208
6.3 Perbandingan Model Business as Usual dan Model Carbon Crediting di
Wilayah Pesisir
Skenario model BAU dan skenario model CC merupakan dua model dengan pendekatan simulasi untuk memprediksi apa yang akan terjadi what would happened
dan pendekatan optimasi pada zona pemanfaatan dan zona tradisional untuk kegiatan apa yang sebaiknya dilakukan what should happened. Struktur model dua skenario
tersebut merupakan hubungan sebab akibat causal relation dengan tujuan untuk valuasi ekonomi sumberdaya mangrove dengan efek yang ditimbulkannya berupa emisi
CO
2
. Dua skenario model ini memberikan gambaran antara preferensi stakeholders di
FA pada satu pihak dan preferensi stakeholders di kawasan TNS pada pihak lainnya. Model BAU mencerminkan preferensi dimana pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam adalah untuk kepentingan pembangunan ekonomi secara maksimal dengan tingkat waktu pengembalian investasi yang paling cepat. Sebaliknya model CC
mencerminkan preferensi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam pada kawasan yang dilindungi dengan memperhatikan keberlanjutan stok sumberdaya alam secara
kontinyu. Selain itu juga memberi harapan pada saat ini dan mendatang baik secara ekonomi maupun adanya keseimbangan kondisi karbon terestrial dan emisi CO
2
di kawasan tersebut.
Model BAU dan model CC merupakan model dinamik yang bersifat kontinum dan dapat menjelaskan adanya proses penurunan dan peningkatan jasa-jasa lingkungan
dari waktu ke waktu selama 25 tahun simulasi model. Terlihat dengan jelas bahwa di masa yang akan datang kerja keras harus dilakukan untuk menghasilkan skenario
alternatif yang dapat menunjukkan pola mitigasi dan pola adaptasi dalam pengelolaan kawasan konservasi TNS secara berkelanjutan, baik bagi masyarakat yang tinggal di
sekitar TNS maupun masyarakat di luar kawasan yang tergantung pada ketersediaan jasa-jasa lingkungan. Penilaian terhadap jasa-jasa lingkungan, cukup penting untuk
memberikan kesadaran dan pemahaman mengenai manfaat yang dapat diperoleh serta dapat membantu dalam pengambilan keputusan.
Dalam konsep ekonomi lingkungan, Perman et al. 1996 menjelaskan bahwa dalam perspektif biofisik, emisi CO
2
merupakan bahan pencemar yang bersifat stock pollution dimana kerusakan yang ditimbulkan merupakan fungsi dari stok residu dan
bersifat kumulatif. Dalam konteks laju deforestasi dan degradasi hutan mangrove, sejumlah emisi CO
2
akan disekuestrasi oleh tanaman tersebut dan disimpan secara kumulatif dalam bentuk biomassa atau karbon.
Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa daya serap mangrove terhadap karbon jauh lebih tinggi 227,3 tC ha
-1
daripada tanaman hutan lainnya seperti Acacia
209
mangium 62,08 tC ha
-1
atau Eucalyptus sp. 75,89 tC ha
-1
. Dengan adanya keterkaitan mangrove dan emisi CO
2
ini, maka akan terjadi loop dengan ecosystem services sector pada komponen carbon climate regulation. Demikian seterusnya
secara kontinum berkoneksi dengan sektor lainnya. Hasil analisis model CC menunjukkan nilai ekonomi total dari opsi pemanfaatan
carbon crediting dan opsi sylvofishery berdasarkan the net present value NPV sebesar 8.487,78 juta USD 3,6 kali NPV BAU yang dapat mendorong peluang kesempatan
kerja sebesar 100.410 tenaga kerja 11 kali model BAU. Sementara itu model BAU menghasilkan nilai ekonomi total berdasarkan NPV-nya sebesar 2.358,91 juta USD
dengan peluang kesempatan kerja sekitar 9.530 tenaga kerja. Besarnya peluang kesempatan kerja model CC terjadi karena terdapat alokasi carbon revenue bagi
masyarakat secara langsung sebesar 20 dan untuk pemerintah Kabupaten Banyuasin 20. Kontribusi ini dapat mempengaruhi tingkat investasi langsung per tenaga kerja di
wilayah Kabupaten Banyuasin, mengakselerasi pertumbuhan ekonomi wilayah setempat, peluang kesempatan kerja baru serta peningkatan pendapatan masyarakat.
Selain itu juga secara ekologis terdapat jaminan stok sumberdaya hutan mangrove dari 35.205 ha tahun 2010 meningkat menjadi 143.166 ha pada tahun 2035. Artinya bahwa
kawasan hutan mangrove primer yang terdegradasi dan terdeforestasi pada model BAU akan tertutupi mangrove primer dengan model CC seluas 143.166 ha pada tahun 2035.
