Kesimpulan MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERKELANJUTAN BERBASIS REDD+

VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Model pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan berbasis REDD+ merupakan suatu kajian pemodelan dinamik dengan pendekatan sistem. Terdapat kebaruan novelty yang dihasilkan pada studi ini, baik kebaruan terhadap ilmu pengetahuan maupun kebaruan terhadap penyelesaian suatu permasalahan. Digunakannya metode multi level analysis dengan prosedur “SAVE DYNAMIC”: Spatial, Allometric equation, Valuation of Economic, serta simulasi pendekatan sistem dinamik dengan dua skenario, yaitu skenario model business as usual model BAU dan skenario model carbon crediting model CC untuk mengevaluasi berbagai aktivitas yang dapat menyebabkan kerentanan wilayah pesisir terhadap perubahan iklim, merupakan hal baru dan belum pernah digunakan di Indonesia dengan cara pendekatan ini. Metode penelitian dengan prosedur ”SAVE DYNAMIC” Spasial, Allometrik, Valuasi Ekonomi serta memadukan reference emission level REL berdasarkan data historis dan pendekatan modeling secara dinamik untuk proyeksi perubahan tutupan lahan masa depan, merupakan metode dengan tingkat kerincian yang tinggi Tier 2-3. Kebaruan dalam penyelesaian masalah yaitu untuk mereduksi emisi karbon terestrial dengan opsi carbon crediting, merupakan alternatif model pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Kebaruan lainnya adalah bahwa penyusunan model pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ merupakan suatu upaya untuk mempermudah dan mempercepat proses pengambilan keputusan guna penyusunan kebijakan di wilayah ini dari berbagai kemungkinan yang akan terjadi akibat perubahan iklim global. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : 1 Tingkat potensi emisi karbon historis dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di TN Sembilang bersumber dari dalam kawasan dan di luar kawasan frontier area; FA. Laju emisi historis 2003-2006 pada studi ini digunakan sebagai reference emmission level REL. Selanjutnya dipadukan dengan pendekatan modeling untuk memprediksi perubahan tutupan lahan di masa datang. Laju historis emisi CO 2 2003-2006 dari luar kawasan yang tidak dilindungi FA sebesar 11,33 MtCO 2 th -1 , sedangkan dari areal yang dilindungi TNS sebesar 5,22 MtCO 2 th -1 . Hasil ini didasarkan pada laju deforestasi dan degradasi hutan di 224 FA rata-rata 43.246 ha th -1 dan di dalam kawasan TNS rata-rata sebesar 14.875 ha th -1 . Sementara itu hasil analisis allometrik pada skala plot contoh di hutan mangrove primer Hmp memiliki potensi stok karbon rata-rata sebesar 227,3 tC ha -1 , hutan mangrove sekunder Hms sebesar 102,2 tC ha -1 , belukar rawa sebesar 17,3 tC ha -1 , serta hutan tanaman di FA sebesar 75,89 tC ha -1 . 2 Indikator penggerak emisi karbon di luar kawasan FA dan pada kawasan yang dilindungi TNS bersumber dari yang direncanakan planned deforestation dan yang tidak direncanakan unplanned deforestation. Indikator penggerak emisi karbon dari yang direncanakan, yaitu adanya kebijakan RUTR dengan konversi lahan yang masih berhutan untuk menunjang pembangunan ekonomi wilayah setempat. Sementara itu indikator penggerak emisi karbon yang tidak direncanakan unplanned deforestation yaitu adanya tekanan penduduk terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, juga bersumber dari faktor alam seperti kemarau panjang yang dapat menyebabkan kebakaran hutan, serta faktor umur tanaman hutan mangrove yang dapat menyebabkan peluruhan tanaman. 3 Kecenderungan yang terjadi pada dua skenario model BAU dan skenario model CC adalah sebagai berikut: a Jika pengelolaan sumberdaya pesisir pada dua kawasan FA dan TNS dengan cara saat ini business as usual terus berlangsung tanpa ada intervensi kebijakan, maka akan terjadi kecenderungan sebagai berikut : - Terjadi penurunan kapasitas karbon terestrial carbon stock rata-rata sebesar 211.486 tCO 2 th -1 di TNS dan sebesar 29.636 tCO 2 th -1 di FA. Hal ini dapat memicu peningkatan laju emisi CO 2 di kawasan pesisir Sembilang. - Secara agregat, hasil proyeksi karbon terestrial pada kawasan FA dan TNS di masa depan menghasilkan net karbon terestrial negatif. Pada tahun 2020 sebesar -60,75 MtCO 2 dan pada akhir periode simulasi 2035 sebesar -79,06 MtCO 2 . Hal ini mencerminkan bahwa selama umur simulasi akan terjadi peningkatan laju emisi karbon terestrial rata-rata sebesar 3,16 MtCO 2 th -1 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa skenario model BAU pada kawasan TNS dan FA pada tahun 2020 dan 2035 diprediksi sebagai kawasan carbon source. 