Kejahatan yang terjadi pada tahun 1965
D.2. Kejahatan yang terjadi pada tahun 1965
Peristiwa 1965 beserta segala kejahatan yang berlangsung setelahnya dapat dibagi menjadi dua bagian; pertama adalah pernyataan resmi Komnas HAM dan Komnas Perempuan, selaku lembaga negara, yang menyatakan bahwa terdapat indikasi Pelanggaran HAM berat pada titik-titik lokasi yang ditemukan. Kedua adalah hasil temuan dari LSM yang melakukan penelitian-penelitian secara lebih terperinci dan telah melakukan prakarsa lokal terhadap temuan-temuanya.
Peristiwa 1965 dalam ringkasan eksekutif Pelanggaran HAM Berat Komnas HAM terbagi dalam beberapa titik antara lain; Wilayah Maumere, LP Pekambingan Denpasar, Wilayah Sumatera Selatan, Kamp Moncongloe Sulawesi Selatan, Pulau Buru Maluku, Tempat Penahanan Jalan Gandhi
Medan. 232 Selain ringkasan eksekutif tersebut, pernyataan lain dapat dilihat pula berdasarkan Pernyataan Tim ad hoc Komnas HAM tentang Hasil
Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966. Penyelidikan Tim ad hoc ini dimulai pada 1 Juni 2008 sampai 30 April 2012
Op Cit Firdiansyah, D. Andi Nur Aziz. Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat… lihat juga Penyataan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) Tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa 1965-1966.23 Juli 2012.
dengan melakukan pemeriksaan saksi sebanyak 349 orang. 233 Catatan yang perlu diperhatikan dari penyelidikan ini adalah terbatasnya luas cakupan
dari Tim Ad Hoc. Apabila merujuk dari perkiraan jumlah korban yang terbentang antara 78.000 hingga 3.000.000 juta jiwa termasuk penahanan terhadap 1,5 juta lainya, jumlah 349 saksi yang diberikan masih terlalu kecil. Hal lain adalah keterbatasan bentang geografis dari penyelidikan
tersebut. Lokasi seperti Nusakambangan, 235 Kendal, maupun penjara Plantungan luput dari perhatian. 236 Terutama yang terakhir, padahal telah
234
terdapat penelitian historis dan keberadaannya telah dikenal cukup luas. Selain itu Komnas HAM dalam laporan tersebut meski telah mencakup wilayah Bali, namun belum mencapai wilayah-wilayah yang diduga kuat terdapat banyak pelanggaran HAM berat peristiwa 1965-1966 yaitu wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kekurangan-kekurangan tersebut diakui oleh Komnas HAM. 237
Menurut Komnas HAM, dari titik-titik yang disebutkan diatas, terdapat indikasi Pelanggaran HAM Berat. Klasifikasi dari Pelanggaran HAM Berat tersebut berbeda-beda pada setiap lokasi. Berikut adalah
233 Ibid hlm 4 234 Nusakambangan, pulau isolasi selatan dari Cilacap. Disini Tapol menjadi satu dengan para narapidana. 235 Kuburan Plumbon yang terletak di tengah hutan Jati Kecamatan Ngaliyan (sekarang Semarang), beberapa rekan peneliti lain sempat mengutarakan pula bahwa di Kendal, terdapat dua desa yang dibumi hanguskan sepenuhnya pada peristiwa 1965-66. 236 Tentang penjara Plantungan ini dapat dilihat pada Heriyani Wiwoho Busono. Mengembara Dalam Prahara, dari Wirogunan sampai Plantungan. Pustaka Binatama. Semarang. 2012. lihat juga Amurwani Dwi Lestariningsih. Gerwani, Kisah Tapol Wanita di Kamp Plentungan. Penerbit Kompas. Jakarta. 2012 237 Op Cit Firdiansyah, D. Andi Nur Aziz. Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran
Hak Asasi Manusia Berat…. Hlm 4. Kelemahan tersebut antara lain; Luasnya geografis Peristiwa 1965-1966, Keterbatasan Anggaran, Lama peristiwa, dan Traumatik yang dialami oleh korban.
