Tentang Komisi Kebenaran, Tentang Rekonsiliasi
C.2. Tentang Komisi Kebenaran, Tentang Rekonsiliasi
Mengenai permasalahan transisi kekuasaan ini, pada tahun 1970an muncul ide mengenai jalan lain untuk mengatasi kekejaman yang terjadi pada masa lampau dengan menggunakan satu badan khusus. Patricia Hayner menyebutnya sebagai Komisi Kebenaran, yang memiliki ciri; pertama, berfokus pada masa lalu; kedua menyidik pola pelanggaran selama jangka waktu tertentu, bukan peristiwa spesifik, ketiga bersifat sementara yang biasanya enam bulan hingga dua tahun dan memberikan laporan, dan keempat, dibentuk secara resmi oleh kekuasaan negara. 393 Semenjak tahun 1974, terdapat setidaknya dua puluh satu Komisi
Kebenaran yang dibentuk oleh banyak negara dengan nama yang berbeda namun memiliki ciri yang sama sebagaimana diutarakan diatas. 394 Lebih lanjut, tujuan
dari Komisi Kebenaran adalah penemuan fakta resmi mengenai masa lalu, sifat resmi tersebut menentukan sejauh mana pemerintah mengakui hak dan kekejaman masa lalu yang pernah terjadi. 395 Fakta resmi tersebut kemudian berujung pada
tiga hal; rekomendasi akan perubahan yang dilakukan, menjadi bahan penting atau bukti dalam persidangan, dan dokumen sejarah untuk diproduksi secara luas.
Ciri umum dari Komisi Kebenaran yang diutarakan oleh Hayner diatas adalah semacam benang merah karena dalam kenyataanya Komisi Kebenaran sendiri memiliki bentuk, kewenangan, model penyajian, yang berbeda-beda tergantung dari situasi masing-masing negara atau kasus. KKR di Afrika Selatan misalnya, memiliki kewenangan untuk memberikan amnesti dimana kewenangan
393 Priscilla Hayner. Kebenaran Tak Terbahasakan, Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan, dan Harapan. Elsam. Jakarta. 2005. Hlm 23
394 Loc cit 395 Ibid hlm 31, 33
tersebut tidak terdapat dalam KKR Chile. Begitu pula dengan ruang lingkup penyelidikan, sementara KKR Afrika Selatan memiliki perangkat untuk melakukan hearing, KKR Chile tidak memiliki instrumen yang demikian, juga bahwa dalam laporan akhirnya KKR Chile juga –berbeda dari Afrika Selatan-, tidak mencantumkan nama-nama pelaku. Chile juga mengalami kesulitan dalam melakukan penuntutan, mengingat instrumen hukum peninggalan dari rezim yang sebelumnya membuat upaya pengadilan nyaris buntu. Perbedaan tersebut juga dapat ditemukan di Indonesia. Apabila Chile dan Afrika Selatan melakukan upaya KKR ketika terjadi pergantian rezim dan dilakukan dengan menyerang legitimasi rezim yang lama: apartheid di Afrika Selatan dan pembantaian kaum kiri di Chile, Indonesia meski mengalami pergantian kekuasaan hingga lebih dari satu dekade pasca Soeharto belum mengadakan rekonsiliasi terutama atas peristiwa 1965 yang merupakan landasan orde baru berdiri. Kondisi-kondisi yang demikian menunjukkan corak dari masing-masing KKR adalah berbeda bergantung dari
konteksnya. 396
Meskipun memiliki kewenangan untuk mencatat kekejaman masa lalu yang pernah terjadi, namun Komisi Kebenaran tidak memiliki kewenangan yudisial. Sebagaimana diutarakan Hayner, fungsi utama dari Komisi Kebenaran
adalah kepada korban. 397 Komisi Kebenaran juga bertugas untuk mencatat dan mengumumkan mengenai pelanggaran, yang berarti mencakup pula laporan
mengenai sejarah kekejaman masa lampau, hak atas kebenaran. 398 Selain itu,
396 Argentina, Timor Timur, Uganda, …. dsb 397 Ibid hlm 34 398 Ibid hlm 36
Pengadilan pada dasarnya hanya memiliki kewenangan untuk membuktikan kejahatan dalam kasus spesifik, sementara Komisi Kebenaran memiliki tugas utama untuk mengungkap kebenaran dalam peristiwa dalam satu rentang waktu
tertentu. 399 Bagaimanapun Komisi Kebenaran tidak terpisah sama sekali dengan kekuasaan yudisial. Bahan-bahan yang diperoleh selama penelitian, dapat
