Indikator Penggerak Emisi Karbon di Wilayah Pesisir

148 diprediksi bersumber dari dampak kebijakan tata ruang. Sedangkan potensi emisi CO 2 di kawasan pesisir TN Sembilang diprediksi lebih disebabkan tekanan penduduk serta faktor perubahan alam secara alamiah. Tingkat emisi CO 2 mendatang di dua wilayah ini FA dan TNS diprediksi berdasarkan hasil simulasi dan pemodelan dianalisis secara rinci pada Bab 6.

5.2 Indikator Penggerak Emisi Karbon di Wilayah Pesisir

Indikator penggerak driver emisi karbon di wilayah Kabupaten Banyuasin diprediksi bersumber dari yang direncanakan planned deforestation dan yang tidak direncanakan unplanned deforestation. Indikator penggerak yang direncanakan bersumber pada kebijakan tata ruang dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam contoh kebijakan rencana tata ruang wilayahRTRW. Sementara itu indikator penggerak yang tidak direncanakan bersumber dari tekanan penduduk terhadap lahan serta perilaku dan karakter masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam tersebut contoh pemanfaatan hutankonversi lahan secara ilegal, perambahan hutan, kebakaran hutan dan sebagainya. Atas dasar itu maka perlu dianalisis indikator-indikator penggerak apa saja yang diprediksi dapat meningkatkan emisi karbon. Secara ringkas disajikan pada Tabel 25. Indikator penggerak emisi CO 2 diluar kawasan TNS FA dapat ditelusuri berdasarkan hasil analisis spasial tata guna lahan periode 2003-2006 RTRW Kabupaten Banyuasin dimana telah terjadi deforestasi dan degradasi seluas 129.739 ha. Dari luasan tersebut, sebesar 58.110 ha 44,79 merupakan perubahan lahan yang semula berhutan menjadi lahan tanpa tegakan pohon deforestasi. Sementara itu sekitar 71.629 ha 55,21 merupakan areal hutan rawa dan hutan mangrove tetapi telah mengalami penurunan kualitas degradasi. Alih fungsi hutan ini merupakan salah satu penggerak peningkatan emisi karbon historis di FA sebesar 11,25 MtCO 2 th -1 . Fakta ilmiah menunjukkan terdapat sekitar 107.943 tCO 2 th -1 0,96 merupakan hasil konversi hutan untuk HTI dan perkebunan sawit menyumbang sebesar 324.076 tCO 2 th -1 2,88. Dengan demikian selama periode 2003-2006 total potensi emisi CO 2 akibat indikator penggerak yang direncanakan planned deforestation relatif kecil yaitu 432.019 tCO 2 th -1 3,84 dibanding potensi emisi CO 2 akibat indikator penggerak yang tidak direncanakan unplanned deforestation sebesar 10,81 MtCO 2 th -1 96,16. 149 Tabel 25 Indikator penggerak emisi CO 2 di wilayah pesisir TN Sembilang No Sumber Indikator Penggerak Faktor Penyebab A Direncanakan planned deforestation Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten RTRWK Kebutuhan perencanaan tata ruang untuk pengembangan wilayah Kabupaten Banyuasin B Tidak Direncanakan unplanned deforestation a. Populasi penduduk Peningkatan populasi penduduk akibat kebijakan transmigrasi yang berdekatan dengan wilayah TNS terdapat kecenderungan adanya tekanan penduduk terhadap lahan. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk di wilayah ini adalah 2,58tahun b. Kebutuhan luas lahan minimal untuk hidup layak z Semakin tinggi populasi penduduk, serta semakin rendahnya tingkat produktivitas lahan dapat menyebabkan tekanan penduduk terhadap lahan semakin meningkat. Kebutuhan luas lahan minimal untuk hidup layak z di wilayah ini sebesar 1,02 haorang c. Konversi lahan a Pembuatan tambak-tambak dan lahan pertanian. Saat ini masih ada sekitar 2.013 ha tambak illegal di dalam TN Sembilang b Rata-rata tingkat perambahan hutan encroachment saat ini sekitar 54 hatahun d. Pemanfaatan hasil hutan yang tidak lestari a Pemanfaatan daun