Kebijakan Kelembagaan Implikasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir TN Sembilang

216

6.4.2 Kebijakan Kelembagaan

Konsep pemikiran aliran ekonomi neoklasik menunjukkan bahwa basis pengambilan keputusan ekonomi adalah efisiensi di dalam kerangka kelembagaan yang konstan Djojohadikusumo 1994; Nugroho 2002. Efisiensi berdasarkan kriteria pareto optimum dinyatakan bahwa tingkat alokasi sumberdaya alam dimana peningkatan benefit kepada satu individu memberikan dampak pada turunnya benefit kepada individu lainnya Kusumastanto 2000. Metodologi neoklasik didukung oleh kerangka teori ekonomi mikro yang canggih dan mampu menyederhanakan persoalan ke dalam ukuran-ukuran harga dan pasar. Itu sebabnya aliran neoklasik disetarakan dengan kelompok reductionist yang berbasis pada monodisiplin ilmu. Sedangkan dalam aliran ekonomi kelembagaan dimana basis pengambilan keputusan lebih didasarkan kepada pendekatan secara komprehensif holistic dan multidisiplin. Pendekatan metode dari ekonomi kelembagaan disebut dengan methodological collectivism Randall 1987; Nugroho 2002, yang menyatakan kepentingan individu dan publik tidak dapat saling terpisah serta hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik merupakan bagian dari pemikiran tentang kesejahteraan individu dan sosial. Dengan demikian aliran ini menjadi relevan dengan pemikiran pembangunan berkelanjutan karena hasil-hasil keputusannya akan mementingkan perbaikan kualitas hidup manusia. Pada sisi lain pendekatan ekonomi kelembagaan mengutamakan pendefinisian property right dan rule of the game terhadap keseluruhan stakeholders. Sebagai akibatnya, pendekatan ini bukan saja menawarkan kelebihannya pada pendalaman memahami persoalan secara holistik, tetapi juga pada pencapaian tujuan-tujuan sosial. Pendekatan ekonomi kelembagaan akan menjadi lebih tepat sebagai dasar perumusan kebijakan pada pengelolaan sumberdaya pesisir TN Sembilang. Sampai saat ini, pengelolaan kawasan pesisir yang dikonservasi oleh swasta firma masih menjadi perdebatan karena beberapa alasan. Untuk mereduksi kekhawatiran tersebut, maka pelaksanaan ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan IUPJL TNS dapat saja dibentuk Badan Usaha Perdagangan Karbon Milik Negara BUPKMN setingkat BUMN untuk tingkat pusat atau BUPKMD sebagai unit pengelola di tingkat kabupatenkota dimana aktivitasnya sebagaimana layaknya sebuah firma. Pihak investor dapat berkolaborasi dengan badan tersebut berdasarkan kepemilikan saham shareholder dan bertindak sebagai pengusul REDD+. Pembinaan dan pengembangan teknisnya menjadi tanggung jawab badan pengelola tersebut. 217 Sementara itu dalam hal monitoring dan evaluasi kegiatan menjadi tanggung jawab lintas departemen teknis terkait lintas sektoral pusat dan daerah yang tergabung dalam Badan Lingkungan Hidup BLH termasuk LSM didalamnya. Persentase kepemilikan saham dapat diusulkan sebagaimana persentase distribusi NJ 2 L nilai jual jasa lingkungan untuk hutan lindung, yaitu: Pusat 20, Provinsi 10, KabupatenKota 20, Masyarakat 20 dan investor developer 30. Demikian juga untuk distribusi pembayaran REDD+, dialokasikan berdasarkan persentase tersebut. Satu hal pengecualian dimana kepemilikan saham masyarakat sebaiknya ditetapkan berdasarkan golden share. Artinya masyarakat harus ditempatkan dan diberikan sebagai pihak yang memiliki privileges hak-hak istimewa. Masyarakat yang dilibatkan adalah masyarakat yang hidupnya tergantung pada kawasan hutan dan dihimpun dalam suatu kelompok usaha bersama atau koperasi. Namun demikian penyertaan modal dapat juga diberikan dalam bentuk hutang pemegang saham koperasi yang akan dikonversi dari keuntungan usaha. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan tatanan organisasi ini adalah: jenis-jenis kegiatan usaha penunjang dalam kawasan TNS yang diijinkan terutama untuk alokasi kegiatan-kegiatan yang tidak berpotensi menghasilkan emisi CO 2 ; fungsi dan luas dari masing-masing zonasi dalam kawasan; keadaan dalam kawasan dan sekitar kawasan FA; serta manajemen pengelolaan kawasan. Dalam pelaksanaan serta untuk mengamankan kawasan land security, pihak pemda dapat membuat regulasi pengelolaan kawasan dalam suatu Peraturan Daerah Perda, baik menyangkut Badan Pengelolanya maupun sistem dan mekanisme pengusahaannya serta pengawasan distribusi pembayaran hasil penjualan karbon. Dengan demikian dalam implementasinya terhindar dari praktek-praktek pengusahaan TNS yang tidak bertanggung jawab. Dalam hal pendistribusian pembayaran REDD+, Ginoga et al. 2010 merumuskan mekanisme distribusi pembayaran REDD+ berdasarkan persepsi dari Departemen Keuangan dengan memperhatikan sumber dana yang digunakan, yaitu: 1 Dana hibah grant, 2 Dana dari penjualan CER, 3 Dana investasi. Secara diagramatik disajikan pada Gambar 63. 218 Gambar 63 memberikan ilustrasi berdasarkan sumber dana yang digunakan dalam program REDD+. Alur pertama, yaitu apabila dana dari entitas internasional merupakan dana hibah, maka mekanisme aliran dana melalui Pemerintah Pusat, dan didistribusikan ke Pemerintah Daerah, kemudian ke Pengelola dan kepada masyarakat. Batasan masyarakat di sini adalah yang terkena dampak dan terkait langsung dengan program REDD+, lembaga seperti Perguruan Tinggi yang melakukan kajian dan LSM lingkungan. Alur kedua, yaitu jika dana berasal dari hasil penjualan CER, maka dalam hal ini harus dibedakan antara pasar sukarela voluntary market atau pasar terikat compliance market. Jika pasar yang terjadi adalah pasar sukarela, maka mekanisme penyaluran dan distribusi dana adalah dapat disalurkan langsung kepada Pengelola. Jika pasarnya adalah compliance market maka mekanisme distribusi dana melalui pemerintah pusat, kemudian disalurkan ke pemerintah daerah, pengelola dan masyarakat. Alur ketiga, yaitu ketika dana berasal dari investasi murni dimana dana tersebut dapat disalurkan langsung kepada Pengelola, kemudian didistribusikan kepada Ket : CCM : Compliance Carbon Market; VCM : Voluntary Carbon Market Pajak PPN, PPh CCM VCM Buyer Entitas internasional Pemerintah Pusat Gambar 63 Mekanisme distribusi pembayaran REDD+ berdasarkan sumber dana yang digunakan dimodifikasi dari Ginoga at al. 2010 CER Investasi Hibah Pemerintah Daerah Pengelola Masyarakat 219 masyarakat. Pada ketiga alur distribusi pembayaran REDD+ tersebut, pihak Pengelola memiliki obligasi pembayaran pajak, baik PPN maupun PPh, sebagai kompensasi penggunaan hutan untuk usaha REDD+. Dalam rangka implementasi REDD+ diperlukan sistem kelembagaan yang kredibel dan independen, baik dalam hal : a Pengukuran measuring, pelaporan reporting dan verifikasi verifying, b Registrasi, c Pelaksanaan, maupun d Supervisi. Selain itu lembaga ini juga harus dibentuk dan bersifat : a Coordinating body yang memayungi seluruh kegiatan REDD+ di Indonesia, b Accelerator yang mampu mendorong percepatan pelaksanaan REDD+, c Effectiveness dan Safeguards dalam hal efisiensi biaya serta prinsip distribusi manfaat yang lebih berkeadilan dan mampu memberikan pengamanan dan perlindungan bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan REDD+. Untuk efektivitas pelaksanaan, kedudukan lembaga REDD+ berada di bawah kontrol Presiden dengan instrumen hukum sesuai perundang- undangan. Dengan lembaga REDD+ yang lebih kredibel dan sifat-sifatnya tersebut serta kedudukan lembaganya yang sangat strategis itu diharapkan akan lebih berdaya guna dalam implementasinya di masa datang. Prosedur perijinan untuk usaha pemanfaatan jasa lingkungan berupa penyerapan karbon dan penyimpanan karbon ini sebaiknya lebih efisien dan ada kepastian dalam proses penyelesaiannya di instansi teknis terkait, hal ini berlaku untuk areal yang tidak dibebani hak. Sementara itu untuk areal yang telah dibebani hak, proses perijinannya cukup mendaftarkan inisiatifnya untuk melakukan upaya REDD+, sehingga hal ini dapat mengurangi biaya transaksi transaction cost. Sementara itu Reference emission level REL untuk usaha penyerapan dan penyimpanan karbon sebaiknya dilakukan secara nasional, sehingga terdapat kepastian dalam menetapkan baseline study. Dalam hal kawasan konservasi yang berada di wilayah yang emisi historisnya rendah, maka sebaiknya tidak diwajibkan menggunakan REL secara historis.

6.4.3 Kebijakan Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan