Definisi Korban dalam Pelanggaran HAM Berat
E.2. Definisi Korban dalam Pelanggaran HAM Berat
UU 26/2000 tidak hanya memiliki akibat hukum bagi pelaku saja, melainkan juga kepada korban.Kelemahan dari UU 26/2000 ini, dalam UU 26/2000 tidak hanya memiliki akibat hukum bagi pelaku saja, melainkan juga kepada korban.Kelemahan dari UU 26/2000 ini, dalam
(1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
(2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.
(3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Pasal tersebut mengatur pengakuan kedudukan korban dan reparasi
atasnya, dimana reparasi tersebut dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.Jadi, berdasarkan UU 26/2000, posisi korban adalah bergantung dari pengakuan pengadilan terhadap pelaku.Rumusan kata dapat dalam Pasal 35 ayat (1) berpotensi membuat tafsir bahwa reparasi hak para korban tidaklah bersifat wajib, melainkan pilihan saja. Selain itu dapat dikatakan pula bahwa reparasi hanya dapat diberikan apabila sebelumnya telah berlangsung Pengadilan dan terdapat Putusan yang bersifat inkraht, maka tidak ada reparasi sebelum ada pengadilan HAM yang menentukan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat dan memutus perihal reparasi hak. Pasal 35 ini tampaknya berlaku baik dalam Pengadilan HAM ad hoc maupun Pengadilan HAM biasa mengingat tidak adanya ketentuan lain mengenai reparasi selain yang tercantum dalam Pasal 35. Hal tersebut atasnya, dimana reparasi tersebut dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.Jadi, berdasarkan UU 26/2000, posisi korban adalah bergantung dari pengakuan pengadilan terhadap pelaku.Rumusan kata dapat dalam Pasal 35 ayat (1) berpotensi membuat tafsir bahwa reparasi hak para korban tidaklah bersifat wajib, melainkan pilihan saja. Selain itu dapat dikatakan pula bahwa reparasi hanya dapat diberikan apabila sebelumnya telah berlangsung Pengadilan dan terdapat Putusan yang bersifat inkraht, maka tidak ada reparasi sebelum ada pengadilan HAM yang menentukan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat dan memutus perihal reparasi hak. Pasal 35 ini tampaknya berlaku baik dalam Pengadilan HAM ad hoc maupun Pengadilan HAM biasa mengingat tidak adanya ketentuan lain mengenai reparasi selain yang tercantum dalam Pasal 35. Hal tersebut
Ketentuan mengenai definisi korban juga dapat ditemukan dalam perangkat pengaturan lain. UU 13/2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa korban adalah:
Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Peraturan Pemerintah No. 2/2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, yang merupakan turunan dari UU 26/2000, menyatakan dalam Pasal
1 angka 2 korban adalah: Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
Peraturan Pemerintah No.3/2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat memiliki rumusan definisi korban yang berbeda. Pasal 1 angka 3 menyatakan:
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
Dalam konteks pelanggaran HAM Berat, pengertian-pengertian korban yang berbeda-beda tersebut, meski tertuang bahwa unsur disebut Dalam konteks pelanggaran HAM Berat, pengertian-pengertian korban yang berbeda-beda tersebut, meski tertuang bahwa unsur disebut
Pengertian korban, menurut UU 26/2000 dengan demikian melupakan bahwa secara de facto telah terdapat korban yang hak-haknya telah dirampas dan
kewajiban untuk memulihkanya.Sebagai pembanding, rumusan definisi korban yang diatur dalam UU 26/2000 tersebut hanya memiliki pengertian yang sempit saja apabila dibandingkan dengan definisi korban yang terdapat dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power. Berdasarkan deklarasi tersebut yang dimaksud sebagai korban kejahatan adalah:
“Victims” means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power.
Lebih lanjut, pengertian dari korban tersebut adalah lepas dari adanya pelaku baik tidak teridentifikasi, belum dituntut maupun diputus;
A person may be considered a victim, under this Declaration, regardless of whether the perpetrator is identified, apprehended, prosecuted or convicted and regardless of the familial relationship between the perpetrator and the victim. The term “victim” also includes, where appropriate, the immediate family or dependatns of the direct victim and persons who suffered harm in intervening to assist victims in distress or to prevent victimization.
Definisi korban penyalahgunaan wewenang dalam deklarasi ini juga mencantumkan bahwa meskipun suatu tindakan berada dalam payung hukum yang sah, namun apabila melanggar ketentuan HAM yang diyakini secara internasional, maka mereka yang terkena dampak dari kebijakan tersebut dan terampas haknya adalah juga merupakan korban:
“Victims” means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that do not yet constitute violations of national criminal laws but of internationally recognized norms relating to human rights.
Pengertian korban dalam deklarasi diatas memiliki sifat yang lebih luas, antaralain dengan menitikberatkan hak-hak fundamental yang hilang, dengan tidak memerlukan bahwa tindakan tersebut telah teridentifikasi atau dituntut atau diputus pelakunya, juga bahwa hukum negara sekalipun adalah merupakan penyalahgunaan kekuasaan apabila mengakibatkan hilangnya hak-hak fundamental, keduanya berlaku baik melalui tindakan aktif maupun kelalaian negara. Disamping memiliki pengertian yang lebih luas, deklarasi tersebut sebagaimana pula terdapat dalam UDHR memiliki sikap universal yang mengatasi posisi hukum nasional sebagaimana terdapat dalam frasa
“do not yet constitute violations of national criminal laws but of internationally recognized norms relating to human rights. ” Dua pihak yang saling berhadapan dan saling tarik menarik disini adalah; norma universal dan kekuasaan de facto negara atas siapa yang disebut korban itu.
Dalam praktiknya, keduanya berada dalam posisi yang sangat bergantung dari konteks politik masing-masing negara. Beberapa pengadilan pidana internasional, dimana biasanya kekuatan politik hukum internasional telah masuk dan mengalahkan rezim nasional, yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum internasional. Jadi dapat dikatakan bahwa penguasaan kondisi politik secara de facto menentukan nilai universalitas dari apa yang disebut sebagai hak fundamental, dan pengertian korban itu sendiri.
Ketentuan mengenai reparasi dalam hukum nasional agaknya dapat disimpangi dengan menggunakan instrumen lain yang juga tersedia dalam UU a quo, yaitu melalui UU KKR. Bagian lebih detil dari KKR tersebut akan dibahas dalam bagian lain tulisan ini namun cukup dimengerti disini bahwa melalui UU KKR, seharusnya turut menentukan alur penyelesaian Pelanggaran HAM berat masa lalu dan memberikan model reparasi yang berbeda pula.