawa dan kemerdekaan banyak orang, tidak pernah ada korban.

Terlebih untuk perkara 1965, yang merupakan landasan legitimasi berdirinya rezim Orde Baru, lebih dari satu dekade transisi kekuasaan hampir tidak ada langkah berarti.

Pada beberapa kasus yang disajikan, tampak bahwa inisiasi lokal memiliki pengaruh yang kuat dalam mewujudkan rekonsiliasi lokal. Inisiasi lokal ini penting dalam hal edukasi kepada masyarakat dalam daerah tersebut, dan menetralisir konflik horizontal. Menjadi penting mengingat kuatnya stigma yang diberikan oleh Orde Baru kepada para korban 1965, sehingga edukasi yang bersifat lokal secara kultural menjadi tumpuan dalam menularkan pemahaman mengenai HAM, dan sejarah kekejaman masa lalu yang pernah terjadi.

Berbeda dengan Indonesia, Chile dan Afrika Selatan, masa transisi kekuasaan adalah pengakuan dan pemulihan atas hak korban, dan juga mengakhiri dalih yang menjadi legitimasi rezim yang lama dalam melakukan kekerasan. Chile melakukan amandemen terhadap larangan ideologi marxisme yang tercantum dalam Pasal 8 Konstitusi 1980, sementara Afrika Selatan melakukan amandemen terhadap Konstitusi 1983 dengan memasukkan satu set pengaturan jaminan mengenai hak asasi manusia dalam Konstitusi 1996 setelah sebelumnya melewati masa transisi dengan Konstitusi Transisi 1993. Indonesia sendiri pasca transisi terutama pada masa perubahan kedua UUD 1945 memberikan jaminan terhadap HAM yang tercantum dalam Pasal 28 dan instrumen hukum lainya. Bedanya, Indonesia tidak membenahi dalih legitimasi kekejaman rezim yang lama, yaitu ketakutan akan komunisme. Alih-alih menyudahi, masa transisi dan demokrasi di Indonesia masih belum mampu untuk membedakan penolakan terhadap kekerasan Berbeda dengan Indonesia, Chile dan Afrika Selatan, masa transisi kekuasaan adalah pengakuan dan pemulihan atas hak korban, dan juga mengakhiri dalih yang menjadi legitimasi rezim yang lama dalam melakukan kekerasan. Chile melakukan amandemen terhadap larangan ideologi marxisme yang tercantum dalam Pasal 8 Konstitusi 1980, sementara Afrika Selatan melakukan amandemen terhadap Konstitusi 1983 dengan memasukkan satu set pengaturan jaminan mengenai hak asasi manusia dalam Konstitusi 1996 setelah sebelumnya melewati masa transisi dengan Konstitusi Transisi 1993. Indonesia sendiri pasca transisi terutama pada masa perubahan kedua UUD 1945 memberikan jaminan terhadap HAM yang tercantum dalam Pasal 28 dan instrumen hukum lainya. Bedanya, Indonesia tidak membenahi dalih legitimasi kekejaman rezim yang lama, yaitu ketakutan akan komunisme. Alih-alih menyudahi, masa transisi dan demokrasi di Indonesia masih belum mampu untuk membedakan penolakan terhadap kekerasan

Maka konsep-konsep perlindungan terhadap hak warganegara maupun demokrasi itu sendiri menjadi tanpa arti, persis karena dirinya tidak memiliki daya paksa terhadap kekerasan yang ditujukan pada para tertuduh komunis. Melampaui perampasan hak berarti adalah melampaui dasar legitimas dari perampasan hak itu sendiri dan pemulihan terhadap mereka yang dirampas kemerdekaanya, inilah yang tidak kunjung terjadi dalam Indonesia pasca-1998.