Oktober, Legitimasi atas Malam-Malam Penuh Kengerian

A. 1 Oktober, Legitimasi atas Malam-Malam Penuh Kengerian

A.1. Tautan antara Kedaulatan, Tubuh, dan Hukum.

Hak-hak yang melekat pada manusia yang berada dalam ruang lingkup kedaulatan negara hanya dapat dijaminkan melalui keanggotaan dalam satu komunitas politik. Melalui komunitas politik-lah, apa yang disebut sebagai hukum, yang termuat didalamnya jaminan daripada hak-hak manusia yang berada dalam ruang lingkup kedaulatanya dapat ditegakkan. Kemampuan dari hukum yang ditegakkan tersebut, atau daya paksa dalam hukum, adalah yang merupakan ciri khas dari apa yang disebut sebagai hukum. 282 Apabila hak untuk memiliki hak-hak adalah hak paling primordial dari berbagai hak, maka daya paksa hukum adalah yang membedakan hukum dari yang bukan hukum. 283

282 Argumen ini mengikuti pendapat Walter Benjamin. Critique of Violence dalam Walter Benjamin. Reflection: Essays, Aphorisms, Autobiographical Writings. Schocken Books. New York.

1986. Hlm 288 283 Sebagai pembanding, Paul Scholten misalnya, mengatakan bahwa kehadiran otoritas yang

menentukan adalah yang membedakan hukum dari studi bahasa. Paul Scholten. Struktur Ilmu hukum .Tanpa Penerbit. Bandung. 2002 Pembanding lain, menurut Kelsen, apa yang disebut sebagai hukum adalah aturan yang dibentuk secara sah oleh badan yang mengaturnya dan memiliki muatan yang dapat divalidasi dari aturan diatasnya, lihat dalam Hans Kelsen. General Theory of Law and State. Harvard University Press. Cambridge & Massachusets. 1949 perbandingan definisi tersebut pada dasarnya menitikberatkan pada legitimasi otoritas dalam mengeluarkan aturan. Definisi yang demikian, bagaimanapun, memerlukan adanya daya paksa yang menentukan bagaimana hukum itu ditegakkan. Otoritas dalam hukum sendiri, terutama dalam keadaan darurat, tidak bergantung pada keabsahan otoritas itu sendiri, melainkan bergantung pula dari daya paksa. Pada titik ini dapat dimengerti bahwa hukum baru dapat disebut sebagai hukum apabila memiliki daya paksa.

Refleksi atas hukum yang ditegakkan, merupakan jawaban dari pertanyaan perihal hukum dalam keadaan darurat. Maka pertama-tama yang harus terlebih dahulu ditegaskan adalah mengenai daya paksa itu sendiri, baru kemudian aturan yang disebut sebagai hukum. Tanpa adanya daya paksa, hukum pada dasarnya tidak jauh berbeda dari puisi atau bahasa. Satu-satunya yang memiliki daya paksa adalah negara, yang memonopoli kekuatan atas kekerasan dalam kedaulatanya. Akan tetapi, kedaulatan itu sendiri pada dasarnya adalah sesuatu yang ambigu. Kedaulatan tidak bekerja dengan asas, sila, yang abstrak, melainkan terletak pada

peneguhanya, penerjemahanya secara kongkrit dalam suatu komunitas politik. 284 Momentum mengenai peneguhan kekuasaan inilah sesungguhnya yang

menentukan status keberanggotaan komunitas politik, sekaligus ciri khas dari kedaulatan itu. Agamben mengatakan:

The ban is the force of simultaneous attraction and repulsion that ties together the two poles of the sovereign exeption: bare life and power,

homo sacer 285 and the sovereign. Daya paksa atas peneguhan kedaulatan dengan demikian adalah hukum itu

sendiri. Ban dari kedaulatan ini, menurut Agamben, adalah momen antara kedaulatan, hukum, dan tubuh saling bertautan satu sama lain, momen ketika

tubuh terpapar dihadapan kematian. 286 Tubuh, pada situasi ini berada dalam ambang batas antara berada di dalam atau di luar keanggotaan komunitas politik.