dipergunakan sebagai acuan dalam persidangan, Komisi kebenaran juga dapat merekomendasikan perlunya perubahan tertentuk baik dalam hukum maupun
sistem yudisial. 400 Tentang ini Hayner pada kesempatan lain mengatakan:
Tetapi karena watak atau hakikat pengadilan itu sendiri, maka kebenaran yang diungkapkannya sering sangat terbatas. Pengadilan dapat mengungkapkan atau mempertegas rincian kasus-kasus khusus, tetapi pada dasarnya tidak mempunyai hak untuk menggambarkan pola-pola umum peristiwa pelanggaran hak asasi manusia dalam suatu periode waktu tertentu, dan tentu saja tidak mampu masuk ke analisis tentang lembaga- lembaga yang harus bertanggung jawab, praktek-praktek (kebiasaan) umum negara atau kaum geriliawan, atau akar penyebab konflik, yang semuanya merupakan fokus kerja komisi kebenaran. Selain itu, watak pengadilan yang justru merugikan, khususnya pada sistem-sistem hukum umum, hanya akan memperkuat mekanisme penolakan, khususnya ketika beberapa kasus akhirnya tidak tertangani. Keadilan melalui pengadian memang penting karena sejumlah alasan seperti mengakhiri impuniti, menjunjung tinggi penegakkan hukum (rule of law), memberikan pemecahan untuk korban. Namun demikian, ada banyak keterbatasan pengadilan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dalam rangka menciptakan suatu catatan global kebenaran dan yang menghargai atau mengakui
pengalaman-pengalaman para korban. 401
399 Ibid glm 90 400 Priscilla Hayner. Setelah Otoritarianisme Berlalu… Esai-Esai Keadilan di Masa Transisi. Elsam.
Jakarta. 2001. Hlm 64. Hayner mencontohkan Argentina dimana hasil temuan dari Komisi Kebenaran diarahkan untuk meneruskan informasi ke pengadlan beserta temuan atas bukti. 401 Op Cit Priscilla Hayner. Kebenaran Tak Terbahasakan, Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi
Kebenaran, Kenyataan, dan Harapan… hlm 67
Dengan demikian tugas dari Komisi Kebenaran adalah mengenai pengakuan terhadap korban melalui pernyataan resmi dari lembaga negara atas kekejaman yang pernah berlangsung, sekaligus pemulihan terhadap korban. Relasi mengenai hubungan antara Komisi Kebenaran dan Pengadilan ini akan dibahas dalam bagian lain, dengan catatan bahwa studi ini lebih berfokus pada upaya reparasi korban. Meskipun demikian, dalam konteks tertentu hubungan secara normatif mengenai bagaimana Komisi Kebenaran dan Pengadilan maupun praksis akan tetap diutarakan disini.
Ide mengenai Komisi Kebenaran membawa serta gagasan mengenai rekonsiliasi. Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, rekonsiliasi ini adalah jalan alternatif penyelesaian keadilan diluar pengadilan. Mengenai rekonsiliasi ini, pada dasarnya tidak bertujuan semata-kmata untuk permaafan, maupun melupakan yang lalu, namun mengenai hidup bersama. Definisi ini diajukan oleh IDEA sebagai berikut:
Reconciliation is an over-arching process which includes the search for justice, forgiveness, healing and so on. At its simplest, it means finding a way to live alongside former enemies - not necessarily to love them, or forget the past in any way, but to coexist with them, to develop the degree of cooperation necessary to share our society with them, so that we all
have better lives together than we have had separately. 402 Secara normatif, pengertian mengenai rekonsiliasi tidak dapat dipisahkan
antara rumusan definitifnya atau rekonsiliasi sebagai hasil. Perbedaan ini terlihat dalam Supreme Decree 355, Act 34/1995, UU 27/2004, dan RUU KKR. Masing-
402 David Bloomfield, Teresa Barnes, Luc Huyse (ed). Reconciliation After Violent Conflict, A Handbook. International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA). Stockholm.
