Instrumen KKR di Indonesia
F.2. Instrumen KKR di Indonesia
Terdapat dua alternatif penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat masa lalu di Indonesia, yang pertama adalah melalui pengadilan HAM ad hoc yang diatur melalui UU 26/2000. Berdasarkan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU a quo, terdapat satu lagi cara penyelesaian HAM berat, yaitu dengan KKR yang dibentuk dengan UU. Pengaturan perihal KKR sendiri, meski telah muncul wacana semenjak tahun 2000, baru diundangkan pada tahun 2004 pada masa Pemerintahan Yudhoyono, melalui UU 27/2004. Tugas dari KKR ini diatur dalam Pasal 6 yang menyatakan:
Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Komisi mempunyai tugas:
a. Menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya;
b. Melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
c. Memberikan rekomendasi kepada Presiden dalam hal permohonan amnesti;
d. Menyampaikan rekomendasi kepada Pemerintah dalam hal pemberian kompensasi dan/atau rehabilitasi; dan
575 Pembredelan Majalah Lentera UKSW karena tajuk Salatiga Kota Merah, ancaman pembubaran diskusi Tan Malaka, pembubaran diskusi YPKP di Bukittinggi, ancaman pembubaran acara IPT
1965 di Salatiga, penangkapan pengamen karena memakai kaos palu arit di Lamongan, dan yang paling vulgar barangkali pidato-pidato Habib-Rizieq (FPI) dalam peringatan 1 Oktober dalam berbagai kesempatan.
e. Menyampaikan laporan tahunan dan laporan akhir tentang pelaksanaan tugas dan wewenang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya, kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Komisi terdiri dari tiga subkomisi. 576 subkomisi penyelidikan dan klarifikasi pelanggaran hak asasi manusia yang berat
memiliki kewenangan untuk :
a. Menerima pengaduan, mengumpulkan informasi dan bukti-bukti mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang berat dari korban atau pihak lain;
b. Melakukan pencarian fakta dan bukti-bukti pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
c. Mendapatkan dokumen resmi milik instansi sipil atau militer serta badan swasta, baik yang ada di dalam maupun luar negeri;
d. Memanggil setiap orang yang terkait untuk memberikan keterangan dan kesaksian;
e. Mengklarifikasi seseorang sebagai pelaku atau korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
f. Menentukan kategori dan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; dan
g. 577 Membentuk unit penyelidikan dan klarifikasi. Subkomisi kedua, kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, bertugas untuk
memberikan pertimbangan hukum kepada korban, dan memiliki wewenang:
a. Membuat pedoman pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi bagi korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya;
b. Melakukan klarifikasi kepada korban dan memeriksa kelengkapan syarat permohonan dalam rangka pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya;
c. Mengusulkan kepada Komisi bentuk pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi yang bersifat umum untuk memulihkan hak dan
576 Pasal 12 (1), Pasal 16 UU 27/2004 577 Pasal 18 ayat (1), dengan sidang yang terbuka untuk umum (2) UU 27/2004 576 Pasal 12 (1), Pasal 16 UU 27/2004 577 Pasal 18 ayat (1), dengan sidang yang terbuka untuk umum (2) UU 27/2004
Subkomisi ketiga; pertimbangan amnesti bertugas untuk memberikan rekomendasi perihal amnesti dengan wewenang:
a. Menerima pengakuan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
b. Menyusun kriteria, syarat, dan tata cara permohonan amnesti untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
c. Melakukan klarifikasi kepada korban dan/atau pelaku terhadap pengakuan atau pengingkaran pelanggaran hak asasi manusia yang
berat. 579 Komisi memiliki kewenangan penuh untuk mengabulkan atau menolak permohonan kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi, sembari menunggu
pengaturan mengenai implementasi lebih lanjut. Dalam hal pemberian amnesti, kewenangan dari komisi adalah terbatas pada memberikan rekomendasi kepada presiden, untuk mengabulkan atau menolak dengan sebelumnya melalui
pertimbangan DPR. 580
Tentang amnesti dan reparasi ini saling terhubung satu sama lain. Ketentuan-ketentuan dalam UU 27/2004 mengatur pasal pasal berikut ini:
Pasal 19
Subkomisi kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, bertugas memberikan pertimbangan hukum dalam pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Pasal 27
578 Pasal 20 UU 27/2004 579 Pasal 23 UU 27/2004 580 Pasal 25 (1), (2), (3), (4), (5), (6).
Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.
