Reparasi Korban Pelanggaran HAM Berat
E.3. Reparasi Korban Pelanggaran HAM Berat
Definisi mengenai korban diatas menunjukkan lemahnya rekognisi hak dari mereka yang secara mengalami kerugian yang terjadi secara Definisi mengenai korban diatas menunjukkan lemahnya rekognisi hak dari mereka yang secara mengalami kerugian yang terjadi secara
Everyone has the right to effective remedy by the competent national tribunals for acts violating the fundamental rights granted him by the constitution or by the law.
Ketentuan mengenai kewajiban atas pemulihan efektif juga terdapat dalam Pasal 2 ayat 3 Konvensi Sipol: Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji;
a. Menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasanya diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi.
b. Menjamin bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga peradilan, administratif, atau legislatif yang berwenang, atau lembaga berwenang lainya yang diatur oleh sistem hukum Negara tersebut, untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian peradilan.
c. Menjamin, bahwa lembaga yang berwenang tersebut akan melaksanakan penyelesaian demikian apabila dikabulkan
Pasal 14 ayat 1 Konvensi Menentang Penyiksaan juga memberikan pengaturan mengenai pemulihan terhadap korban tindak penyiksaan:
Setiap negara pihak harus menjamin agar dalam sistem hukumnya korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin.Dalam hal korban meninggal dunia akibat tindak penyiksaan, ahli warisnya berhak mendapatkan kompensasi.
Dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power yang memiliki definisi mengenai korban yang luas, menyatakan bahwa hak korban antara lain: diperlakukan dengan penghormatan serta akses kepada keadilan dan pemulihan yang disediakan oleh legislasi (paragraf 4). Hak atas akses yudisial dan administratif yang memberikan pemulihan baik secara formal maupun informal.Tentang proses yudisial dan administratif, dalam paragraf 6 diatur ketentuan sebagai berikut:
1) Informing victims of their role, timing and progress of the proceeding and of the disposition of their cases, especially where serious crimes are involved and where they have requested such information;
2) Allowing the views and concerns of victims to be presented and considered at appropriate stages of the proceedings where their personal intersets are affected, without prejudice to the accused and consistent with the relevant national criminal justice system;
3) Providing proper assistace to victims throughout the legal process;
4) Taking measures to minimize inconvenience to victims, protect their privacy, when necessary, and ensure their safety, as well as that of their families and witnesses on their behalf, from intimidation and retaliation;
5) Avoiding unnecessary delay in the disposition of cases and the execution of orders or decrees granting awards to victims.
Mengenai apa yang disebut sebagai informal diatur dalam paragraf 7: Informal mechanisms for the resolution of disputes, including
mediation, arbitration and customary justice or indigenous practices, should be utilized where appropriate to facilitate conciliation and redress for victims.
Deklarasi mencantumkan pula hak atas restitusi dan rehabilitasi. Untuk hak restitusi, diatur dalam paragraf 8, 9, 10, dan 11 dari deklarasi dan ketentuan kompensasi dalam paragraf 12 dan 13.Restitusi tersebut menurut deklarasi adalah sebagai berikut: Pihak pelaku yang bertanggung jawab atas tindakan mereka, apabila dimungkinkan untuk memberikan restitusi yang layak bagi para korban, keluarga, atau ahli warisnya dalam berbagai bentuk seperti pengembalian properti, ganti rugi atas penderitaan, dan lain sebagainya (paragraf 8). Peninjauan dari pemerintah untuk mengevaluasi restitusi dalam penjatuhan sanksi pidana (paragraf 9).Ganti rugi atas kerusakan lingkungan apabila terjadi kekerasan yang melanggar hak komunitas, sejauh memungkinkan (paragraf 10). Apabila pelakunya adalah pejabat publik atau mereka yang memiliki kapasitas atasnya, korban harus menerima restitusi dari negara yang dapat diturunkan kepada pemerintahan pengganti (paragraf 11).
Kompensasi diberikan oleh negara kepada korban yang mengalami derita yang signifikan atau luka psikologis yang tidak bisa diperbaiki (paragraf 12 a).Kompensasi juga diberikan kepada keluarga yang anggota keluarganya meninggal atau yang mengalami cedera parah baik secara fisik maupun psikis. Penyediaan sumber dana kompensasi tersebut adalah tanggung jawab negara dengan tidak menutup kemungkinan sumber dana lain apabila keuangan negara tidak mencukupi (paragraf 13).
