Menggagas Rekonsiliasi

F.1. Menggagas Rekonsiliasi

Sejauh ini, hanya dua presiden yang berani berbicara terang-terangan perihal pembunuhan massal ini. Pertama adalah Soekarno, yang tampak dalam pidato-pidatonya tahun 1965-1967 dengan anjuranya untuk menghentikan pembunuhan massal dan klarifikasi atas silet-silet gerwani. Sebagaimana diketahui, PKI selama demokrasi terpimpin adalah pendukung politik terkuat Soekarno, yang ia gunakan untuk mengimbangi kekuatan angkatan bersenjata, atau barangkali Soekarno menyadari bahwa kup tersebut tidak dilakukan oleh

558 Lihat Benedict Anderson. How Did The Generals Die? Dalam Indonesia, Vol 43 (April 1987) Sebelumnya, tulisanya bersama Ruth T. Mcvey, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965

Coup in Indonesia yang menolak versi Orde Baru dengan mengatakan bahwa G30S adalah intrik antar perwira mendapat kecaman keras dari Orde Baru. Ali Murtopo dan Benny Moerdani bahkan dikirim ke Cornell meminta untuk merevisi pandangan tersebut.

PKI, atau setidaknya bukan hanya oleh PKI semata. Presiden kedua adalah Abdurrahman Wahid, Gus Dur, yang dengan berani mengajukan tiga hal: permintaan maaf, pencabutan TAP XXV/MPRS/966, dan mengajak para eksil

untuk pulang. 559 Selain tiga langkah diatas, Gus Dur juga membubarkan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional dan mencabut Keppres

16/1990 tentang Penelitian Khusus Bagi Pegawai Negeri Republik Indonesia. 560

Permintaan maaf tersebut diucapkan secara informal dalam acara bertajuk Secangkir Kopi pada bulan Maret 2000, dimana menurutnya banyak tertuduh komunis dibunuh, termasuk oleh NU, dan menyarankan untuk membuka sejarah 1965 dan pelanggaran HAM berat lain. Pada tahun 2000, Gus Dur bertemu dengan kelompok eksil di Paris yang meminta untuk memulihkan hak-hak sipil dan politik baik kepada mantan tapol maupun keluarganya. Tentang masalah TAP MPR, sekaligus yang paling mencolok, Gus Dur berargumen bahwa pembatasan tersebut tidaklah relevan dengan sistem demokrasi. Untuk perihal terakhir ini,

559 Inpres 1/2000 tentang Permasalahan Orang-Orang Indonesia yang Berada di Luar Negeri dan Terhalang Pulang ke Tanah Air Sejak Terjadinya Peristiwa G30S/Pki.

560 Pembubaran Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional melalui Keppres 38/2000, dan pembubaran litsus dengan Keppres 39/2000. Bagian menimbang Keppres 39/2000

menyatakan: a. Bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu setiap warga negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan termasuk dalam kegiatan penerimaan dan pembinaan pegawai negeri;

b. Bahwa kegiatan Penelitian Khusus dalam penerimaan dan pembinaan pegawai negeri yang selama ini berlangsung berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1990 ditujukan untuk mencari keterangan berkaitan dengan keterlibatan seseorang calon atau pegawai negeri dalam Gerakan 30 September/PKI atau organisasi terlarang lainya;

c. Bahwa kegiatan Penelitian Khusus sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak sesuai dengan asas hukum, oleh karena itu perlu ditiadakan; c. Bahwa kegiatan Penelitian Khusus sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak sesuai dengan asas hukum, oleh karena itu perlu ditiadakan;

Konstitusi kita tidak melarang ideologi apa pun. Bahkan kalaupun sebuah ideologi dinyatakan sebagai ideologi terlarang, ideologi tersebut dibiarkan tetap hidup dalam benak (para pemeluknya). Jadi, sia-sialah melarang ideologi apa pun. Tambahan pula, bahkan kalaupun PKI telah berkali-kali mencoba menghancurkan negara dan bangsa, toh mereka selalu gagal. Mereka gagal total. Jadi, kita tak perlu panik dalam menghadapi komunisme.