Pasal 28
(1) Dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian maka Komisi dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan amnesti.
(2) Saling memaafkan dan melakukan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diikuti pengungkapan kebenaran tentang terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah dilakukan.
(3) Pernyataan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan ketua Komisi.
Pasal 29
(1) Dalam hal pelaku dan korban saling memaafkan, rekomendasi pertimbangan amnesti wajib diputuskan oleh Komisi, (2) dalam hal pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta- fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatanya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, tetapi korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia memaafkan maka Komisi memutus pemberian rekomendasi amnesti secara mandiri dan objektif.
(3) Dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahanya serta tidak bersedia menyesali perbuatanya maka pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut kehilangan hak mendapat amnesti dan diajukan ke pengadilan hak asasi manusia ad hoc.
Berdasarkan pada ketentuan diatas berarti hak korban atas kompensasi dan rehabilitasi baru dapat diberikan apabila amnesti dikabulkan, sementara untuk dapat dikabulkan, permohonan tersebut harus diajukan terlebih dahulu kepada subkomisi amnesti. Pemberian amnesti secara mandiri oleh komisi hanya dapat diberlakukan apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, yang setelah itu dilanjutkan oleh pengungkapan kebenaran. Ketentuan tersebut tentu menyimpang dari semangat rekonsiliasi yang menitikberatkan kepada pemulihan Berdasarkan pada ketentuan diatas berarti hak korban atas kompensasi dan rehabilitasi baru dapat diberikan apabila amnesti dikabulkan, sementara untuk dapat dikabulkan, permohonan tersebut harus diajukan terlebih dahulu kepada subkomisi amnesti. Pemberian amnesti secara mandiri oleh komisi hanya dapat diberlakukan apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, yang setelah itu dilanjutkan oleh pengungkapan kebenaran. Ketentuan tersebut tentu menyimpang dari semangat rekonsiliasi yang menitikberatkan kepada pemulihan
maka seseorang tidak dapat lagi diminta pertanggungjawabanya secara pidana. 581 Selanjutnya, apabila permohonan tersebut ditolak, maka proses untuk
mendapatkan reparasi adalah melalui Pengadilan HAM ad hoc, yaitu melalui amar putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Pendirian Pengadilan HAM ad hoc sendiri sebagaimana diatur dalam UU 26/2000 bersifat menunggu, proses penyelidikan Komnas HAM, penyidikan Kejaksaan Agung, dan pertimbangan DPR dan Ketetapan Presiden.
Elsam, KontraS, SNB, Imparsial, LPKP 65, LPR-KROB, Raharja Waluya Jati, dan Tjasman Setyo Prawiro mengajukan gugatan pengujian kembali UU 27/2004 kepada Mahkamah Konstitusi. Pasal yang dimohonkan adalah Pasal 27 UU 27/2004 terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Menurut para pemohon, ketentuan Pasal 27 UU 27/2004 membuat kedudukan tidak seimbang antara pelaku dan korban, bahwa reparasi korban digantungkan daripada pemberian amnesti kepada pelaku. Pasal kedua yang dimohonkan adalah Pasal 44 UU a quo, yang menurut pemohon telah menutup kemungkinan korban untuk mendapatkan keadilan melalui lembaga peradilan,
581 Pasal 44 UU 27/2004 581 Pasal 44 UU 27/2004
memberikan impunitas kepada pelaku. 582
