Beberapa Upaya Menghapus Diskriminasi Hukum.
B.2. Beberapa Upaya Menghapus Diskriminasi Hukum.
Setelah Reformasi, meskipun belum terdapat satu kebijakan yang melingkupi secara nasional, telah terdapat beberapa upaya dalam hal reparasi, baik untuk hak sipol maupun hak keperdataan. Selama masa transisi setelah Orde Baru, perubahan struktur ketatanegaraan dan naiknya wacana demokrasi membuka ruang bagi sarana rekognisi hak, yaitu melalui peninjauan kembali Mahkamah Konstitusi. Pada masa ini, meski Soeharto telah jatuh, peraturan- peraturan diskriminatifnya masih berlaku. Diantaranya adalah masih tidak adanya hak politik bagi para tapol, juga pengamanan masa transisi yang dilakukan dengan disahkanya UU 27/1999 dan TAP I/MPR/2003 yang berarti masih mempertahankan legitimasi atas pelarangan ideologi. Kebijakan hukum yang lama
351 Ibid hlm 93 351 Ibid hlm 93
Pada Oktober 2002, LPR-KROB mengirimkan surat kepada Mahkamah Agung untuk melakukan pertemuan, Mahkamah Agung memberikan jawaban. Pada pertemuan tersebut, Ketua Mahkamah Agung (MA), Bagir Manan, mengusulkan kepada tim advokasi untuk mengajukan surat permohonan rehabilitasi kepada MA untuk kemudian akan disampaikan pada Presiden. Gayung bersambut, dua belas lembaga advokasi menyetujui usulan tersebut, dan melayangkan surat kepada MA. Akhirnya, 12 Juni 2003 MA mengeluarkan Surat No. KMA/403/2003 yang isinya merupakan rekomendasi kepada Presiden
Megawati Soekarnoputri untuk melakukan Rehabilitasi. 352 Tidak berselang lama, bulan Agustus Komnas HAM juga mengeluarkan surat kepada Presiden mengenai
rehabilitasi dan peraturan diskriminatif yang yang harus segera dicabut. DPR pada
352 Bagian menimbang paragraf 3-4 dalam surat itu Mahkamah Agung menyatakan: Menimbang bahwa, Mahkamah Agung banyak menerima surat-surat baik dari
perorangan maupun dari berbagai kelompok masyarakat yang menyatakan diri sebagai korban Orde Baru, yang pada pokoknya mengharapkan agar memperoleh rehabilitasi.
Menimbang bahwa, wewenang memberikan rehabilitasi tidak ada pada Mahkamah Agung, karena hal tersebut merupakan hak prerogatif yang ada pada saudara Presiden.
Menimbang bahwa, sekalipun demikian dengan dilangadsi keinginan untuk memberikan penyelesaian dan kepastian hukum yang sama, serta didorong oleh semangat rekonsiliasi bangsa kita, maka Mahkamah Agung dengan ini memberikan pendapat dan mengharapkan Saudara Presiden untuk mempertimbangkan dan mengambil langkah- langkah konkrit ke arah penyelesaian tuntutan yang sangat diharapkan tersebut.
bulan Juli, juga bersurat kepada Presiden mengenai permohonan rehabilitasi. 353 Sayangnya, langkah progresif dari Mahkamah Agung tersebut tidak mendapatkan
tanggapan dari Presiden, yang memiliki kewenangan prerogatif dalam hal pemberian rehabilitasi.
Perjuangan hak politik dilakukan pada tahun 2003, melalui judicial review Pasal 60 huruf g UU 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, 354 Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Mahkamah Konstitusi (MK). Seluruh pemohon adalah mantan tahanan
politik 1965 yang memberi kuasa pada LBH Jakarta. Pasal yang dimohonkan tersebut menurut para pemohon bertentangan dengan Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28
D ayat (1), Pasal 28 D ayat (3) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, yaitu dengan tidak memberikan hak politik bagi para mantan tahanan politik. Pasal tersebut sesungguhnya sedari awal memang sudah dilematis. Fraksi PDI-P menolak adanya pasal tersebut, sementara PKB dan PPP sepakat sebagian, yaitu frasa yang tidak terlibat langsung dalam G30S/PKI saja, sedangkan Fraksi TNI/Polri, yang pada waktu itu masih memiliki kursi di DPR, menginginkan pasal tersebut ada
secara utuh. 355 Pihak pemerintah memberikan penjelasan yang pada intinya menyatakan bahwa sesuai dengan TAP XXV/MPRS/1966, PKI dan komunisme
adalah ajaran terlarang yang berbahaya.
353 Surat Komnas HAM Nomor 147/TUA/VIII/2003 tentang Rehabilitasi Terhadap korban G.30.S/PKI, Surat DPR-RI Nomor KS.02/3947/DPR-RI/2003 tentang Tindak Lanjut Surat
Mahkamah Agung. 354 Larangan menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota terhadap:
Bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G.30.S/PKI atau organisasi terlarang lainya.
355 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-1/2003 hlm 16
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 60 huruf
g UU 12/2003 tersebut bersifat diskriminatif, yang bertentangan tidak saja dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Selain itu MK juga menggunakan argumen bahwa Pasal 3 ayat (3) UU 39/1999 tidak membenarkan diskriminasi dalam bentuk apapun. 356 MK dalam bagian menimbang juga merujuk pada ketentuan hukum internasional, yaitu Article 21
UDHR 1948, 358 Article 25 ICCPR, dan menyatakan bahwa TAP XXV/MPRS/1966 hanya berlaku pada larangan penyebaran paham atau ajaran
tidak berkaitan dengan hak pilih baik aktif maupun pasif. 359 Dalam putusanya, MK mengabulkan gugatan pemohon dan menyatakan Pasal 60 huruf g UU
12/2003 tidak memiliki kekuatan hukum. 360
356 Pasal 3 ayat (3) UU 39/1999: Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia, tanpa
diskriminasi. 357 Article 21 UDHR:
1. Everyone has the right to take part in the government of his country, directy or through freely chosen representatives.
2. Everyone has the right of equal access to public service in his country. 3. The will of people shall be the basis of the authority of government; this will sall be
expressed in periodic and genuine elections which shall be by universal and equal suffrage and sahall be held by secret vote or by equivalent free voting procedures.
358 Article 25 ICCPR: Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of the distinctions
mentioned in article 2 and without unreasonable restrictions: a. To take part in the conduct of public affairs, directly or through freely chosen representatives.
b. To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the will of the electors;
c. To have access, on general terms of equality, to public service in his country; 359 Op Cit Putusan MK 011-017/PUU-1/2003 hlm 36
360 Terdapat dissenting opinion dari Hakim Achmad Roestandi. Menurutnya, meski menyimpangi HAM, namun ketentuan dalam pasal tersebut adalah konstitusional, dan dengan pertimbangan
bahwa pelarangan tersebut bersifat situasional, dan bahwa sifat peraturan dari para mantan anggota PKI telah melunak secara bertahap sehingga kebijakan mengenai perlakuan terhadap mantan anggota PKI maupun organisasi lainya adalah kewenangan dari legislatif.
Aspek penting dalam putusan ini adalah pendapat MK mengenai diskriminasi, bahwa perorangan bekas anggota PKI maupun organisasi lain harus diperlakukan sama. Aspek kedua adalah penggunaan instrumen hukum internasional dalam pertimbanganya dimana pada saat itu ICCPR belum diratifikasi dalam sistem perundangan Indonesia. Aspek lain adalah pendapat MK mengenai penghukuman yang hanya dapat diberikan setelah adanya putusan pengadilan hukum yang tetap, hal tersebut tercantum dalam satu bagian pertimbanganya yang menyatakan:
Menimbang bahwa dari sifatnya, yaitu pelarangan terhadap kelompok tertentu warga negara untuk mencalinkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 60 huruf g jelas mengandung nuansa hukuman politik kepada kelompok sebagaimana dimaksud. Sebagai negara hukum, setiap pelarangan yang mempunyai kaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara harus didasarkan atas putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap; 361 Kasus mencolok lain adalah gugatan TUN Nona Nani Nurani kepada
Kepala Pemerintahan Kecamatan Koja Jakarta Utara. Penggugat adalah mantan penari Istana dimasa pemerintahan Presiden Soekarno yang karena peristiwa 1965, penggugat ditangkap karena pernah sekali menyanyi di acara ulang tahun PKI Juni 1965, mendapat stigma sebagai anggota PKI dan dimasukkan penjara tanpa pengadilan. Penggugat ditahan selama tujuh tahun dan baru dibebaskan pada tahun 1975. 362
361 Op Cit Putusan MK 011-017/PUU-1/2003 hlm 35-36 362 http://lama.elsam.or.id/article.php?id=1667&lang=in#.Vjg7kdIrLIU diakses tanggal 15 Oktober 2015.
