Pelampauan Atas Perampasan Hak
D.2. Pelampauan Atas Perampasan Hak
Apabila Agamben memberikan satu situasi dimana hak dapat direnggut sewaktu-waktu yang dalam momen tersebut menyisakan manusia- manusia dalam hidup telanjang, maka adakah pelampauan atas kondisi tersebut? Agamben, menurut Gundoglu, memberikan jawaban yang pesimistis; bahwa meskipun memberikan perspektif mengenai pembacaan normatif mengenai Hak asasi manusia, namun seolah-olah kedaulatan dan hak asasi manusia sudah pada dirinya merupakan bagian dari kekuatan destruktif sehingga tidak menyisakan satu apapun kecuali manusia
telanjang. 86 Pembacaan demikian benar saja sebagian, karena sesungguhnya apa yang ditawarkan oleh Agamben adalah pembacaan hak asasi manusia
tidak secara normatif, melainkan bahwa hak-hak yang tidak terpisahkan [inalienable] tersebut hidup dalam satu ruang dan waktu tertentu. Pada sisi lain, Agamben, sebagaimana telah dijabarkan, persis dalam penjabaranya mengenai Homo Sacer, bahwa ciri utama darinya dalah impunabilitas dari pembunuhan atasnya. Agamben bagaimanapun tidak memberikan jawaban mengenai pergantian rezim dimana rezim yang baru mengadili rezim yang lama, sebagaimana terjadi di Chile maupun Afrika Selatan.
86 Op CitAyten Gundogdu. Potentialities of Human Rights; Agamben and the Narrative of Fated Necessity… hlm 18
Dalam Remnants of Auswichz Agamben mengatakan bahwa ketelanjangan hidup, dalam artianya yang paling dalam, adalah membuat para Homo Sacer tidak bisa lagi berbicara. Mereka, yang telah mengalami
titik paling ekstrim tersebut adalah Musselmann. 87 Para penyintas tersebut mengandung paradoks; bahwa Musselmann adalah saksi, sekaligus batas
dari hidup dan non-hidup, merupakan saksi yang penuh, namun pada sisi lain, dengan kepenuhan tersebut ditunjukkan dengan ketidakbisaan untuk
mengutarakan kesaksianya. 88 Namun pada paragraf akhir buku tersebut Agamben mengatakan bahwa justru apabila kesaksian dari yang tidak dapat
bersaksi berbicara mengenai dirinya alih-alih kamar gas, hal tersebut adalah kesaksian yang tak tergantikan. 89 Pada lain kesempatan Agamben
mengatakan bahwa kekerasan pada awalnya bukanlah merupakan bagian dari hukum karena masyarakat polis Yunani dibangun berdasarkan persuasi. Seiring berjalanya waktu, kebenaran dalam persuasi tersebut diragukan,
87 Giorgio Agamben. Remnants of the Auswichz, The Witness and The Archive. Zone Books. New York. 1999. Hlm 34. Para korban yang telah melewati kamp konsentrasi tersebut oleh Agamben
disebutnya sebagai “saksi” yang memiliki arti “telah melewati satu kejadian”.Namun dari penyintas tersebut, Kesaksian yang tak terbahasakanlah, Musselman. Musselman ini, menurut
Agamben, adalah; “The’complete witnesses,’ those for whom bearing witness makes sense, ‘had already lost the ability. To observe, to remember, to compare and express themselves ’(… ). To speak of dignity and decency in their case would ·not be decent. ” (hlm 60). Agamben, mengutip Levi, mengatakan bahwa Musselmann, dengan ketidakbisaan untuk berbicara tersebut adalah saksi yang komplit (hlm 150).