284 Carl schmitt. Political Theology, Four Chapters on the Concept of Sovereignty. University of Chicago Press. Chicago & London. 2005 hlm 28

285 Giorgio Agamben. Homo Sacer, Sovereign Power and Bare Life. Stanford University Press. Stanford California. 1998. Hlm 110

286 Catherine Mills. Agamben Messianic Politics: Biopolitics, Abandonment and Happy Life. Contretemps. 2004. Hlm 43. Lebih jauh lagi, Agamben, menurut Mills, mengatakan bahwa dalam

kedaulatan, hukum menciptakan dan menjaminkan dirinya sendiri (hlm 44), bahwa situasi darurat yang disebutnya sebagai State of Exception, adalah konsep batas dari kedaulatan ketika kedaulatan dan otoritas menjadi satu dalam peneguhanya (hlm 45).

Dengan demikian pertanyaan mengenai legitimitas dan legalitas menjadi tidak lagi relevan, yang relevan adalah bagaimana pengambilan keputusan atas tubuh itu berada dalam tangan kedaulatan, lewat dia yang meneguhkanya. Tentang kontingensi dari hukum dan bagaimana hukum itu diterjemahkan, Schmitt mengatakan:

All law is situational law. The sovereign produces and guarantees the situation in its totality. He has the monopoly over this last decision. Therein resides the essence of states sovereignty, which must be juristically defined correctly, not as the monopoly to coerce or to rule, but as the monopoly to decide. The exception reveals most clearly the essence of states authority. The decision parts here from legal norm, and (to formulate it paradoxically) authority proves that to produce law it need not

be based on law. 287 Relasi antara tubuh dan hukum ini, beserta peneguhan kedaulatan

didalamnya, adalah yang menentukan status hak paling primordial, yaitu hak untuk memiliki hak-hak. Garis pemisah antara mereka yang memiliki hak untuk memiliki hak-hak dan yang tidak memiliki hak untuk memiliki hak-hak ini menunjukkan satu lagi konsep keberanggotaan komunitas politik, yaitu konsep mengenai batas. Apa yang dimaksud sebagai batas disini, yang menentukan apakah seseorang boleh dibunuh dan impunitas atas pembunuhnya, adalah yang menentukan bahwa seseorang berada di luar sekaligus di dalam kedaulatan. Dikatakan berada di luar karena orang atau kelompok orang tersebut tidak masuk dalam keberanggotaan komunitas politik, dan sekaligus di dalam karena tubuh-

287 Carl Schmitt. Political Theology, Four Chapters on the Concept of Sovereignty. The University of Chicago Press. Chicago & London. 2005. Hlm 13 lihat juga Richard Wolin. Carl Schmitt: The

Conservative Revolutionary Habitus and the Aesthethics of Horror dalam Political Theory. Vol.20, No.3. 1992. Sage Publications. hlm 431-432. Wolin menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan pengambilan keputusan tersebut, yang bagi Schmitt merupakan otensitas dalam politik, adalah sekaligus ekstra-legal, suatu tindakan yang tidak terpaku pada formalisme melainkan keputusan dan kegentingan.

tubuh tersebut berada dalam ruang lingkup daya paksa kedaulatan. Distingsi keberanggotaan menurut Agamben ini dapat ditemukan pula dalam Schmitt, melalui The Concept of the Political, bahwa unsur paling utama dari politik

adalah distingsi antara kawan dan lawan. 288 Konsep mengenai batas ini juga dapat ditemukan pada Benedict Anderson dalam The Imagined Communities, bahwa

asal-usul dari kedaulatan adalah konsep mengenai batas-batas yang terbayang dari komunitas yang dalam keanggotaanya merasa saling senasib sepenanggungan. 289

