Kebijakan Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

219 masyarakat. Pada ketiga alur distribusi pembayaran REDD+ tersebut, pihak Pengelola memiliki obligasi pembayaran pajak, baik PPN maupun PPh, sebagai kompensasi penggunaan hutan untuk usaha REDD+. Dalam rangka implementasi REDD+ diperlukan sistem kelembagaan yang kredibel dan independen, baik dalam hal : a Pengukuran measuring, pelaporan reporting dan verifikasi verifying, b Registrasi, c Pelaksanaan, maupun d Supervisi. Selain itu lembaga ini juga harus dibentuk dan bersifat : a Coordinating body yang memayungi seluruh kegiatan REDD+ di Indonesia, b Accelerator yang mampu mendorong percepatan pelaksanaan REDD+, c Effectiveness dan Safeguards dalam hal efisiensi biaya serta prinsip distribusi manfaat yang lebih berkeadilan dan mampu memberikan pengamanan dan perlindungan bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan REDD+. Untuk efektivitas pelaksanaan, kedudukan lembaga REDD+ berada di bawah kontrol Presiden dengan instrumen hukum sesuai perundang- undangan. Dengan lembaga REDD+ yang lebih kredibel dan sifat-sifatnya tersebut serta kedudukan lembaganya yang sangat strategis itu diharapkan akan lebih berdaya guna dalam implementasinya di masa datang. Prosedur perijinan untuk usaha pemanfaatan jasa lingkungan berupa penyerapan karbon dan penyimpanan karbon ini sebaiknya lebih efisien dan ada kepastian dalam proses penyelesaiannya di instansi teknis terkait, hal ini berlaku untuk areal yang tidak dibebani hak. Sementara itu untuk areal yang telah dibebani hak, proses perijinannya cukup mendaftarkan inisiatifnya untuk melakukan upaya REDD+, sehingga hal ini dapat mengurangi biaya transaksi transaction cost. Sementara itu Reference emission level REL untuk usaha penyerapan dan penyimpanan karbon sebaiknya dilakukan secara nasional, sehingga terdapat kepastian dalam menetapkan baseline study. Dalam hal kawasan konservasi yang berada di wilayah yang emisi historisnya rendah, maka sebaiknya tidak diwajibkan menggunakan REL secara historis.

6.4.3 Kebijakan Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Berdasarkan fakta ilmiah hasil simulasi pada dua skenario yang dikembangkan menunjukkan pola kriteria pareto optimum. Tingkat alokasi sumberdaya mangrove memberikan peningkatan benefit kepada variabel sylvofishery, tetapi memberikan dampak pada turunnya variabel karbon terestrial. Oleh karena itu basis pengambilan 220 keputusan diantara dua opsi pemanfaatan pada skenario model CC tersebut harus didasarkan pada aspek efisiensi optimum pemanfaatan sumberdaya alam. Penerapan model investasi domestik maupun asing dalam proyek pengelolaan hutan mangrove berbasis REDD+ menunjukkan bahwa karakteristik insentif atau pun harga karbon yang rendah sangat merugikan negara-negara produsen karbon. Pasar kredit emisi karbon akan eksis apabila pendapatan dari kegiatan REDD+ lebih besar atau minimal sama dengan pendapatan yang diperoleh dari alternatif penggunaan lain. Selain itu juga tidak ada kesenjangan harga karbon yang terlalu besar antara harga karbon di pasar negara-negara produsen Non- Annex-I Country dengan harga karbon di negara-negara konsumen Annex-I Country. Model pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ ini merupakan komitmen nasional dan akan mencapai optimasi pemanfaatan pada tingkat payment for ecosystem services PES di atas 8 USD tCO 2 -1 . Apabila nilai karbon pada mekanisme standar market pasar wajib maupun pasar sukarela berdasarkan mekanisme Kyoto dan non-Kyoto terdistorsi yang menyebabkan jatuhnya harga, maka disarankan untuk memanfaatkan peluang sumber pendanaan lainnya, yaitu: 1 non-open market yang bersumber dari dana publik, seperti dana-dana CSR nasional dan internasional maupun dana publik lainnya, 2 Dana kerjasama bilateral dan multilateral untuk mendukung pelaksanaan kegiatan penanganan perubahan iklim seperti Debt for Nature Swap DNS, yaitu pengalihan hutang yang digunakan untuk membiayai program konservasi keanekaragaman hayati dan hutan tropis, maupun dana hibah lainnya untuk membantu negara berkembang dalam pelaksanaan kegiatan REDD+. Apabila mekanisme REDD+ sudah disetujui oleh para pihak penandatangan konvensi anggota PBB, maka kredit karbon dari kegiatan REDD+ dapat diperjual belikan nantinya setelah tahun 2012. Kebijakan penurunan emisi 26 pada tahun 2020 merupakan komitmen Pemerintah Indonesia tentang keseriusannya dalam membantu mengurangi emisi GRK tanpa bantuan negara asing. Bahkan bila ada bantuan internasional dalam hal pendanaan, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi dapat ditingkatkan menjadi 41. Untuk merealisasikan komitmen Pemerintah dalam penurunan emisi GRK sebesar 26 dan 41 tersebut, maka pengelolaan 50 Taman Nasional yang ada di Indonesia dengan luas sekitar 12,7 juta ha dapat dipertimbangkan pengelolaannya