Beberapa Kisah Para Penyintas.

B.1. Beberapa Kisah Para Penyintas.

Narasumber 1

Narasumber 1 adalah korban salah tangkap. Pada tahun 1965, Narasumber

1 hanyalah seorang yang simpatik dengan ajaran komunis, yang didapat dari kedua orang tuanya, yang merupakan pengurus partai. Narasumber 1 tidak pernah mengikuti organisasi apapun, ia menyebut dirinya sebagai orang yang menganut suka-suka gue, bodo amat! Sehingga menolak untuk bergabung dengan partai ataupun organisasi massa lainya. Dari wawancara dengan Narasumber 1, disusun dan diolah dalam cerita sebagai berikut:

Saya sebenarnya tidak terlibat dalam permasalahan G30S, saya termasuk orang yang semau gue, dan tidak pernah menjadi anggota IPI, atau CGMI, atau PR, atau Lekra, cuma, karena orang tua saya merupakan pegiat komunis. Dirumah saya adanya buku ajaran komunis, jadi sejak kecil saya sudah baca itu, seperti buku putih peristiwa Madiun, buku D.N. Aidit Saya sebenarnya tidak terlibat dalam permasalahan G30S, saya termasuk orang yang semau gue, dan tidak pernah menjadi anggota IPI, atau CGMI, atau PR, atau Lekra, cuma, karena orang tua saya merupakan pegiat komunis. Dirumah saya adanya buku ajaran komunis, jadi sejak kecil saya sudah baca itu, seperti buku putih peristiwa Madiun, buku D.N. Aidit

Tanggal 15 Oktober, saya mendapat telegram, seorang kawan, x, ditangkap dan ditahan oleh oknum pembasmi G30S, dan tidak akan bebas apabila saya tidak menemuinya. Kebetulan dia singgah kerumah saya. Saya harus datang, meski saya tahu, kalau saya datang, maka habislah saya. Cuma saya tahu, kalau kawan saya itu, apabila nantinya dia ditahan, dia tidak akan kuat. Begitu saya datang, langsung saya ditangkap, ditelanjangi di depan umum, karena saya dikira punya ilmu karena setiap saya berantem saya selalu menang, padahal saya tidak punya ilmu macam itu. Mulai saat itu, hak saya sebagai orang sipil hilang. Tapi saya mau tanya, kenapa saya ditelanjangi, siapa yang porno?

Karena saya bukan anggota, maka saya tidak ditanyai, dan saya dihajar terus, tapi saya ingat kisah Spartakus, maupun tahanan Franco di Spanyol, meski disiksa toh juga tetap bebas, saya berpegang pada itu. Selama ditanya saya hanya jawab, dan jawaban saya ya berpegang dengan marxisme, meski saya bukan anggota, dan itu adalah ide yang saya yakini. Saya ditanya, kenapa anda selalu membela ide komunisme? Ya saya jawab saja, karena mereka membela wong cilik, dan itu tidak dilarang! Karena kita adalah Nasakom! Dan saya digebukin terus. Rasa sakit karena digebuki itu hanya pada awalnya saja, setelah itu tidak terasa apa-apa lagi, seluruh badan bengkak, baju dan celana sempal karena bengkak.

Setelah saya ditangkap, saya dimasukkan ke sel. Harusnya ruangan itu hanya sepuluh orang, tapi diisi seratus orang, sehingga tidak bisa duduk selonjor, semua duduk jongkok. Orang yang merasa kehilangan hak- haknya pasti terasa sangat sengsara. Makan hanya paling banyak delapan sendok. Pertama saya ditangkap di gedung z di Kota K, saya ditangkap 17 Oktober 1965, dan datang untuk membebaskan teman saya yang semenjak saya datang langsung boleh pulang.