Hannah Arendt pada bagian awal The Human Condition juga mengutarakan hal yang sama, bahwa terdapat dua modus hidup yang saling berlainan, antara publik

dan privat dalam vita activa. 290

Agamben menarik batas keberanggotaan tersebut lebih jauh lagi. Bahwa konsekuensi dari registrasi keanggotaan tersebut adalah Homo Sacer, manusia

yang tubuhnya berada dalam zoe. 291 Bentuk paling nyata dari ciri khas kedaulatan dalam menciptakan manusia telanjang tersebut, menurut Agamben, tampak pada

kamp konsentrasi. 292 Situasi-situasi ini menunjukkan bagaimana legalitas dan legitimitas hukum berada sepenuhnya dalam kedaulatan, dalam peneguhan

288 Distingsi ini adalah unsur utama dari politik, bahwa seluruh tindakan politik harus dimaknai sebagai pemisahan antara kawan-lawan Carl Schmitt. The Concept of the Political. University of

Chicago Press. Chicago & London. 2007. Hlm 26, 27. 289 Ben Anderson. Imagined Communities The Spread and Origin of Nationalism. Verso. London.

2006 290 Hannah Arendt. The Human Condition. The University of Chicago Press. Chicago & London.

1998. Hlm 22-78 291 Op cit Agamben. Homo Sacer, Sovereign Power and Bare Life hlm 23. Agamben mengatakan:

The sovereign exception represents a further dimension: it displaces a contrast between two juridical demands into a limit relation between what inside and what is outside the law. Kedudukan hukum dalam konteks ini penting karena jaminan atas hak hanya dapat dilakukan apabila dirinya dijaminkan dalam hukum yang memiliki daya paksa. 292 Ibid hlm 123 kamp konsentrasi sebagai tempat tautan dimana tubuh, kedaulatan, dan hukum berada dalam satu situasi yang paling ekstrim. Keberadaan kamp konsentrasi ini pula menurut Agamben, adalah paradigma tersembunyi dari ruang politik modern.

keadaan bahaya. Kemampuan dalam meneguhkan kedaulatan tersebut, menurut Agamben, adalah bentuk pembeda antara norma dan keputusan. Norma-norma hanya berlaku dan hanya dapat dirujuk dalam keadaan normal, sementara keputusan berlaku dari keadaan yang tidak biasa atau keadaan bahaya.

The sovereign, who can decide on the state of exception, guarantees its anchorage to juridical order. But precisely because the decision here concerns the very annulment of the norm, that is, because the state of exception represents the inclusion and capture of a space that is neither outside nor inside (the space that corresponds to the annulled and suspended norm), the sovereign stands outside [sthet auberhalb] of the normally valid juridical order, and yet belongs [gehort] to it, for it is he who is responsible for deciding whether the constitution can be suspended in toto.

Being-outside, and yet belonging: this is the topological structure of the state of exception, and only because the sovereign, who decides on the exception, is, in truth, logically defined in his being by the exception, can

he too defined by the oxymoron exstacy-belonging. 293 Hubungan antara peneguhan kedaulatan dan hukum juga dapat terlihat

disini. Sebagaimana dikatakan oleh Agamben, relation of exception, adalah hubungan yang menyatakan bahwa apakah keadaan darurat perlu untuk diatur dalam tata hukum yang berlaku. Pengaturan mengenai keadaan darurat, yang mengancam kedaulatan itu sendiri, merupakan pertanyaan mengenai sejauh mana daya paksa dapat diterapkan dalam situasi yang demikian. Hal tersebut terjadi karena keadaan darurat adalah keadaan dimana hukum berakhir sekaligus awal dari hukum yang baru, atau dalam bahasa Agamben, Constituting Power. Persis dari situ, Agamben, sembari mengutip Schmitt mengatakan bahwa tidak perlu

hukum untuk menciptakan hukum. 294 Jadi, keadaan darurat ini menunjukkan

293 Giorgio Agamben. State of Exception. The University of Chicago Press. Chicago. 2005. Hlm 35 294 Op Cit Giorgio Agamben. Homo Sacer hlm 19 293 Giorgio Agamben. State of Exception. The University of Chicago Press. Chicago. 2005. Hlm 35 294 Op Cit Giorgio Agamben. Homo Sacer hlm 19

