Kegiatan Ekonomi Masyarakat MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERKELANJUTAN BERBASIS REDD+

115 angkatan kerja, yaitu penduduk yang bekerja dan menganggur. Semakin tinggi angka TPAK merupakan indikasi meningkatnya kecenderungan penduduk usia ekonomi aktif untuk mencari pekerjaan atau melakukan kegiatan ekonomi. Jumlah penduduk usia kerja, kebutuhan penduduk untuk bekerja, dan berbagai faktor sosial ekonomi dan demografis merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi angka TPAK. Angka pengangguran di seluruh wilayah kecamatan rata-rata relatif rendah yaitu sekitar 5,99 tahun 2007 dan pada tahun 2008 sekitar 2,34 dari seluruh populasi angkatan kerja aktif 138.094 jiwa. Sementara itu total populasi penduduk angkatan kerja aktif di Kecamatan Banyuasin adalah 30.485 jiwa BPS Banyuasin 2009. Proporsi jumlah penduduk Kecamatan Banyuasin II terhadap jumlah penduduk Kabupaten Banyuasin sebesar 5,97 47.696 jiwa. Populasi penduduk Kabupaten Banyuasin mengalami pertumbuhan rata-rata 2,58 per tahun. Saat ini populasinya berjumlah 798.360 jiwa BPS 2009, tersebar di 15 kecamatan dan 278 desakelurahan dengan luas wilayah 11.832,99 km 2 dan rata-rata kepadatan penduduk 67,47 jiwa per km 2 . Kabupaten Banyuasin sampai saat ini masih merupakan daerah tujuan utama transmigrasi di Sumatera Selatan. Oleh karena itu pertumbuhan penduduknya relatif tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Sumatera Selatan. Partisipasi penduduk perdesaan di Kecamatan Banyuasin II lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk perkotaan, hal ini tercermin pada jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian cukup tinggi. Berdasarkan lapangan usaha tercatat jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian termasuk perikanan sangat dominan 62, kemudian diikuti perdagangan 12,44, jasa-jasa 10,75, industri pengolahan 5,07, transportasi dan komunikasi 4,75. Masalah sanitasi lingkungan khususnya sampah kurang mendapat perhatikan dari masyarakat di dalam maupun di luar kawasan TN sembilang. Muara sungai dan laut adalah tempat sampah utama. Hal ini sangat memprihatinkan, karena banyak terdapat sampah anorganik berupa plastik. Pada umumnya tinja langsung dibuang ke laut atau sungai, sehingga sangat logis jenis penyakit yang umum diderita adalah diare. Masyarakat di sini belum memiliki kesadaran untuk membuat septic tank. Pengaruh pasang surut yang besar, menyebabkan sampah tidak terbuang jauh dari pemukiman.

b. Kegiatan Ekonomi Masyarakat

Kegiatan perekonomian masyarakat setempat, baik di dalam maupun sekitar TN Sembilang didominasi oleh perikanan 90. Pertanian umumnya dikerjakan di luar 116 kawasan TNS terutama pada kawasan transmigrasi Karang Agung di bagian selatan TNS. Pemanfaatan hutan seperti daun Nipah, Nibung, kayu bakar dan kayu bangunan diambil dalam jumlah tertentu di dalam kawasan TNS. Data dan informasi yang dihimpun pada saat survey lapangan maupun data dan informasi dari beberapa lembaga seperti Balai TNS, Dinas Perikanan Banyuasin serta Wetland Indonesia memberikan gambaran tentang dinamika kegiatan ekonomi masyarakat di sekitar TNS serta pola penggunaan lahan lihat Gambar 25. 1 Perikanan Wilayah sebaran aktivitas masyarakat di sekitar TNS Desa Sungsang I sampai dengan Desa Sungsang IV meliputi perairan sungai, kawasan perairan pesisir hingga daerah di luar pesisir atau laut yang lebih dalam. Jarak tangkap ikan untuk wilayah TNS khususnya daerah Kabupaten Banyuasin adalah sampai dengan 9 mil. Melewati batas itu menjadi tanggung jawab provinsi. Data hasil survey lapangan menunjukkan bahwa Desa Sungsang I banyak menggunakan alat sondong, sedangkan jaring kantong, pukat harimau trawl, togog dan kelong relatif sedikit. Jumlah kapal motor untuk aktivitas perikanan dari desa ini sekitar 500 buah dengan berat rata-rata 3-4 ton. Relatif hampir sama dengan kondisi dari ketiga desa lainnya Desa Sungsang II, III, dan IV. Di desa Sungsang II, alat tangkap lebih bervariasi, yaitu jaring kantong, tangsi, tugu, rawai, lemparan dasar dan pukat harimau. Jenis alat tangkap di Desa Sungsang III dan Sungsang IV adalah