Penggugat mengajukan gugatan atas tidak dikeluarkanya KTP seumur hidup Lurah Rawa Badak Utara, yang seharusnya menurut Perda DKI No.1 1996 berhak atas KTP seumur hidup karena telah berusia lebih dari 60 tahun. Tergugat tidak memberikan KTP seumur hidup dengan alasan Surat Perintah Kepala Teperda Jaya Laksus Pangkopkantib No.40/III/1976, kemudian Inmendagri 32/1981 yang menyatakan bahwa penggugat adalah termasuk dalam anggota eks Tapol berdasarkan data Kopkamtib, dilanjutkan dengan Inmendagri 10/1997, dan perintah Sekkodya dalam surat No. 2436/77.7 tanggal 20 September 2000, ketentuan TAP XXV/MPRS/1966 jo Kepmendagri 24/1991. Inmendagri No. 10/1997, dan Perda DKI 1/1996 tentang pengecualian KTP bagi WNI yang
terlibat langsung maupun tidak langsung dengan Organisasi Terlarang. 363 PTUN Jakarta memutuskan mengabulkan seluruh permohonan penggugat, membatalkan
tindakan tergugat dan memerintahkan tergugat untuk mencabut KTP yang diterbitkan dan menerbitkan KTP seumur hidup untuk penggugat. 364 Pada salah
satu bagian pertimbanganya, majelis hakim menyatakan:
Bahwa benar sesuai azas hukum: Seseorang tidak dapat dianggap bersalah apabila tidak ada peradilan yang adil, jujur, terbuka yang menyatakan kesalahannya in casu sampai dengan saat gugatan ini disidangkan tidak
363 Putusan PTUN Jakarta No 60/G.TUN/2003/PTUN-JKT hlm 20-22 364 Putusan No. 60/G.TUN/2003/PTUN JKT jawaban tergugat mengacu pada peraturan yang pada intinya memberikan pengecualian terhadap ketentuan KTP seumur hidup bagi penduduk berusia
60 tahun keatas yang dinyatakan terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan organisasi terlarang. Pasal 2 Kepmendagri 24/1991:
Jangka waktu Kartu Tanda Penduduk seumur hidup sebagaimana dimaksud Pasal 1 tidak diberlakukan bagi Warga Negara Indonesia yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dengan Organisasi Terlarang (OT)
Pasal 25 ayat (2) Perda DKI Jakarta No.1/1996: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, hanya berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal tetap dan tidak terlibat langsung atau tidak langsung dengan Organisasi Terlarang.
terdapat putusan peradilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan Penggugat bersalah terlibat G 30 S/PKI atau organisasi terlarang lainya.