negara, demi mempertahankan kedaulatan. Inilah narsisme kedaulatan. 295

Maka dalam perspektif ini masyarakat politik adalah gambaran mistis, karena bagi Agamben kedaulatan tidaklah lahir dari semacam kontrak sosial yang mengikat bagi seluruh rakyat yang menyerahkan sebagian dari kebebasanya untuk sesuatu yang mereka sebut sebagai negara. Masyarakat politik terbentuk justru ketika hidup berada dalam ruang lingkup cakupan kedaulatan. Satu-satunya kesamaan dan kesetaraan bagi tubuh manusia yang berada dalam ruang lingkup kedaulatan tersebut adalah kerentananya untuk sewaktu-waktu pencabutan hak

terjadi atasnya. 296 Kembali lagi, bahwa satu-satunya unsur pengikat dengan demikian bukanlah hukum atau norma dasar, melainkan penegakan atas daya

paksa. Benjamin menyatakan bahwa baik penganut hukum alam maupun hukum positif, kesamaan diantara keduanya adalah pengakuan mereka terhadap kekerasan sebagai sarana, dan bukan kepada tujuan. 297 Kekerasan sebagai sarana

tersebut hanya dapat dimiliki oleh entitas yang dinamakan negara, yang kemudian membedakan antara kekerasan yang legal dan illegal. Akan tetapi pada akhirnya kekerasan itu sendiri sesungguhnya adalah bagian dari hukum itu sendiri, dan

295 Dan barangkali juga fasisme kedaulatan. Lihat dalam Hizkia Yosie Palimpung. Asal-Usul Kedaulatan, Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikrofasis Bernegara. Penerbit Kepik. Depok.

2014. Hlm 14 296 Andrew Schaap. Political Abandonment and the Abandonment of Politics in Agambens Critique

of Human Rights dalam Theory and Eventy Journal. 2008. Johns Hopkins University Press. Hlm 3-4 297 Op Cit Walter Benjamin. Critique of Violence… hlm 278 Benjamin mengatakan : both schools

meet in their common basic dogma: just ends can be attained by justified means, justified means used for just ends.

tanpa adanya kekerasan, tidak ada satu institusi yang bisa berdiri atasnya. 298 Keadaan darurat dan daya paksa ini, yang berujung pada rentanya hidup manusia

dalam satu ruang lingkup kedaulatan tertentu, adalah ketika hukum ditegakkan tapi bukan hukum itu sendiri. Agamben menyebutnya Force-of-Law. 299 Hukum

sebagai norma sudah tidak ada lagi, namun tidak dengan daya paksanya, dan melalui potensialitas daya paksa, keputusan itu adalah sekaligus hukum, atau hukum.

A.2. Hukum Keadaan Darurat

Menurut Jimly Asshidiqie keadaan darurat dapat dibagi menjadi dua unsur; keadaan darurat obyektif dan keadaan darurat subyektif. Keadaan yang pertama adalah diskresi yang dilakukan oleh pejabat berdasarkan penilaian atau kewenangan yang dimiliki oleh pejabat tersebut. Sementara unsur obyektif adalah takaran situasi mengenai sejauh mana peniliaian mengenai situasi tersebut dilakukan. 300 Sementara unsur pemberlakuan dari keadaan darurat tersebut dapat

dibagi menjadi tiga; kebutuhan hukum yang masuk akal, faktor bahaya yang mengancam, dan dalam waktu dan kesempatan yang sangat terbatas. Dari tiga unsur tersebut kemudian dapat diartikan menjadi tiga bagian lagi. Pertama keadaan darurat dalam artian yang sempit, yaitu ancaman bahaya yang mengancam keselamatan umum, integritas wilayah, atau ancaman kedaulatan.

298 Ibid hlm 288 Benjamin mengatakan: It need not be directly present in is as lawmaking violence, but is represented in it insofar as the power that guarantees a legal contract is in turn of violent

origin even if violence is not introduced into the contract itself. When the consciousness of the latent presence of violence in a legal institution disappears, the institution falls into decay.

299 Op Cit Giorgio Agamben. State of Except ion… hlm 39 300 Jimly Asshidiqie. Hukum Tata Negara Darurat. Rajawali Pers. Jakarta. 2008. Hlm 12, 13, 14.

Kedua, dalam artian yang lebih luas, tertuju pada keselamatan jiwa, keselamatan harta benda, maupun keselamatan lingkungan hidup untuk segala tingkat. Ketiga, ancaman dalam artian yang paling luas, yaitu ancaman keselamatan pada ide, prinsip, atau nilai luhur tertentu yang tertuju pada sistem administrasi atau efektivtas bekerjanya fungsi-fungsi internal pemerintahan. 301 Pembagian unsur dan definisi berdasarkan luasnya cakupan tersebut sesungguhnya tidaklah terlalu memiliki perbedaan yang signifikan, kritik ini akan disajikan belakangan.

Keadaan darurat dapat dibagi menjadi dua jenis lagi, keadaan darurat yang dinyatakan secara resmi (de jure), dan keadaan darurat yang terjadi tanpa perlu adanya pernyataan resmi (de facto). 302 Bentuk tindakan yang terjadi pada masa keadaan darurat ini berlaku antara lain; pengalihan kekuasaan legislatif pada eksekutif, perluasan kewenangan penangkapan dan penahanan, penggunaan kewenangan penahanan administratif atas orang yang disangka melakukan perbuatan melawan negara, pembentukan peradilan khusus, penggunaan sanki hukuman baru yang keras, pembatasan hak sipil warga, pengurangan kewenangan yudisial untuk menguji tindakan pemerintah, pengalihan kewenangan lembaga peradilan tertentu kepada lembaga peradilan lain, penundaan berlakunya atau penghentian sementara hak-hak dan kewajiban perdata, pembentukan peraturan-

301 Ibid hlm 66-67 lebih lanjut Jimly membagi keadaan darurat berdasarkan jenis-jenis berikut: keadaan bahaya dari luar, keadaan bahaya karena tentara berperang di luar negeri, keadaan

bahaya karena peperangan di dalam negeri, keadaan bahaya karena kerusuhan sosial yang menimbulkan ketegangan, keadaan bahaya karena bahaya alam, keadaan bahaya karena tertib hukum dan administrasi tidak berjalan, keadaan bahaya karena kondisi keuangan dan keadaan bahaya karena fungsi kekuasaan konstitusional tidak dapat berjalan (hlm 68, 69, 70)

302 Ibid hlm 71 302 Ibid hlm 71

Terdapat beberapa doktrin mengenai keadaan darurat. Pertama adalah Prinsip Necessity dan self-preservation, yang beranggapan bahwa keselamatan negara dan kedaulatan adalah yang paling utama, dan negara memiliki

kewenangan dan kemampuan untuk menyelamatkan dirinya. 304 Prinsip Self- Defense, bahwa dalam melakukan kewenanganya tersebut, negara cenderung

melakukan perbuatan yang ekstra-legal, karena itu prinsip self-defense ini bertujuan untuk memberikan batasan mengenai kewenangan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh negara dengan prinsip-prinsip HAM. 305 Prinsip selanjutnya adalah proposionalitas, yang berarti takaran mengenai sejauh mana

pemberlakuan atas keadaan darurat itu berlangsung. 306

Sebelum menuju pada bagian mengenai peraturan-peraturan atas keadaan darurat ini, terdapat catatan mengenai argumen Jimly diatas. Setidaknya terdapat dua catatan, pertama adalah definisi berdasarkan luas cakupan keadaan darurat, dan yang kedua mengenai prinsip-prinsip keadaan darurat. Mengenai hal yang pertama, pembagian berdasarkan pada luas cakupan tersebut tidak signifikan karena sesungguhnya, apa yang dimaksud dengan keadaan darurat itu adalah selalu merupakan keadaan yang mengancam konsep-batas dari komunitas politik, yang merupakan ancaman dari kedaulatan yang berarti sekaligus mengancam

