Kondisi Geologi MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERKELANJUTAN BERBASIS REDD+

107 Menurut Oldeman Whitten in WIIP 2001 dimana kondisi iklim ini dapat dikategorikan sesuai dengan Zona C : yaitu 5 hingga 6 bulan berturut-turut bulan basah dan 4 bulan hingga 6 bulan berturut-turut bulan kering. Iklim ekstrim pernah terjadi pada kawasan ini yaitu iklim El Nino pada tahun 1997. Kondisi iklim ini menyebabkan kekeringan terutama pada wilayah bagian barat TNS, sehingga terjadi kebakaran hutan pada beberapa spot di TNS.

c. Kondisi Geologi

Tinjauan pustaka geologis WIIP 2001 menunjukan bahwa TN Sembilang merupakan bagian dari lahan rawa yang lebih luas dengan formasi sedimen Palembang. Selama era Pleistocene, kawasan tersebut terdapat pada tepi lempeng Sunda, dan pada era Holocene kawasan tersebut mencerminkan propagasi deltaik setelah digenangi air akibat naiknya muka air laut sebagai dampak dari temperatur bumi yang semakin meningkat. Peta geologi Jambi dan Palembang skala 1:250.000 menunjukkan bahwa kawasan TN Sembilang tergolong pada formasi kuarter yang terdiri dari endapan rawa dan endapan alluvial. Secara geomorfologis, kawasan TN Sembilang meliputi tiga satuan lahan, yaitu : 1 satuan lahan marin yang terbentuk dari bahan-bahan yang dibawa oleh gerakan pasang surut dan sungai, terdapat pada bagian timur kawasan, 2 satuan lahan alluvial yang terbentuk dari sedimen sungai dan tergenang secara musiman, terdapat pada bagian tengah kawasan, dan 3 satuan lahan gambut yaitu wilayah rawa dengan bahan- bahan organik pekat, terdapat di bagian barat kawasan. Sistem satuan lahan marin pada kawasan TN Sembilang meliputi : 1 pantai pesisir yang terdiri dari : pantai lumpur, pantai pasir, dan beting pasir, 2 dataran pasang surut kearah tengah kawasan yang terdiri dari : dataran pasir pasang surut, dataran lumpur pasang surut, dan rawa pasang surut bagian belakang. Sementara itu wilayah rawa pada kawasan TN Sembilang kearah barat terdiri dari : zona pasang surut payau, zona pasang surut air tawar, dan zona non pasang surut. Kawasan ini datar, dengan ketinggian antara 0 dan 20 meter diatas permukaan laut. Variasi pasang surut mencapai 3,5 meter Danielsen Verheught 1990, Verheught 1995 in WIIP 2001. Saat ini, kawasan pesisir TN Sembilang didominasi arus pasang surut tide- dominated delta, tertutupi tanah liat marin muda dan sedimen sungai yang masuk pada kawasan ini. Sebagian besar didominasi oleh sedimen alluvial, termasuk sedimen marin dan sedimen organik di pesisir, dan deposit organik yang biasanya sebagai kubah gambut jauh di daratan. Kubah gambut terdalam terdapat di dekat perbatasan provinsi Jambi, tepatnya di antara Sungai Terusan Dalam dan Sungai Benu. Elevasi kawasan TN Sembilang berkisar antara 0 hingga 20 m dpl, dengan variasi pasang surut hingga 3,5 m 108 Danielsen Verheught 1990 in WIIP 2001. Rendahnya elevasi ini menyebabkan rendahnya kecepatan arus sungai yang mengalir pada kawasan ini. Tanah umumnya terdiri dari histosol termasuk typic haplohemists, typic hydraquents, typic sulfaquents, histic sulfaquent, sodic psammaquents dan inceptisol termasuk sulfic endoaquepts dan typic sulfaquepts. Tanah Histosol gambut dalam bahasa Yunani disebut histos jaringan. Tanah ini dibentuk dalam lingkungan jenuh dengan air, juga merupakan tanah yang terbentuk dari pelapukan bahan organik dalam keadaan tergenang. Jika sistem drainase kurang baik dan ekploitasi berlebih, cenderung menghilangkan bentuk asal jaringan tumbuhan yang terdapat dalam bahan organik. Tanah gambut umumnya memiliki kesuburan yang rendah, ditandai dengan pH rendah masam, ketersediaan sejumlah unsur hara makro K, Ca, Mg, P dan mikro Cu, Zn, Mn, dan Bo yang rendah, mengandung asam-asam organik yang beracun serta memiliki Kapasitas Tukar Kation KTK yang tinggi tetapi Kejenuhan Basa KB rendah. Typic Haplohemist merupakan gambut dengan tingkat kematangan hemist setengah matang sebagian bahan telah mengalami pelapukan dan sebagian lagi berupa serat, memiliki pH rendah. Bila diperas dengan telapak tangan dalam keadaan basah, gambut agak mudah melewati sela-sela jari dan kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan pemerasan adalah antara kurang dari tiga perempat sampai seperempat bagian atau lebih 14 dan 34. Tanah Inceptisol merupakan jenis tanah mineral muda, karena profilnya mempunyai horison yang dianggap pembentukannya agak cepat sebagai hasil alterasi bahan induk. Horison-horisonnya tidak memperlihatkan hasil hancuran ekstrim. Horison timbunan liat dan besi dan almunium oksida tidak terdapat dalam golongan ini. Tanah-tanah yang dulunya dikelaskan sebagai Hutan Coklat, Ando, dan Tanah Asam Coklat merupakan wakil-wakil dari golongan ini. Beberapa tanah yang berguna bagi pertanian digolongkan dengan tanah-tanah yang tingkat produktivitasnya terhambat, karena faktor-faktor seperti drainase yang tidak sempurna. Produktivitas alamiah Inceptisol sangat beragam. Sebagian besar tanah Inceptisol di Indonesia digunakan untuk pertanian padi sawah. Fluvaquentic Endoaquepts merupakan jenis tanah Inceptisol yang terbentuk dari endapan tanah sungai yang berair dengan rezim kelembaban aquik jenuh air 30 hari, memiliki kedalaman firit 50 cm dengan kroma 2.

d. Kondisi Ekosistem Mangrove