Datang disitu digebuki tanpa dikasih makan dan hanya makan dari kiriman rumah. Kita makan dari kiriman makan rekan tahanan yang dibagi ramai- ramai. Minum dan makan adalah dari kiriman rumah, tidak disediakan. Hal inilah yang banyak mematahkan semangat orang-orang. Setiap hari banyak orang yang mati, umpamanya Pak Lurah x, dihajar, kemudian mati, dan orang-orang lihat itu bagaimana dia mati. Orang yang dianggap tokoh setiap jam 11 sampai jam 1 dipanggil, dihajar, diroyok, sambil mengucap Allahu Akbar. Saya bingung, ngapain menghajar orang sambil mengucap Allahu Akbar? Salah kita apa? Apakah kami pernah membunuh santri? Apakah saya pernah membunuh santri? Lha wong saya pulang kesini saja belum tentu sebulan sekali karena dari SMP hingga kuliah saya di luar kota. Pertanyaan itu tidak masuk akal, dimana menyimpan senjata? Dimana siletnya? Katanya mau membunuh para kyai? Lha boro-boro punya senjata! Kalau tidak jawab terus digebuki. Kata mereka orang komunis akan membunuh orang-orang beragama, tapi lihat dong, nyatanya, siapa yang dibunuh?

Empat bulan, saya dipindah ke P, bekas pabrik gula. Malam hari, saya diberi tahu, mas, jangan duduk disitu, namamu sudah diincar. Mereka mengingatkan saya, mengatakan, nanti akan saya ambilkan orang lain. Jadi ketika nama saya dipanggil, orang lain yang diambil, untuk dieksekusi. Setelah dieksekusi, mereka biasanya menceritakan soal itu ke para tahanan, untuk semakin menjatuhkan mental para tahanan. Untuk membunuh, biasanya menunggu perintah bos dulu, yang biasanya akan memberi uang, makan, dan lain sebagainya. Itulah rendahnya harga manusia. Siksaan terbesar adalah, karena dekat dengan pusat kota, dari dalam tahanan bisa mencium baunya makanan dari luar, itulah godaan terbesarnya. Saya sempat dipindah lagi ke Jogja, Ambarawa, kemudian Semarang, keadaan relatif lebih baik, dan akhirnya, dinaikkan kapal Adri

15, disitulah mulai ramai, saya bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer, dan tokoh-tokoh lain, di kapal pun saya ditempatkan satu kamar dengan Pram. Kami kira akan dibawa ke Digul, ternyata turun di Pulau Buru.

Sampai Pulau Buru, penduduk sudah diingatkan oleh tentara, jangan mau berbicara dan ditipu oleh orang PKI, orang yang tidak beragama, yang sadis, tidak mengerti kebaikan dan balas budi. Begitu kau meleng sedikit, akan dimakan. Propaganda itu yang membuat penduduk setempat waspada dengan para tapol. Tidak ada jalan di Pulau Buru, begitu sampai, keadaan pulau masih liar dan belum terjamah. Awalnya memang susah untuk makan, terutama memenuhi kebutuhan protein. Kami makan apa saja. Kami menggarap pulau, dan makanan berlimpah sehingga tidak lagi Sampai Pulau Buru, penduduk sudah diingatkan oleh tentara, jangan mau berbicara dan ditipu oleh orang PKI, orang yang tidak beragama, yang sadis, tidak mengerti kebaikan dan balas budi. Begitu kau meleng sedikit, akan dimakan. Propaganda itu yang membuat penduduk setempat waspada dengan para tapol. Tidak ada jalan di Pulau Buru, begitu sampai, keadaan pulau masih liar dan belum terjamah. Awalnya memang susah untuk makan, terutama memenuhi kebutuhan protein. Kami makan apa saja. Kami menggarap pulau, dan makanan berlimpah sehingga tidak lagi

Sampai sekarang, saya masih sering bermimpi. Mimpi tentang siksaan, penganiayaan yang ditimpakan pada saya dan kawan-kawan saya selama di tahanan dulu. Tidak tahu kenapa, saya tidak bisa mengontrolnya, entahlah.