303 Ibid hlm 73, 74, 75. 304 Ibid hlm 83 305 Ibid hlm 91 306 Ibid hlm 94 303 Ibid hlm 73, 74, 75. 304 Ibid hlm 83 305 Ibid hlm 91 306 Ibid hlm 94

dalam artian teleologis. 307 Apabila mengacu pada kenyataan yang terjadi, atau dalam artian yang pertama, maka dapat dikatakan bahwa satu-satunya alasan

mengenai berlakunya keadaan darurat adalah melalui asas necessitas. Kritik lain adalah bahwa penetapan keadaan darurat baik secara de facto maupun de jure tidak selalu muncul berdasarkan oleh jabatan adalah posisi dengan kewenangan tertentu, melainkan dapat pula ditegakkan oleh pihak-pihak lain yang memiliki kemampuan untuk melakukanya.

Catatan tersebut dapat ditunjukkan dengan kembali pada pendapat dari Schmitt, bahwa definisi dari kedaulatan adalah peneguhan atasnya, souvereignty is

he who decide state of exception. Peneguhan tersebut hanya dapat dilakukan dengan adanya daya paksa. Tanpa adanya daya paksa maka, tidak mungkin keadaan darurat tersebut dapat berlangsung dan kedaulatan dapat diteguhkan. Mengenai prinsip necessitas, penggunaan ekstra-legal pada kenyataanya memang melekat, bahwa necessitas legem non habet, atau kegentingan tidak memiliki hukum. 308 Ciri lain yang muncul adalah, sebagaimana dikatakan oleh Agamben,

307 Dengan catatan Jimly memberikan klarifikasi mengenai kewenangan negara untuk menyimpangi atau merampas hak yang ada, sebagaimana terdapat dalam asas nessesitas meski

kemudian dia tampaknya kembali dengan menggunakan sudut pandang teleologisnya mengenai perampasan hak tersebut. Lihat dalam ibid hlm 215-216

308 Giorgio Agamben. State of Exception… hlm 39 308 Giorgio Agamben. State of Exception… hlm 39

atas tubuh. 309 Menurut Agamben, keadaan darurat atau state of exception berkaitan erat dengan perang sipil, perlawanan, atau hal-hal yang berseberangan

dengan kondisi normal sehingga berada dalam suatu situasi yang-tak- terputuskan, 310 yang membuat negara, bahkan yang paling demokratis sekalipun,

memiliki lebih banyak kekuasaan dan rakyat memiliki hak lebih sedikit. 311 Pengertian keadaan darurat dan perampasan hak atasnya dalam studi ini mengacu

pada definisi terakhir tersebut.

Semenjak berdirinya, Indonesia memiliki beberapa pengaturan mengenai keadaan darurat baik dikarenakan oleh bencana alam, maupun gangguan internal atau eksternal dari negara. Tidak semua akan dibahas dalam tulisan ini, melainkan yang berkaitan dengan bahasan dalam bab ini, yaitu keadaan darurat yang disebabkan oleh ancaman dari manusia, bukan dari bencana alam, meski diantara keduanya sesungguhnya tidak dapat ditarik batasan yang tegas mengenai ciri dari keadaan bahaya tersebut, akan tetapi pemilihanya dalam penulisan ini lebih bertujuan untuk efisiensi semata.

309 Michael Foucault. Madness and Civilization, A History of Insanity in the Age of Reason. Vintage Books. New York. Tanpa Tahun. Hlm 3-7. Pada awalnya, untuk megatasi wabah lepra, kastil

membuang mereka yang terjangkit keluar dari kastil dan menutup pintu gerbang, menciptakan dua ranah yang berbeda antara manusia dan bukan manusia. Praktik bio-politik ini dibahas pula oleh Agamben, mengenai titik ekstrim dari penggunaanya, yaitu percobaan terhadap warga yahudi semasa NAZI Jerman.

