Hukum dan HAM Masa Reformasi

C.2. Hukum dan HAM Masa Reformasi

Seiring dengan gelombang demokratisasi dan krisis ekonomi yang melanda pada tahun 1997, Soeharto akhirnya mengundurkan diri sebagai Presiden. B.J. Habibie, wakil presiden pada masa itu menggantikan sementara dengan janji Pemilu secepatnya. Pada masa ini, dengan suasana semangat reformasi yang bergolak, pemerintah membuka diri pada konvensi-konvensi internasional mengenai HAM. Setelah sebelumnya menolak HAM internasional dengan mengedepankan retorika partikularitas HAM, Pemerintah melakukan ratifikasi dalam kurun waktu 1998-1999, antara lain Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), Konvensi penghapusan diskriminasi rasial (CERD) dan Konvensi organisasi buruh internasional

Marzuki. Politik Hukum Hak Asasi Manusia… hlm 18-24. Suparman Marzuki mengutip pendapat dari Donald Share mengenai empat jenis transisional: transisi inkremental atau bertahap, transisi secara cepat dan konsensual dengan rezim lama, melalui revolusi yang non konsensual, dan transisi melalui perpecahan. Marzuki juga mengutip pendapat dari Samuel Huntington : transisi yang diinisiasi oleh rezim yang berkuasa, transisi negosiasi antara rezim lama dan baru, transisi dari bawah, dan transisi dari luar. Suparman kemudian mengajukan indikasi kesuksesan suatu pemerintahan transisional; kesepakatan mengenai prosedur politik, pemerintahan yang dilaksanakan melalui pemilu yang bebas dan langsung, pemerintahan yang secara de facto memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan baru, dan pembagian kekuasaan trias politica dengan cita demokrasi yang baru.

tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi dalam UU 5/1998, UU 29/1999 dan UU 83/1998.

Semangat reformasi juga melahirkan berbagai produk hukum yang penting. Pertama-tama adalah empat kali perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang berlangsung perubahan pertama pada oktober 1999, perubahan kedua agustus 2000, perubahan ketiga november 2001, dan perubahan keempat agustus 2002. Diantara keempat perubahan tersebut, perubahan yang berkaitan dengan HAM adalah perubahan kedua, yang melakukan perubahan pada 5 Bab dan 25 Pasal. Meski telah mengalami perubahan, namun apabila diperbandingkan dengan dua konstitusi yang lain, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, jaminan hak dalam UUD 1945 pasca amandemen tetap berjumlah lebih sedikit.

Pergeseran yang terjadi karena tuntutan reformasi tersebut memunculkan pula beberapa produk HAM yang menandai era pasang naik HAM di Indonesia. Produk hukum yang bersangkutan dengan HAM tersebut, apabila dibagi dalam urutan terbitnya dan pergantian kekuasaandapat dibagi dalam susunan sebagaimana yang dipaparkan dibawah. Meski mengalami perubahan yang berarti, akan tetapi pada kenyataanya perubahan-perubahan yang terjadi tersebut tidak atau belum mewadahi keadilan transisional atas kejahatan yang terjadi pada rezim

sebelumnya. 194 Sebagai catatan, tidak seluruh produk HAM masa reformasi

194 Lihat Suparman Marzuki. Pengadilan HAM di Indonesia, Melanggengkan Impunity.Penerbit Erlangga. Jakarta. 2012 sebagian besar argumen dalam bagian ini mengacu pada penelitian 194 Lihat Suparman Marzuki. Pengadilan HAM di Indonesia, Melanggengkan Impunity.Penerbit Erlangga. Jakarta. 2012 sebagian besar argumen dalam bagian ini mengacu pada penelitian