Narasumber 2

Narasumber 2 adalah seorang aktivis Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia, dan akan menjadi anggota PKI. Karena kerusuhan 1965, Narasumber 2 ditangkap, dan ditahan tanpa pengadilan. Dari wawancara dengan Narasumber 2, disusun cerita sebagai berikut:

Sebelum ditahan, saya sudah dikenal sebagai PKI, padahal susah jadi orang PKI yang benar-benar resmi. Saya ini simpatisan, masih calon PKI, tapi saya sudah ikut BTI, PR, dan Persatuan Among Desa. Pada waktu itu saya aktif dalam kegiatan organisasi, seperti mengorganisir massa. Ketika ditangkap, saya melihat sendiri rekan-rekan saya dihajar, saya sendiri diambil tanpa menggunakan surat atau apapun. Kami dimasukkan dalam tahanan yang berupa pabrik padi, ratusan orang yang ada disitu. Kira-kira empat puluh hari. Lalu ada pengumuman pada orang yang dipanggil namanya, untuk bersiap-siap, untuk ditransmigrasikan, kira-kira ada orang

41, termasuk orang x dari Penjara kota K, termasuk kapten w, dulu juga anak buahnya Harto. Disini, setiap ada pemeriksaaan bisa dipastikan ada penyiksaan, tapi praktiknya tidak sekejam di y.

Sampai di Cilacap, ternyata kami dikirim ke Nusakambangan. Wah ini, ternyata saya dimasukkan dalam Golongan B, berkumpul dengan orang- orang yang sudah dianggap tokoh PKI. Jatah makan pada saat itu, jagung

250 gram setiap hari, dari daerah jatah kami itu 50 rupiah setiap hari, termasuk sewa lampu, sewa tempat tidur, mandi, dan sisanya untuk makan. Jagung 250 gram untuk sehari. Mereka yang dikirim dari rumah juga ketika diterima sudah berkurang. Tahun 67 itu kematian selalu ada setiap hari, mati kelaparan. Waktu itu, kalau saya lihat ada anak pegawai makan pisang, saya pura-pura gak lihat, garuk-garuk rambut atau mainan kuku, setelah kulitnya dibuang, saya ambil dan makan. Saking kurangnya makan pada waktu itu. Kematian itu, tidak semata-mata karena senjata, tapi juga kelaparan. Yang dapat jatah makan itu Napi, bukan Tapol. Kami mencari makan dan minum sendiri, dari alam Nusakambangan. Saya melihat juga, ada yang punya nasi aking banyak, tapi tidak mau berbagi sama teman-temanya, punya makanan dari grup, disimpan sendiri. Di Nusakambangan ini, jatidiri sebenarnya ketahuan. Tidak menjamin seorang tokoh punya sikap berani. Banyak diantara mereka yang menghindar ketika saya tanyakan tentang kepartaian atau ideologi. Tapi disini pula saya bertemu dengan orang-orang yang banyak mengajarkan kepada saya tentang kepartaian dan ideologi, dan saya banyak belajar, dan itu menguatkan keyakinan saya.

Banyak yang istrinya minta cerai, karena suaminya tidak jelas kapan kembali, termasuk istri saya. Kepada mereka yang dicerai tersebut, kami hibur, dan termasuk saya, diajarkan mengenai otokritik, tentang bagaiman seharusnya seorang suami mendidik ketabahan istrinya. Ketika dicerai, saya sendiri cuma bisa bilang, terima kasih, karena berarti sudah ada yang merawat anak dan mantan istri saya. Biasanya dipanggil dari kantor biro, kalau ada orang dipanggil kesana, nah, berarti akan ada yang cerai.

Ada bermacam grup disana, saya masuk dalam grup penggergajian, tapi saya menyelinap ke Pertanian. Ketahuan, saya dihajar sambil dipertontonkan orang banyak. Akhirnya saya dipindah kesana. Tapi akhirnya saya bisa bebas juga, salah satunya karena keahlian main bola.