310 Op Cit Giorgio Agamben. State of Exception… hlm 2 311 Ibid hlm 8

Pada tahun 1946, terbit UU 6/1946 tentang keadaan bahaya. Berdasarkan pada UU tersebut, Presiden dapat menetapkan sebagian atau seluruh wilayah Indonesia dalam keadaan bahaya yang disebabkan oleh serangan, bahaya serangan, pemberontakan atau kerusuhan yang mengakibatkan pemerintahan tidak dapat bekerja dan bencana alam. Keadaan bahaya tersebut disahkan dalam bentuk UU, dan disampaikan ada DPR, serta dalam pemberlakuanya tidak menunggu pengesahan. Selama mkeadaan darurat, UU ini membolehkan pembatasan hak seperti hak membatasi atau menghapuskan kemerdekaan dan berkumpul atau kemerdekaan mengeluarkan pikiran, pembatasan pencetakan atau pengumuman menurut aturan, membatasi pengiriman berita, perantaraan pos, telepon, telegram dan radio (Pasal 8, 9, 10). Semenjak berlakunya keadaan bahaya, yang memiliki kewenangan pelaksanaan dari UU ini adalah Dewan Pertahanan Negara (Pasal 3), kecuali apabila tidak tercakup dalam wilayah tersebut, yang berlaku adalah Residen bersama pemimpin tentara tertinggi dan Badan Eksekutif dari Badan Perwakilan Rakyat Daerah (Pasal 5 ayat (1)).

Tahun 1957 keluar UU 74/1957 tentang Pencabutan Regeling of de Staat van Oorlog En Van Beleg dan Penetapan Keadaan Bahaya yang menggantikan UU 6/1946. UU ini berdasarkan pada Pasal 89 dan Pasal 129 UUDS. Menurut Pasal 1 UU 74/1957 keadaan bahaya adalah adanya gangguan keamaan dan ketertiban di seluruh atau sebagian wilayah indonesia baik karena pemberontakan atau bencana alam, atau perang dan keadaan bahaya perang yang mengancam wilayah Indonesia. Keputusan pernyataan ataupun penghapusan, menurut Pasal 4 ayat (1), menyatakan bahwa keadaan darurat atau keadaan perang dapat berlaku

seketika kecuali ditetapkan lain. Penetapan tersebut diusulkan oleh Presiden dengan persetujuan dari DPR. UU ini mengatur pula perihal penguasaan daerah dalam keadaan darurat dalam Pasal 7 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) yang pada intinya kekusaan pada masa darurat dilaksanakan oleh kepala daerah, DPRD, dan Kepala polisi setempat, apabila dalam kondisi perang, yang berwenang adalah militer dan dalam melaksanakan wewenangnya mengikuti petunjuk dari Dewan Menteri (Pasal 8). Ketika diberlakukan, UU darurat bersifat lebih tinggi posisinya apabila bertentangan dengan UU lainya, baik sebagian maupun seluruhnya. Mengenai pembatasan hak, diatur dalal Pasal 19 pembatasan pertunjukan umum, Pasal 20 mengetahui, membatasi, melarang, kode rahasia, telepon, telegram, radio, dan lain sebagainya, Pasal 21 pembatasan atas kebebasan berkumpul, gedung, kediaman, kecuali pada rumah ibadah, Pasal 22 melarang suatu tempat tinggal tertentu yang ketika diberlakukan harus dsertai dengan tunjangan atau tempat tinggal pengganti, dan berhak untuk membatasi orang diluar rumah, Pasal

23 untuk memeriksa badan adan pakaian orang yang dicurigai, Pasal 24 kewenangan untuk memasuki, memeriksa, menyelidiki tiap tempat meski tanpa surat, Pasal 25 kewenangan untuk menyita barang dengan batasan bahwa orang yang disita dapat mengajukan keberatan. UU ini mengatur pula soal reparasi akibat kerugian yang timbul apabila ternyata tindakan yang dilakukan tidak beralasan (Pasal 11). Keadaan perang tidak dicantumkan dalam penulisan ini karena tidak tercakup dalam studi ini.