88 Ibid hlm 164 89 Loc cit “If the witness bears witness for the If the witness bears witness for the muselmann, if he
succeeds in bringing to speech an impossibility of speech-- if the Musselmann is thus constituted as the whole witness- then the denial of Auschwitz is refuted in its very foundation. In the Musselmann, the impossibility of bearing witnessis no longer a mere privation.Instead.it has become real; it exists as such. If the survivor hears witness not to the gas chambers or to AuschwHz but to the Musselmann,if he speaks only on the basis of an jmpossibility of speaking. then his testimony cannot be denied. Auschvitz- that to which it is not possible to bear witness- is absolutely and irrefutably proven .” succeeds in bringing to speech an impossibility of speech-- if the Musselmann is thus constituted as the whole witness- then the denial of Auschwitz is refuted in its very foundation. In the Musselmann, the impossibility of bearing witnessis no longer a mere privation.Instead.it has become real; it exists as such. If the survivor hears witness not to the gas chambers or to AuschwHz but to the Musselmann,if he speaks only on the basis of an jmpossibility of speaking. then his testimony cannot be denied. Auschvitz- that to which it is not possible to bear witness- is absolutely and irrefutably proven .”
sendiri, bahasa sebagai bagian dari kekerasan, yaitu, propaganda. 91 Agamben mengatakan:
At the dawn of every history aimed at ensuring security and making peace with death, it shall be written: “In the beginning, there was the word.” At the dawn of every new temporal order, however, it shall be written: “In the beginning, there was violence. 92
Dalam penjelasanya mengenai Revolutionary Violence, untuk lepas dari distingsi kekerasan ala Benjamin, Agamben mengatakan bahwa hanya kekerasan jenis tersebutlah, yang menegasi dirinya sendiri, untuk sesuatu awal yang baru. 93 Namun apabila bahasa adalah sekaligus juga instrumen
dan memiliki potensialitas layaknya kekerasan, maka bukankah melalui bahasa pula kekerasan dapat dilampaui? Bentuk negasi macam apa yang menihilkan kekerasan itu sendiri?Hannah Arendt dengan lebih optimis membahas hal ini melalui reparasi politiknya. Bagi Arendt, ada dua jaminan mengenai politik, yaitu ketidakberulangan masa lalu dan kemampuan untuk memaafkan. Pertama, kemampuan untuk menatap kedepan adalah bagian dari fakultas permaafan, sementara untuk hari depan itu sendiri, jaminan
atas yang lalu agar tak terulang adalah bagian dari fakultas janji. 94 Permaafan itu sendiri berjalan paralel dengan penghukuman, keduanya
90 Giorgio Agamben. On The Limits of Violence.Diacritics Vol 39 No.4.John Hopkins University Press. 2009. Hlm 104 tulisan ini sesungguhnya adalah bagian Agamben dalam memisahkan
dirinya d engan Benjamin mengenai “pure violence”. 91 Ibid hlm 105
92 Ibid hlm 109 93 Ibid hlm 108 94 Hannah Arendt. The Human Condition.The University of Chicago Press.Chicago & London. 1998.
Hlm 237 Hlm 237
biasa. 95 Sementara janji untuk tidak lagi mengulangi menegaskan kebebasan manusia untuk menepati janjinya. 96 Pentingnya janji ini adalah syarat untuk
menuju awal baru, dalam tindakan dan wicara; They arise, on the contrary, directly out of the will to live together
with others in the mode of acting and speaking, and thus they are like control mechanisms built into the very faculty to start new and unending processes. If without action and speech, without the articulation of natality, we would be doomed to swing forever in the ever-recurring cycle of becoming, then without the faculty to undo what we have done and to control at least partially the processes we have let loose, we would be the victims of an automatic necessity bearing all the marks of the inexorable laws which, according to the natural sciences before our time, were supposed to constitute the
outstanding characteristic of natural processes. 97
Janji, permaafan dan penghukuman dengan demikian adalah dua hal yang menjadi dasar dari pengalaman masa lalu menuju hari depan, dan keduanya hanya dapat terwujud melalui laku berbicara dalam ruang publik, layaknya Agamben, melalui bahasa. Terutama terhadap permaafan dan
95 Ibid hlm 241 sesungguhnya, batasan Arendt mengenai mana yang bisa dimaafkan dan dihukum tadi bagi penulis berlawanan dengan anjuranya sendiri mengenai awal hari depan yang baru.
Menghapus orang dari penghukuman dan permaafan membuat para pelaku itu sendiri berada dalam posisi yang saling membalik antara pelaku dan korban, bukan melampaui kontradiksi antar keduanya.Untuk selanjutnya, batasan permaafan-penghukuman tadi yang dipergunakan adalah pandangan penulis sendiri.