(…) yang menentukan bahwa jangka waktu KTP seumur hidup sebagaimana dimaksud Pasal 1 tidak berlaku bagi WNI yang terlibat langsung atau tidak langsung dengan organisasi terlarang, ketentuan mana dijabarkan dalam Pasal 25 ayat (2) Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 1996 yang menentukan bahwa KTP seumur hidup hanya berlaku bagi WNI yang bertempat tinggal tetap dan tidak terlibat langsung atau tidak langsung dengan organisasi terlarang sebagai dalil harus dikesampingkan dengan alasan bahwa telah terbukti dipersidangan tidak terdapat putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan kesalahan Penggugat sebagai orang yang terlibat langsung atau tidak langsung suatu organisasi terlarang ataupun terlibat kegiatan G
30 S/PKI; Menimbang, bahwa tindakan penguasa pada masa lalu menangkap,
menahan Penggugat selama 7 tahun tanpa proses sidang Pengadilan yang bebas tidak memihak dan terbuka untuk umum sebagai tindakan sewenang-wenang dan termasuk dalam katagori pelanggaran Hak Asasi
Manusia; 365 Putusan ini dikuatkan melalui Pengadilan tingkat banding dan tingkat
kasasi. 366 Terdapat dua aspek penting dalam putusan tersebut, pertama adalah bahwa pengadilan melihat fakta belum ada putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap mengenai kesalahan tergugat. Aspek kedua adalah bahwa penggunaan lex spesialis derogat lex generalis oleh tergugat antara UUD 1945, UU 39/1999 dengan Kepmendagri 24/1991 dan Perda DKI Jakarta No. 1/1996 adalah tidak sesuai dengan asas hukum, lex superior derogat lex inferior dimana terlebih setelah adanya amandemen kedua UUD 1945 dan UU 39/1999, seluruh peraturan yang bertentangan dengan itu adalah batal demi hukum. 367 . Selain itu,
365 Ibid hlm 38 366 Lihat Putusan MA No 400 K/TUN/2004 hlm 11 dalam putusan ini MA melihat tergugat yang
menjadi pemohon banding dan pemohon Kasasi telah melewati tenggat waktu pengajuan Kasasi. 367 Bagian menimbang Putusan PTUN Jakarta No 60/G.TUN/2003/PTUN-JKT hlm 41 menyatakan:
Bahwa benar sebagai negara anggota masyarakat dunia yang bermartabat apalagi setelah amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang secara konstitusional Bahwa benar sebagai negara anggota masyarakat dunia yang bermartabat apalagi setelah amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang secara konstitusional
Nona Nani Nurani melanjutkan gugatan atas diskriminasi yang dialaminya secara keperdataan. Nona Nani Nurani menggugat Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Presiden. Gugatan diajukan atas dasar kerugian yang ditimbulkan dari penahanan sewenang-wenang, intimidasi, diskriminasi dan menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah Perbuatan Melawan Hukum terhadap asas-asas hukum, nilai-nilai HAM universal, Konstitusi, dan berbagai
peraturan lain. 368 Jumlah ganti rugi yang diajukan adalah sebesar Rp. 7.463.640.000 secara materiil dan Rp. 30.091.965 atas kerugian imaterril yang
dialami. Pihak tergugat tidak memberikan tanggapan dari gugatan tersebut, hanya saja, meskipun majelis hakim mengakui bahwa perbuatan yang digugat adalah merupakan PMH, namun majleis berpendapat bahwa permasalahan utama adalah
mengenai kewenangan absolut pengadilan negeri dalam mengadili perkara. 369
memberikan perlindungan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia dan diundangkanya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, maka seharusnya segala peraturan perundang-undangan yang ada yang bertentangan dengan konstitusi dan udndang- undang harus dinyatakan batal demi hukum, dan secara administrasi seharusnya Pejabat Tata Usaha Negara tidak terkecuali Tergugat harus mampu mereformasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sesuai dengan kewenangan yang ada padanya dengan menghormati Hak Azasi Manusia; apalagi hal tersebut diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatanya;
368 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 439/Pdt.G/2011/PN.JKT.PST hlm 8 369 Bagian menimbang dalam ibid hlm 39:
Menimbang, bahwa setelah majelis memperhatikan dengan seksama uraian posita dan petitum, serta pihak dalam gugatan yang ditujukan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang dalam hal ini di wakili oleh Presiden, yang pada intinya bahwa tergugat
Majelis menyatakan bahwa gugatan yang diajukan kepada Pemerintah seharusnya masuk dalam kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara karena yang dilakukan adalah merupakan kebijakan selaku pejabat negara dan bukan merupakan tanggung jawab yang dimaksud oleh PMH secara perdata. Perlakuan terhadap yang dituduh terlibat dari G30S/PKI adalah merupakan penjabaran dari
Tap XXV/MPRS/1966. 370 Dengan demikian, dalam putusanya PN Jakarta Pusat menyatakan tidak berwenang mengadili.