UU 74/1957 tidak berlaku lagi dengan terbitnya Perppu 23/1959 tentang Keadaan Bahaya. Rumusan mengenai keadaan bahaya ini tidak jauh berbeda UU 74/1957 tidak berlaku lagi dengan terbitnya Perppu 23/1959 tentang Keadaan Bahaya. Rumusan mengenai keadaan bahaya ini tidak jauh berbeda

bahaya. 312

Penguasaan keadaan darurat sipil dilakukan oleh Kepala Daerah serendahnya tingkat II yang dibantu oleh Komandan militer, Kepala polisi, dan Pengawas dengan mengikuti petunjuk dan perintah pusat dan bertanggung-jawab atasnya. Pembatasan Hak diatur dalam Pasal 13 mengenai pembatasan pertunjukan, penulisan, pengumuman umum, Pasal 14 mengenai kewenagnan menggeledah tanpa surat, Pasal 15 mengenai memeriksa dan mensita barang yang diduga mengganggu keamanan serta membatasi atau melarang pemakaian barang itu, Pasal 17 mengenai kewenaganan untuk mengetahui, membatasi, atau melarang komunikasi telepon, televisi, radio, dan lain sebagainya, Pasal 18 mengenai pembatasan untuk berkumpul secara umum, melarang gedung atau

312 Op Cit Jimly Asshidiqie. Hukum Tata Negara Darurat… hlm 214

tempat kediaman tertentu, Pasal 19 membatasi ruang gerak, Pasal 20 memeriksa badan dan pakaian orang yang dicurigai. Mengenai keadaan darurat militer berlaku ketentuan sebagaimana diatur mengenai keadaan darurat sipil dengan beberapa perubahan tertentu (Pasal 23). Jadi berdasarkan ketentuan tersebut keadaan darurat militer berlaku sebagaimana keadaan darurat sipil ditambah dengan pengaturan khusus mengenai keadaan darurat militer. Beberapa tambahan dalam keadaan militer adalah kewenangan mengadakan militerisasi terhadap jawatan/perusahaan/perkebunan (Pasal 31), menangkap dan menahan orang paling lama 20 hari dengan menggunakan surat perintah (Pasal 32), militer juga memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan atas peraturan yang hendak diberlakukan dalam daerah kewenanganya (Pasal 34). Perppu 29/1959 mengatur perihal pembatasan atas penyalahgunaan wewenang dengan ancaman pidana paling lama lima tahun atau hukuman lain apabila diatur dalam UU khusus dengan ancaman yang lebih berat (Pasal 57). Apabila ternyata tindakan yang diambil tidak beralasan, maka berhak atasnya diajukan ganti rugi (Pasal 60). Keadaan perang tidak dibahas dalam ruang lingkup studi ini.

Ketentuan hukum diatas, bahkan tidak menyimpangi asas non-derogable rights sebagaimana diatur dalam ICCPR 1966 dalam Pasal 4. Akan tetapi apabila ada pembatasan sekalipun demikian, tidak sepenuhnya dapat dipenuhi. Nessesitas dari keadaan darurat memungkinkan bagi kedaulatan untuk bersifat eksesif, batas- batas hak yang tidak boleh dikurangi tersebut tidak selalu dapat dijalankan. Pada akhirnya, pembatasan mengenai hak tersebut kembali bergantung pada penguasaan secara de facto.

Berdasarkan ketentuan diatas, terdapat beberapa hal yang patut dicermati. Menurut hukum positif, terdapat ketentuan mengenai pernyataan keadaan darurat yang memiliki akibat hukum, bahwa yang berlaku pada saat yang ditentukan hukum yang berlaku adalah hukum darurat. Selama hukum darurat tersebut berlaku diperbolehkan untuk menyimpangi beberapa hak yang dapat ditunda pemenuhanya, namun tidak dengan hak hidup, hak beragama, hak untuk tidak disiksa. Selain itu terdapat pula pembatasan dan meski dalam artian yang terbatas, ada hak untuk mengajukan ganti rugi apabila ternyata tindakan yang dilakukan tersebut tidak berdasar. Poin-poin sebagaimana disebutkan disini adalah peraturan yang berlaku pada saat tahun peristiwa 1965 yang pada kenyataanya, tanpa pernyataan keadaan darurat, dapat berlaku ketentuan yang menyimpangi hukum darurat itu sendiri termasuk pembunuhan, pembuangan, kerja paksa, dan lain sebagainya.