Melampaui Perampasan Hak
C.1. Melampaui Perampasan Hak
Telah diutarakan sebelumnya bahwa residu dari peneguhan kedaulatan adalah kamp konsentrasi dan hidup telanjang [bare life]. Situasi yang menggambarkan batasan tipis antara pemerintahan demokratis dan otoriter. Perubahan atas formasi hidup, mengandaikan keberadaan entitas diluar hukum yang dapat mengubah registrasi seseorang pada komunitas politiknya, yaitu kedaulatan. 379 Akan tetapi sesungguhnya ada lagi yang berada di luar kedaulatan, yaitu para homo sacer itu sendiri. Pertanyaanya, dapatkah layaknya kedaulatan,
379 Giorgio Agamben. Form-of-Life dalam Giorgio Agamben. Means Wihout End. University of Minessota Press. Minneapolis & London. 2000. Hlm 10 379 Giorgio Agamben. Form-of-Life dalam Giorgio Agamben. Means Wihout End. University of Minessota Press. Minneapolis & London. 2000. Hlm 10
terdapat upaya pelampauan atasnya? Menurut Sergei Prozorov, terdapat tiga hal yang justru membuat nihilistik dalam pemikiran agamben sebagai suatu yang optimis. Pertama adalah keadaan darurat negara, dengan potensialitasnya sebagai mesin pembunuh bertemu dengan kapitalisme global, kedua sejauh nihilisme destruktif tersebut memiliki potensi atas tubuh manusia, maka tidak ada lagi yang dapat dilakukan dan ketiga, bahwa formasi kehidupan bukanlah suatu tugas
sejarah, melainkan substraksi dari subyek dari aparatusnya. 381 Meski tampak bahwa perubahan secara struktur –dari hukum- bukanlah solusi yang ditawarkan oleh Agamben, namun tidak dapat dikatakan pula bahwa perubahan secara
struktur tidaklah diperlukan. Bukankah registrasi ulang dari komunitas politik, sebagaimana terjadi dalam masa-masa transisi dapat dan telah terjadi? Justru perubahan terbesar bagi suatu komunitas politik adalah pengakuanya atas bare life, bangunan kedaulatan yang baru dengan menggunakan pengalaman para homo sacer 382 sebagai landasanya. Meskipun potensialitas yang membuat batas tipis
antara negara demokratis menjadi otoriter tetap tidak terhindarkan, pengakuan terhadap kekejaman yang terjadi dan perubahan struktur hukum tetaplah diperlukan.
380 Pendapat ini diambil dari Op Cit Hizkia Yosie Palimpung. Asal- Usul Kedaulatan… dalam catatan kaki nomor 89 hlm 102-103 Menurut Yosie, Homo Sacer bersama dengan kedaulatan adalah yang
berada diluar dari hukum itu sendiri, sehingga membuat –apa yang disebutnya sebagai- potensialitas perlawanan politik adalah mungkin.
381 Sergei Prozorov. Why Giorgio Agamben is an Optimist dalam Philosophy and Social Criticism Vol 36 No. 9. Sage Publication. 2010 hlm 1054
382 Ibid hlm 1057, 1058, 1060
Menurut Karl Jaspers, terdapat keterkaitan antara refleksi historis dan analisa personal dimana yang pertama hanya dapat dilakukan melalui yang kedua. Inilah bagi Jaspers kesadaran bersama, kesadaran yang tumbuh sebagai kesadaran
nasional. 383 Kesadaran bersama itu, bagi Jaspers dan pandangan eksistensialisnya, hanya dapat muncul dari dalam, dari penerimaan atas kesalahan moral dan
metafisik. 384 Pertanyaanya, keadaan apa yang memungkinkan untuk memunculkan kesadaran dari dalam tersebut? Pada akhirnya, rasa bersalah ini,
sebagaimana terjadi dalam kasus 1965 di Indonesia, masih tenggelam dalam kebencian yang diwariskan dari Orde Baru kepada rezim yang baru. Kesalahan yang dari luar, yaitu kesalahan kriminal dan kesalahan politik, belum berjalan di Indonesia melalui tidak adanya pengadilan kriminal maupun tuduhan rasa bersalah secara politik, yang mengikat secara komunal, yang seringkal ditanggapi balik dengan tuduhan khas Orde Baru. Gus Dur adalah contoh yang sangat baik mengenai hal ini. Permintaan maaf dan idenya untuk mencabut TAP XXV/MPRS/1966, meski secara informal, ketika dia menjabat sebagai Presiden sekaligus senior dari NU, menunjukkan adanya niatan kesana. Akan tetapi permintaan maaf itu juga tidak sempat menjadi program formal sampai pada penghujung kekuasaanya yang singkat, maupun para penerusnya. Pertanyaanya, apakah menolak untuk melupakan adalah hal yang penting?
383 Karl Jaspers. The Question of German Guilt.Fordham University Press. New York. 2000. Hlm 96 384 Kesalahan moral adalah rasa bersalah yang muncul ketika terjadi kejahatan terhadap
kemanusiaan yang memungkinkan seseorang untuk bertindak namun memilih untuk tidak bertindak. Sementara kesalahan metafisik adalah rasa bersalah yang muncul atas kejahatan yang dilakukan oleh orang lain meski dalam rentang waktu dan jarak geografis yang berbeda. Dalam ibid hlm 55-65.