225 - Jika deforestasi dan degradasi hutan meningkat di FA, maka diprediksi akan terjadi peningkatan erosi, serta mengganggu hidrologi dan biomassa hutan mangrove. Rendahnya biomassa magrove dapat mempengaruhi proses evaporasi dan presipitasi, sehingga volume air hujan yang jatuh langsung ke tanah semakin meningkat. Hal ini dapat meningkatkan runoff permukaan dan erosi, sehingga sedimentasi di daerah estuaria TNS semakin meningkat. Kecenderungan meningkatnya sedimentasi dikhawatirkan akan terjadi proses HAB harmful algae blooming yang dapat menyebabkan kematian ikan secara massal serta terhambatnya proses suksesi alami regrowth pada jenis-jenis mangrove tertentu. Jika kecenderungan ini terjadi, maka tingkat kestabilan stok sumberdaya perikanan serta keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir di wilayah Sembilang dan sekitarnya akan terganggu. b Jika pengelolaan sumberdaya pesisir pada kawasan yang dilindungi undang- undang TNS dilakukan dengan skenario model carbon crediting, maka secara ekonomi memberikan prospek berupa nilai ekonomi total serta peluang kesempatan kerja. Skenario opsi pemanfaatan carbon crediting dan opsi sylvofishery menghasilkan the net present value NPV sebesar 8.487,78 juta USD 3,6 kali NPV model BAU yang dapat mendorong peluang kesempatan kerja sebesar 104.411 tenaga kerja 11 kali model BAU. Secara ekologis terdapat jaminan kesejahteraan antar generasi intergenerational welfare berupa stok sumberdaya hutan mangrove primer yang semakin meningkat, dari 35.205 ha tahun 2010 menjadi 143.166 ha pada tahun 2035. Hasil analisis simulasi dengan menekan laju deforestasi dan degradasi sebesar 90 dari tingkat kerusakan saat ini, maka terdapat sejumlah emisi CO 2 yang dapat dihindarkan avoiding emission sebesar 28,91 MtCO 2 , atau rata-rata 1,15 MtCO 2 th -1 . Jumlah emisi terhindarkan ini merupakan emisi CO 2 yang dapat dijadikan basis penilaian kompensasi karbon carbon offset dengan skema REDD+ atau sebagai dasar penilaian payment for ecosystem services PES. Apabila insentif atau harga rata-rata karbon di pasaran internasional diasumsikan sebesar 10 USD tCO 2 -1 , maka akan diperoleh nilai carbon revenue sekitar 289,10 juta USD selama periode komitmen berlangsung atau rata-rata sekitar 11,56 juta USD th -1 . 226 4 Hasil simulasi skenario model CC menunjukkan bahwa kawasan TN Sembilang memiliki potensi karbon terestrial sebesar 109,36 MtCO 2 selama umur simulasi atau rata-rata sebesar 4,37 MtCO 2 th -1 . Secara kumulatif pada tahun 2020 kawasan TN Sembilang dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian penurunan emisi GRK sebesar 72,03 MtCO 2 . Sementara itu, asumsi perhitungan nasional emisi Indonesia pada tahun 2020 sebesar 2,6 GtCO 2 DNPI 2009 dimana penurunan emisi 26 adalah sebesar 0,676 GtCO2. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa kawasan pesisir TN Sembilang mampu memberikan kontribusi penurunan emisi GRK sekitar 10,65 pada tahun 2020 atau sekitar 2,77 dari total komitmen penurunan emisi GRK Pemerintah Indonesia. Model pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis perdagangan karbon akan mencapai efisiensi optimum apabila opsi pemanfaatan hutan mangrove dialokasikan pada kegiatan-kegiatan rendah emisi karbon. Tingkat emisi karbon terhindarkan pada kawasan TNS sangat tergantung pada tingkat emisi CO 2 di FA. Tingkat perbandingan alokasi konversi hutan mangrove primer Hmp, C:227,3 tC ha -1 di FA untuk hutan tanaman industri Eucalyptus sp. C:75,9 tC ha -1 menunjukkan tingkat emisi CO 2 yang dihasilkannya relatif lebih rendah 555,13 tCO 2 ha -1 dibanding emisi karbon hasil konversi untuk tambak 833,43 tCO 2 ha -1 . Demikian halnya konversi pada hutan rawa sekunder Hrs, C:77 tC ha -1 untuk hutan tanaman, emisi CO 2 yang dihasilkannya sebesar 4,03 tCO 2 ha -1 jauh lebih rendah dibanding untuk konversi tambak dengan emisi karbon sebesar 282,33 tCO 2 ha -1 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa alokasi areal untuk tambak akan menghasilkan rendah emisi karbon apabila pemanfaatannya bersumber dari lahan-lahan marjinal.

7.2 Saran