96 Ibid hlm 245 97 Ibid hlm 246 agaknya kedua fakultas beserta batasnya mengenai kejahatan yang tak terperikan tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh pengalaman pribadi Hannah Arendt sebagai seorang yahudi pada masa Nazi yang sempat mengecap Kamp konsentrasi sebelum pada akhirnya menyelamatkan diri ke Amerika Serikat.lihat juga dalam F. Budi Hardiman. Arsitektur Keruntuhan, Hanah Arendt tentang Krisis Res Publica dalam F. Budi Hardiman. Massa, Terror, Trauma. Lamalera & Ladalero.2010 hlm 48, 49.
penghukuman, maka keduanya berjalan beriringan bukan sebagai substitusi yang saling menggantikan melainkan komplementer atau saling melengkapi dalam batas-batas tertentu. Dengan demikian, rekonsiliasi dan pengadilan berjalan secara beriringan satu sama lain, yang pertama fokus pada korban dan kedua adalah pada pelaku sekaligus pada politik rezim lalu.
Bagaimana membuka lembar baru juga diutarakan oleh Karl Jaspers yang sebagaimana Arendt, berangkat dari pengalaman pada masa Nazi. Menurut Jaspers, salah satu aspek terpenting dalam melangkah dari masa lalu adalah rasa bersalah. Tantangan yang dihadapi adalah bahwa orang kebanyakan tidak menyukai untuk mendengar mengenai kesalahan masa
lalu. 98 Jaspers melakukan klasifikasi kesalahan tersebut menjadi kriminal, politikal, moral, dan metafisik. Dua yang terakhir lebih menyangkut pada
kesadaran eksistensial individual, sehingga dapat dipergunakan untuk menjelaskan upaya pelampauan masa lalu yang berangkat dari inisiasi lokal, meski juga berpengaruh pada jenis kesalahan yang lain. Adapun dua kesalahan yang pertama memiliki kaitan dengan bagaimana keadilan ditegakkan. Empat kesalahan tersebut dapat pula dibaca sebagai tahapan; kejahatan bertemu dengan hukuman, politik dengan kepercayaan publik, moral dengan pembaruan diri, dan metafisik dengan transformasi dihadapan
kehidupan. 99 Penghargaan hak yang terdapat dalam kesalahan kriminal dan
98 Karl Jasper. The Question of German Guilt.Fordham University Press. New York. 2000. Hlm 21 Pandangan pribadi penulis mengenai hal ini dapat ditemukan dalam Rian Adhivira. Cha-Cha
Anwar Congo.Paper diskusi Komunitas Diskusi Payung 1 Oktober 2014. 99 Ibid hlm 30 lebih jauh lagi Jaspers membagi empat jenis kesalahan tersebut dalam dua bagian;
yaitu kesalahan yang ditunjukkan dari luar dan kesalahan yang ditunjukkan dari dalam (hlm yaitu kesalahan yang ditunjukkan dari luar dan kesalahan yang ditunjukkan dari dalam (hlm
Meskipun penting, pengalaman dari kekejaman masa lalu tidak saja dinilai berdasarkan standar yang berlaku, melainkan juga menciptakan nilai tersendiri dalam bentuk rekognisi hak. Apabila hak hanya dapat dijaminkan dalam satu komunitas politik tertentu, maka gerakan pembaharuan adalah
sekaligus merupakan upaya rekognisi atas hak tersebut. 100 Rekognisi berarti pengakuan identitas dalam hukum untuk mendapatkan hak yang
sebelumnya dipinggirkan. Sebagaimana telah diutarakan, bagaimana pengalaman masa lalu dalam membentuk masa depan melalui dua fakultas permaafan dan janji, yang membuat kesalahan kriminal maupun politikal, sebagai langkah awal untuk transformasi sosial dari kesalahan moral maupun metafisik dalam upaya rekognisi hak tersebut dapat terlihat melalui dua hal; rekonsiliasi dan pengadilan.