Menurut pendapat Mahkamah Konstitusi, Ketentuan dalam Pasal 27 UU 27/2004 saling kontradiksi dan seharusnya tidak saling bergantung karena tidak saling berkaitan, antara reparasi dan pemberian amnesti. Untuk Pasal 44 UU a quo , mahkamah berpendapat bahwa kewenangan soal sub-poena dari KKR terhadap Pengadilan telah diterima luas dalam praktik internasional, dan melihat tidak beralasan. Untuk Pasal 1 angka 9 UU a quo, mahkamah berpendapat bahwa meskpun KKR bertujuan untuk menciptakan perdamaian dan rekonsiliasi nasional, namun perlu perlu batasan terhadap amnesti, bahwa pelaku tidak boleh diuntungkan oleh amnesti tersebut. Meskipun demikian, mahkamah
582 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: Segala warga Negara bersamaan kedudukanya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum
Pasal 28I 1945: Ayat (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu Ayat (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah; Ayat (5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara Hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
mengesampingkan ketentuan pengujian terhadap Pasal 1 angka (9) UU a quo. Mahkamah menyatakan:
Menimbang bahwa meskipun yang dikabulkan dari permohonan hanya Pasal 27 KKR, akan tetapi oleh karena seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal yang dikabulkan tersebut, maka dengan dinyatakanya Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat, seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan. Hal ini karena keberadaan Pasal 27 tersebut berkaitan erat dengan Pasal 1 angka 9, Pasal 6 huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf g, Pasal 25 ayat (1) huruf b, Pasal 25 ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 26, Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 29 UU KKR. Padahal keberadaan Pasal 27 dan pasal yang terkait dengan Pasal 27 KKR itu merupakan pasal-asap yang sangat menentukan bekerja atau tidaknya keseluruhan ketentuan dalam UU KKR Sehingga dengan menyatakan tidak mengikatnya secara hukum Pasal 27 KKR, maka implikasi hukumnya akan mengakibatkan seluruh pasal berkaitan dengan amnesti tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 583
Mahkamah Konstitusi dengan demikian mengabulkan permohonan terhadap Pasal 27 sekaligus membatalkan seluruh perundang-undangan. Putusan MK tersebut melebihi apa yang dimohonkan oleh pemohon (ultra petita), namun dalam pertimbangan selanjutnya MK menyatakan bahwa dengan alasan yang lebih luas dan bersifat erga omnes, juga dalam praktik-di negara lain seperti Korea Selatan, dan dalam praktik MK sendiri, keputusan MK yang demikian adalah
dapat diterima. 584
Semenjak MK membatalkan UU 27/2004, belum ada pengaturan baru mengenai rekonsiliasi. Pada tahun 2015, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM mengajukan RUU KKR, yang kemudian menjadi bagian dari Prolegnas Prioritas 2015. RUU KKR 2015 ini berbeda dari UU 27/2004 hanya
583 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006 hlm 124 584 Ibid hlm 126 583 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006 hlm 124 584 Ibid hlm 126
Pasal 1 angka 5
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik maupun mental, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, penguranan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Pasal 1 angka 6
Keluarga korban adalah janda, duda, anak, atau orang tua dari Korban atau saudara kandung jika orang tua, anak, atau janda/duda dari korban tidak ada.