Kasus selanjutnya adalah gugatan terhadap peraturan diskriminatif, salah satunya terhadap Keputusan Presiden 28/1975 tentang Perlakuan Mereka yang Terlibat G30S/PKI Golongan C. 371 Permohonan pengujian pertama adalah pada tahun 2007, dilayangkan dengan latar belakang banyak pegawai PNS yang kehilangan pekerjaan dikarenakan peristiwa 1965 dan ketidakjelasan status hak pensiun dimana pemecatan tersebut adalah sewenang-wenang dan tanpa adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap yang kemudian dilegalkan dengan Keppres 28/1975 dan Keputusan Pangkopkamtib No.Kep- 03/Kopkam/VII/1975. Akan tetapi pada masa itu, permohonan peninjauan
telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yakni melakukan penahanan terhadap penggugat tanpa melalui proses peradilan, tindakan diskiminasi dan stigmatisasi, pelanggaran terhadap asas-asas hukum, nilai-nilai Hak Azasi Manusia yang merupakan nilai universal, Konstitusi Republik Indonesia sebagai dasar hukum di Indonesia dan berbagai peraturan perundangan, Menimbang bahwa dihubungkan dengan masalah Yurisdiksi sebagaimana diuraikan diatas apakah gugatan Penggugat tersebut termasuk Yurisdiksi Pengadilan Negeri?
370 Ibid hlm 40 371 Keppres 28/1975 ini mengatur perihal penggolongan pegawai yang diduga terlibat baik langsung maupun tidak langsung dengan peristiwa 1965.Pasal 4 menyatakan Golongan C1 diberhentikan dengan tidak hormat, sementara golongan C2 dan C3 dikenakan tindakan administratif. Keppres tersebut bagaimanapun tidak mengatur perihal bagaimana penggolongan dan klasifikasi berat-ringanya keterlibatan melalui keputusan pengadilan. Satu-satunya patokan dari klasifikasi tersebut adalah dari Pasal 3, yaitu penggolongan yang diperoleh dari pembebasan masa tahanan.
kembali terhalang oleh Pasal 2 ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/2004 yang mengatur perihal tenggat waktu peraturan yang diajukan, yaitu 180 hari
sehingga MA menolak peninjauan kembali. 372
Pada tahun 2011, kelompok pegiat HAM dan para korban kembali mengajukan uji materiil. Berbeda dari permohonan judicial review sebelumnya, ketentuan mengenai batas tenggat waktu dalam Perma telah dicabut, sehingga memungkinkan pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian materiil. 373
Latar belakang pengajuan gugatan adalah peristiwa 1965 mengakibatkan perampasan hak yang besar, yang menyangkut HAM berat, hak sipol, maupun hak ekosob, melalui kesewenangan negara dan tanpa penggunaan proses hukum. Salah satu akibatnya adalah pemberhentian secara sewenang-wenang tanpa proses hukum, yang kemudian dilegalkan melalui peraturan diskriminatif, yaitu Keppres RI No.28/1975 dan dilanjutkan dengan Keputusan Pangkopkamtib No. Kep.
03/Kopkam/VII/1975 yang mengakibatkan hilangnya hak pensiun. 374
Pemohon menyatakan bahwa objek gugatan bertentangan dengan asas hukum yang lebih tinggi, diantaranya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum. Objek gugatan juga melanggar nehara hukum.
372 Putusan Mahkamah Agung No. 25 P/HUM/2007 373 Pasal 11 Peraturan Mahkamah Agung No. 1/2004 Tentang Hak Uji Materiil:
Permohonan keberatan diajukan dalam tenggat waktu 180 (seratu delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Digantikan melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 1/2011 tentang Hak Uji Materi dalam Pasal 11 menyatakan: Pada saat mulai berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahu 1993, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1999 dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil dinyatakan tidak berlaku. 374 Putusan Mahkamah Agung No. 33 P/HUM/2011 hlm 14
Bahwa Keppres 28/1975 melanggar asas materi muatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang diatur dalam Pasal 6 UU 10/2004 yaitu asas pengayoman, asas kemanusiaan, asas keadilan, asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Pada tingkat UUD 1945, Keppres melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 I ayat (2), pada tingkat UU bertentangan dengan Pasal 6 dan Pasal 7 UU 48/2009, dengan Pasal 23 UU 43/1999, Pasal 17 UU 39/1999, Pasal 17 UU 39/1999, Pasal 26 konvensi sipol (ratifikasi UU 12/2005), dan termasuk pula Putusan MK No. 011- 017/PUU-IV/2003, Keppres 32/2000.
MA memutuskan bahwa Keppres 28/1975 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D ayat (3) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, Pasal 6 dan Pasal 7 UU 48/2009, Pasal 23 UU 43/1999, Pasal 17 UU 39/1999, dan Pasal 26 Konvensi Sipol melalui ratifikasi dalam UU 12/2005 dan menyatakan bahwa Keppres 28/1975 beserta seluruh peraturan dibawahnya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga batal dan tidak berlaku umum. MA juga memerintahkan kepada Presiden untuk mencabut Keppres
tersebut. 375 Presiden Yudhoyono pada saat itu tidak menjalankan perintah MA untuk mencabut Keppres 28/1975. Mengenai kejelasan dari status Keppres a quo,
pada tahun 2013, sekelompok pemohon dengan latar belakang PNS yang tidak jelas statusnya karena Keppres 28/1975 juga kembali mengajukan permohonan peninjauan kembali atas objek peraturan yang sama, dan menyatakan bahwa karena telah ada peninjauan kembali sebelumnya, maka permohonan dinyatakan
375 Ibid hlm 34-35 375 Ibid hlm 34-35
Pengalaman-pengalaman diatas menunjukkan dua hal penting: bahwa peraturan-peraturan diskriminatif warisan dari Orde Baru masih berlaku hingga hari ini. Peraturan-peraturan tersebut, dari pengalaman putusan MA maupun MK bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, salah satu diantaranya adalah mengenai asas non diskriminatif dan asas praduga tidak bersalah. Permasalahan lain adalah mengenai gantungan peraturan yang bersifat lebih implementatif terhadap peraturan diatasnya. Dalam perkara yang diajukan, dapat dilihat bahwa bahan rujukan utama adalah pada TAP XXV/MPRS/1966, yang dengan demikian menyisakan masalah, terutama semenjak kembali masuknya TAP MPR dalam hierarki perundangan UU 12/2011. Apabila dalam pengalaman sebelumnya, misalkan UU 12/2003 dan Keppres 28/1975, dapat diajukan melalui MK dan MA, maka TAP MPR ini berada dalam posisi yang tidak tersentuh karena MK hanya dapat mengadili UU dengan batu uji UUD 1945, dan tidak dengan TAP yang
posisinya diatas UU dan dibawah UUD 1945. 377
Contoh-contoh kasus diatas menunjukkan bagaimana keberlakuan dari TAP XXV/MPRS/1966 yang merupakan acuan utama dari pengaturan maupun
376 Putusan Mahkamah Agung Nomor 4 P/HUM/2013 377 Salah satu jalan yang tersisa berarti adalah melalui pengujian Pasal 7 UU 12/2011, hal ini pada tahun 2013 telah dilakukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi dkk mengenai kedudukan TAP MPR dalam pasal 7 UU a quo. Alasanya adalah bawah MK tidak memiliki kewenangan untuk menguji TAP dan sementara itu, MPR sendiri sudah tidak lagi memiliki kewenangan dalam membuat TAP sehingga tidak memungkinkan legislative review. Hanya saja, MK menilai bahwa posita dan petitum yang diajukan pemohon tidak jelas dan menolak permohonan pemohon. Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-XI/2013.
kebijakan lainya memiliki dampak yang signifikan terhadap praktik diskriminasi yang ditujukan kapada tertuduh PKI.