Pada masa B.J. Habibie, pemerintahan baru semenjak mundurnya Soeharto menghadapi tantangan tuduhan akan bayang-bayang dari rezim yang sebelumnya. Tuntutan utama pada tahun-tahun 1998-1999 ini adalah terutama pada HAM dan kebebasan berserikat dan berpendapat. Tuntutan lain adalah peradilan terhadap Soeharto, pengusutan kasus korupsi, dan

pembubaran Golkar. 195 Untuk mengatasi tuduhan dirinya sebagai bagian dari rezim yang lama, Habibie mengambil beberapa langkah antara lain

dengan membangun citra pemerintahan yang berdasarkan pada HAM, 196 membebaskan tahanan politik 1965 maupun para aktivis

mahasiswa, mencabut UU 11/PNPS/1963, 197 Pencabutan monopoli tafsir

Pancasila, 200 Pembatasan lama kekuasaan presiden, pengusutan korupsi

Suparman tersebut. Pendapat lain mengenai keadilan transisional dapat lihat juga dalam ICTJ & KontraS. Keluar Jalur Keadilan Transisi di Indonesia Setelah Jatuhnya Soeharto.2011. Hlm 11-16

195 Hikmahanto Juwana. Assessing Indonesias Human Rights Practice in the Post Soeharto era: 1998-2003.Vol. 7 No. 2. Singapore Journal of International & Comparative Law. 2003. Hlm 646

196 TAP MPR No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara.Tap ini pada intinya

hendak melakukan evaluasi terhadap pemerintahan lama melalui segenap perubahan yang muncul seperti demokratisasi, penghargaan HAM, kondisi ekonomi, dan lain sebagainya. 197 UU No. 26/1999 Tentang Pencabutan UU 11/PNPS/1963 Tentang Pemberantasan kegiatan subversi. 198 TAP MPR No. XVII/MPR/1998/ tentang Pencabutan TAP No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa). 199 TAP MPR No. XII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia hendak melakukan evaluasi terhadap pemerintahan lama melalui segenap perubahan yang muncul seperti demokratisasi, penghargaan HAM, kondisi ekonomi, dan lain sebagainya. 197 UU No. 26/1999 Tentang Pencabutan UU 11/PNPS/1963 Tentang Pemberantasan kegiatan subversi. 198 TAP MPR No. XVII/MPR/1998/ tentang Pencabutan TAP No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa). 199 TAP MPR No. XII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia

yang berarti terdapat setidaknya dua kekurangan pada masa ini, yaitu peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang menewaskan mahasiswa dan tidak adanya tindak lanjut mengenai pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam hal kemajuan hak perempuan, dengan latar belakang peristiwa perkosaan massal yang terjadi terhadap etnis tiong hoa, dibentuklah Komnas

Perempuan. 202

1. TAP MPR XVII/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Terdiri dari sepuluh bab dan 44 Pasal.TAP MPR ini menandai pengakuan Indonesia terhadap universalitas HAM. Hal tersebut terdapat dalam bagian Pendekatan dan Substansi huruf a yang menyatakan:

…bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu-gugat oleh siapapun.

Hal tersebut kembali ditegaskan dalam bagian paragraf dua pembukaan Piagam HAM Tap a quo.Pasal 1 dan Pasal 2 TAP ini kemudian menugaskan kepada seluruh lembaga negara dan aparat pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan

200 TAP MPR No.XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme.

201 Op Cit Suparman Marzuki. Politik Hukum Hak Asasi Manusia… hlm 25 produk hukum lain yang menandai proses demokratisasi adalah UU 2/1999 tentang Partai Politik yang memunculkan 48

Partai peserta pemilu 1999. 202 Keppres 181/1998 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Partai peserta pemilu 1999. 202 Keppres 181/1998 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan

bertentangan dengan Pancasila. 203

2. Perppu No. 2/1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Latar belakang dari desakan mahasiswa akan kebebasan berpendapat. Perppu ini kemudian disahkan dalam bentuk UU melalui UU No. 9/1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. UU ini berisi mengatur prosedur demonstrasi seperti ijin kepada kepolisian setempat, rute, dan lain sebagainya. Menurut Hikmahanto Juwana, UU ini tidak berlaku efektif pada tahun-tahun pergeseran karena masyarakat, terutama mahasiswa, yang baru saja meraih kebebasan menolak bentuk pembatasan berpendapat. 204