ringkasan dari hasil penyelidikan Komnas HAM. Untuk wilayah Maumere; Pembunuhan di Pantai Wairita, Pembunuhan di Kampung Flores Timur, Pembunuhan di Polsek Gelinting. Untuk wilayah LP Pekambingan Denpasar; Perampasan Kemerdekaan secara sewenang-wenang, Penyiksaan. Untuk Wilayah Sumatera Selatan; Penghilangan orang secara paksa di Desa Bingin Teluk dan Pulau Kemarau. Untuk Wilayah Kamp Moncongloe Sumatera Selatan; Perbudakan, Perampasan Kemerdekaan, dan penganiayaan. Untuk Wilayah Pulau Buru; Perbudakan.Untuk Wilayah Penahanan Jalan Gandhi Medan; Pembunuhan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa. Komnas HAM menilai bahwa pada tiap-tiap locus tersebut diatas telah terjadi perbuatan yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana diatur dalam UU 26/2000 dalam hal unsur meluas dan
sistematik, dan ditujukan kepada penduduk sipi. 238 Hal tersebut dikarenakan antara satu kejadian dengan lainya memiliki keterkaitan satu sama lain
dalam satu rangkaian peristiwa. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, mengacu pada Pasal 42 UU 26/2000 incasu Pasal 9 UU 26/2000 meliputi; Komandan yang membuat kebijakan, dalam hal ini adalah Pangkopkamtib
berdasarkan surat-surat kebijakan yang dikeluarkanya. 239 Kemudian komandan yang memiliki kontrol secara efektif terhadap anak buahnya,
dalam hal ini para Pangdam yang berlaku sebagai pelaksana khusus
238 Ibid hlm 27-28 239 Ibid hlm 32
Pangkopkamtib. 240 Serta individu/komandan/anggota kesatuan yang dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai pelaku lapangan. 241
Dalam laporanya, berdasarkan hasil penyelidikan untuk pelanggaran HAM Berat 1965 tersebut Komnas HAM menyimpukan; 242
Terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagai berikut:
a. Pembunuhan (Ps 7 huruf b Jo Ps 9 huruf a UU 26/2000)
b. Pemusnahan (Ps 7 huruf b Jo Ps 9 huruf b UU 26/2000)
c. Perbudakan ((Ps 7 huruf b Jo Ps 9 huruf c UU 26/2000)
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa ((Ps 7 huruf b Jo Ps 9 huruf d UU 26/200)
e. Perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainya secara sewenang-wenang (Ps 7 huruf b Jo Ps 9 huruf e UU 26/2000)
f. Penyiksaan (Ps 7 huruf b Jo Ps 9 huruf f UU 26/2000)
g. Perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara. (Ps 7 huruf b Jo Ps 9 huruf g UU 26/2000)
h. Penganiayaan (Ps 7 huruf b Jo Ps 9 huruf h UU 26/2000)
i. Penghilangan orang secara paksa. (Ps 7 huruf b Jo Ps 9 huruf I UU 26/2000)
Komnas HAM merekomendasikan: 243
1) Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung diminta menindaklanjuti hasil penyelidikan ini dengan penyidikan.
2) Sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan (2) Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, maka hasil penyelidikan ini dapat juga diselesaikan melalui mekanisme non yudisial demi terpenuhinya rasa keadian bagi korban dan keluarganya (KKR).
240 Ibid hlm 33 241 Ibid hlm 34 242 Disarikan dari Ibid hlm 35-40 243 Loc cit
Lembaga negara lain diluar Komnas HAM yang melakukan penelitian terkait peristiwa 1965 dan menerbitkan rilis resmi adalah Komnas Perempuan. Penelitian Komnas Perempuan lebih berpusat pada pelanggaran HAM berat yang dialami secara khusus oleh perempuan pada peristiwa 1965. Komnas Perempuan pada tahun 2007 menerbitkan rilis berjudul Laporan Pemantauan HAM Perempuan: Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965 yang mencakup pula dugaan pelanggaran HAM yang berat, konteks sejarah, dan pertanggungjawaban negara baik secara pidana maupun secara kenegaraan.
Rilis dari Komnas Perempuan tersebut lebih luas dan mendalam apabila dibandingkan dengan rilis Komnas HAM dengan jumlah halaman mencapai 183 halaman. Rilis tersebut merupakan hasil penelusuran terhadap 122 kesaksian yang merupakan perempuan yang terkait dengan peristiwa 1965 berdasarkan pada dua pertanyaan utama; bagaimana dan mengapa
kekerasan terjadi? 244 Rilis Komnas Perempuan ini telah didalamnya menyertakan pula pandangan kritis terhadap kekerasan yang terjadi, yaitu
melalui propaganda terhadap gerwani dengan menyertakan hasil visum et repertum para jenderal lubang buaya pada bagian lampiranya dan dengan pertama-tama menampilkan surat kabar yang disponsori oleh Angkatan Darat; Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata, media massa yang boleh beredar pada saat itu, pemberitaan-pemberitaan mengenai perempuan
244 Ita F. Nadia, dkk. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965. Komnas Perempuan. Jakarta. 2007. Hlm 29
Gerwani. 245 Serangan terhadap Gerwani tersebut memiliki imbas dengan menjadi stigma sosial terhadap perempuan yang terlibat pada gerakan-
gerakan politik. 246
Temuan dari penelitian Komnas Perempuan tersebut antara lain; Pembunuhan di luar hukum dan penghilangan paksa, penganiayaan dalam proses penangkapan, penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan dalam tahanan, penyiksaan seksual dalam penahanan, perkosaan dan perbudaan seksual dalam penahanan, kerja paksa, penyerangan terhadap perempuan dan keluarganya, kekerasan seksual saat penyerangan massal, penjarahan, perusakan, dan penyitaan barang hak milik, pemisahan ibu terhadap anaknya, perempuan yang suami atau anggota keluarganya dibunuh dan dihilangkan paksa, yang suaminya ditahan, kekerasan seksual yang suaminya sedang ditahan, pemindahan paksa penahanan. Dari kriteria yang diajukan oleh Komnas Perempuan tersebut, terlihat warna khusus hak perempuan yang memiliki kriteria tersendiri dan terjadi karena latar belakang yang berbeda.Kekerasan seksual misalnya, oleh Komnas Perempuan dibagi menjadi kekerasan seksual selama penahanan, selama penyerangan massal, maupun kepada perempuan yang suaminya tengah ditahan, dibunuh, atau dihilangkan yang menunjukkan perspektif perempuan.
245 Ibid hlm 53-56 246 Ibid hlm 62
Komnas Perempuan juga menyertakan perlakuan tidak adil terhadap perempuan setelah masa pembebasan seperti diskriminasi berdasarkan KTP, pengingkaran kebebasan bergerak, pengingkaran hak politik, hak untuk bekerja, hak atas pendidikan, pengucilan dan stigmatisasi oleh masyarakat dan keluarga. Hasil simpulan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kejadian-kejadian yang diperoleh dari pengumpulan saksi diatas telah memenuhi unsur-unsur Pelanggaran HAM Berat yaitu unsur serangan yang meluas terhadap masyarakat sipil, unsur serangan sistematik terhadap
masyarakat sipil. 247 Penelitian ini bagaimanapun tidak menyertakan pertanggungjawaban pidana individu meskipun Komnas Perempuan
mengakui bahwa dari saksi-saksi tersebut dalam kesaksiannya menyebutkan nama-nama tertentu. 248 Pada pertanggungjawaban lembaga non-negara,
meskipun bukan kebijakan resmi, namun Komnas Perempuan melihat bahwa pada kenyataanya secara serentak terdapat gerakan yang melakukan pelanggaran di berbagai wilayah dengan pola-pola serupa. 249 Untuk pertanggung-jawaban negara, Komnas Perempuan melihat bahwa negara jelas terlibat secara langsung dalam kejahatan-kejahatan ini yaitu melalui
lembaga-lembaga dan aparatnya. 250 Komnas Perempuan juga memberikan catatan atas tiadanya upaya lebih lanjut terhadap pelanggaran HAM Berat
yang terjadi seperti penyangkalan, permintaan maaf oleh Gus Dur yang