2003. Hlm 12 2003. Hlm 12
Rekonsiliasi di Chile dibentuk melalui dekrit Presiden Aylwin, yaitu melalui Supreme Decree No.355 National Commission for Truth and Reconciliation pada 25 April 1990. Dalam bagian konsideranya, komisi ini dibuat berdasarkan pada pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam rentang waktu 11 September 1973-11 Maret 1990 dan perlunya keadilan untuk rekonsiliasi nasional. Disebutkan pula bahwa penundaan terhadap upaya rekonsiliasi dapat mengganggu kehidupan komunitas nasional yang damai. Tentang rekonsiliasinya, dalam Pasal
1 disebutkan (garis bawah penekanan dari penulis):
Let there be created a National Truth and Reconciliation Commission for the purpose of helping to clarify in a comprehensive manner the truth about the most serious human rights violations committed in recent years in our country (and elsewhere if a they were related to the chilean government or to national political life), in order to help bring about the reconciliation of all Chileans, without, however, affecting any legal proceedings to which those events might give rise.
Serious violations are here to be understood as situations of those persons who disappeared after arrest, who were executed, or who were tortured to death, in which the moral responsibility of the state is compromised as a result of actions by its agents or persons in its service, as well as kidnappings and attempts on the life of persons committed by private citizens for political purposes.
In order to carry out its assigned task, the Commission will seek : In order to carry out its assigned task, the Commission will seek :
b. To gather evidence that may make it possibl to identify the victims by name and determine their fate or whereabouts;
c. To recommend such measures of reparation and renstatement as it regars as just; and
d. To recommend the legal and administrative measures which in its judgement should be adopted in order to prevent actions such as those mentioned in this article from being committed.
Act 35/1995 Promotion of National Unity and Reconciliation tidak menyebutkan definisi mengenai apa rekonsiliasi itu, namun dalam Pasal 3 ayat (1) di Afrika Selatan menyebutkan bahwa tujuan dari KKR adalah untuk mempromosikan persatuan dan rekonsiliasi dengan semangat saling memahami dan melampaui konflik masa lalu dengan ciri-ciri sebagai berikut (garis bawah adalah penekanan dari penulis):
a. establishing as complete a picture as possible of the causes, nature and extent of the gross violations of human rights which were committed during the period from 1 March 1960 to the cut-off date, including the antecedents, circumstances, factors and context of such violations, as well as the perspectives of the victims and the motives and perspectives of the persons responsible for the commission of the violations, by conducting investigations and holding hearings;
b. facilitating the granting of amnesty to persons who make full disclosure of all the relevant facts relating to acts associated with a political objective and comply with the requirements of this Act;
c. establishing and making known the fate or whereabouts of victims and by restoring the human and civil dignity of such victims by granting them an opportunity to relate their own accounts of the violations of which they are the victims, and by recommending reparation measures in respect of them;
d. compiling a report providing as comprehensive an account as possible of the activities and findings of the Commission contemplated in paragraphs (a) , (b) and (c), and which contains recommendations of measures to prevent the future violations of human rights.
Pasal tersebut menunjukkan dari segi tujuan, apa yang dimaksud dengan rekonsiliasi –dan persatuan- di Afrika Selatan adalah melalui pemberian gambaran atas peristiwa kekejaman masa lalu dari perspektif korban dan pelaku melalui Pasal tersebut menunjukkan dari segi tujuan, apa yang dimaksud dengan rekonsiliasi –dan persatuan- di Afrika Selatan adalah melalui pemberian gambaran atas peristiwa kekejaman masa lalu dari perspektif korban dan pelaku melalui
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, menyatakan definisi rekonsiliasi adalah (garis bawah penekanan dari penulis):
Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.
Definisi rekonsiliasi di UU 27/2004 diatas adalah sebagai hasil, dengan demikian tidak jauh berbeda dari definisi dari Act 34/1995 Afrika Selatan. Maka pengertian dari apa yang disebut sebagai rekonsiliasi itu diandaikan sebagai sebuah hasil dari pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan atas peristiwa pelanggaran HAM berat dengan menggunakan KKR. Definisi rekonsiliasi dalam UU 27/2004 tersebut kembali dipergunakan dalam RUU KKR 2015 yang diajukan oleh pemerintah.