Menurut Hannah Arendt, permaafan, dan bukan melupakan, adalah sesuatu yang penting. Bagi Arendt, tanpa adanya permaafan, tidak mungkin untuk melanjutkan hidup atas kesalahan pada masa lalu, tersandera atas masa lalu. Masa
lalu, adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk kembali terulang. 385 Karena itulah manusia memiliki potensialitas untuk memaafkan, dimana kemampuan tersebut
tidak diturunkan dari Tuhan, melainkan dari manusia kepada sesamanya. 386 Maaf, dengan demikian adalah berkebalikan dari dendam. Permaafan melepaskan pula
kedua belah pihak dari jeratan kesalahan. 387 Penghukuman dalam permaafan ini menjadi alternatif dari permaafan, bahwa seseorang tidak dapat menghukum
apabila tidak dapat memaafkan, dan begitupula sebaliknya, keduanya karena berada dalam konteks pemurnian atas kesalahan yang telah terjadi. Apabila permaafan adalah selalu berhubungan dengan masa lalu, maka jaminan atas masa depan terletak pada fakultas janji. Masa depan adalah selalu tidak terprediksi, janji, dengan demikian adalah penghargaan atas otensitas individu untuk berpegang pada yang dijanjikanya. 388 Soal janji ini, dapat diberikan pada kedaulatan, yang bagi Arendt berasal dari perjanjian atas rakyatnya.
The sovereignty resides in the resulting, limited independence from the incalculability of the future, and its limits are the same as those inherent in the faculty itself of making and keeping promises. The sovereignty of a body of people bound and kept together, not by an identical will which
385 Op Cit Hannah Arendt. The Human Condition… hlm 237 386 Ibid hlm 239 387 Ibid hlm 240 388 Ibid hlm 244 Arendt mengatakan: Man's inability to rely upon himself or to have complete
faith in himself (which is the same thing) is the price human beings pay for freedom; and the impossibility of remaining unique masters of what they do, of knowing its consequences and relying upon the future, is the price they pay for plurality and reality, for the joy of inhabiting together with others a world whose reality is guaranteed for each by the presence of all.
somehow magically inspires them all, but by an agreed purpose for which alone the promises are valid and binding..
Pilihan antara menghukum, memaafkan, atau melupakan dan varian antara ketiganya adalah yang menentukan bentukan masa depan rezim yang baru. Masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihanya, yang tergantung pada tiap konteks. Meski demikian, melupakan tampaknya bukanlah pilihan yang tepat untuk menata rezim yang baru. Dengan melupakan, maka tidak ada pelanggaran ham yang dilakukan oleh rezim yang lalu, yang berarti pula tidak ada korban dan tidak ada pelaku yang melakukan kekejaman, yang dalam banyak kesempatan merupakan batu uji yang terlalu berharga bagi sejarah kemanusiaan. Pertanyaanya, bagaimana penjaminan akan masa depan yang berbeda dapat dilakukan apabila tidak melalui pengakuan atas sejarah kekejaman yang pernah terjadi pada masa lampau? Alasan yang demikian merupakan alasan mengapa
melupakan bukanlah pilihan yang patut diambil bagi keadilan transisi. 389 Dari sini dapat dimengerti mengapa melupakan bukanlah pilihan yang tepat, karena
kesalahan dan janji tidak akan bisa berlangsung selama tidak ada pengakuan atas masa lalu beserta kesalahan dan kekejaman yang terjadi, sementara pada sisi lain manusia terikat pada ketakberulangan dan ketidakpastian masa depan, dua hal yang menurut Arendt terletak pada dua fakultas baik permaafan maupun janji ketakberulangan.
389 Agung Putri. Berjuang Mengungkap Kebenaran dan Mengadili Masa Lampau: Pengalaman Rakyat Negeri Tertindas dalam Ifdhal Kasim dkk. Pencarian Keadilan di Masa Transisi. Elsam.
Jakarta. 2002. Hlm. 69
Erich Fromm, seorang psikolog sosial, mengatakan bahwa hanya melalui kehadiran yang lain, seseorang dapat mencapai kepenuhan makna hidupnya. 390
Melalui yang-lain, pengalaman partisipasi dan komunikasi mewujud, dimana tatapan yang-lain terpantul dalam penghayatan seseorang dan menjadi mengada bersama yang lain, relasi antara I-Thou. 391 Tentu relasi antara aku dan yang lain ini hanya dapat mewujud dari relasi yang seimbang. Sebaliknya, masyarakat Orde Baru adalah masyarakat dengan pembungkaman, terutama terhadap para penyintas 1965. Langkah yang ditempuh dengan demikian adalah memulihkan bagaimana yang lain atas penderitaan yang pernah dialami. Tanpa pemulihan, maka tidak ada kesetaraan yang dengan demikian relasi yang muncul adalah I-it.
Tetapi memilih untuk menegakkan keadilan dan memaafkan memerlukan perihal lain, yaitu hambatan dari sisa rezim yang lama tentang masa transisi. Hambatan yang diperoleh selama masa transisi tersebut menentukan seperti apakah bentuk dari pengungkapan kebenaran dan pengadilan terhadap rezim yang lama. Pada prosesi inilah rekonsiliasi menjadi relevan. Tentu rekonsiliasi tidaklah berdiri sendiri, melainkan berjalan bersama-sama dengan pengadilan HAM
maupun pengadilan pidana. 392
390 Erich Fromm. The Sane Society. Routledge. London & New York. 2001. Hlm 70 391 Martin Buber. I and Thou. T&T Clark. Edinburh. 1923. 392 Dalam sistem hukum di Indonesia, kedua jenis pengadilan ini menjadi satu dalam Pengadilan
HAM sebagaimana diatur dalam UU 26/2000. Akan tetapi, esensi dari pengadilan tersebut bukanlah pengadilan HAM, yang memberikan hak reparasi bagi korban, melainkan pada pemidanaan pelaku. Hal ini dapat dipahami apabila melihat bahwa UU 26/2000 yang merupakan adopsi dari Statuta Roma ICC, yang lebih menitik beratkan pada pengadilan terhadap pelaku.