Rekonsiliasi mewujud pada pembentukan komisi kebenaran yang tujuanya adalah pembaharuan untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif setelah pengalaman represi dan kekerasan pada rezim yang
sebelumnya. 101 Menurut Humphrey, pembaharuan tersebut titik tuju utamanya adalah untuk penyembuhan sosial dari korban pada khususnya
33).Kriminal dan politikal adalah kesalahan yang ditunjukkan dari luar; yaitu melalui pengadilan dan tindakan politik. Sementara moral dan metafisik muncul dari dalam diri, melalui kesadaran manusia sebagai bagian dari yang lain secara keberseluruhan. 100 Costas Douzinas. Human Right and Empire; The Political Philosophy of Cosmopolitanism. Routledge. New York & London. 2007. Hlm 37 101 Michael Humphrey. The Politics of Atrocity and Reconciliation; From Terror to Trauma. Routledge. New York & London. 2005. Hlm 99 33).Kriminal dan politikal adalah kesalahan yang ditunjukkan dari luar; yaitu melalui pengadilan dan tindakan politik. Sementara moral dan metafisik muncul dari dalam diri, melalui kesadaran manusia sebagai bagian dari yang lain secara keberseluruhan. 100 Costas Douzinas. Human Right and Empire; The Political Philosophy of Cosmopolitanism. Routledge. New York & London. 2007. Hlm 37 101 Michael Humphrey. The Politics of Atrocity and Reconciliation; From Terror to Trauma. Routledge. New York & London. 2005. Hlm 99
mengenai kejadian pada masa lalu dan memberikan gambaran pola kejadian secara personal maupun luas beserta pemulihan atas hak-hak yang tadinya direnggut. 103 Meski fokus utamanya adalah korban, namun komisi juga memberikan ruang bagi pelaku yang biasanya dipertukarkan dengan pengampunan maupun pengurangan hukuman sebagaimana terjadi di Afrika Selatan. Sebagai sarana untuk hidup bersama, rekonsiliasi adalah proses pencarian atas kebenaran, keadilan, pengampunan, pemulihan, dan lain sebagainya untuk dapat hidup kembali bersama yang tadinya berposisi
sebagai musuh. 104
Pengadilan pada sisi lain juga merupakan faktor yang penting dalam keadilan transisional yaitu untuk menegaskan tata hukum yang baru melalui pengadilan dan penghukuman untuk meraih kepercayaan publik dan pembaharuan institusi dalam rezim baru. 105 Mekanisme ini dapat dilangsungkan dengan dua cara; melalui pengadilan nasional maupun pengadilan internasional. Penuntutan dalam pengadilan ini ditujukan kepada pertanggungjawaban individual namun juga bertujuan untuk menunjukkan kesalahan politik yang dilakukan oleh rezim sebelumnya. 106
102 Loc cit 103 Priscilla B. Hayner. Kebenaran Tak Terbahasakan; Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan.Elsam. Jakarta. 2005. Hlm 31, 34 104 David Bloomfield, Teresa Barnes, Luc Huyse (ed). Reconciliation After Conflict, A Handbook. International Institute for Democracy and Electoral Assistence. Stockholm. 2003. Hlm 12
105 Op Cit. Michael Humphrey. The Politics of Atrocity and Reconciliation…hlm 117 106 Ibid …hlm 118
Tantangan yang muncul dari rekonsiliasi maupun pengadilan dalam keadilan transisional adalah seberapa jauh kekuatan politik rezim yang baru menghadapi rezim yang lama baik dalam hal instrumen hukum maupun sisa aktor politik rezim yang lama. Namun yang hendak ditekankan disini adalah bahwa kedua jalan tersebut merupakan bentuk dari rekognisi dan permaafan,
bagian dari reparasi dari keadilan bagi korban. 107 Diluar upaya “resmi” diatas, terdapat pula beberapa upaya inisiasi lokal yang berangkat dari
lembaga swadaya maupun anggota masyarakat lain yang kurang-lebih memiliki tujuan yang sama yaitu rekognisi hak.
Demikian adalah tinjauan konseptual-teoritis mengenai bagaimana pelampauan atas perampasan hak. Penjelasan lebih detil mengenai instrumen hukum maupun pengertian konseptuallain secara lebih detil lainya akan dijabarkan pada bagian tinjauan kepustakaan.