Dari definisi diatas, terdapat pemasalahan definitif dalam menentukan rekonsiliasi itu, apakah suatu proses, hasil, atau keduanya? Tamar Hermann melihat bahwa dari perspektif yang pertama, yaitu sebagai proses, rekonsiliasi bertujuan untuk mendudukan institusi dan praktik untuk menormalisasi hubungan yang tadinya musuh menjadi hidup bersama. Sementara pandangan yang kedua, Dari definisi diatas, terdapat pemasalahan definitif dalam menentukan rekonsiliasi itu, apakah suatu proses, hasil, atau keduanya? Tamar Hermann melihat bahwa dari perspektif yang pertama, yaitu sebagai proses, rekonsiliasi bertujuan untuk mendudukan institusi dan praktik untuk menormalisasi hubungan yang tadinya musuh menjadi hidup bersama. Sementara pandangan yang kedua,
Baik sebagai hasil maupun proses, apa yang disebut sebagai rekonsiliasi menjunjung perihal perdamaian atas konflik, tentu dengan praktik yang berbeda- beda yang bergantung dari kondisi tertentu pula. Dengan demikian melihat rekonsiliasi sekaligus sebagai hasil maupun proses adalah lebih esensial. Apa yang lebih mendesak adalah, sebagaimana dikatakan oleh Bar-Tal & Bennink, bahwa upaya resolusi konflik seringkali gagal untuk mewujudkan resolusi secara damai. Menurut mereka, dalam suatu proses resolusi bisa saja terdapat kesepakatan, dan luas cakupan kesepakatan inilah yang menentukan kelanjutan dari resolusi damai tersebut, karena kebanyakan tidak melibatkan grassroot
melainkan hanya perdamaian pada tingkat saja. 404
Menurut Bar-Tal & Bennink, terdapat lima hal penting yang mempengaruhi hasil dari rekonsiliasi. 405 Kelima hal tersebut antara lain: pertama,
persepsi masyarakat terhadap tujuan, yaitu mengenai bagaimana memecahkan konflik. Kedua, pandangan masyarakat terhadap kelompok musuh, yang tadinya saling berseteru untuk bertemu dalam rekonsiliasi. Ketiga, persepsi masyarakat mengenai grup mereka sendiri, bagaimana merubah persepsi tersebut yang tadinya melihat dari satu sudut pandang membuka diri. Keempat, persepsi masyarakat terhadap masa lalu kelompok yang dianggap sebagai lawan. Hal ini berkaitan
403 Tamar Hermann. Reconciliation: Reflection on the Theoritical and Practical Utility of the Term dalam Yaacov Bar-Siman-Tov (ed). From Conflict Resolution to Reconciliation. Oxford University
Press. New York. 2004. Hlm 46-47 lhat juga Danel Bar-Tal & Gemma H. Bennink. The Nature of Reconciliation as an Outcome and as a Process dalam ibid hlm 13 404 Ibid hlm 37 405 Kelima hal tersebut berfokus pada aspek kognitif rekonsiliasi, dalam ibid hlm 20-22 Press. New York. 2004. Hlm 46-47 lhat juga Danel Bar-Tal & Gemma H. Bennink. The Nature of Reconciliation as an Outcome and as a Process dalam ibid hlm 13 404 Ibid hlm 37 405 Kelima hal tersebut berfokus pada aspek kognitif rekonsiliasi, dalam ibid hlm 20-22
Untuk prosesnya, terdapat beberapa elemen penting. Bar-Tal & Bennink menyebutkan ada dua belas hal yang dapat digunakan: 406
a. Apologi, konfrontasi terhadap masa lalu, adanya permaafan terhadap korban yang mengalami kekejaman.
b. Melalui KKR, yaitu melalui institusi resmi yang bertugas untuk mempromosikan kebenaran dan rekonsiliasi.
c. Pengadilan publik, dengan melakukan penuntutan terhadap pelanggaran ham berat yang serius. Pengadilan ini menurut Bar-Tal & Bennink adalah juga merupakan bagian dari rekonsiliasi sebagai salah satu pengakuan terhadap penderitaan korban, retribusi hukuman, dan tindakan preventif untuk masa depan.
d. Reparasi termasuk didalamnya adalah apologi dan pemulihan psikologis. Penerimaan reparasi ini berlangsung dua arah; pada satu sisi sebagai bentuk penerimaan maaf dari korban, dan pada sisi lain
penyesalan dari sang pelaku. 407
e. Penulisan ulang sejarah, melalui temuan fakta-fakta yang disepakati.
f. Pendidikan tentang perdamaian.
406 Ibid hlm 28-33 407 Agaknya definisi mengenai reparasi ini terbatas pada kompensasi oleh pelaku, dan bukan oleh negara. Namun dalam konteks relasi antara korban-pelaku, hal ini memang penting adanya, hanya saja permasalahan yang muncul, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, adalah bagaimana apabila belum ada pelaku yang diputus bersalah sementara telah ada korban.
g. Peran media massa
h. Publikasi pertemuan antara perwakilan kelompok yang berseteru
i. Keterlibatan Ornop j. Kerja sama antara dua kelompok yang berseteru dalam satu proyek
bersama. k. Turisme, dimana kedua kelompok saling mengunjungi satu sama lain. Penting untuk membangun rasa percaya, dan untuk saling mengetahui keadaan dua kelompok dalam masa transisi tersebut.
l. Pertukaran kebudayaan antara kedua kelompok. Terdapat enam faktor yang mempengaruhi sukses atau tidaknya
rekonsiliasi. Pertama, bergantung dari resolusi konflik dalam memenuhi kebutuhan dasar kedua kelompok beserta segenap aspirasinya. Kedua, tindakan konsiliasi baik informal maupun formal dari masing-masing pihak. Ketiga, peran pemimpin yang terlibat dalam rekonsiliasi tersebut. Keempat, dari kekuatan para pendukung rekonsiliasi itu sendiri. Kelima, mobilisasi dukungan dari institusi
yang terkait, dan terakhir, dari dukungan komunitas internasional. 408
Dengan penekanan yang sedikit berbeda, menurut Humphrey, tujuan utama dari rekonsiliasi secara politik adalah pemulihan sosial kepada korban dan rekonstitusi nasional secara keseluruham. Sementara pandangan moral dari rekonsiliasi adalah pengakuan terhadap korban dalam pemberian pernyataan atas
408 Ibid hlm 35-36 408 Ibid hlm 35-36
itu. Masing-masing kelompok akan menyatakan dirinya sebagai korban dan kelompok lain sebagai pihak yang bersalah.
Di Chile, jatuhnya Pinochet tidak membuat adanya perubahan secara serta merta. Masih kuatnya posisi militer, juga sisa-sisa kekuatan Pinochet di Parlemen dan terbatasnya kewenangan dari komisi kebenaran yang dibentuk, membuat kerja
pelurusan sejarah dan reparasi korban berjalan dengan sangat minim. 410 Situasi agak berbeda dialami di Afrika Selatan. Proses hearing berjalan dengan kredibel.