Dengan hilangnya ahli waris, maka definisi korban semata-mata hanya yang menerima akibat langsung saja, sedangkan apabila korban tersebut telah meninggal dunia, hak ahli waris dalam menerima kompensasi dan rehabilitasi menjadi tidak jelas, bahwa keluarga korban bukan korban, karena berdiri dari definisi yang terpisah. Menjadi tidak jelas karena tidak ada dalam RUU ketentuan mengenai hak reparasi bagi ahli waris apabila korban telah meninggal dunia, apakah hak tersebut gugur ataukah secara otomatis masuk kedalam keluarga korban, yang dalam RUU juga tidak diatur mengenai hak reparasinya, melainkan hanya hak perlindungan. Mengingat kekosongan hukum mengenai hak ahli waris sebagai korban, maka mengenai defiinisi korban dalam pengaturan ini, perlu kiranya ditentukan lebih jauh dalam pengaturan internal komisi, dan mekanisme Dengan hilangnya ahli waris, maka definisi korban semata-mata hanya yang menerima akibat langsung saja, sedangkan apabila korban tersebut telah meninggal dunia, hak ahli waris dalam menerima kompensasi dan rehabilitasi menjadi tidak jelas, bahwa keluarga korban bukan korban, karena berdiri dari definisi yang terpisah. Menjadi tidak jelas karena tidak ada dalam RUU ketentuan mengenai hak reparasi bagi ahli waris apabila korban telah meninggal dunia, apakah hak tersebut gugur ataukah secara otomatis masuk kedalam keluarga korban, yang dalam RUU juga tidak diatur mengenai hak reparasinya, melainkan hanya hak perlindungan. Mengingat kekosongan hukum mengenai hak ahli waris sebagai korban, maka mengenai defiinisi korban dalam pengaturan ini, perlu kiranya ditentukan lebih jauh dalam pengaturan internal komisi, dan mekanisme
Tugas dari komisi adalah menerima, menelaah, mengungkap kebenaran, baik melalui pengaduan maupun pemanggilan, dan kemudian meneruskanya dalam bentuk rekomendasi kepada pemerintah, dan pengawasan atas implementasi dari rekomendasi yang diberikan. Selain itu komisi juga bertugas untuk menyusun laporan tahunan dan laporan akhir dan dipertanggungjawabkan
kepada Presiden dengan tembusan DPR dan MA. 585 Dalam menjalankan tugasnya diatas komisi memiliki wewenang untuk memanggil, meminta keterangan, dan
meminta dokumen pada pihak yang terkait yang apabila diperlukan dapat meminta penetapan pengadilan dalam rangka upaya paksa dan kepada kepolisian untuk melaksanakan penetapan. Komisi juga bertugas dan berwenang untuk mendapatkan dokumen dan memberikan perlindungan baik kepada korban,
keluarga korban, pelapor, saksi, dan barang bukti. 586
Apabila UU 27/2004 terdiri dari tiga subkomisi, maka RUU KKR 2015 hanya terdapat dua komisi saja, yaitu komisi yang membidangi pengungkapan kebenaran dan klarifikasi pelanggaran HAM berat dan subkomisi yang
membidangi kompensasi dan rehabilitasi. 587 Untuk tugas dari sub-komisi pengungkapan kebenaran dan klarifikasi diatur dalam Pasal 14 sebagai berikut:
a. menerima Pengaduan;
585 Pasal 7 RUU KKR 2015 586 Pasal 8 & Pasal 9 RUU KKR 2015 587 Pasal 13 RUU KKR 2015 585 Pasal 7 RUU KKR 2015 586 Pasal 8 & Pasal 9 RUU KKR 2015 587 Pasal 13 RUU KKR 2015
c. melakukan pencarian fakta dan bukti Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat;
d. mendapatkan dokumen resmi milik instansi sipil atau militer serta badan swasta, baik yang ada di dalam maupun luar negeri;
e. memanggil setiap orang yang terkait untuk memberikan keterangan dan kesaksian;
f. mengklarifikasi seseorang sebagai pelaku atau sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
g. menentukan kategori dan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; dan
h. membentuk unit pengungkapan Kebenaran dan klarifikasi .
Tugas dari sub-komisi kompensasi dan rehabilitasi diatur dalam Pasal 15 sebagai berikut:
a. membuat pedoman pemberian kompensasi, dan/atau rehabilitasi;
b. melakukan klarifikasi kepada Korban dan memeriksa kelengkapan syarat permohonan dalam rangka pemberian kompensasi dan/atau rehabilitasi; dan
c. mengusulkan kepada Komisi bentuk pemberian kompensasi, dan/atau rehabilitasi.