Sementara itu areal penggunaan lain APL pada model BAU seluas 182.550 ha akan terjadi pengurangan pada model CC menjadi 56.647 ha. Secara diagramatis disajikan
pada Gambar 60 dan Gambar 61.
20000 40000
60000 80000
100000 120000
140000 160000
20 10
20 11
20 12
20 13
20 14
20 15
20 16
20 17
20 18
20 19
20 20
20 21
20 22
20 23
20 24
20 25
20 26
20 27
20 28
20 29
20 30
20 31
20 32
20 33
20 34
Fi na
l Tahun
P e
ru b
a h
a n
l u
a s
m a
n g
ro ve
h a
Hmp TNS model BAU w ithout REDD+ Hmp TNS model CC w ith REDD+
Gambar 60 Perbandingan perubahan luas hutan mangrove primer Hmp di TNS pada skenario model carbon crediting with REDD+ dan
skenario model business as usual without REDD+
210
20000 40000
60000 80000
100000 120000
140000 160000
180000 200000
20 10
20 11
20 12
20 13
20 14
20 15
20 16
20 17
20 18
20 19
20 20
20 21
20 22
20 23
20 24
20 25
20 26
20 27
20 28
20 29
20 30
20 31
20 32
20 33
20 34
Fi na
l Tahun
P e
ru b
a h
a n
t u
tu p
a n
m a
n g
ro ve
h a
APL TNS BAU w ithout REDD+ APL TNS CC w ith REDD+
Gambar 61 Perbandingan perubahan luas areal penggunaan lain APL di TNS pada skenario model carbon crediting with REDD+ dan
skenario model business as usual without REDD+
Perbandingan tingkat emisi CO
2
yang terhindarkan antara model CC dan model BAU di areal TNS merupakan basis penilaian karbon terestrial yang dapat
ditransaksikan. Pengukuran tingkat emisi karbon pada model BAU dan model CC pada berbagai tutupan lahan disajikan pada Tabel 48 dan secara rinci disajikan pada
Lampiran 24.
Tabel 48 Akuntansi reduksi emisi emissions reduction accounting hasil simulasi model BAU dan Model CC pada berbagai tipe tutupan lahan selama periode
komitmen pengelolaan 25 tahun
Periode Komitmen
25 Tahun tCO
2
e Rata-rata
tCO
2
e th
-1
Periode Komitmen
25 Tahun tCO
2
e Rata-rata
tCO
2
e th
-1
Periode Komitmen
25 Tahun tCO
2
e Rata-rata
tCO
2
e th
-1
A Emission accounting di TNS 1
Emisi dr DD Hmp 27.152.416
1.086.097 10.344.255
413.770 16.808.162
672.326 2
Emisi dr DD Hms 6.664.032
266.561 9.368
375 6.654.664
266.187 3
Emisi dr DD Hrs 190.106
7.604 91.180
3.647 98.926
3.957 4
Emisi Tambak TNS 6.626.780
265.071 3.145.648
125.826 3.481.132
139.245 Tot Emisi dr DD TNS
40.633.335 1.625.333
13.590.451 543.618
27.042.883 1.081.715
Carbon regrowth TNS 630.289
25.212 2.498.820
99.953 1.868.531
Tot Net Emisi dari DD di TNS 40.003.046
1.600.122 11.091.631
443.665 28.911.414
1.156.457 B
Emission accounting di FA 1
Emisi dr DD APL di FA 2.579.937
103.197 2.579.937
103.197 -
- 2
Emisi dr DD Hmp di FA 13.180.183
527.207 13.180.183
527.207 -
- 3
Emisi dr DD Hms di FA 1.885.651
75.426 1.885.651
75.426 -
- 4
Emisi dr DD Hrs di FA 27.594.577
1.103.783 27.594.577
1.103.783 -
- Tot Emisi dr DD di FA
45.240.348 1.809.614
45.240.348 1.809.614
- -
Carbon regrowth FA 154.102
6.164 154.102
6.164 -
- Tot Net Emisi dr DD di FA
45.086.246 1.803.450
45.086.246 1.803.450
- -
C Total Net Emisi dr DD TNS dan
FA 85.089.292
3.403.572 56.177.877
2.247.115 28.911.415
1.156.457 Emisi Terhindarkan
avoided emission No
Emission Reduction Accounting di TNS dan FA
Skenario BAU Skenario CC
211
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tingkat emisi CO
2
pada skenario model BAU di kawasan TNS relatif tinggi 40 MtCO
2
. Perubahan emisi tertinggi terjadi pada areal tutupan hutan mangrove primer Hmp sebesar 27,15 MtCO
2
. Tingginya emisi CO
2
dari kawasan Hmp ini karena adanya faktor pendorong deforestasi dan degradasi hutan yang tidak direncanakan menjadi fungsi hutan mangrove sekunder
Hms serta areal penggunaan lain APL: belukar, belukar rawa, padang rumput, pertanian, sawah, tambak dan sebagainya. Fenomena tersebut dapat mengganggu