3. UU No. 5/1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).

203 Pencantuman sejauh tidak bertentangan dengan Pancasila ini sempat diragukan sebagai bagian retorika semata sebagaimana terjadi dalam Demokrasi Pancasila maupun Ekonomi

Pancasila selama masa Orde Baru.Pada beberapa aspek, seperti impunitas dan penghukuman pada kejahatan masa lalu, pendapat tersebut agaknya tidak sepenuhnya salah, namun pada aspek lain, berbagai ratifikasi dan produk-produk HAM dan keterbukaan yang relatif lebih baik dari masa sebelumnya membuat pendapat tadi juga tidak sepenuhnya benar.Pendapat pesimistis soal Pancasila tersebut dapat dilihat pada Philip Eldridge. Human Rights in Post-Suharto Indonesia.The Brown Journal of World Affairs. Vol. IX, Issue 1. Spring 2002. Hlm 129 204 Op Cit Hikmahanto Juwana. Assessing Indonesias Human Rights Practice in the Post Soeharto

era: 1998- 2003… hlm 647

4. UU 29/1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.

5. UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, berisi berbagai definisi penting mengenai HAM. Hal penting lain yang diatur dalam UU ini adalah penguatan Komnas HAM yang tadinya diatur oleh Keppres menjadi dalam UU. Hal penting lain adalah apabila sebelumnya komisioner Komnas HAM ditunjuk oleh Presiden, maka dalam peraturan baru ditunjuk oleh DPR dengan tanggung jawab kepada Presiden.

6. Perppu No 1/1999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Perppu ini ditolak oleh DPR untuk menjadi UU.

7. UU 40/1999 tentang Pers, Secara garis besar UU Pers ini bersifat lebih terbuka dibandingkan dengan UU sebelumnya, menandai era keterbukaan dan kebebasan berpendapat yang lebih bagus. 205

Terobosan dalam UU ini adalah dengan terbentuknya dewan Pers.

Kebijakan HAM pada masa transisi menemukan puncaknya pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Menurut Suparman Marzuki, terjadi pergeseran kekuatan politik melalui hasil Pemilu tahun 1999. Golkar yang selama masa Orde Baru selalu menjadi pemenang Pemilu duduk di posisi kedua.Posisi pertama adalah PDI-P, posisi ketiga PPP dan posisi keempat PKB.Golongan militer yang tergabung dalam Fraksi TNI-Polri

205 Lihat Herlambang P. Wiratraman. Press Freedom, Law and Politics in Indonesia, A Socio-Legal Study. Disertasi Universiteit Leiden. 2014. Hlm 114 bersamaan dengan momen dibubarkanya

Departemen Informasi yang selama praktik Orde Baru merupakan institusi kontrol press (hlm 285).

berada di urutan sepuluh. 206 Pada masa ini terjadi dua perubahan UUD 1945. Terobosan yang dilakukan pada masa ini adalah berakhirnya

dwifungsi 208 militer, pembahasan rekonsiliasi, pencabutan larangan kegiatan politik pada organisasi yang sebelumnya dilarang 209 dan tindak lanjut pelanggaran HAM Berat masa lalu. Hal lain yang perlu pula dicatat adalah usaha Gus Dur untuk mengatasi akar legitimasi orde baru; TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, permintaan maaf kepada korban 1965, dan

mengijinkan para eksil di luar negeri untuk kembali ke Indonesia. 210 Tidak semua inisiasi Gus Dur diatas berhasil, namun upaya tersebut merupakan

hal positif apabila dilihat dari perspektif HAM. Gus Dur Juga melanjutkan kebijakan dari B.J. Habibie dengan membebaskan para tahanan politik yang ditahan pada masa Orde Baru. Mengenai kemajuan dalam bidang demokrasi dan terutama HAM ini, Aspinall bahkan mengatakan bahwa era Gus Dur ini