Ketika bebas, saya kembali melihat keanehan. Saya menyamar sebagai penjual ayam, keliling mengunjungi rekan-rekan seperjuangan dulu. Supaya tidak ketahuan, karena saat itu masih zaman Orde Baru. Banyak diantara mereka yang dulunya tokoh lalu ketakutan ketika saya kunjungi. Mereka sudah tidak pernah lagi membicarakan secara teori MDH, materialisme dialektika, dan historis materialisme. Tapi banyak juga, mereka yang tadinya bukan apa-apa lalu justru muncul dengan berani. Termasuk juga kegiatan kawan-kawan di Plumbon, banyak yang mengapresiasi, tapi juga ada pula yang tidak mau ketika saya kabari.

Narasumber 3

Narasumber 3 adalah mantan sukarelawan pembebasan Irian Barat. Sebelum sempat berangkat, memutuskan untuk kembali menjadi mahasiswa dengan ketentuan akan mengabdi untuk tanah air sepuluh tahun lamanya. Narasumber 3 kemudian menyelesaikan belajar tingkat master dan doktor di Rusia. Memutuskan pulang, Narasumber 3 ditangkap dan dimasukkan dalam sel isolasi. Dari pelajar, menjadi sukarelawan, kembali menjadi pelajar, dan akhirnya pesakitan. Narasumber 3 kini menghabiskan masa tua melalui gerakan literasi dengan mengurus perpustakaan sembari menjadi pemulung di kota asalnya. Berdasarkan wawancara, disusun cerita sebagai berikut:

Tahun 62, ketika saya mau dikirim ke Irian, karena ada perundingan, akhirnya Irian masuk Indonesia. Karena tidak jadi, akhirnya saya kembali jadi mahasiswa. Dari sukarelawan lalu jadi mahasiswa. Seharusnya sejak

61 nama saya sudah ada di Moscow, tapi tidak berangkat karena jadi sukarelawan. Lalu ketika mau kesana lagi, saya daftar lagi, dan sekarang harus dites, tapi saya lolos. Tapi saya ketika berangkat kesana sudah terlambat tahun ajaran. Tadinya saya diterima di geologi, tapi saya lebih memilih ekonomi, di Universitas Patrice Lumumba. Lalu saya mengikuti 1 tahun masa percobaan, termasuk belajar bahasa Rusia, yang akhirnya bisa saya selesaikan. Ketika ujian, saya banyak dikritik kalau banyak salah ejaan dari tulisan saya, tapi kemudian dibela, karena tulisan saya orisinal.

Pada tahun 1967 saya sudah meraih gelar master. Saat itu sudah terjadi G30S. Rektor mengumumkan, silahkan memilih, pergi ke luar negeri, pulang, atau melanjutkan studi. Saya memilih melanjutkan studi, didaftarkan ke Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov, diambil dari nama orang pertama yang menerjemahkan Das Kapital dalam Bahasa Rusia. Karena tidak lulus kumlod waktu mendaftar, saya diperintahkan untuk terlebih dahulu melakukan penelitian sambil magang. Disertasi saya mengkritik dua aliran ideologi besar yang saat itu bersaing, baik kapitalisme maupun sosialisme. Buat saya, keduanya sama saja, sama- sama eksploitator, bedanya kapitalis yang dieksploitasi buruh melalui Pada tahun 1967 saya sudah meraih gelar master. Saat itu sudah terjadi G30S. Rektor mengumumkan, silahkan memilih, pergi ke luar negeri, pulang, atau melanjutkan studi. Saya memilih melanjutkan studi, didaftarkan ke Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov, diambil dari nama orang pertama yang menerjemahkan Das Kapital dalam Bahasa Rusia. Karena tidak lulus kumlod waktu mendaftar, saya diperintahkan untuk terlebih dahulu melakukan penelitian sambil magang. Disertasi saya mengkritik dua aliran ideologi besar yang saat itu bersaing, baik kapitalisme maupun sosialisme. Buat saya, keduanya sama saja, sama- sama eksploitator, bedanya kapitalis yang dieksploitasi buruh melalui