Deklarasi ini mencantumkan pula hak korban secara lebih luas, seperti penyediaan bantuan material, medis, psikis, hak atas informasi dari layanan Deklarasi ini mencantumkan pula hak korban secara lebih luas, seperti penyediaan bantuan material, medis, psikis, hak atas informasi dari layanan
15, 16, 17).Negara juga memiliki kewajiban untuk secara periodik berunding melalui hubungan internasional mengenai korban kejahatan penyalahgunaan kekuasaan, dan berkewajiban untuk mengevaluasi legislasi dan praktik mengenai penyalahgunaan kewenangan politik maupun ekonomi dalam kerangka perlindungan HAM dan pemulihannya bagi korban (Paragraf 19, 20, 21).
Menindaklanjuti deklarasi tentang korban tersebut, PBB menyediakan instrumen internasional dalam Resolusi 60/147 Basic Principles and Guidelinges on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violation of International Human Rights Law and Serious Violations of
International Humanitarian Law 281 pada 16 Desember 2015. Resolusi ini mengatur perihal kewajiban negara dalam memajukan dan menegakkan
HAM, dan pemulihan efektif bagi korban termasuk reparasi didalamnya.
Negara, menurut resolusi ini memiliki kewajiban untuk menghormati instrumen hukum HAM maupun hukum humaniter internasional dengan sumber hukum internasional seperti perjanjian, kebiasaan, dan hukum domestik. Apabila negara belum memenuhi ketentuan tersebut, maka hendaknya untuk segera meratifikasi, mengadopsi instrumen internasional, serta memiliki mekanisme reparasi yang efektif dan terpercaya dan
281 Paragraf tiga dan empat bagian Pembukaan Basic Principles and Guidelinges on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violation of International Human Rights Law and
Serious Violations of International Humanitarian Law Serious Violations of International Humanitarian Law
A person shall be considered a victim regardless of whether the perpetrator of the violation is identified, apprehended, prosecuted, or convicted and regardless of the familial relationship between the perpetrator and the victim.
Hak pemulihan korban dibagi menjadi tiga bagian; akses keadilan yang setara dan efektif, upaya reparasi yang terpecaya dan efektif, dan akses terhadap informasi yang berkaitan dengan pelanggaran dan mekanisme reparasi (Prinsip 11). Mengenai akses terhadap keadilan, tercantum hak-hak sebagai berikut: Informasi baik melalui mekanisme privat maupun publik tentang ketersediaan upaya pemulihan. Sedapat mungkin menekan resiko yang muncul dari intervensi yang dilakukan dengan melawan hukum.Bantuan pada korban untuk akses pada keadilan dan mengupayakan cara-cara diplomatis maupun hukum yang berkaitan dengan pemenuhan hak korban (prinsip 12). Negara harus menyediakan dan mengembangkan prosedur bagi korban untuk melakukan klaim atas reparasi (prinsip 13) dan setiap proses remedi harus berlaku sebagaimana sesuai dengan kaidah ketentuan hukum internasional.Upaya pemulihan kedua yang diatur dalam resolusi ini adalah reparasi. Prinsip 15 dalam resolusi ini menyatakan:
Adequate, effective and prompt reparation is intended to promote justice by redressing gross violations of international human right law or serious violations of international humanitarian law. Reparation should be proportional to the gravity of the violations and the harm suffered. In accordance, with its domestic laws and international legal obligations, a State shall provide reparation to victims for acts or omissions which can be attributed to the State and constitute gross violations of international human rights law or serious violations of international humanitarian law. In cases where a person, a legal person, or other entity is found liable for reparation to a victim, such party should provide reparation to the victim or compesate the State if the State has already provided reparation to the victim.
Berdasarkan ketentuan prinsip 15 diatas, titik berat utama dari prinsip tersebut adalah mengenai hak korban. Jadi, sejauh telah ditetapkan melalui mekanisme hukum bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat, kewajiban pertama-tama dari negara adalah dengan memberikan reparasi. Baru kemudian apabila kelak pelakunya ditemukan, atau telah diputus bersalah, dan dengan kondisi tertentu, pelaku tersebut membayar kepada negara atas reparasi yang telah dilakukan oleh negara. Reparasi tersebut harus dilakukan sebagai program nasional (prinsip 16), dilakukan dalam kerangka hukum yang sah menurut hukum nasional (prinsip 17). Ketentuan perihal reparasi ini dibagi dalam beberapa kategori:
1. Restitusi: mengembalikan keadaan seperti semula sebelum pelanggaran HAM berat terjadi. Termasuk dalam restitusi adalah pengembalian kebebasan, penikmatan HAM, identitas, keluarga dan kewarganegaraan, pengembalian tempat tinggal, status kerja, dan pengembalian properti.
2. Kompensasi: Menyediakan ganti rugi secara ekonomi untuk kerusakan tertentu karena pelanggaran HAM berat. Kriteria untuk timbulnya kompensasi adalah: kerusakan secara fisik atau psikis, hilangnya kesempatan kerja, pendidikan, maupun kedudukan sosial lainya, kerusakan secara materiil termasuk didalamya potensi pendapatan ekonomi, kerusakan moral,biaya yang dikeluarkan untuk bantuan profesional, obat-obatan, perawatan medis, dan layanan sosial.
3. Rehabilitasi : Layanan medis dan psikologis, juga layanan sosial dan hukum.
4. Pemuasan : pemuasan ini memiliki ruang lingkup yang luas mengenai pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu dan masa depan. Termasuk dalam pemuasan adalah; pengambilan tindakan untuk pencegahan pelanggaran HAM terulang, pelurusan sejarah tanpa kekerasan, pencarian terhadap penghilangan paksa, pemakaman ulang, pernyataan publik atau putusan yudisial tentang pemulihan korban, permohonan maaf secara publik yang disertai dengan pemaparan fakta-fakta dan tanggung jawab, sanksi yudisial maupun administrasi atas pelanggaran yang terjadi, peringatan atau seremoni untuk korban, dan edukasi atas pelanggaran HAM berat yang terjadi untuk semua tingkat pendidikan.
5. Jaminan ketidakberulangan : Jaminan untuk tidak terulang pada masa yang akan datang ini adalah; kontrol sipil atas militer dan 5. Jaminan ketidakberulangan : Jaminan untuk tidak terulang pada masa yang akan datang ini adalah; kontrol sipil atas militer dan
Bentuk remedi yang ketiga adalah akses terhadap informasi yang terkait dengan pelanggaran dan reparasi. Untuk semua tingkat reparasi maupun dalam rangka yudisial (paragraf 24). Korban juga memiliki hak untuk mengakses bentuk pelanggaran dan sebab-sebab penderitaan yang menimpa dirinya.
Dalam konteks pelanggaran HAM Berat di Indonesia, terdapat beberapa perangkat pengaturan yang dapat dibagi menjadi dua kriteria. Kriteria tersebut muncul berangkat dari perbedaan definisi mengenai korban yang digunakan dalam hukum nasional dan hukum internasional. Dalam hukum internasional, sebagaimana tercantum dalam Declaration for Victims of Crime and Abuse of Power apa yang disebut sebagai korban adalah mereka yang mengalami penderitaan akibat adanya pelanggaran terhadap HAM yang fundamental tanpa perlu adanya pelaku. Sementara dalam pengaturan UU 26/2000, definisi korban bergantung pada pencantumannya dalam amar putusan. Konsekuensi dari hal tersebut adalah bahwa hak-hak korban itu memerlukan terlebih dahulu adanya pelaku yang telah diputus secara inkracht. Kriteria pertama adalah hak-hak yang muncul selama proses persidangan, yang dalam hal ini berarti berstatus sebagai saksi.
Selanjutnya adalah hak yang muncul setelah adanya putusan yang menyatakan bahwa orang atau kelompok orang tersebut adalah korban sehingga menimbulkan hak-hak pemulihan.
Pengertian mengenai saksi dan korban pelanggaran HAM Berat tidak terdapat dalam UU 26/2000. Akan tetapi UU 26/2000 mengatur soal hak bagi saksi dan korban, yaitu melalui Pasal 34:
(1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Mengenai hak yang muncul setelah persidangan, pengadilan dapat mencamtumkan kewajiban reparasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 35:
(1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
(2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM.
(3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah.
Berdasarkan ketentuan diatas maka saksi dan korban mendapat perlindungan selama proses tahapan hukum. Pengadilan juga dapat memutuskan kewajiban untuk memberikan reparasi pada korban dalam amar putusanya. Definisi mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi dalam UU 26/2000 dapat dilihat dalam bagian Penjelasan Pasal 35 yang menyatakan:
(1) Yang dimaksud dengan “kompensasi” adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
(2) Yang dimaksud dengan “restitusi” adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi berupa:
a) Pengembalian harta milik;
b) Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan penderitaan; atau
c) Penggantian biaya untuk tindakan tertentu. (3) Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah, pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.
Pengaturan lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap saksi dan korban sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UU 26/2000 diatur dalam PP 2/2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. PP 2/2002 mengatur bahwa korban dan saksi berhak atas perlindungan dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan yang bertujuan menghalangi secara langsung maupun tidak langsung pemberian keterangan dalam setiap proses tahapan hukum.