ketersediaan stok hutan mangrove primer dan akan terus mengalami penyusutan secara exponential decay dan stok Hmp hanya dapat bertahan sampai tahun 2026. Demikian
halnya di FA terdapat sejumlah emisi CO
2
yang dilepaskan sebesar 45,09 MtCO
2
dan tertinggi bersumber dari degradasi dan deforestasi hutan rawa sekunder. Di FA dan di
TNS akan terus terjadi pelepasan emisi CO
2
secara exponential growth dan emisi yang dilepaskan secara kumulatif sebesar 73,04 MtCO
2
pada tahun 2020 dan sebesar 85,09 MtCO
2
pada tahun 2035. Sementara itu kawasan TNS yang menerapkan model CC terdapat sejumlah
emisi yang dilepaskan dan secara kumulatif sebesar 49,04 MtCO
2
pada tahun 2020 dan sebesar 56,18 MtCO
2
pada tahun 2035. Dengan demikian terdapat reduksi emisi CO
2
selama umur periode komitmen pelaksanaan carbon crediting sebesar 28,91 MtCO
2
atau rata-rata sebesar 1,15 MtCO
2
th
-1
. Perbandingan net emisi CO
2
model BAU without REDD+ dan model CC with REDD+ di kawasan TNS disajikan pada
Gambar 62.
- 10.000.000
20.000.000 30.000.000
40.000.000 50.000.000
60.000.000 70.000.000
80.000.000 90.000.000
20 10
20 11
20 12
20 13
20 14
20 15
20 16
20 17
20 18
20 19
20 20
20 21
20 22
20 23
20 24
20 25
20 26
20 27
20 28
20 29
20 30
20 31
20 32
20 33
20 34
Fi na
l
Tahun K
u m
u la
ti f
E m
is i
t C
O 2
Emisi C w ithout REDD+ Emisi C w ith REDD+
Gambar 62 Kecenderungan tingkat reduksi emisi CO
2
di TNS pada skenario model carbon crditing with REDD+ dan di FA pada skenario
model business as usual without REDD+
Reduksi emisi
212
Pada Gambar 62
menunjukkan dimana kurva net emisi CO
2
FA BAU terjadi over shooting pada tahun kedua 2011, sehingga terjadi lonjakan emisi CO
2
. Hal ini terjadi karena ada faktor pendorong yang direncanakan planned deforestation berupa
pemberian ijin konsesi untuk hutan tanaman industri dan perkebunan sawit agriculture expantion. Diprediksi pihak pemegang ijin konsesi akan segera mengkonversi areal
tersebut pada awal-awal tahun pengelolaan. Apabila sistem pengelolaan kawasan pesisir saat ini model BAU terutama di
FA berlangsung terus tanpa ada intervensi kebijakan¸ maka secara hipotetis akan terjadi kecenderungan di masa mendatang sebagai berikut:
1 Jika deforestasi dan degradasi hutan meningkat di areal TNS pada skenario model BAU, maka akan terjadi kecenderungan penurunan kapasitas carbon stock, sehingga
akan terjadi peningkatan pemanasan global yang berdampak pada terhambatnya proses suksesi alami hutan alam. Bila ini terjadi, maka ekosistem pesisir dan laut
juga akan terpengaruh, sehingga dapat mengganggu kestabilan stok sumberdaya perikanan di kawasan pesisir TNS dan sekitarnya.
2 Jika deforestasi dan degradasi hutan meningkat di FA pada skenario model BAU, maka diprediksi akan terjadi peningkatan erosi, serta mengganggu hidrologi dan
biomassa hutan mangrove. Rendahnya biomassa magrove dapat mempengaruhi proses evaporasi dan presipitasi, sehingga volume air hujan yang jatuh langsung ke
tanah semakin meningkat. Hal ini dapat meningkatkan runoff permukaan dan erosi, sehingga sedimentasi di daerah estuaria TNS semakin meningkat. Kecenderungan
meningkatnya sedimentasi dikhawatirkan akan terjadi proses HAB harmful algae blooming yang dapat menyebabkan kematian ikan secara massal serta
terhambatnya proses suksesi alami regrowth pada jenis-jenis mangrove tertentu. Bila ini terjadi, maka kestabilan stok sumberdaya perikanan di wilayah Sembilang
dan sekitarnya akan terganggu, carbon sequestration hutan mangrove TNS terhambat dan akhirnya dapat menganggu pula pada ecosystem services sector serta
land use sector.
6.4 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir TN Sembilang