247 Ibid hlm 160-161 248 Ibid hlm 166 249 Ibid hlm 167 250 Ibid hlm 168 247 Ibid hlm 160-161 248 Ibid hlm 166 249 Ibid hlm 167 250 Ibid hlm 168
Bagian pembeda dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan dalam hal ini adalah terutama pada bagian tanggungjawab negara.Dalam rekomendasinya, Komnas HAM memberikan dua pilihan; yaitu melalui pengadilan HAM ad hoc, atau melalui rekonsiliasi. Pada bagian rekomendasi Komnas Perempuan, tampak lebih menitikberatkan pada bagian rekonsiliasi, meskipun Komnas Perempuan dan Komnas HAM keduanya memiliki sikap yang sama terhadap reparasi hak-hak korban. Meskipun demikian, Komnas Perempuan juga mengambil sikap progresif dengan merekomendasikan kebijakan yang integral seperti pengakuan, jaminan kemanan, mencabut produk huku diskriminatif, menghapus praktik diskriminatif, memulihkan hak sipil dan ekonomi, jaminan sosial, jaminan pensiun, layanan psikologis, jaminan pendidikan, akses hunian, mekanisme rehabiltasi, dan berbagai layanan sipil lainya. 251 Rekomendasi penting lain adalah meminta pelurusan sejarah resmi, mendesak segera diundangkanya UU KKR yang baru, reformasi birokrasi, kepada Komnas HAM untuk melakukan langkah pro-justitia, mengembangkan mekanisme perlindungan
HAM. 252 Komnas Perempuan juga mendorong pemulihan secara menyeluruh yang melibatkan berbagai elemen termasuk rekonsiliasi antara
korban dan komunitas, pengungkapan kebenaran, komitmen anti kekerasan,
251 Ibid hlm 176-177 252 Ibid hlm 177-178 251 Ibid hlm 176-177 252 Ibid hlm 177-178
Disamping temuan dari dua lembaga negara tersebut, terdapat beberapa temuan yang merupakan hasil penelitian dari inisiasi masyarakat sipil. Karena banyaknya penelitian dan keterbatasan penulis, tidak semua akan ditampilkan disini. Setidak-tidaknya adalah bahwa terdapat kejadian Pelanggaran HAM Berat yang terjadi dalam tahun-tahun pasca 1965. Beberapa temuan tersebut antara lain adalah Tahun yang Tak Pernah Berakhir, kumpulan esai-esai penelitian para korban berangkat dari apa yang mereka sebut sebagai Sejarah Lisan. 254 Jadi, dalam penelitian tersebut tim mewawancarai korban dengan satu tema pokok tertentu untuk kemudian membentuk satu narasi. Penelitian ini mewawancarai sebanyak 260 orang
dengan teknik wawancara yang berbeda-beda. 255 Buku ini berisi enam esai yang menceritakan pengalaman-pengalaman tapol termasuk pola-pola
kejadian tertentu yang ada dalam tema yang ditentukan.Hasil temuan penelitian tersebut dapat dilihat dari indikasi RPKAD sebagai pemicu
terjadinya pembunuhan di Jawa Tengah. 256 Diiringi dengan ketegangan baik eksternal maupun internal, ditambah pada puncaknya kedatangan RPKAD,
situasi yang tadinya masih berlangsung cukup tenang menjadi tegang. 257
253 Loc cit 254 Johan Roosa, Ayu Ratih & Hilmar Farid.Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65.Elsam & Tim Relawan untuk Kemanusiaan Institut Sejarah Sosial Indonesia. Jakarta. 2004. Hlm 1 255 Ibid hlm 20-22 256 Rinto Tri Hasworo. Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah dalam Ibid hlm 27 257 Ibid hlm 28
Dipimpin langsung oleh Sarwo Edhie, RPKAD melakukan operasi penangkapan di Semarang dan berbagai daerah lainya menuju Magelang, Kudus, Demak, dan Jepara. Penangkapan dan pembunuhan di Jawa Tengah tidak hanya dilakukan oleh RPKAD, melainkan juga melalui mobilisasi massa warga sipil. 258 Kejadian berlangsung adalah penangkapan tanpa adanya proses hukum, pemerkosaan, penganiayaan, dan lain sebagainya. 259
Buku tersebut juga menampilkan pengalaman para keluarga tapol, momen- momen penantian kembalinya keluarga dan proses yang terlunta-lunta. 260
Juga beberapa pengalaman lain yang kurang lebih menceritakan perihal kisah para korban dalam menjalani kehidupan pasca 1965.
Penelitian lebih khusus seperti yang dilakukan Elsam; Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia, berfokus pada praktik-praktik penghilangan paksa. Terbagi dalam tiga bab khusus, penelitian tersebut pada bagian pertamanya menyertakan praktik penghilangan paksa yang terjadi sepanjang peristiwa 1965 sebagaimana terjadi di Sumatera Utara, Blitar, Boyolali, Sulawesi Selatan, maupun Bali. Meski berfokus pada penghilangan paksa, namun dalam hasilnya mencakup
pula praktik pembunuhan dan kerja paksa yang terjadi di beberapa lokasi. 261
258 Ibid hlm 34 259 Ibid hlm 35-55 260 Yayan Wiludiharto. Penantian Panjang di Jalan Penuh Batas dalam Ibid hlm 68 261 Anak Agung Gede Putra dkk. Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indoensia. Elsam. Jakarta. 2012. Terutama pada bagian Bab pertama hlm 49-230. Praktik-praktik tersebut seperti penghancuran gerakan buruh di Sumatera Utara, kerja paksa, juga bagaimana kamp tahanan, pembunuhan, dan proses penangkapan dipaparkan dengan jelas dalam penelitian ini. Hal unik yang dapat menjadi catatan disini adalah yang teradi di Boyolali, para tahanan politik yang ditangkap dibebaskan namun pada kenyataanya tidak pernah kembali pada keluarganya.
Buku Luka Bangsa Luka Kita, Pelanggaran HAM Masa lalu dan Tawaran Rekonsiliasi berisi kumpulan tulisan yang beberapa diantaranya merupakan hasil penelusuran lapangan (termasuk laporan penyelidikan Komnas HAM dan Laporan Tim Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Soeharto). Secara garis besar buku ini berfokus pada bagaimana tindak lanjut dari hasil
penyelidikan Komnas HAM disertai dengan catatan kritis. 262
Selain itu terdapat pula tulisan dari Saskia Weiringa, penelitian mengenai gerakan perempuan di Indonesia yang dalam beberapa bagiannya menggambarkan proses penyiksaan yang dialami oleh para tapol perempuan. Bagian itu menampilkan bagaimana kesaksian mengenai amoralitas perempuan di lubang buaya seperti menari telanjang diperoleh selama masa interogasi, termasuk bagaimana foto-foto tersebut dibuat. 263
Mengenai perempuan dapat pula ditemukan pada penyajian secara vulgar oleh Ita F. Nadia dalam Perempuan Korban 1965, yang menampilkan pengalaman terutama pemerkosaan yang dilakukan dengan cara-cara keji seperti menggunakan popor senjata, setruman listrik, maupun perkosaan
262 Stanley misalnya, mencatat bahwa setelah Kejaksaan Agung menerima berkas penyelidikan dari Komnas HAM, sejumlah Purnawirawan TNI mengadakan pertemuan untuk mendesak Susilo
bambang Yudhoyono agar tidak meminta maaf. Stanley Adi Prasetyo. Jangan Biarkan Jalan itu Kian Menyempit dan Berliku dalam Op Cit Baskara T. Wardaya. Luka Bangsa Luka Kita, Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Tawaran Rekonsiliasi… hlm 265 Catatan berharga lain adalah inisiasi permintaan maaf oleh walikota Sulawesi Tengah, meskpun dalam sejarahnya sempat mengalami hembusan isu mengenai PKI Gaya Baru dan lain sebagainya, namun konslidasi warga dan dukungan dari Walikota. Rusdi Mastura, membuat Wali Kota mengeluarkan permintaan maaf atas kejadian yang menimpa para korban. Dalam Nurlaela A.K. Lamasitudju. Rekonsiliasi dan Pernyataan Maaf Pak Walikota dalam Ibid hlm 380 263 Lihat lebih jauh dalam Saskia E. Weiringa. Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Garba Budaya & Galang Press. Jakarta & Yogyakarta. 2010 hlm 432, bagaimana para Gerwani ditangkap, disiksa, dan dipenjara. Mereka kemudian dipaksa untuk telanjang bulat dan menari, dan kemudian diambil foto.