Jaring Tangsi dan Jaring Kantong. Produk perikanan yang tertangkap dengan alat tangkap utama di TNS disajikan pada Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3. Alat tangkap pukat harimau pada umumnya diminati nelayan bermodal cukup besar. Daya ekploitasinya cukup tinggi karena ukuran mata jaring yang besar di awal dan semakin mengecil di ujungnya ditambah dengan daya jelajah kapal yang tinggi, menyebabkan tidak adanya selektivitas produk yang ditangkap. Hal ini membahayakan kelestarian sumberdaya perikanan. Banyak warga Sungsang yang memakai alat ini, meskipun alat ini dilarang oleh pemerintah. Nelayan dari Jambi dan nelayan luar lainnya pun demikian. Hal ini mengakibatkan turunnya produksi perikanan di daerah Sungsang. Masyarakat nelayan di wilayah pesisir Sembilang pada umumnya tidak menggunakan pukat harimau dan menggunakan alat tangkap yang legal. Apabila kecenderungan penggunaan pukat harimau ini tidak segera diatur, maka keadaan masyarakat pesisir Sembilang akan semakin termarjinalisasi. 117 Berdasarkan informasi bahwa biaya untuk melaut bervariasi tergantung kepada jangkauan kapal dan kemampuan alat tangkap. Biaya melaut untuk daerah sungai dan pesisir relatif lebih murah, seperti kapal sondong dan cedok kerang. Biaya melaut untuk daerah perairan yang lebih jauh berkisar antara Rp 800.0000 - Rp 1.500.000,- untuk satu kali trip di luar biaya alat tangkap. Harga alat tangkap trammel net atau jaring kantong per unit berkisar antara Rp 150.000 – 200.000, jaring tangsi sekitar Rp 250.000,- dan jaring trawl sekitar Rp 3.000.000,-. Bagi nelayan bermodal kecil, menangkap dengan jaring kantong lebih menguntungkan karena dikerjakan berdasarkan sistem bagi hasil. Pada umumnya kerusakan alat tangkap ditanggung bersama dengan pemilik modal. Masyarakat nelayan di kawasan Sembilang pada umumnya melaut pada setiap bulan, kecuali pada bulan Desember, saat dimana terdapat angin barat. Pada bulan- bulan terjadi angin barat, biasanya ombak laut relatif lebih besar, sehingga para nelayan Gambar 25 Kegiatan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar Taman Nasional Sembilang Sumber: Balai TNS 2009, WIIP 2001 118 mengalami kesulitan untuk melaut, terutama untuk para nelayan dengan kapal-kapal kecil. Sementara itu untuk kapal-kapal bertonase besar dengan alat tangkap trawl, mempunyai daya jelajah tinggi, sehingga bulan Desember dan bulan-bulan angin barat tidak terlalu banyak berpengaruh. Produksi tangkapan udang terbesar pada umumnya antara April-Oktober dan mencapai puncaknya peak seasons antara Juni-Agustus. Produksi pada bulan-bulan ini disebut oleh masyarakat Sembilang sebagai ”guyur udang”. Di luar ketiga bulan tersebut produk udang relatif sedikit, meskipun tetap berproduksi. Sementara itu, produksi tangkapan ikan tidak mengenal musim, kecuali pada Desember dimana pada bulan ini terjadi musim barat dengan ombak besar, sehingga sulit untuk melaut. Produksi hasil tangkapan nelayan mencapai puncaknya pada bulan-bulan FebruariMaret - JuliAgustus. Komoditas kepiting dan ubur-ubur mempunyai musim untuk penangkapan selama 6-7 bln th -1 . Musim penangkapan biasanya dimulai pada Mei-November. Produksi terbesar terjadi pada September-Oktober. Para nelayan pada umumnya menjual hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul di daerah Sungsang dan Sembilang. Berbeda halnya dengan rajungan, kepiting bakau mulai banyak pada bulan Juli. Kepiting ini lebih banyak ditangkap di daerah sungai, diantara vegetasi mangrove. Komoditas ubur-ubur adalah salah satu produk yang berasal dari wilayah pesisir laut Sembilang. Selama ini produk ubur-ubur lebih banyak dibuang daripada dijual. Hasil terbanyak adalah di bulan November dan Desember. Komoditas kerang tidak mengenal musim. Pada umumnya masyarakat nelayan di pesisir Sembilang akan mencari ke daerah lain, apabila produksi di wilayahnya mulai menurun. Dalam selang waktu satu bulan, daerah yang ditinggal tersebut dapat dikunjungi lagi untuk di panen. Habitat kerang hanya terbatas di daerah-daerah pesisir. Kawasan TN Sembilang merupakan salah satu sentra kegiatan ekonomi yang cukup