Nipah Nypa fruticans sangat intensif b Penggunaan pohon Nibung Oncosperma tigillarium untuk tiang bangunan e. Illegal logging Penebangan liar jenis Dipterocarpaceae yang kerap luput dari pengamatan petugas mengingat lokasinya paling jauh di bagian utara berbatasan dengan TN Berbak f. Kebakaran hutan dan lahan a Beberapa kebakaran yang telah terjadi berhubungan langsung dengan kegiatan pembukaan lahan yang luas contoh : transmigrasi dan kebun kelapa sawit, yang lainnya disebabkan oleh penduduk b Penyebab utama dari kebakaran ini adalah kegiatan penebang liar untuk budidaya pertanian, nelayan yang melakukan pembukaan vegetasi untuk mencari ikan serta pengembangan kawasan transmigrasi. Sumber : Hasil identifikasi lapangan 2010 Indikator penggerak emisi karbon yang tidak direncanakan unplanned deforestation baik di FA maupun di TN Sembilang berkaitan dengan faktor alam seperti kemarau panjang yang menyebabkan kebakaran hutan serta faktor lain seperti peningkatan populasi penduduk serta kebutuhan luas lahan minimal untuk hidup layak dapat meningkatkan tekanan penduduk terhadap lahan. Sumber tekanan penduduk terhadap lahan erat kaitannya dengan masalah kebutuhan mata pencaharian masyarakat, sehingga terdapat kecenderungan konversi lahan untuk memenuhi kebutuhannya itu. Diantaranya adalah konversi lahan untuk ladang dan sawah serta tambak udang secara 150 ilegal. Faktor penggerak lainnya adalah adanya kecenderungan dimana dengan semakin naiknya harga komoditas udang serta gagal panen di wilayah lain, dapat mempengaruhi motivasi terjadinya tekanan penduduk terhadap hutan mangrove. Untuk mengetahui tingkat tekanan penduduk terhadap lahan TP dapat didekati dengan persamaan 3.15 dan hasil pengolahan data Kabupaten Banyuasin Dalam Angka tahun 2008 BPS Kabupaten Banyuasin 20082009 disajikan pada Tabel 26, sedangkan rincian hasil pengolahan Tekanan Penduduk terhadap lahan TP disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan kriteria tekanan penduduk terhadap lahan, diperoleh nilai TP 2,14 nilai TP 2 sehingga termasuk kelas kriteria buruk. Hal ini mencerminkan bahwa penduduk memiliki kecenderungan untuk melakukan okupasi lahan minimal untuk dapat hidup layak. Dengan meningkatnya jumlah penduduk di wilayah ini sebesar 2,58 serta rendahnya lapangan pekerjaan diprediksi dapat menimbulkan degradasi lingkungan. Semakin besar jumlah penduduk, semakin besar pula tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya alam, sehingga tekanan terhadap sumberdaya yang ada juga meningkat. Dengan demikian, wilayah pesisir semakin rentan terhadap berbagai perubahan iklim yang akan terjadi. Tabel 26 Luas lahan minimal hidup layak z dan tekanan penduduk terhadap lahan TP di frontier area No Pertanian Luas ha Produksi ton Rata-rata produksi ton ha -1 Rata-rata nilai panen Rp ha -1 Harga Rp kg -1 1 Padi sawah 180.584 740.425 4,10 12.300.500 2.600 2 Ketela dan umbi-umbian 8.825 52.169 5,91 5.911.524 1.000 3 Produksi pekarangan palawija 9.735 18.699 1,92 5.762.373 3.000 Total lahan pertanian 199.144 Nilai z padi sawah haorng 0,82 Nilai z ketelaumbi haorg 1,71 Nilai z palawija haorang 1,75 Nilai z rata-rata haorang 1,02 Sementara itu indikator penggerak emisi karbon di FA pada masa mendatang diprediksi sebagian besar bersumber dari laju deforestasi dan degradasi DD yang direncanakan planned deforestation. Kebijakan alokasi lahan untuk RUTR 2006-2026 seluas 115.207 ha merupakan sumber emisi karbon terestrial yang potensial, karena seluruhnya masih berpenutupan vegetasi. 