Komisi Kebenaran memiliki posisi legitimasi sosial dan kewenangan hukum yang kuat. 411
Berkaca dari dua pengalaman yang berbeda tersebut, Afrika Selatan dan Chile, dapat menjadi acuan dalam menghadapi transisi di Indonesia. Sebagaimana diketahui, setelah Soeharto jatuh, belum ada upaya untuk menyerang basis legitimasi berdirinya Orba tersebut, yaitu penghapusan atas golongan kiri di Indonesia. Belum ada upaya berarti baik dari segi penuntutan maupun rekonsiliasi. UU 27/2004 KKR pada masa Megawati, dibatalkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi, sebelum komisi sempat terbentuk. Pada tahun 2015, RUU
409 Michael Humphrey. The Politics of Atrocity and Reconciliation, From Terror to Trauma. Routledge. London & New York. 2002. Hlm 99 Humphrey memberi penekanan pada penderitaan,
yang menurutnya merupakan titik balik dari praktik teror –trauma yang dijalankan oleh negara menjadi pengakuan atas hak-hak yang dilanggar. 410 Dua kali komisi kebenaran dibentuk hanya dengan menggunakan Dekrit Presiden. Pada KKR pertama, cakupan definisi korban hanya sempit saja dan kesulitan untuk melakukan penuntutan karena adanya Hukum Amnesti yang dikeluarkan oleh rezim Pinochet. 411 Op Cit Patricia Hayner. Setelah Otoritarianisme Berlalu... Hlm 19
KKR yang diajukan oleh Kemenkumham masuk dalam bahasan prolegnas prioritas, yang menjadi salah satu RUU yang dianggap mendesak untuk segera diundangkan. Banyak tanggapan terhadap wacana tentang permohonan maaf ini,
baik menteri kabinet yang memiliki latar belakang militer 412 maupun golongan agama. 413 Situasi demikian menunjukkan masih kuatnya pertentangan terhadap
upaya rekonsiliasi sebagai bagian dari reparasi ini. Satu hal lain yang penting untuk dibahas adalah kaitan antara rekonsiliasi yang bertumpu pada pengungkapan kebenaran dan pemulihan hak korban, dan posisinya terhadap proses yudisial.
Pengalaman di Chile dipilih karena kemiripan historis yang dialami dengan Indonesia. Kemiripan tersebut tampak pada pertama, Allende, sebagaimana Soekarno, menjalankan pemerintahan kiri dengan program seperti reformasi agraria, nasionalisasi, yang disokong oleh partai-partai kiri. Kedua, baik Indonesia pada tahun 1965 maupun Chile pada tahun 1973 terjadi kudeta yang melibatkan, dan memunculkan tokoh militer sebagai pengganti penguasa, Soeharto sebagai pengganti Soekarno, dan Pinochet menggantikan Allende. Selain itu, perubahan kepemimpinan tersebut juga berujung pada perubahan sistem ekonomi dari kiri ke kanan dibawah kepemimpinan otoriter militer. Kemiripan ini diakui sendiri oleh Pinochet yang menyebut kudeta militernya 11 September 1973
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/20/078693495/ryamizard-tak-senang-jokowi- minta-maaf-soal-pki-ini-sebabnya diakses tanggal 15 Oktober 2015, lihat juga pendapat Luhut http://nasional.kompas.com/read/2015/09/30/13525501/Luhut.Tidak.Ada.Pikiran.Pemerintah.M inta.Maaf.soal.Peristiwa.PKI diakses tanggal 15 Oktober 2015. Baik Luhut maupun Ryamizard menyatakan menolak apabila Presiden meminta maaf kepada PKI.
http://news.okezone.com/read/2015/08/21/337/1200180/mui-tolak-rencana-permohonan- maaf-jokowi-ke-pki diakses tanggal 15 Oktober 2015 http://news.okezone.com/read/2015/08/21/337/1200180/mui-tolak-rencana-permohonan- maaf-jokowi-ke-pki diakses tanggal 15 Oktober 2015
Kedua, pengalaman di Afrika Selatan. Proses KKR di Afrika Selatan, yang dibawah Presiden Nelson Mandela dan Uskup Desmond Tutu banyak dipuji sebagai proses yang kredibel. Salah satu keunggulan dari rekonsiliasi di Afrika Selatan adalah dukungan legitimasi yang kuat dari rezim yang baru dan kekuatan dari KKR itu sendiri yang memiliki kewenangan tidak hanya bagi korban, namun juga bagi pelaku. Tim KKR memberikan status korban beserta reparasinya, sementara bagi pelaku, demi pelurusan sejarah, diberikan amnesti dengan syarat para pelaku memberikan keterangan yang jujur dan meminta maaf selama prosesi hearing yang juga menghadirkan para korban. Disamping amnesti, terdapat pula pengadilan yang berlaku apabila pelaku tidak hendak melalui prosesi amnesti atau apabila permohonan amnesti ditolak. Pengalaman rekonsiliasi dari Afrika Selatan ini dipilih dengan pertimbangan yang demikian, terutama pada prosesnya mengenai reparasi korban.
Studi mengenai pengalaman rekonsiliasi di Chile, Afrika Selatan, berikut dengan instrumen KKR dan RUU KKR di Indonesia akan disajikan dalam bagian selanjutnya.