Pengaturan perihal perlindungan saksi dan korban berikut hak-hak atasnya tersebut juga terdapat dalam Pasal 5 UU 13/2006 yang menyatakan saksi dan korban berhak atas:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikanya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Mendapatkan identitas baru; i. Mendapatkan identitas baru;
kebutuhan; l. Mendapat nasihat hukum; dan/atau m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir. Terkhusus untuk perlindungan korban HAM berat, diatur secara lebih
rinci dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU a quo. Pasal 6 menyatakan: Korban dalam Pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain
berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan:
a. Bantuan medis; dan
b. Bantuan rehabilitasi psiko-sosial Tentang kompensasi dan restitusi diatur dalam Pasal 7 UU 13/2006: (1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan
berupa:
a. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b. Hak atas restitusi atau kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
(2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan pemerintah.
Untuk reparasi atas hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU 26/2000, disamping diatur dalam Pasal 7 UU 13/2006, juga diatur lebih lanjut dalam PP 3/2002tentang Kompensasi, Restitusi dan rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Pengertian Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam PP ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 4,5, dan 6 adalah:
(4) Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
(5) Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa (5) Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa
(6) Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.
Akan tetapi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ketentuan mengenai pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana disebutkan diatas masih merupakan satu kesatuan dengan peraturan induknya, yaitu UU 26/2000. Hal ini disebutkan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 PP 3/2002. Pasal 3 angka 1 dan 2 mengatur perihal rehabilitasi dan kompensasi, menyatakan:
1. Instansi Pemerintah terkait bertugas melaksanakan pemberian kompensasi dan rehabilitasi berdasarkan putusan Pengadilan HAM yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Dalam hal kompensasi dan atau rehabilitasi menyangkut pembiayaan dan perhitungan keuangan negara, pelaksanaanya dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Untuk Restitusi, diatur dalam Pasal 4 PP 3/2002, yang menyatakan: Pemberian restitusi dilaksanakan oleh pelaku atau pihak ketiga
berdasarkan perintah yang tercantum dalam amar putusan Pengadilan HAM.
Berdasarkan ketentuan diatas dapat dilihat bahwa bertumpu pada UU 26/2000, hak korban pelanggaran HAM berat baru dapat dilaksanakan apabila tercantum dalam amar putusan yang bersifat inkracht, baik dalam hal kompensasi, rehabilitasi, maupun restitusi. Apabila dibandingkan dengan instrumen hukum internasional seperti Declaration for Victims of Crime and Abuse of Power maupun Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Right Law and Serious Violations of International
Law, ketentuan pemenuhan hak pemulihan korban sebagaimana tercantum dalam UU 26/2000 masih belum berperspektif pada korban. Sementara ketentuan internasional, apabila satu peristiwa telah ditetapkan sebagai Pelanggaran HAM berat, maka langkah pertama-tama yang harus dilakukan adalah pemenuhan hak korban oleh negara, baik pelaku sudah ditemukan, didakwa, diputus, atau belum. Apabila kelak ditemukan pelaku dan diputus bersalah oleh pengadilan, barulah pelaku membayar ganti rugi kepada negara sebagaimana negara mengganti kepada korban.
Konsekuensinya, sejauh diatur dalam UU 26/2000, UU 13/2006, PP 2/2002, PP 3/2002, apa yang disebut korban hanya mendapatkan sebagian hak saja, yaitu hak untuk menyampaikan keterangan dihadapan pengadilan dengan aman, atau pada tiap proses hukum yang lain. Sementara untuk hak pemulihan seperti reparasi, rehabilitasi dan restitusi memerlukan pengadilan HAM yang memerlukan adanya pelaku dan dicantumkanya kewajiban reparasi dalam amar putusan. Maka apa yang disebut sebagai korban disini tidaklah sepenuhnya korban, melainkan saksi, sebagaimana salah satu definisi saksi dalam aturan-aturan diatas adalah orang atau kelompok yang mengalami sendiri . Mengalami sendiri penderitaan dan kerugian sebagai saksi, bukan korban.
Perihal lain yang tidak diatur secara eksplisit dalam perangkat HAM di Indonesia adalah kewajiban pemuasan dan jaminan ketidakberulangan. Dua jenis reparasi ini sesungguhnya penting karena menandakan pengakuan pemerintah terhadap kekejaman yang dilakukan oleh rezim yang lama, Perihal lain yang tidak diatur secara eksplisit dalam perangkat HAM di Indonesia adalah kewajiban pemuasan dan jaminan ketidakberulangan. Dua jenis reparasi ini sesungguhnya penting karena menandakan pengakuan pemerintah terhadap kekejaman yang dilakukan oleh rezim yang lama,