Proses perumusan TAP MPRS tersebut sangatlah sewenang-wenang. Tap tersebut tidak bisa membedakan antara hak hukum dan hak politik warga negara. Hak hukum seseorang tak dapat dienyahkan begitu saja, bahkan jikapun secara politik bersalah. Disamping itu, Tap tersebut mengaburkan perbedaan antara partai dan ideologi. Kita bisa saja mencabut sebuah

partai, tetapi kita tak bisa melarang sebuah ideologi. 562 Indonesia pada saat itu tengah berada dalam sorotan politik internasional,

terutama karena kerusuhan mei 1998 dan kasus Timor Timur. Tahun-tahun 1999- 2000 adalah tahun dimana Indonesia rajin membuat regulasi tentang HAM, termasuk Perubahan Kedua UUD 1945, UU 39/1999, UU 26/2000, terlebih dengan terpilihnya Gus Dur, yang memiliki perspektif politik tentang HAM adalah kondisi ideal untuk Indonesia dalam masa transisi. Bagaimanapun, meski wacana mengenai HAM tengah menguat, langkah-langkah Gus Dur masih dianggap terlalu mengejutkan. Tentang rekonsiliasi, sebelumnya, pada masa Habibie, Gus Dur pula yang menginisiasi pembentukan Komisi Independen Pencari Kebenaran untuk Rekonsiliasi Nasional (Kinkonas), untuk menyelesaikan permasalahan kekerasan di Timor Timur, Irian, dan Aceh dan tidak menutup

561 Mary S. Zurbuchen. History, Memory, and the 1965 Incident in Indonesia dalam Asian Survey Vol. 42 No. 4 (July/August 2002). Hlm 572

562 Keduanya dikutip dari Budiawan. Mematahkan Pewarisan Ingatan, Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto. Elsam. Jakarta. 2004. Hlm 48 562 Keduanya dikutip dari Budiawan. Mematahkan Pewarisan Ingatan, Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto. Elsam. Jakarta. 2004. Hlm 48

kehidupan bangsa, dalam hal ini adalah rekonsiliasi. 563 Sayangnya, badan tersebut tidak pernah terwujud, baik dalam masa pemerintahan Habibie dan selama

pemerintahan Gus Dur sendiri tengah dalam proses drafting KKR untuk kejahatan Orde Baru. 564

Langkah-langkah politik Gus Dur tersebut mendapatkan pertentangan keras, bahkan dari kubu NU sendiri. Terlebih, posisi Gus Dur dalam DPR yang lemah membuat gagasan tentang rekonsiliasi tersebut tidak sempat terlaksana. Publik pada saat itu tampaknya belum siap untuk membuka tahun-tahun yang hilang selama Orde Baru. Gelombang demonstrasi bermunculan, terutama dari kelompok anti kiri dan kelompok Islam. Jargon-jargon Orde Baru tentang anti-

komunis, bahaya laten, kembali bermunculan. 565 Kondisi ini diperburuk dengan pemakzulan Gus Dur atas tuduhan Buloggate dan belakangan penolakan

memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR. 566

563 Terdapat dalam bagian paragraf pertama huruf B Maksud dan Tujuan Tap V/MPR/2000 : Ketetapan mengenai pemantapan persatuan dan kesatuan nasional mempunyai maksud

dan tujuan untuk secara umum mengidentifikasi permasalahan yang ada, menentukan kondisi yang harus diciptakan dalam rangka menujuk kepada rekonsiliasi nasional dan menetapkan arah kebijkan sebagai panduan untuk melaksanakan pemantapan persatuan dan kesatuan nasional.

564 Op Cit Mary S. Zurbuchen. History, Memory, and the 1965 Incident in Indonesia… hlm 574 565 Ibid hlm 572 566 Hamdan Zoelfa. Impeachment Presiden, Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945. Konstitusi Press. Jakarta. 2014. Hlm 148-149. Untuk alasan pertama, skandal Buloggate tidak pernah terbukti dan menyisakan alasan kedua sebagai dasar pemakzulan.

Pada masa Pemerintahan Megawati, wacana mengenai pemulihan korban 1965 tidak mengalami kemajuan berarti. Tahun 2003, MPR mengesahkan TAP MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002, yang dengan demikian menegaskan berlakunya TAP XXV/MPRS/1966. 567 Pada tahun yang sama pula set perundangan pemilu masih melanjutkan larangan hak politik

bagi mantan tahanan politik dan narapidana UU. 568 Selanjutnya, Megawati juga menolak permohonan rehabilitasi para mantan tahanan politik 1965. 569

Permohonan tersebut sesungguhnya hasil rekomendasi dari Mahkamah Agung melalui surat yang ditandatangani oleh Bagir Manan kepada Megawati, yang diikuti oleh Komnas HAM, untuk melakukan rehabilitasi baik terhadap Soekarno maupun para mantan tahanan politik, dengan hak prerogatif Presiden

menggunakan Pasal 14 ayat 1 UUD 1945. 570

Kebuntuan berlanjut pada masa Pemerintahan Susilo Bambang

567 TAP I/MPR/2003 ini adalah penutup dari seluruh ketetapan MPR dan MPRS yang lain, yang mengatur empat belas TAP yang dinyatakan masih berlaku. Uniknya, Posisi TAP MPR sendiri tidak

ada dalam UU 10/2004 dan baru kembali masuk dalam hierarki perundangan dalam UU 12/2011. Posisi dari TAP MPR ini dilematis karena berada tepat dibawah UUD 45 dan diatas UU/Perppu, membuat TAP MPR tidak dapat digugat kepada MK (Risalah Sidang Perkara No 86/PUU-XI/2013), sementara MPR sendiri semenjak TAP I/MPR/2003 sudah tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat TAP baru yang dengan kewenangan tersebut melalui legislative review seharusnya bisa membatalkan TAP tersebut. 568 Pasal 60 huruf g UU 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah:

Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI , atau organisasi terlarang lainya;

Pasal 6 huruf s UU 23/2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden: Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI;

569 Teresa Birks. Neglected Duty: Providing Comprehensive Reparations to the Indonesian 1965 Victims of State Persecutions. ICTJ. 2006. Hlm 22

570 Pasal 14 ayat (1) UUD 1945: Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan

Mahkamah Agung.

Yudhoyono, yang pada awalnya menunjukkan perhatian pada persoalan rehabilitasi, dengan dorongan dari Komnas HAM. 571 Tahun 2004, DPR

mengesahkan UU 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, melanjutkan ketentuan UU 26/2000 mengenai penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Akan tetapi, sebelum komisi sempat dibentuk, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU 27/2004, yang berarti memerlukan instrumen baru untuk berjalanya rekonsiliasi. Pada periode pemerintahan Yudhoyono selanjutnya, belum ada UU KKR yang baru, sementara rehabilitasi maupun permintaan maaf secara publik yang pernah dijanjikan tidak sempat terlaksana. Mekanisme yudisial juga jalan ditempat, hasil penyelidikan Komnas HAM dikembalikan oleh Kejaksaan Agung, melanjutkan impunitas dan penelantaran hak-hak korban.

Dengan latar belakang sipil, Joko Widodo yang terpilih menjadi Presiden dengan mengalahkan kandidat dengan latar belakang militer, Prabowo Subianto, diharapkan akan memberikan kemajuan dalam bidang HAM, termasuk mengenai permasalahan 1965. Isu tentang 1965 ini sendiri masih menjadi topik yang sensitif yang tampak selama masa kampanye dua calon presiden. Stigma PKI disematkan kepada Joko Widodo, yang dituduh merupakan keturunan dari PKI. Isu tersebut menunjukkan bahwa Komunisme dus PKI masih merupakan musuh jahat yang harus dibasmi. Perihal serupa kembali muncul ketika Pemerintahan Joko Widodo melontarkan mengenai permintaan maaf tentang persoalan 1965. Wacana ini menarik perhatian publik luas, yang pada satu sisi merupakan kabar baik untuk

571 Op Cit Teresa Birks. Neglected Duty: Providing Comprehensive Reparations to the Indonesian 1965 Victims of State Persecutions… hlm 29-30 dalam artian terbatas, yaitu untuk permasalahan

mantan tahanan Pulau Buru.

kelanjutan penyelesaian masalah 1965, sekaligus memunculkan resistensi atasnya. Permintaan maaf tersebut kemudian memunculkan dikotomi antara pelaku-korban dengan perebutan status sebagai korban.