yang dilakukan secara berkali-kali dalam rentang waktu yang lama sehingga menimbulkan luka fisik dan terutama psikis. 264 Penelitian lain terdapat pula
dalam Malam Bencana 1965 ,kumpulan tulisan penelitian terbitan obor yang terbagi dalam dua edisi yang mencakup konflik secara nasional dan lokal. 265 Penemuan HJ Princen mengenai pembantaian di Purwodadi sebagaimana terdapat dalam Harian Indonesia Raya yang ditulis oleh
Muchtar Lubis. 266 Penelitian disertasi Hermawan Sulistyo yang berjudul Palu Arit di Ladang Tebu, dan Buku Putih Benturan NU PKI 1948-1965
menjelaskan bagaimana bangunan konflik horizontal antara PKI dan para santri. 267
Tulisan-tulisan mengenai pengalaman para korban tersebut tidak hanya terdapat dalam bentuk penelitian, namun juga dalam bentuk memoar dan film. Mengembara Dalam Prahara adalah tulisan dari Heriyani Busono Wiwoho yang berisi pengalamanya selama berpindah-pindah lokasi penahanan dan perasaan ketika berpisah dengan suami dan anak-anaknya. 268 Di Buru ke Pulau Buru adalah tulisan Hersri Setiawan, seorang tapol yang dalam buku tersebut mengisahkan pengalaman selama berada di
264 Ita F. Nadia. Suara Perampuan Korban Tragedi ’65. Galang Press. Yogyakarta. 2008 265 Taufik Abdullah, Sukri Abdurrachman, Restu Gunawan (ed). Malam Becnana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional, Bagian I Rekonstruksi Dalam Perdebatan. YOI. Jakarta. 2012, Taufik Abdullah, Sukri Abdurrachman, Restu Gunawan (ed). Malam Bencana 1965, Dalam Belitan Krisis Nasional, Bagian II Konfilik Lokal. YOI. Jakarta. 2012 266 Lihat catatan kaki nomor 30
H. Abdul Munim DZ, Benturan NU-PKI 1948-1965. Depok. 2013, Hermawan Sulistyo. Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966). Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. 2011 keduanya lebih kepada konflik horizontal yang menceritakan keadaan saling mengancam satu sama lain.