penting, karena kawasan ini menghasilkan tangkapan perikanan utama yang meliputi komoditas ikan, udang, rajungan dan kerang. Komoditas tersebut memiliki nilai ekonomi cukup tinggi, sehingga dapat mempengaruhi perekonomian di wilayah ini. Data produksi hasil tangkapan di Dinas Perikanan Banyuasin menunjukkan bahwa rata-rata hasil produksi udang dari wilayah Sembilang pada tahun 2008 mencapai 100 t th -1 untuk pasar lokal dan 600 t th -1 untuk pasar ekspor. Nilai hasil tangkapan rata-rata mencapai Rp 7,5 milyar th -1 dari pasar lokal dan Rp 45 milyar th -1 119 dari pasar ekspor. Sementara itu data produksi berbagai jenis ikan dari kawasan Sembilang mencapai rata-rata 109,2 t th -1 dengan nilai hasil tangkapan rata-rata Rp 568,5 juta th -1 , sedangkan produksi berbagai jenis ikan dari kawasan Sungsang mencapai 807 t th -1 dengan nilai produksi sekitar Rp 4 milyar th -1 . Data produksi hasil rajungan dari dua wilayah Sembilang dan Sungsang mencapai rata-rata 189 t th -1 dengan nilai produksi sekitar Rp 1,89 milyar th -1 . Demikian halnya untuk produksi kerang dari Sembilang dan Sungsang cukup tinggi, rata-rata mencapai 492 t th -1 dengan nilai produksi rata-rata Rp 82 juta th -1 . Dengan demikian total nilai produksi perikanan dari wilayah TN Sembilang dan sekitarnya rata-rata mencapai Rp 59 milyar th -1 . 2 Pola Pengunaan Lahan Masyarakat di luar TN Sembilang Daerah Transmigrasi Karang Agung adalah salah satu areal yang direncanakan oleh pemerintah pusat dan daerah sebagai kawasan budidaya pertanian pasang surut guna mendukung ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Banyuasin. Sistem pertanian dilakukan menggunakan irigasi pasang surut dengan membuat saluran primer, saluran sekunder dan saluran tersier serta dilengkapi dengan pintu air dan pompa. Pelaksanaan kegiatan pertanian di daerah transmigrasi ini dilakukan setiap tahun dengan sistem bera tidak tanam selama satu kali. Areal penggunaan lahan di daerah transmigrasi pada umumnya dibagi menjadi 3 tiga lokasi pemanfaatan; antara lain Lahan Usaha ke-1, Lahan Usaha ke-2 dan Lahan Pekarangan. Lahan Usaha I LU I Lahan usaha ke-1 merupakan areal utama yang digunakan untuk pertanian adalah LU I dengan mendapatkan areal yang direncanakan seluas 1 hektar dari jatah yang didapat para transmigran. Jenis varietas pertanian sawah pasang surut yang ditanam pada umumnya adalah varietas lokal dan IR42 label biru. Ada beberapa penduduk menggunakan areal LU I untuk penanaman palawija bila musim hama datang seperti jagung, kedelai, kacang, tomat dan sayur-sayuran. Lahan Usaha II LU II Lahan usaha ke-2 di daerah transmigrasi merupakan areal yang diperuntukan pengembangan wilayah pertanian bila di LU I sudah tidak mencukupi atau tidak memungkinkan lagi untuk meningkatkan produksi pertanian. Akan tetapi sebagian areal di lokasi transmigrasi masih merupakan alang-alang dan semak, hal ini disebabkan areal tersebut berada di tepi hutan atau merupakan areal tergenang secara terus menerus. Di samping itu, Lahan Usaha II juga merupakan batas antar desa di setiap kawasan transmigrasi. 120 Lahan pekarangan Areal ini terutama diperuntukan sebagai pemukiman penduduk. Di Lahan Pekarangan ini, masyarakat transmigrasi menanam tanaman perkebunan guna menunjang kehidupan antara lain, kelapa lokal, kopi, kakao, serta sayur-sayuran. Areal penggunaan lain Lahan yang diperuntukkan sebagai tempat sosial antara lain; sekolah SD, SMP dan Madrasah, kantor desa, lapangan olah raga, kuburan, pasar dan kantor penyuluh lapangan. Masyarakat transmigrasi sebagian besar adalah petani padi pasang surut dan sebagian merangkap sebagai guru, PNS, tukang ojek, pedagang dan lain-lain. Aktivitas masyarakat dalam pemanfaatan lahan dan hutan adalah sebagian besar masyarakat mengambil kayu bakar dari hutan terdekat sebelah selatan TNS, mencari ikan di sepanjang Sungai Sembilang dan sekitarnya. Disamping itu terdapat juga sebagian kecil masyarakat yang melakukan perambahan hutan di bekas HPH PT. Sukses Sumatera Timber SST dan membuka tambak tradisional di luar areal transmigrasi, terutama di dalam kawasan TNS.

c. Kondisi Ekonomi Wilayah