adalah era dramatis transformasi demokratik pada masa reformasi. 211

1. Perubahan pertama UUD 1945

206 Op Cit Suparman Marzuki. Politik Hukum Hak Asasi Manusia… hlm 94 207 TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia dan TAP MPR No.VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia 208 TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional 209 Keppres No.69/2000 tenang Pencabutan Kepres No.264/1961 tentang Karabgab Adanya Organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Vrijmetselare-Loge, Moral Reamament, Ancient Mystical Organization of Rosi Crucians, dan Organisasi Bahai. 210 Op Cit Hikmahanto Juwana.Assessing Indonesias Human Rights Practice in the Post-Soeharto

Era… hlm 653 Layaknya Habibie, Gus Dur juga harus berhadapan dengan kekerasan antar-agama yang terjadi di Poso Maluku dan konflik etnis yang terjadi di Kalimantan. 211 Aspinall merujuk pada dua hal yang dilakukan oleh Gus Dur; pertama mengakhiri dominasi rezim militer, kedua inisiasi perundingan damai yang dilakukan terhadap GAM dan Papua.Disamping itu Gus Dur juga melakukan reformasi terhadap pos-pos politik yang sebelumnya dikuasai oleh rezim yang lama.Lihat dalam Edward Aspinall. Semi Opponents in Power: The Abdurrahman Wahid and Megawati Soekarnoputri Presidencies dalam Edward Aspinall & Greg Fealy (ed). Soehartos New Order and its Legacy, Essays in honour of Harold Crouch. Australian National University E-Press. Canberra. 2010 hlm 123-124

2. Perubahan Kedua UUD 1945 Terutama perubahan terhadap Pasal 28, perubahan ini memiliki arti penting dalam hukum dan HAM di Indonesia.

3. UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dibentuk dari ditolaknya Perppu 1/1999 dengan mengadopsi Statuta Roma.

4. TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional

5. Keppres 53/2001 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keppres ini adalah lanjutan dari Keputusan DPR yang menyetujui Pembentukan Pengadilan HAM berat yang terjadi di Timor timur dan Tanjung Priok.

6. Keppres 96/2001 Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden nomor

53 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Merubah Pasal 2 Keppres 53/2001 dengan penambahan rentang waktu lokasi dan waktu kejadian, yaitu Liquica, Dili, dan Soae di timor Timur April 1999- September 1999 dan Tanjung Priok pada September 1984.

Meski mengalami kemajuan yang pesat dalam bidang HAM, Gus Dur tidak lama memerintah. Karena alasan dugaan korupsi buloggate dan perilaku, 212 Pemakzulan Gus Dur disebabkan oleh karena lemahnya koalisi antara partai pemenang dan kekuatan lama seperti Golkar dan Militer yang masih kuat. Keadaan juga diperburuk dengan posisi Gus Dur yang berasal

212 Op Cit Hamdan Zoelfa. Impeachment Presiden… hlm 147 212 Op Cit Hamdan Zoelfa. Impeachment Presiden… hlm 147

memberlakukan keadaan darurat dan melalui dekrit presiden hendak membubarkan MPR dimana berakhir dengan keluarnya Gus Dur dari Istana Merdeka. 214

Setelah pemakzulan Gus Dur, Megawati Soekarnoputri mengisi posisi Presiden. Pemerintahan Megawati memiliki komposisi yang lebih kuat mengingat PDI-P adalah partai pemenang pemilu yang memiliki wakil di parlemen paling banyak. Pada masa pemerintahan Megawati ini isu HAM tidak lagi menjadi perhatian utama, melainkan setara dengan isu lain seperti

terorisme dan separatisme. 215 Kebijakan menonjol yang lahir pada era pemerintahan Megawati lainya adalah lahirnya MK, KPU, KPK, KPA, KPI

dan KY, institusi-institusi tersebut memang memiliki kaitan dengan negara demokrasi dan HAM, namun tidak secara langsung. Produk peraturan yang lahir dan berhubungan langsung dengan HAM yang terjadi pada masa lalu dan masa transisi antara lain:

1. Perubahan Ketiga UUD 1945

2. Perubahan Keempat UUD 1945,

213 Ikrar Nusa Bhakti.The Transtition to Democracy in Indonesia: Some Outstanding Problems dalam Jim Rolfe (ed). The Asia-Pacific: A Region in Transition. Asia Pacific Center for Security

Studies. Honolulu. 2004. Hlm 203 214 Op Cit Hamdan Zoelfa. Impeachment Presiden… hlm 148

215 Op Cit Hikmahanto Juwana. Assessing Indonesias Human Rights Practice in the Post-Soeharto Era hlm 654.Megawati kembali memberlakukan DOM di Aceh untuk waktu enam bulan dan

kemudian kembali diperpanjang.Untuk isu terorisme, Megawati mengeluarkan dua Perppu mengenai terorisme sebagai jawaban atas tragedi Bom Bali I dan II.

3. UU 27/2004 tentang Rekonsiliasi yang kemudian dibatalkan seluruhnya oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi.

4. PP No.2/2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM yang Berat. Pengaturan paling penting dalam dimaksud sebagai korban disini memiliki definisi yang luas, yaitu:

Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dari kekerasan dari pihak manapun.

Berdasarkan pada definisi korban tersebut tidak memerlukan terlebih dahulu upaya hukum untuk menetapkan seseorang sebagai korban.Jadi sejauh terdapat situasi yang mengancam dari saksi atau orang yang dirugikan oleh kejadian pelanggaran HAM berat pada masa lalu maka negara wajib untuk melakukan perlindungan.

5. PP No.3/2002 tentang Kompensasi, Resitutsi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat

6. Keppres No.96/2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc Kasus Timor Timur dan Tanjung Priok.

7. Kepres No.10/2002 tentang Pembentukan Komisi Penyelidik Nasional Kasus Theys Hiyo Eluay.

8. Keppres No. 38/2992 tentang Pembentukan Tim Penyelidik Independen Nasional Untuk maluku Utara.

Sementara dalam bidang HAM tidak terdapat suatu kebijakan yang istimewa, perubahan yang menonjol pada masa ini, sebagaimana telah disebutkan,

institusi-institusi penunjang demokrasi.Kelahiran Mahkamah Konstitusi misalnya, menjawab tuntutan yudikatif mengenai kebutuhan untuk melakukan judicial review, Kehadiran Komisi Yudisial juga muncul dalam rangka pengawasan kuasa kehakiman, Komisi Pemberantasan Korupsi juga mendapat pujian. Pada masa ini pula Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Timor Timur dan Tanjung Priok berlangsung, sekaligus menjawab kekhawatiran mengenai ketentuan tidak dapat berlaku surut absolut yang diatur dalam perubahan kedua UUD 1945 Pasal 28I ayat (1). Kedua pengadilan tersebut adalah pengadilan pertama yang bersangkutan dengan Pelanggaran HAM Berat masa lalu, yaitu sebelum diundangkanya UU 26/2000.

adalah

bentukan

Terdapat dua Pengadilan HAM ad hoc pada masa ini dan satu Pengadilan HAM; Pengadilan HAM ad hoc kasus Timor-Timur dan Pengadilan HAM ad hoc kasus Tanjung Priok, dan Pengadilan HAM kasus Abepura. Selain itu terdapat pula pengadilan kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Untuk kasus lain seperti kasus Wasior dan Wamena, pembunuhan Talangsari, kasus Mei 1998, penghilangan paksa aktivis, dan kasus 1965 belum mendapat kemajuan yang berarti. 216 Diluar kasus 1965,