268 Op Cit Heriyani Busono Wiwoho. Mengembara Dalam Prahara….
pembuangan di Pulau Buru. 269 Diantara memoar-memoar tersebut, yang paling terkenal barangkali adalah catatan-catatan Pramoedya Ananta Toer
yang berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
II, kedua buku tersebut telah terbit dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Kedua buku tersebut menceritakan pengalaman Pram seperti surat- suratnya yang berisi wejangan kepada anaknya yang menikah namun tak pernah sampai, catatan mengenai keberangkatan para Tapol ke Buru menggunakan Kapal Adri 15, juga menceritakan pembagian jatah makan dan penyiksaan serta kematian para tapol di Pulau Buru. 270
Disamping dari karya berbentuk tulisan, terdapat pula film-film dokumenter yang memberikan kesaksian korban seputar 1965. The Shadow Play karya Chris Hilton, Vagabond Films dan Thirteen, .menceritakan dua sisi sekaligus; gambaran peta politik secara global dan pengalaman eksvakasi kuburan massal di Kaliwiro Wonosobo yang berujung ricuh karena adanya pembakaran mayat di lokasi pemakaman ulang. Film ini juga mencakup kesaksian salah satu keluarga korban, Joyo Santoso, yang kakaknya ditahan dan dibunuh setelah pulang dari masa studi di Amerika
Serikat. 271 Film 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy karya Robert
269 Hersri Setiawan. Diburu Di Pulau Buru. Galang Press. Yogyakarta. 2006 Selain mecneritakan pengalaman penulisnya di Pulau Buru, buku ini menyertakan pula lampiran berupa surat-surat
seperti surat keterangan jalan, surat penyataan untuk berkelakuan baik pada saat dibebaskan, dan contoh KTP dengan keterangan eks tapol. 270 Pramoedya Ananta Toer. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1. Hasta Mitra. Jakarta. 2000, Pramoedya Ananta Toer.Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2. Hasta Mitra. Jakarta. 2000. 271 Film tersebut menggambarkan bagaimana konteks perang dingin termasuk perang Amerika Serikat di Vietnam untuk mencegah meluasnya paham komunis, yang dalam konteks perang dingin berarti memperluas kekuatan Uni Soviet ke Asia Tenggara terutama Indonesia. Indonesia yang pada masa itu mengambil jalan tengah namun belakangan semakin mengarah kekiri,
Lemelson, seorang antropolog, menceritakan seputaran campur aduk perasaan keluarga korban yang salah satu anggota keluarganya ditahan atau
dibunuh karena masa 1965. 272 Jembatan Bacem yang dibuat oleh Perkumpulan Elsam dan Pakorba Solo , memberikan runtutan cerita
mengenai proses penahanan, penyiksaan, dan eksekusi yang dalam hal ini dilakukan oleh RPKAD. Film ini terutama, menampilkan pengalaman saksi dan penyintas dalam hal eksekusi para tertuduh PKI di Jembatan Bacem,
jembatan yang melintasi Sungai Bengawan Solo. 273 Film The Act of Killing atau Jagal, besutan Joshua Oppenheimer dan para anonim, menceritakan
seputar Anwar Congo, preman bioskop beserta rekanya dan petualangan mereka dalam membunuhi para Komunis dan kaum tiong hoa dengan cara ditekik menggunakan kawat dan menari cha-cha. Film tersebut memperlihatkan pengakuan Anwar Congo secara vulgar dan bagaimana dirinya selaku warga sipil melakukan eksekusi atas ratusan nyawa pada peristiwa 1965 di Medan. 274 The Look of Silence atau Senyap, yang
terutama setelah terungkapnya dukungan Amerika terhadap gerakan separatis di Indonesia.Atas hal tersebut Soekarno memerintahkan seluruh pelajar untuk kembali ke tanah air, disinilah Ibnu Santoro pulang dan bergabung dalam HIS, organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan PKI.Karena kedekatan tersebut Ibnu Santoro ditangkap dan dipenjara.Lokasi mayatnya baru ditemukan melalui eksvakasi dari YPKP dan organisasi permuda NU setempat, atau 35 tahun setelah pembunuhanya. 272 Film ini memberikan gambaran mengenai dampak stigma yang diberikan oleh lingkungan kepada keluarga yang salah satu anggota keluarganya memiliki kedekatan dengan elemen kiri baik PKI maupun Underbouwnya. 