151 Data historis pada kawasan yang dilindungi TNS menunjukkan dimana laju DD hutan mangrove primer Hmp menjadi tambak rata-rata 0,138 th -1 dan laju DD hutan mangrove sekunder Hms menjadi tambak rata-rata 2,68 th -1 . Luasan prediksi tambak selama 25 tahun umur simulasi menunjukkan luasan sebesar 11.600 ha atau rata-rata 464 ha th -1 . Laju DD tersebut diprediksi dapat menyumbang emisi karbon rata- rata sebesar 387.124 tCO 2 th -1 . Okupasi penduduk terhadap lahan TN Sembilang pada umumnya digunakan untuk usaha tambak, sehingga dapat menimbulkan potensi GRK yang lebih besar lagi. Kegiatan tambak ilegal di TN Sembilang sesungguhnya sudah dimulai sejak 1995 oleh sekitar 400 keluarga yang datang dari Provinsi Lampung. Pada tahun 2000- 2001, sekitar 493 sampai 1.045 keluarga terlibat dalam konversi sekitar 2.159 ha hutan mangrove di Semenanjung Banyuasin antara Sungai Bungin dan Sungai Tengkorak. Dampak negatif dari budidaya tambak ini diprediksi dapat menyebabkan rusaknya kawasan mangrove yang menyokong banyak fungsi biologi penting. Di samping itu, lokasi spesifik tambak tersebut berada dekat dengan lokasi utama bagi burung-burung migran termasuk beberapa spesies burung langka bangau bluwok Mycteria cinerea dan bangau tongtong Leptoptilos javanicus untuk mencari pakan. Di samping kawasan yang dikonversi sebagai tambak, beberapa lokasi ada yang dibuka untuk pertanian, seperti di sekitar Tanah Pilih Terusan Luar, yang dulunya dikonversi menjadi perkebunan kelapa dan persawahan di tahun 1970-an. Penyebab lainnya yaitu prediksi konversi lahan dan mangrove oleh para spekulan tanah yang secara langsung mengacu pada rencana pembangunan pelabuhan samudra Tanjung Api- Api. Indikator penggerak emisi karbon lainnya adalah pemanfaatan hutan secara ilegal penebangan liar yang umumnya dilaksanakan di kawasan bekas HPH di luar TN Sembilang FA. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas TN Sembilang bahwa penebangan liar banyak dilakukan di sepanjang Sungai Kepahiang, Sungai Merang dan Sungai Bakorendo. Jenis kayu yang diambil berasal dari spesies Shorea spp., Koompassia sp., Dyera costulata dan lain-lain. Kegiatan penebangan liar ini dilakukan baik oleh masyarakat setempat maupun oleh masyarakat yang berasal dari luar Kabupaten Banyuasin. Kasus yang terakhir dipantau petugas TN Sembilang terjadi di sekitar Sungai Sembilang dan dilakukan oleh masyarakat setempat Dusun Sembilang. Penebangan liar ini dilakukan biasanya untuk keperluan sendiri seperti 152 bahan bangunan kayu nibung, sedangkan yang dilakukan masyarakat luar kabupaten umumnya dijual ke Palembang. Penebangan liar ini diprediksi berdampak negatif pada struktur hutan secara umum di kawasan TN Sembilang. Hal lain juga dapat mengancam habitat tersisa dari buaya sinyulong Tomistoma schlegelii di sepanjang Sungai Merang. Berdasarkan informasi dari TN Sembilang serta pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa saat ini terdapat peningkatan aktivitas masyarakat yang cukup signifikan di Sungai Merang. Disamping dampak langsung pada habitat buaya sinyulong, peningkatan gangguan terhadap habitat dan sarang buaya jenis ini juga disebabkan oleh meningkatnya populasi manusia di daerah tersebut, seperti kapal-kapal motor dan penggunaan chainsaw di hulu-hulu sungai. Kecenderungan lain penggerak emisi CO 2 yang tidak direncanakan adalah masalah kebakaran hutan dan lahan yang telah berulang kali terjadi di kawasan TN Sembilang. 