Perdebatan tersebut bermuara dari dikotomi yang keliru antara PKI dan anti-PKI, yang dengan demikian mengartikan posisi seseorang sebagai korban tergantung dari spektrum politik mana dia berada. 572 Penilaian tersebut tidak

hanya salah, melainkan juga kontraproduktif dengan definisi korban itu sendiri. Definisi korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan baik psikis, fisik, maupun perampasan hak atas properti yang sewenang-wenang, 573 yang dengan

demikian status seseorang sebagai korban ditentukan dari bentuk penderitaan dan kerugian yang dialami, dan bukan posisi politik.

Permasalahanya, setelah setengah abad tanpa penyelesaian, apakah rekonsiliasi sungguh-sungguh merupakan pilihan yang tepat? Pengalaman stigma- diskriminasi yang berkepanjangan membuat sebagian dari korban sendiri nampaknya merasa ragu akan perlunya pengungkapan sejarah. 574 Bagi mereka, lebih baik melanjutkan hidup daripada harus mengulang ingatan masa lalu yang

572 Wawancara Nur Kholis, komisioner Komnas HAM, mengklarifikasi bahwa permintaan maaf tersebut ditujukan kepada korban Pelanggaran HAM dan bukan kepada aliran politik atau paham

ideologi tertentu. Penggunaan istilah mintaa maaf terhadap PKI dengan demikian adalah salah. http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150921_indonesia_lapsus_kasus65_k omnasham diakses tanggal 8 Oktober 15 Oktober 2015. 573 Setidaknya secara normatif, definisi korban sebagaimana diatur dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power dan Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violation of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law. 574 Korespondensi Pribadi terhadap beberapa penyintas 1965. Argumen yang mencolok akan hal ini dapat dilihat dari pernyataan Djoko Pekik dalam ILC Haruskah Jokowi Minta Maaf mereka menyatakan sing wis yo wis, bahwa seiring berjalanya waktu luka akan sembuh daripada mengulang-ulang permasalahan masa lalu.

menyakitkan, terlebih, bahkan setelah jatuhnya Soeharto reparasi terhadap 1965 sendiri seperti tidak menemukan titik temu. Maka, bagi para penyintas yang telah melanjutkan hidup baik dengan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan dalam lembaga publik maupun privat, membongkar masa lalu bisa saja beresiko bagi hidup mereka yang relatif lebih tenang. Perspektif itu bisa saja benar, namun apabila diletakkan dalam konteks yang lebih luas, permasalahan mengenai kekejaman masa lalu ini bukan hanya merupakan masalah korban-pelaku semata, melainkan juga permasalahan kemanusiaan yang lebih luas. Dengan melupakan, jaminan apa yang bisa diberikan bahwa kejadian serupa tidak mungkin terulang? Bagi korban yang pendukung rekonsiliasi sekalipun, pertanyaan yang pertamakali muncul adalah rekonsiliasi semacam apa? Langkah apa yang dipilih untuk mengungkap kebenaran, mereparasi korban, dan apabila memungkinkan, menghukum pelaku?

Untuk melihat bagaimana ide perihal rekonsiliasi tersebut dapat diterapkan untuk kasus 1965 Indonesia, maka pertama-tama adalah melihat bagaimana pengaturan hukum rekonsiliasi, yaitu UU 27/2004 dan RUU KKR. Selain itu, akan dipaparkan pula beberapa pengalaman rekonsiliasi dari bawah, yang menunjukkan bagaimana inisiatif lokal memberikan sumbangsih secara kultural. Untuk permasalahan yang kedua, inisiatif lokal, menjadi penting karena pada saat yang bersamaan, ketakutan yang dalam beberapa kesempatan disertai dengan kekerasan terhadap kegiatan maupun orang-orang yang dianggap kiri masih Untuk melihat bagaimana ide perihal rekonsiliasi tersebut dapat diterapkan untuk kasus 1965 Indonesia, maka pertama-tama adalah melihat bagaimana pengaturan hukum rekonsiliasi, yaitu UU 27/2004 dan RUU KKR. Selain itu, akan dipaparkan pula beberapa pengalaman rekonsiliasi dari bawah, yang menunjukkan bagaimana inisiatif lokal memberikan sumbangsih secara kultural. Untuk permasalahan yang kedua, inisiatif lokal, menjadi penting karena pada saat yang bersamaan, ketakutan yang dalam beberapa kesempatan disertai dengan kekerasan terhadap kegiatan maupun orang-orang yang dianggap kiri masih

Afrika Selatan pasca apartheid memberikan sumbangsih untuk Indonesia Pasca- 1965.