273 Termasuk bagamana mayat-mayat mengambang di sungai Bengawan Solo dan warga pada masa itu tidak diperbolehkan untuk meminggirkan mayat tersebut dan diperintahkan untuk menengahkan kembali mayat-mayat yang tersangkut di pinggiran sungai agar terseret arus sungai ke laut. Para tahanan dalam film berdarsarkan kesaksian yang diberikan diikat tangan dan kakinya, beberapa diantaranya disertai dengan kayu dibagian punggung, diangkut bertumpuk- tumpuk menggunakan truk untuk kemudian dijajarkan di Jembatan Bacem untuk ditembak. 274 Anwar Congo segera mengajukan gugatan semenjak film tersebut beredar secara luas dan mendapatkan perhatian internasional.Film yang tadinya beredar secara terbatas ini kemudian terutama setelah terungkapnya dukungan Amerika terhadap gerakan separatis di Indonesia.Atas hal tersebut Soekarno memerintahkan seluruh pelajar untuk kembali ke tanah air, disinilah Ibnu Santoro pulang dan bergabung dalam HIS, organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan PKI.Karena kedekatan tersebut Ibnu Santoro ditangkap dan dipenjara.Lokasi mayatnya baru ditemukan melalui eksvakasi dari YPKP dan organisasi permuda NU setempat, atau 35 tahun setelah pembunuhanya. 272 Film ini memberikan gambaran mengenai dampak stigma yang diberikan oleh lingkungan kepada keluarga yang salah satu anggota keluarganya memiliki kedekatan dengan elemen kiri baik PKI maupun Underbouwnya. 273 Termasuk bagamana mayat-mayat mengambang di sungai Bengawan Solo dan warga pada masa itu tidak diperbolehkan untuk meminggirkan mayat tersebut dan diperintahkan untuk menengahkan kembali mayat-mayat yang tersangkut di pinggiran sungai agar terseret arus sungai ke laut. Para tahanan dalam film berdarsarkan kesaksian yang diberikan diikat tangan dan kakinya, beberapa diantaranya disertai dengan kayu dibagian punggung, diangkut bertumpuk- tumpuk menggunakan truk untuk kemudian dijajarkan di Jembatan Bacem untuk ditembak. 274 Anwar Congo segera mengajukan gugatan semenjak film tersebut beredar secara luas dan mendapatkan perhatian internasional.Film yang tadinya beredar secara terbatas ini kemudian
langsung dengan para pihak yang terlibat dengan pembunuhan kakaknya. 275
Tentu masih terdapat berbagai literatur lain baik hasil penelitian maupun catatan-catatan pribadi yang tidak dapat dimasukkan seluruhnya disini ataupun karena keterbatasan dari penulis. 276 Masing-masing dari
tulisan tersebut memiliki corak masing-masing bergantung dari lokasi dan waktu penelitian beserta bangunan konflik dan corak yang berbeda-beda. Apabila ditarik semacam kesimpulan kasar dari masing-masing penelitian tersebut dengan mengesampingkan beberapa masalah yang bersifat partikular, masih dapat disimpulkan bahwa sebagaimana hasil penyelidikan Komnas HAM, terdapat indikasi Pelanggaran HAM Berat seperti Pembunuhan, Penyiksaan, Kekerasan Seksual, Pemenjaraan tanpa
dengan cepat menyebar dan mengadakan acara nonton dan diskusi yang juga mengundang protes dari sejumlah ormas. 275 Film kedua ini, kontras dengan film yang pertama menampilkan keluarga korban dan bagaimana mereka (entah secara metafor atau sesungguhnya) menunjukkan bahwa keluarga korbanlah yang terlebih dahulu mendekati para pelaku dan atas kedatanganya menerima maaf mereka.Film ini seolah-olah menggambarkan kondisi dan kemungkinan rekonsiliasi di Indonesia pada
antara Adi Rukun dan keluarganya.Layaknya film sebelumnya, pemutaran film ini juga mendapatkan tentangan keras meski dalam peredaranya mendapatkan jaminan dari Komnas HAM.Pembubaran tersebut terjadi di wilayah Yogyakarta oleh FPI, bahkan di Unibraw pembubaran justru dilakukan oleh pejabat kampus sendiri. 276 Beberapa tulisan seperti Aku Bangga Menjadi Anak PKI karya Ribka Dyah Tjiptaning maupun tulisan Geoffrey Robinson dari hasil penelitianya di Bali: The Darkside of Paradise yang seharusnya merupakan tulisan penting tidak sempat dimasukkan disini karena keterbatasan akses pada pustaka tersebut.
umumnya dengan
menampilkan rekonsiliasi kecil menampilkan rekonsiliasi kecil