berbasis REDD+. Penurunan emisi GRK sebesar 26 dan 41 merupakan suatu keniscayaan dapat direalisasikan dengan berbagai skema pendanaan. Beberapa sumber Boer et al. 221 2009 menjelaskan bahwa salah satu dana multilateral untuk mendukung pelaksanaan kegiatan demonstrasi REDD ialah FCPF Forest Carbon Partnership Facility dan Climate Investment Funds CIF yang dikelola oleh World Bank WB. CIF terdiri dari : 1 Strategic Climate Fund SCF yang dibawahnya terdapat dana program Forest Investment Fund FIP untuk mendukung pelaksanaan REDD+, dan 2 Clean Technology Fund CTF untuk mendukung dan mengembangkan kegiatan atau program penurunan emisi dalam penggunaan teknologi rendah emisi menjadi skala yang lebih besar diantaranya yang ada di sektor pertanian. Dana Bilateral yang ditawarkan ke Indonesia untuk mendukung pelaksanaan kegiatan REDD+ juga sudah banyak tersedia diantaranya dari negara-negara: German melalui KfW dan GTZ melalui Biro KLN Dephut, Australia, Korea melalui AFOCOAsia Forest Cooperation Organization untuk mendukung negara ASEAN dan Asia Timur dalam melaksanakan proyek-proyek hijau green projects dan sumber pendanaan negara lainnya. Berdasarkan pendekatan tersebut di atas, maka penerapan kebijakan skenario model CC dalam pengelolaan sumberdaya pesisir akan mencapai tujuan pembangunan secara berkelanjutan. Selain itu dengan skenario model CC dapat memberikan kontribusi pengelolaan sumberdaya pesisir terhadap kebijakan Pemerintah Pusat dalam rangka penurunan emisi GRK. Secara agregat, hasil simulasi skenario model CC menunjukkan bahwa kawasan TN Sembilang memiliki potensi karbon sekuestrasi sebesar 109,36 MtCO 2 selama umur simulasi atau rata-rata sebesar 4,37 MtCO 2 th -1 . Secara kumulatif pada tahun 2020 kawasan TN Sembilang dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian penurunan emisi GRK sebesar 72,03 MtCO 2 . Sementara itu, asumsi perhitungan nasional emisi Indonesia pada tahun 2020 sebesar 2,6 GtCO 2 DNPI 2009 dimana penurunan emisi 26 adalah sebesar 0,676 GtCO2. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa kawasan pesisir TN Sembilang mampu memberikan kontribusi penurunan emisi GRK sekitar 10,65 terhadap komitmen penurunan emisi Pemerintah Indonesia pada tahun 2020 atau sekitar 2,77 terhadap total prediksi potensi emisi GRK nasional. Tingkat karbon sekuestrasi di wilayah pesisir TNS secara rinci disajikan pada Lampiran 24. Berdasarkan hasil analisis skenario model CC tersebut menunjukkan bahwa efisiensi optimum akan tercapai apabila opsi pemanfaatan hutan mangrove dialokasikan pada kegiatan-kegiatan rendah emisi karbon. Tingkat karbon sekuestrasi kawasan TNS sangat tergantung pada tingkat emisi CO 2 di FA. Tingkat perbandingan alokasi konversi hutan mangrove primer Hmp, C:227,3 tCha -1 di FA untuk hutan tanaman industri 222 Eucalyptus sp. C:75,9 tCha -1 menunjukkan dimana tingkat emisi CO 2 yang dihasilkannya relatif lebih rendah 555,13 tCO 2 ha -1 dibanding emisi karbon hasil konversi untuk tambak 833,43 tCO 2 ha -1 . Demikian halnya konversi pada hutan rawa sekunder Hrs, C:77 tCha -1 untuk hutan tanaman, emisi CO2 yang dihasilkannya sebesar 4,03 tCO 2 ha -1 jauh lebih rendah dibanding untuk konversi tambak dengan emisi karbon sebesar 282,33 tCO 2 ha -1 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa alokasi areal untuk tambak akan menghasilkan rendah emisi karbon apabila pemanfaatannya berasal dari lahan-lahan marjinal. Model pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ sangat erat kaitannya dengan proses produksi yang bercirikan rendah karbon. Atas dasar itu, diperlukan aksi pengelolan tata ruang yang tahan perubahan iklim dengan tidak melakukan kanalisasi pada aksi pemanfaatan ruang di lahan gambut. Hal ini dapat menyebabkan subsidensi, yaitu penurunan water table di bawah gambut yang menyebabkan kekeringan dan sangat rentan terhadap kebakaran. Selain itu agar unit-unit pelaksana teknis di wilayah Kabupaten Banyuasin, khususnya di kawasan pesisir TN Sembilang dapat melakukan pemberdayaan masyarakat pesisir pada aspek penguatan mata pencaharian alternatif. Melalui cara itu diharapkan tingkat resiliensi penduduk menjadi lebih tinggi terhadap perubahan iklim global. Kebijakan ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan dengan pendekatan model SAVE DYNAMIC dapat diaplikasikan di wilayah Taman Nasional lain di Indonesia, sehingga data-data kandungan karbon berbagai tutupan lahan yang dihasilkan pada penelitian ini TNS dengan kategori Tier-3 dapat digunakan sebagai data default Tier-2 untuk Taman Nasional TN lainnya. Sementara itu untuk data-data kandungan karbon yang masih menggunakan data default Tier-2 pada penelitian ini, maka untuk implementasi di TN lainnya dapat dilakukan penelitian secara allometrik pada kategori Tier-3. VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan