Pergeseran Kekuasaan dan Keadilan Transisional
C.1 Pergeseran Kekuasaan dan Keadilan Transisional
Pertanyaan pertama yang muncul dari pergeseran rezim adalah, akan dibawa kemana transisi kekuasaan tersebut? Masa-masa perubahan ini adalah masa ketika hukum tarik menarik antara masa depan dan masa
lalu. 188 Menurut Ruti G. Tietel, hukum dalam situasi yang demikian adalah keadaan yang tidak biasa, yang memediasi pergeseran normatif yang
mencirikan masa-masa tidak biasa, masalah antara kedaulatan hukum dan
188 Ruti G. Teitel. Keadilan Transisional; Sebuah Tinjauan Komprehensif. Elsam. Jakarta. 2012. Hlm iv-v 188 Ruti G. Teitel. Keadilan Transisional; Sebuah Tinjauan Komprehensif. Elsam. Jakarta. 2012. Hlm iv-v
menjadi lebih demokratik yang ditandai dengan peralihan tatanan politik dengan mengembalikan hak atas kekejaman yang dilakukan oleh rezim sebulmnya. 190
Hal ini tercermin dalam masa orde baru, negara hukum atau yang disebut sebagai rechstaat dan bukan machstaat pada praktiknya dapat disimpangi sesuai dengan kehendak negara, sehingga lebih tepat disebut rechstaat sebagai jargon dan machstaat dalam praktik. Praktik-praktik tersebut dapat dilihat dari dominasi eksekutif, yang mencakup pula ranah legislatif maupun yudikatif melalui kehadiran militer dan golkar dalam berbagai lini. Persoalan intervensi kekuasaan ini memperlihatkan pula ambiguitas dari penggunaan hukum positif. Nonet & Szelnick melalui tipologi hukum responsifnya menunjukkan bahwa perbedaan antara hukum represif dan responsif ternyata tidak begitu berbeda karena keduanya sama- sama boleh menyimpangi hukum positif. Apa yang membedakan keduanya,
responsif dan represif tersebut terletak pada tujuan. 191
Persamaan dan perbedaan antara keduanya menunjukkan paradoks dari pergantian rezim. Sementara rezim yang lama, sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, cenderung melakukan penyimpangan
189 Ibid hlm 1-2 190 Stephanie Wolfe. The Potics of Reparations and Apologies. Springer. New York, Heidelberg, Dordrecht, London. 2014. Hlm 39 191 Philip Nonet dan Philip Szelnick. Hukum Responsif. Nusamedia. Bandung. 2013. Hlm 129
hukum dengan kebijakan represifnya, rezim penggantinya biasanya juga melakukan penyimpangan hukum sebagai koreksi atas perilaku kebijakan rezim sebelumnya. Penggunaan hukum yang baru yang menyimpangi asas hukum pada umumnya, sebagaimana terdapat dalam penggunaan asas retroaktif, menunjukkan bagaimana asas hukum pada umumnya disimpangi, rezim hukum yang baru menghakimi rezim hukum sebelumnya sebagai suatu bentuk koreksi sekaligus penanda yang membedakan dirinya dengan sistem hukum yang lama. Permasalahan ini pula yang oleh Tietel lihat sebagai ironi pengadilan para pemenang, sesuatu yang diwariskan semenjak pengadilan Nuremberg, Yerusalem dan Tokyo. 192 Pengadilan pergantian rezim adalah satu hal, mengadili individu dan secara simbolik mengadili rezim secara keseluruhan. Akan tetapi pergantian rezim dan keadilan transisional memerlukan hal lain integrasi sosial dan pemulihan hak-hak korban.
Tietel menjabarkan hal tersebut dalam lima jenis keadilan; pengadilan pidana, keadilan historis, keadilan reparatoris, keadilan administratif, dan keadilan konstitusional. Pengadilan pidana ditandai dengan tuntutan terhadap pelanggaran HAM dengan sistem yudisial yang terpercaya. Keadilan historis terfokus pada bagaimana refleksi pengalaman masa lalu biasanya tercakup dalam pengadilan maupun KKR. Keadilan reparatoris tampak pada reparasi yang diberikan pada para korban. Keadilan
192 Ibid hlm 26 lihat juga Agung Putri. Berjuang Mengungkap Kebenaran dan “Mengadili” Masa Lampau: Pengalaman Negeri Tertindas dalam Ifdhal Kasim dkk. Pencarian Keadilan di Masa
Transisi. Elsam. Jakarta. 2002. Hlm 58 Transisi. Elsam. Jakarta. 2002. Hlm 58
Tidak seluruh aspek keadilan tersebut ditemukan dalam transisi kekuasaan di Indonesia. Pengadilan pidana, dalam hal ini kasus HAM, tidak menghasilkan apapun kecuali impunitas yang dengan demikian belum ada pemulihan korban. Pengungkapan kebenaran, pelurusan sejarah juga belum terjadi seiring belum adanya UU KKR yang baru. Untuk keadilan konstitusional, reformasi meresponya dengan perubahan UUD 1945 dan perkembangan perangkat-perangkat HAM.
Suatu negara yang berada dalam masa transisi dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang bergantung dengan situasi yang melingkupinya. Pilihan tersebut misalkan apakah suatu negara hendak menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu melalui pengadilan, rekonsiliasi, atau dengan menggunakan keduanya. Pilihan lain bisa pula dilakukan dengan melewati masa transisi tersebut untuk selanjutnya tidak dilakukan apa-apa, atau dengan kata lain, melanjutkan dengan melupakan. Pilihan tersebut sangat bergantung dari situasi politik yang melingkupinya, seperti kekuatan rezim yang lama,
kehendak politik rezim yang baru, kondisi ekonomi, dan lain sebagainya. 193
193 Disarikan dari Ifdhal Kasim. “Jalan Ketiga” bagi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu dalam ibid hlm 1-12 Ifdhal Kasim membagi dua golongan tersebut; golongan purist
dan pragmatis. Golongan yang pertama lebih mengedepankan penyelesaian secara pidana, retributive justice, sementara golongan yang kedua lebih melalui penyelesaian non penal seperti pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi dan pemberian amnesti atau restorative justice. Diluar kedua model tersebut, terdapat model ketiga, yaitu dengan penal-non penal yang saling melengkapi. Tentang model-model transisional ini dapat pula ditemukan dalam Op Cit Suparman
Pertanyaanya, pilihan apa saja yang sudah diambil untuk mengatasi kekejaman kekejaman yang terjadi di masa lalu di Indonesia? Meskipun instrumen hukum dan HAM mengalami peningkatan yang cukup berarti, terutama pada masa-masa awal reformasi, akan tetapi sebagaimana nanti akan terlihat, isu-isu mengenai HAM sendiri yang tadinya merupakan tuntutan utama mulai bergeser sehingga menyisakan tidak terpenuhinya hak korban dan impunitas pelaku.