216 Untuk kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II diselesaikan melalui jalur pengadilan biasa, sementara kasus-kasus lain belum ada tindak lanjut pada tingkat Kejaksaan Agung.Tidak adanya

tindak lanjut tersebut bisa berupa tidak diteruskanya kasus, maupun pengembalian berkas yang belum ada tanggapan selanjutnya.Lihat dalam Op Cit ICTJ & KontraS. Keluar Jalur, Keadilan Transisi di Indonesia Setelah Jatuhnya Soeharto… dalam hlm 41-43 laporan ini terbit pada tahun tindak lanjut tersebut bisa berupa tidak diteruskanya kasus, maupun pengembalian berkas yang belum ada tanggapan selanjutnya.Lihat dalam Op Cit ICTJ & KontraS. Keluar Jalur, Keadilan Transisi di Indonesia Setelah Jatuhnya Soeharto… dalam hlm 41-43 laporan ini terbit pada tahun

Hasil lain dari Pemerintahan Megawati adalah diselenggarakannya Pemilu Langsung pada tahun 2004 dengan Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai Presiden. Sempat muncul kekhawatiran dari kembali munculnya tokoh militer dalam persaingan kursi Presiden.Yudhoyono kala itu bersaing dengan Wiranto, dimana keduanya merupakan mantan pemangku jabatan penting militer, suatu hal yang dilihat sebagai bangkitnya kekuatan militer dalam bidang politik semenjak berakhirnya dwifungsi pada masa Gus Dur. 218 Kekhawatiran lain adalah Partai Golkar yang kembali muncul sebagai pemenang pemilu 2004 baru kemudian disusul oleh PDI-P, PKB, PPP, Partai Demokrat, dan seterusnya meski praktis dalam periode ini sudah tidak terdapat lagi perwakilan dari TNI-Polri.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat beberapa permasalahan HAM yang cukup serius dan mendapat perhatian masyarakat

2011 dan belum menyertakan pengembalian berkas Kejaksaan Agung kepada Komnas HAM untuk kasus 1965.

217 Lihat dalam ibid hlm 44 dan lihat juga dalam Op Cit Suparman Marzuki.Pengadilan HAM di Indonesia, Melanggengkan Impunity… hlm 206-207

218 Op Cit Suparman Marzuki. Politik Hukum Hak Asasi Manusia… hlm 99 218 Op Cit Suparman Marzuki. Politik Hukum Hak Asasi Manusia… hlm 99

1. UU no. 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Hak politik

2. UU no. 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

3. UU no 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

4. UU no. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

5. PP no. 44/2008 tentang Pemberian Kompensasi, restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, sebagai tindak lanjut dari UU 13/2006.

219 Diucapkan dalam beberapa pertemuan antara Susilo Bambang Yudhoyono dan para korban dan KontraS. Hasil dari pertemuan tersebut SBY berjanji bahwa dirinya akan segera mengadakan

pertemuan dengan kejaksaan agung, juga janji untuk segera menyediakan layanan listrik bagi korban Talangsari dengan pembangunan jalan raya dan akses listrik. Lihat dalam KontraS. Acknowledged Rights but Yet Not Protected, Catatan Hak Asasi Manusia dimasa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2014. Jakarta. Tanpa Tahun. Hlm 3-4

6. Keppres no.111/2004 tentang Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir yang kemudian diperpanjang dengan Keppres No.6/2005

7. Keppres No.22/2005 tentang Pemberian Amnesti Umum dan Abolisi Kepada Setiap Orang yang Terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka

Dengan produk instrumen hukum yang lebih lengkap dari rezim sebelumnya dan ditambah dengan janji penuntasan HAM ternyata tidak membuat adanya perubahan yang berarti dari penyelesaian Peristiwa HAM masa lalu. Susilo Bambang Yudhoyono juga tidak menjalanan putusan MA

untuk mencabut Keppres 28/1975. 220 Sepanjang dua periode sepuluh tahun pemerintahanya, tidak ada pengadilan HAM ad hoc baru yang muncul

walaupun terdapat desakan dan beberapakali pertemuan langsung antara presiden dengan korban yang tidak ada kemajuan berarti hingga dua kali periode kepemimpinannya.

Pada masa kampanyenya, Joko Widodo mengeluarkan idenya perihal Nawacita, semacam visi yang hendak dibawanya ketika menjadi Presiden.Salah satu dari Nawacita tersebut adalah bagian keempat yang menyangkut keadilan dan penyelesaian pelanggaran berat Ham masa lalu. Berdasar hal tersebut wacana mengenai langkah pemerintah seperti permohonan maaf atas pelanggaran HAM Berat yang terjadi pada masa lalu dan upaya lanjutan atasnya bermunculan. 221 Menurut catatan tahunan dari

220 Ibid hlm 16 221 Haris Azhar dari KontraS mengharapkan kebijakan kongkrit Jokowi dalam bidang HAM, Pungky Indarti dari Imparsial menuntut agar Presiden segera mengeluarkan Keppres pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu. Program Nawacita Jokowi ini sekaligus menjawab

Amnesty International, terdapat permasalahan-permasalahan HAM yang harus dihadapi oleh masa pemerintahan Joko Widodo semenjak menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono, masalah tersebut antara lain; penyiksaan, penganiayaan, pembunuhan yang dilakukan oleh aparat keamanan di Papua, kebebasan berpendapat misalkan jurnalis internasional yang meliput pengibaran bendera RMS di Maluku, ancaman terhadap kebebasan beragama yang dialami oleh Syiah dan Ahmadiyah, impunitas terhadap pelanggaran HAM Berat masa lalu termasuk diantaranya kasus 1965, penghukuman yang kejam dan merendahkan, terutama yang terjadi di Aceh, peningkatan hak-hak perempuan, hak seksual dan reproduksi, dan

perihal hukuman mati. 222

Pada tanggal 14 Agustus 2015, Joko Widodo kembali melontarkan wacana rekonsiliasi nasional terhadap terhadap pelanggaran HAM Berat pada masa lalu. 223 Pada masa ini pula RUU KKR masuk dalam Prolegnas

prioritas yang diharapkan akan segera selesai pada tahun 2015. Beberapa tanggapan muncul, terutama mengenai model rekonsiliasi yang hendak diusung. Sementara hal tersebut akan dibahas secara lebih detil dalam bagian lain studi ini, langkah Joko Widodo tersebut memunculkan wacana agar presiden segera membentuk Inpres mengenai pengusutan tujuh

kegagalan sepuluh tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengatasi pelanggaran

Lihat dalam http://www.thejakartapost.com/news/2014/08/19/jokowi-inherit-past-rights-abuse-cases- sby.html diakses tanggal 14 Agustus 2015 222 Amnesty International. Amnesty International Report 2014/15, The State of The Worlds Human Rights. London. 2015. Hlm 182-186 223 Http://nasional.kompas.com/read/2015/08/14/10575231/Presiden.Inginkan.Rekonsiliasi.Nasi onal.Terkait.Pelanggaran.HAM diakses tanggal 14 Agustus 2015

HAM

berat

masa

lalu.

pelanggaran HAM berat masa lalu agar kemudian dapat ditindaklanjuti dalam proses hukum selanjutnya. Permintaan untuk adanya permintaan maaf muncul. Asvi Warman Adam mengatakan bahwa dari seluruh pengalaman pelanggaran HAM Berat masa lalu yang berlangsung dalam kurun waktu 1945-2000, satu yang paling penting adalah peristiwa 1965. Asvi mengatakan bahwa presiden harus meminta maaf terhadap tiga hal; pertama, mereka yang kehilangan kewarganegaraan karena tidak bisa pulang dengan dugaan mendukung Soekarno. Kedua, kepada mereka yang mengalami pembuangan, penahanan, dan kerja paksa seperti yang terjadi di Pulau Buru, dan ketiga, Presiden harus meminta maaf kepada keturunan para korban atas peristiwa 1965 karena mengalami perlakuan

diskriminatif. 224