Kewenangan dari sub-komisi kompensasi dan rehabilitasi ini akan diatur lebih jauh melalui operasional baku oleh sub-komisi dan menunggu hasil usulan diatur dalam bentuk peraturan pemerintah. 588 Berdasarkan ketentuan ini maka
sub-komisi hanya bersifat memberikan usulan saja dan menunggu usulan tersebut diatur oleh pemerintah dalam bentuk peraturan pemerintah. Di Chile, usulan dari komisi tersebut kemudian diatur dalam Ley 19.123, sementara di Afrika Selatan, UIR menjadi regulasi yang menentukan kelangsungan reparasi yang kemudian dilanjutkan oleh kebijakan pemerintah. Dengan demikian pengaturan internal sub-
588 Pasal 16 (1), (2) RUU KKR 2015 588 Pasal 16 (1), (2) RUU KKR 2015
Kewenangan sub-poena diatur dalam Pasal 28 RUU KKR ini yang menyatakan:
Perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc, termasuk bantuan, rehabilitasi, dan kompensasi yang diterima oleh korban dari lembaga atau instansi yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ketentuan tersebut tidak berbeda dari Pasal 44 UU 27/2004. Berdasarkan kepada ketentuan diatas, hapusnya pertanggung-jawaban pidana disini adalah pertanggungjawaban oleh perkara, dan bukan kepada individu. KKR di Chile, karena dibentuk dengan menggunakan dekrit presiden tidak memiliki kewenangan sub-poena, dan sebagai gantinya, dalam ketentuanya hanya menyatakan bahwa seluruh bukti hasil investigasi dari komisi akan diberikan kepada pengadilan. Di Afrika Selatan, penghapusan dari pertanggungjawaban pidana dapat diberikan apabila telah memenuhi ketentuan dari pemberian amnesti, kadar kejahatan, motif politik, dan pengungkapan kebenaran, dan berlaku secara individual.
Maka RUU KKR yang diajukan oleh Kemenkumham ini sesungguhnya secara garis besar tidaklah jauh berbeda dari UU 27/2004. RUU ini tidak memperbaiki kelemahan yang menjadi alasan permohonan pengujian UU 27/2004 di Mahkamah Konstitusi, yaitu perihal kedudukan pelaku dan korban (Ps. 27 UU 27/2004) dan impunitas (Ps. 1 angka 9, Ps. 44 UU 27/2004). Untuk permasalahan pertama, RUU KKR dalam memberikan reparasi kepada korban tidak lagi Maka RUU KKR yang diajukan oleh Kemenkumham ini sesungguhnya secara garis besar tidaklah jauh berbeda dari UU 27/2004. RUU ini tidak memperbaiki kelemahan yang menjadi alasan permohonan pengujian UU 27/2004 di Mahkamah Konstitusi, yaitu perihal kedudukan pelaku dan korban (Ps. 27 UU 27/2004) dan impunitas (Ps. 1 angka 9, Ps. 44 UU 27/2004). Untuk permasalahan pertama, RUU KKR dalam memberikan reparasi kepada korban tidak lagi
Kedudukan korban dan pelaku, dengan demikian juga menjadi tidak berimbang, karena klarifikasi status pelaku oleh sub-komisi pengungkapan kebenaran dan klarifikasi tidak memiliki daya paksa untuk memaksa pelaku dalam pengungkapan kebenaran. Pada lain pihak, ancaman pidana melalui pengadilan HAM ad hoc yang seharusnya dapat dilakukan apabila seseorang tidak memberikan kebenaran, tidak dapat dilakukan karena Pasal 28 secara otomatis menggugurkan pertanggungjawaban kepada perkara secara keseluruhan, yaitu peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam rentang waktu dan lokasi tertentu oleh motif tertentu, dan bukan pertanggungjawaban pidana. Jadi, korban mendapatkan ganti rugi, namun tidak mendapatkan kebenaran akan kejahatahn yang dilakukan oleh pelaku. Berbeda dari UU 24/2007, ketentuan untuk masuknya perkara dalam Pengadilan HAM ad hoc adalah dengan ditolaknya amnesti yang sekaligus menggugurkan hak reparasi korban untuk kemudian diputuskan dalam Pengadilan HAM ad hoc. Permasalahanya, apakah dalam RUU
KKR reparasi yang diberikan dengan tidak bergantung pada amnesti dan dituangkan dalam bentuk laporan komisi, dengan hak ingkar dari pelaku karena tidak adanya paksaan untuk pengungkapan kebenaran, dapat dikatakan bahwa komisi telah menyelesaikan tugasnya, yang bila demikian maka menggugurkan pertanggungjawaban pidana terhadap seluruh perkara.