HAM dan Tanggung Jawab Negara atas Pemenuhanya
E.1. HAM dan Tanggung Jawab Negara atas Pemenuhanya
Pertanggungjawaban HAM terhadap individu awal mulanya belum dikenali hingga Perang Dunia II. Sebelumnya, permintaan maaf, reparasi, maupun pengadilan HAM lebih terfokus kepada negara dan bukan kepada individu. Permintaan maaf, reparasi maupun pengadilan lebih merupakan bentuk ganti rugi yang diberikan oleh negara kalah perang kepada pihak pemenang. 277 Pengadilan Nuremberg, memberikan dua bentuk definisi
kejahatan baru dalam hukum internasional; yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. 278 Berangkat dari dua kejahatan yang
277 Op Cit Stephanie Wolfe. The Politics of Reparations and Apologies… hlm 23-24 luka penduduk akibat perang bukanlah luka individu sebagaimana dimengerti dalam artian pelanggaran HAM,
melainkan lebih merupakan hal yang melukai negara. 278 Kejahatan pertama yang dianggap sebagai jus cogens dalam hukum internasional adalah
perompak (pirates), kejahatan yang ditetapkan mejadi musuh bagi semua bangsa-bangsa. Kejahatan kedua adalah perbudakan kovensi perbudakan yang pada 1926 ditetapkan sebagai kejahatan universal. Sebelum pengadilan Nuremberg, dikenal pula imunitas negara dimana kepala negara atau pejabat tinggi tidak bisa diseret dalam pengadilan internasional dan baru berakhir pada tahun-tahun akhir 1941 dalam Moscow Agreement yang menyatakan seluruh petinggi militer Jerman nantinya akan disidangkan dengan tuduhan teror, pembunuhan, dan pembantaian massal. Pertemuan tersebut mengandaikan sekutu memenangi perang dan mengadili jerman dengan menggunakan hukum dari luar, yang berarti menyimpangi asas nulla poena sine lege. Persidangan pihak NAZI dilakukan berdasarkan London Agreement pada 8 Mei 1945 yang menjadi dasar hukum International Military Tribunal dengan tuduhan terhadap tiga perompak (pirates), kejahatan yang ditetapkan mejadi musuh bagi semua bangsa-bangsa. Kejahatan kedua adalah perbudakan kovensi perbudakan yang pada 1926 ditetapkan sebagai kejahatan universal. Sebelum pengadilan Nuremberg, dikenal pula imunitas negara dimana kepala negara atau pejabat tinggi tidak bisa diseret dalam pengadilan internasional dan baru berakhir pada tahun-tahun akhir 1941 dalam Moscow Agreement yang menyatakan seluruh petinggi militer Jerman nantinya akan disidangkan dengan tuduhan teror, pembunuhan, dan pembantaian massal. Pertemuan tersebut mengandaikan sekutu memenangi perang dan mengadili jerman dengan menggunakan hukum dari luar, yang berarti menyimpangi asas nulla poena sine lege. Persidangan pihak NAZI dilakukan berdasarkan London Agreement pada 8 Mei 1945 yang menjadi dasar hukum International Military Tribunal dengan tuduhan terhadap tiga
yahudi yang kemudian menetap di Israel. 279
Reparasi pada saat itu baru terbatas sebagaimana yang dilakukan oleh Jerman kepada korban Holocaust. Kesadaran masyarakat internasional mengenai perlunya perangkat aturan mengenai reparasi bagi masyarakat internasional pada umumnya, untuk mencegah apa yang terjadi pada masa Perang Dunia II. Menurut Stephanie Wolfe, trend tersebut muncul pada tahun 1948-1985 melalui berbagai perangkat hukum internasional yang
mengatur perihal reparasi. 280 Mulai dari sini, pengakuan terhadap hak-hak individu, termasuk pemulihan atas perampasan dari hak tersebut menjadi
wacana utama HAM internasional.
Bagian mukadimah paragraf enam dan general assembly DUHAM 1948 menyatakan bahwa negara-negara telah berjanji untuk meningkatkan kerjasama dalam PBB guna promosi HAM dan kebebasan yang fundamental:
Whereas Member States have pledged themselves to achieve, in cooperation with the United Nations, the promotion of universal respect for and observance of human rights and fundamental freedom.
Proclaims this Universal Declaration of Human Rights as a common standard of achievement for all peoples and all nations, to the end that
kejahatan yang dilakukan oleh pihak Jerman: Kejahatan terhadap perdamaian, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.Dari sini terlihat bagaimana genosida dan kejahatan kemanusiaan menjadi jus cogens. Lihat dalam ibid hlm 27-28
279 Ibid hlm 36 280 Ibid hlm 163-165 279 Ibid hlm 36 280 Ibid hlm 163-165
Kewajiban Negara dalam HAM ini kembali ditegaskan dalam Konvensi Hak Sipol, dalam Pasal 2 yang menyatakan:
a. Setiap negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui daam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lainya.
b. Apabila belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan atau kebijakan lainya yang ada, setiap egara pihak dalam kovenan ini berjanji untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan, sesuai dengan proses konstitusinya dan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini, untuk menetapkan ketentuan perundang- undangan atau kebijakan lain yang diperlukan untuk memberlakukan hak-hak yang diakui dalam kovenan ini.
c. Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji;
1) Menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasanya diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi.
2) Menjamin bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga peradilan, administratif, atau legislatif yang berwenang, atau lembaga berwenang lainya yang diatur oleh sistem hukum Negara tersebut, untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian peradilan.
3) Menjamin, bahwa lembaga yang berwenang tersebut akan melaksanakan penyelesaian demikian apabila dikabulkan.
Konvensi Sipol juga memberikan batasan mengenai hak-hak yang dapat dikurangi dan hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.Perihal tersebut diatur dalam Pasal 4 yang mengatur tentang Konvensi Sipol juga memberikan batasan mengenai hak-hak yang dapat dikurangi dan hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.Perihal tersebut diatur dalam Pasal 4 yang mengatur tentang
1. Hak untuk hidup yang tidak boleh dirampas sewenang-wenang (pasal 6)
2. Hak untuk tidak disiksa atau dihukum secara keji, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat (pasal 7)
3. Hak untuk tidak diperbudak dan diperhambakan (pasal 8 ayat 1 dan 2)
4. Hak untuk tidak dipenjara semata-mata karena ketidakmampuanya dalam memenuhi suatu perjanjian (pasal 11)
5. Hak untuk tidak dituntut secara retroaktif (pasal 15)
6. Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum (pasal 16)
7. Hak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama (pasal 18) Menurut Draft ILC, pertanggung jawaban negara muncul ketika
terjadi pelanggaran yang diatur menurut hukum internasional. Hal tersebut tertera dalam bagian Pasal 1 yang menyatakan:
Every Internationally wrongful act of a State entails the international responsibility of that state
Hal tersebut dapat pula ditemukan dalam bagian commentary draft ILC yang menyatakan:
…a breach of international law by a State entails its international responsibility. An internationally wrongful act of a State may consist one or more actions or omissions or a combination of both…
Pasal 2 mengatur perihal apa yang disebut sebagai pelanggaran menurut hukum internasional oleh negara, yaitu; There is an internationally wrongful act of a State when conduct
consisting of an action or omission: (1) Is attributable to the State under international law; and (b) Constitutes a breach of an international obligation of the State.
Indonesia sendiri dalam UU 39/1999 mencantumkan kewajiban negara dalam kerangka HAM. Pasal 2 UU 39/1999 menyatakan: Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peringatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Pasal 8 UU a quo menyatakan: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah. Berdasarkan ketentuan kerangka normatif diatas, negara memiliki
kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM dari setiap orang yang berada dalam ruang lingkup kedaulatanya.Tanggung jawab negara mengenai HAM muncul dalam dua kategori; melalui tindakan aktif atau campur tangan langsung dari kebijakan negara maupun tindakan pasif yang berupa kelalaian yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM di wilayahnya. Bahasan lebih detil mengenai kerangka normatif reparasi korban akan dijelaskan dalam sub-bab dibawah.