6 MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS REDD+ Pemodelan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ dalam bab ini dikaji berdasarkan pendekatan pemodelan sistem dinamik. Pemodelan sistem dinamik merupakan abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual yang mampu memprediksi kemungkinan yang akan terjadi di masa depan berdasarkan penelusuran jalur waktu time path. Dalam hal ini yang dikaji adalah pemodelan berdasarkan skenario model business as usual model BAU kawasan Taman Nasional Sembilang TNS serta skenario model carbon crediting model CC kawasan TNS. Komparasi dilakukan terhadap aktivitas konversi hutan di frontier area FA untuk hutan tanamankebun sawit dan tambak, yang akan mempengaruhi tingkat konsentrasi karbon terestrial dan emisi CO 2 kawasan hutan mangrove TNS. Masing-masing skenario dapat dijelaskan sebagai berkut : 1 Skenario model business as usual model BAU adalah pengelolaan sumberdaya dengan cara saat ini eksisting dimana kebijakan pengelolaan kawasan TNS masih dilakukan secara konvensional. Terdapat ketergantungan biaya pengelolaan kawasan TNS terhadap anggaran pemerintah. Rendahnya anggaran pengelolaan kawasan menyebabkan semakin tingginya kawasan tersebut terdegradasi dan terdeforestasi, sehingga diprediksi kawasan TNS akan mengalami penyusutan luas pada zona inti hutan mangrove primer secara exponential decay. Opsi pemanfaatan kawasan TNS pada skenario model BAU diusulkan dengan opsi ”Konservasi Mangrove” dan opsi pemanfaatan ”Sylfish” sylvofishery pada zona tradisional yang dimanfaatkan masyarakat sejak tahun 1995. Diprediksi terjadi peluruhan fungsi hutan mangrove primer Hmp dan hutan rawa sekunder Hrs menjadi areal penggunaan lain APL: belukar, belukar rawa, padang rumput, tambak dan sebagainya, mengikuti laju historis deforestasi dan degradasi hutan sebagaimana saat ini berlangsung. Sehingga kecenderungan ini akan mempengaruhi stok karbon terestrial maupun tingkat konsentrasi emisi karbon yang dilepaskan ke atmosphir. Komparasi dilakukan terhadap aktivitas konversi hutan di FA dimana secara historis dialokasikan untuk pengembangan hutan tanaman industri dan perkebunan sawit serta tambak. Semakin tingginya konversi hutan di kawasan FA ini untuk kebutuhan pembangunan ekonomi, diprediksi semakin tinggi pula emisi 154 CO 2 yang dilepaskan ke atmosphir. Dengan demikian kawasan TNS akan semakin berat untuk menetralisir tingkat konsentrasi emisi atmospherik di wilayah ini. 2 Skenario model carbon crediting model CC, yaitu suatu bentuk upaya mitigasi gas rumah kaca GRK melalui ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan IUPJL berbasis REDD+. Diharapkan dengan skenario model ini laju deoforestasi dan degradasi hutan dapat ditekan, sehingga berdampak positif terhadap: a Zona hutan mangrove primer dapat bertumbuh secara exponential growth, b Kandungan stok biomassa hutan mangrove serta stok karbon terestrial ekosistem TNS lebih terjamin, c Kawasan TNS mampu menyeimbangkan kondisi ekologis sebagai akibat spektrum dampak emisi CO 2 terhadap berbagai kehidupan ekonomi masyarakat sekitar TNS. Selanjutnya kedua skenario tersebut dilakukan simulasi model guna mendapatkan kecenderungan sistem yang akan terjadi di masa depan. Kajian yang dilakukan pada bab ini pada hakekatnya adalah untuk mencapai tujuan dan output penelitian yaitu : 1 Mengukur kecenderungan dua model utama main model, yaitu skenario model BAU dan skenario model CC terhadap fenomena laju emisi CO 2 serta keberlanjutan sumberdaya pesisir. 2 Menganalisis implikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dari kecenderungan dua model tersebut kaitannya dengan sosial ekonomi, upaya mitigasi serta kontribusi pengelolaan sumberdaya pesisir terhadap komitmen Indonesia dalam rangka penurunan emisi GRK secara sukarela sebesar 26 pada tahun 2020.

6.1 Desain Sistem Pengelolaan Sumberdaya Pesisir