Sebelumnya, pada saat ada pembunuhan jenderal tahun 1965, saya kebetulan tidak ikut tahlilan di kedutaan, jadi saya dianggap pro G30S. Pada saat itu organisasi mahasiswa disana sudah pecah menjadi tiga, baik kiri, tengah, maupun kanan, yang masing-masing bersaing. Akhirnya saya memilih pulang, dan baru pulang pada tahun 1973. Sebelumnya padahal saya sudah ditawari oleh organisasi amnesti untuk ke Belanda saja, saya akan diperkerjakan disana. Akan tetapi, karena ingat kontrak sebelum berangkat, saya memilih pulang.

Ketika pulang, saya dicurigai akan melakukan teror pada saat agustusan. Sampai Kemayoran, saya dijemput oleh teman juga, lulusan Lumumba, tapi sudah berlagak menjadi agen rahasia. Baru belakangan dia mengaku melakukan hal tersebut karena terpaksa, apabila dia tidak berbuat demikian, maka dirinya juga akan ditahan. Saya dibawa ke Kantor Bea Cukai di Cikini, keimigrasian. Berjam-jam saya disuruh untuk mengisi formulir, padahal sebelumnya pesawat telah terlambat 24 jam, saya ingin kencing, ketika mencari kamar kecil, saya dikepung dengan todongan senjata. Akhirnya saya dimasukkan dalam sel isolasi selama enam bulan lamanya, seorang diri, cuma ada kamar tidur. Tadinya berat, tapi lama- lama bangga, karena berak atau kencing saja dikawal dengan senjata, haha. Bebas dari isolasi, saya tidur di dipan. Jumlah tahanan tergantung dari jumlah orang yang dibon. Kalau banyak, maka yang disitu juga banyak, kalau tidur harus satu komando. Saya mengumpulkan air-air kencing yang dibuang di kaleng, untuk kemudian saya pergunakan untuk menyiram sayur bayam, yang saya tanam dibelakang. Saya sudah bisa bekerja di tahanan. Salah satunya jadi tukang cuci. Karena bekerja disana, saya dapat upah berupa jatah sarapan, jadi, saya dapat tiga kali jatah makan sementara yang lain cuma dua. Sebelum bebas, saya menjadi ketua blok tahanan. Karena dianggap membantu para tahanan, saya banyak diberi kiriman dari keluarga para tahanan. Kiriman itu akhirnya saya bagikan lagi untuk mereka yang kekurangan dalam tahanan.

Waktu bebas saya menandatangani perjanjian untuk tidak menceritakan semua kejadian didalam. Setelah bebas, saya tulis saja, padahal waktu itu masih wajib lapor. Saya dipanggil, dan saya bilang saja, betul saya berjanji Waktu bebas saya menandatangani perjanjian untuk tidak menceritakan semua kejadian didalam. Setelah bebas, saya tulis saja, padahal waktu itu masih wajib lapor. Saya dipanggil, dan saya bilang saja, betul saya berjanji

Setelah bebas, saya merenovasi rumah orang tua di kampung halaman. Setelah itu, saya buat perpustakaan, perpustakaan liar orang bilang. Saya mengikuti Pram, bacalah, bukan bakarlah, supaya muncul lagi penulis- penulis besar yang melampaui Pram. Karena menulis, seperti kata Pram, adalah kerja keabadian. Saya memilih melanjutkan hidup menjadi rektor, pengorek barang-barang kotor, bersama dengan anak saya. Saya bekerja untuk makan dengan keringat sendiri. Pernah orang tanya sama saya, apakah saya dendam, ijazah tidak diakui, dipukul, dipenjara? Saya bilang saja bahwa itulah tugas negara terhadap warganya, maka saya tidak dendam, justru bangga, saya tidak berbuat saja ditakuti, apalagi saya bertindak.

Narasumber 4

Narasumber 4 adalah seorang anak dimana kedua orang tuanya sempat ditahan karena peristiwa 1965. Ibunya kembali, tapi tidak ayahnya. Dia hanya mendengar bahwa ayahnya dibunuh, tapi jasad dan kuburnya belum pernah diketahui hingga kini. Semasa remaja, sebagaimana remaja lain pada masa Orba, diajarkan mengenai kejamnya Gerwani. Jadi, Narasumber 4 tumbuh dengan kisah kejam mengenai ibunya, sembari oleh lingkungan dikatai bahwa dirinya adalah anak gerwani. Narasumber 4 adalah seorang budayawan, hingga kini telah meluncurkan tiga buku kumpulan cerpen miliknya, dimana dirinya banyak berbicara mengenai pengalaman akan penantian pulangnya sang ayah. Berikut adalah cerita yang disusun dari hasil wawancara:

Masa kecil, bagi saya, adalah masa-masa penuh kekerasan. Ketika bapak dan ibu ditahan, kami sekeluarga boyongan pindah ke kota x, tanpa bapak yang baru belakangan saya dengar dia dibunuh. Dari hari ke hari mengalami kekerasan baik verbal, gestur, maupun fisik, termasuk dijenggung sambil dikatai dasar koe anak PKI, dasar anak Gerwani. Awalnya sebagai anak kecil saya tidak menyadari, apa salah saya, mereka Masa kecil, bagi saya, adalah masa-masa penuh kekerasan. Ketika bapak dan ibu ditahan, kami sekeluarga boyongan pindah ke kota x, tanpa bapak yang baru belakangan saya dengar dia dibunuh. Dari hari ke hari mengalami kekerasan baik verbal, gestur, maupun fisik, termasuk dijenggung sambil dikatai dasar koe anak PKI, dasar anak Gerwani. Awalnya sebagai anak kecil saya tidak menyadari, apa salah saya, mereka

Ucapan dasar anak PKI dan dasar anak Gerwani itu saya terima sebagai kalimat makian yang mengganggu saya. Saya melawan, semakin besar, saya melawan secara fisik, dengan berkelahi. Pada titik tertentu saya bertanya, apakah arti ucapan itu? Jenggungan kepala pada saya itu dilakukan tidak hanya oleh orang lain, tapi juga oleh keluarga, kami diasingkan tanpa tahu apa kesalahan kami. Saya bertanya pada ibu saya, tapi tidak mendapat jawaban dari ibu saya yang kemudian membuat saya mencari sendiri, apa arti dari semua itu. Kelamaan saya jadi tahu bahwa PKI itu adalah hal itu, dan Gerwani adalah itu, dan saya bertanya betulkah ayah ibu saya adalah anggota organisasi macam itu. Suatu ketika saya malu betul, pada ibu saya, dianggap dan diperlakukan sebagai perempuan Gerwani, yang dalam film Pengkhianatan G30S PKI itu adalah kelompok perempuan yang tidak bermoral. Gambaran yang sama juga saya peroleh dari pelajaran sejarah di sekolah, sampai SMA, yang membuat saya jijik terhadap ibu saya. Inilah yang membuat saya melawan terhadap ibu saya, segala ucapan, perintah, dan larangan dari ibu saya adalah omong kosong.

Bentuk perlawanan terhadap ibu saya adalah dalam bentuk saya bolos sekolah, baik selama SMP maupun SMA masing-masing saya jalani 5 tahun dan 4,5 tahun. Semata-mata saya lakukan sebagai jawaban atas perlakuan yang saya terima baik dari keluarga besar maupun dari lingkungan. Saya menjadi makhluk yang harus dijauhi oleh tetangga. Entah apa yang mereka pikirkan soal keluarga kami. Makin lama saya tahu bahwa gerwani adalah organisasi perempuan di Indonesia yang paling progresif dan revolusioner yang teguh pada tata moral. Selanjutnya yang muncul adalah kekaguman, terhadap ibu saya, setelah itu saya meminta maaf, dan menjadi bangga, punya ibu anggota Gerwani. Apa yang dilakukan ibu saya pada waktu itu adalah memberantas buta huruf, mengikuti pawai ganyang malaysia, yang juga diikuti oleh banyak orang dengan gembira. Itulah yang membuat saya banngga punya ibu seorang Gerwani.

Stigma betul ada, keluarga kami mengalami itu, sebagai orang yang disingkirkan. Pertanyaanya, apabila kami bersalah, apa buktinya? Karena hingga sekarang tidak ada tanggung jawab dari pemerintah atas stempel yang diberikan kepada negara, bahwa kami adalah orang yang boleh disingkirkan. Juga tidak ada yang pernah dilakukan negara untuk membuktikan bahwa bapak saya bersalah dan da layak dibunuh. Tidak ada kesediaan untuk membuka sejarah itu. Tidak pernah ada pengadilan yang adil dan terbuka tentang itu. Maka rekonsiliasi macam apa yang digulirkan? Kalau tidak pernah ada pengakuan bahwa ada perbuatan salah.

Ya, saya punya dendam dan sakit hati, dulu, karena kami mengalami itu. Saya sadar bahwa tidak mungkin hidup dengant tersandera masa lalu. Saya kemudian memaafkan, tapi tidak melupakan. Dengan kesadaran bahwa apa yang dilakukan terhadap kami adalah salah, dan harus dilakukan dengan pengakuan, bahwa pelaku yang melakukan itu mengakui dihadapan publik secara jujur dan kesatria, serta komitmen untuk tidak mengulanginya lagi. Jadi tidak boleh ada lagi pembunuhan pemberangusan yang boleh dilakukan atas nama apapun. Kalau itu belum ada, maka segala ajakan rekonsiliasi adalah omong kosong. Apakah kita akan terus menyimpan keburukan yang pernah terjadi pada masa ini? Sementara hingga kini, sekadar mengaku sebagai korban saja sudah membutuhkan keberanian luar biasa.

Pertanyaan yang sampai hari ini masih mengganggu kami adalah, apakah betul bapak saya dibunuh. Mungkin sudah tidak penting lagi siapa pembunuhnya, tapi yang lebih penting, kami butuh pengakuan bahwa andalah yang membunuh bapak kami, dan tunjukkan pada kami dimana kuburnya. Jadi jangan membunuh orang layaknya membunuh lalat. Apakah salah kemudian saya menunggu tiba-tiba suatu saat bapak saya pulang? Apakah itu konyo? Orang lain boleh bilang itu konyol, tapi bagi kami itu tidak. Karena saya bisa ada karena ada bapak saya, yang sekarang tiba-tiba hilang tanpa pernah kembali hingga hari ini. Pada siapa kami harus bertanya, kalau bukan kepada negara.

Bagaimana kita bisa menyatakan telah hidup demokratis, negeri bersendi hukum, kalau sampai sekarang tidak pernah diketahui siapa membunuh siapa, melakukan apa, kalau tidak punya keberanian untuk mengakui, yang nantinya akan terulang dengan berbagai penyebab.

Saya melakukan penelitian kecil-kecilan dan mendapat kabar kalau bapak saya dibunuh. Tetapi siapa yang membunuh, dan kenapa? kenapa waktu bapak dan ibu saya ditahan, ibu saya bisa bebas tapi tidak dengan bapak saya? Bapak saya bukan satu-satunya orang, ada ribuan orang yang mengalami hal itu. Ada sekian ribu, atau mungkin juta yang dihilangkan.

Sampai hari ini saya belum bisa menjawab kepada anak-anak saya, kenapa setiap kali lebaran, setiap kali berziarah, anak-anak saya tidak pernah saya ajak ke makam bapak saya. Bagaimana saya mau mengajak? Pusara bapak saya pun saya tidak tahu. Saya belum bisa menjawab, karena saya tidak bisa membayangkan bagaimana respon anak saya kalau saya mengatakan bahwa kakek kamu dibunuh, saya yakin mereka akan kembali bertanya, siapa yang membunuh, kapan, dan kenapa kakek dibunuh? Pertanyaan yang sampai hari ini juga saya sendiri belum bisa temukan jawabnya.

Anak saya memang bertanya, karena kakek dari pihak ibu dia tahu dimana makamnya, tapi kenapa tidak pernah ada makam dari bapak saya. Saya tidak bisa menipu bahwa ini kubur kakekmu. Kejujuran itu perlu, tapi saya masih belum bisa menjawab pertanyaan itu. Kalau sudah ada pengakuan pemerintah, itu bisa membantu saya untuk menjelaskan pada anak saya. Bahkan setelah 50 tahun. Termasuk bungkamnya ibu saya untuk membicarakan masalah 65.

Kisah Lain

Seluruh hasil wawancara diatas adalah terhadap korban berjenis kelamin laki-laki. Tentu, pengalaman tersebut tidak mampu mewakili pengalaman khas perempuan, padahal kekerasan yang dialami perempuan dalam derajad tertentu lebih pedih dibandingan yang dialami oleh laki-laki. Penelusuran dari Ita F. Nadia menunjukkan pengalaman-pengalaman bagaimana perempuan mengalami kekerasan baik fisik, psikis, maupun seksual. Berikut adalah pengalaman Tapol perempuan, Partini :

“di tengah sepi malam tiba-tiba saya terbangun. Seketika saya menjadi sadar! Ternyata saya sudah dalam keadaan telanjang bulat. Seoarang laki- laki tinggi besar sudah menindih tubuh saya dan dengan liar ia memerkosa saya. Saya merasa kesakitan luar biasa. Darah segar kembali mengalir dari vagina. Setelah merasa puas ditinggalkanya saya terkapar tanpa daya di tempat tidur. Belum sempat saya mengatur nafas, sudah datang lagi seorang laki-laki lain. Ia bertubuh keci dan tinggi. Ia memerkosa saya dengan amat kasar, tidak peduli pada darah yang terus mengalir. Saya tidak sadar lagi, apa yang terjadi pada saya sesudah laki-laki ketiga, seorang yang berperawakan pendek dan gemuk. Dengan berat tubuhnya ia menindih dan menindih tubuh saya, sambil menggigit-gigit payudara saya

yang bengkak, saya pingsan.” 350 Pengalaman lain seputar kekerasan juga bisa ditemukan dalam Pengakuan

Maryati :

350 Ita F. Nadia. Suara Perempuan Korban Tragedi 65. Galang Press. Yogyakarta. 2008. Hlm 62-63

“Begitu saya masuk kamp ambarawa, langsung saya diinterogasi sepanjang malam. Dari kamp Ambarawa saya dipindah ke kota Solo. Disinilah siksaan terhadap saya pun mulai terjadi. Saya disiksa dengan berbagai cara, dan yang paling lazim, selain diperkosa, yaitu dengan cara disetrum. Seutas kabel yag satu ujungnya disambung pada alat pembangkit listrik, dan pada ujung yang diberi semacam cincin tembaga. Cincin ini terkadang ada beberapa, tertempel atau dicantelkan pada bagian-bagian tubuh yang paling peka: klitoris atau penis, dan puting payudara, atau yang paling tidak tajam menyengat jari kaki dan jari tangan. Kaki dan tangan

saya diikat selama tiga hari tiga malam tanpa makan dan minum [...]” 351 Beberapa contoh diaras menunjukan bagaimana kekerasan dialami oleh

Tapol perempuan. Apabila dikaitkan dengan narasumber 4, maka pengalaman tersebut belum juga termasuk pada kebencian anaknya, yang oleh lingkungan sosial maupun pendidikan diajarkan untuk membenci Gerwani, suatu atribut sosial yang disematkan kepada ibunya.