214
6.4.1 Kebijakan Sosial Politik
Perdebatan saat ini mengenai konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, khususnya hutan mangrove dalam kaitannya dengan perdagangan karbon ataupun
carbon offset adalah kekhawatiran beberapa pihak terhadap dampak negara asing pada hubungan domestik serta hilangnya suatu kedaulatan. Beberapa perdebatan
menyebutkan bahwa kerjasama internasional perubahan iklim dan perdagangan karbon merupakan bentuk dari “eco-colonialism” atau “carbon colonialism” dimana terjadi
tarikan secara paralel pada negara-negara yang memiliki pengalaman negatif dalam masa kolonial dengan sistem
“buka-tutup”, kontrak konsesi perusahaan-perusahaan minyak asing dan pertambangan yang kurang adil serta harus diterima begitu saja,
sehingga terjadi trade off. Walaupun demikian, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi dua komitmen
internasional penting yang berhubungan dengan perubahan iklim global dan mekanisme pembangunan bersih, yaitu ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui Undang-
Undang UU No 61994 dan ratifikasi Protokol Kyoto melalui UU No. 172004. Peratifikasian ini merupakan salah satu bentuk komitmen Indonesia dalam mendukung
upaya internasional mencapai tujuan Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca GRK di atmosfer bumi pada tingkat yang tidak
membahayakan iklim global. Selain itu juga mengikat Indonesia secara hukum legally binding untuk mengikuti aturan internasional PBB dalam mekanisme perubahan iklim
itu. Pada tahun 2009, Presiden Indonesia pada pertemuan G-20 di Pittsburg telah
menunjukkan dasar-dasar kepemimpinannya pada dunia internasional dengan komitmen melakukan penurunan emisi GRK secara sukarela 26 dan bila ada bantuan
internasional dalam hal pendanaan, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi, maka penurunan tersebut akan ditingkatkan menjadi 41. Bahkan Presiden dalam pidatonya
pada HLS high level segment di Kopenhagen juga berkomitmen bahwa Indonesia bersedia menggunakan panduan internasional MRV untuk melakukan pengukuran
Measurable, pelaporan Reportable dan verifikasi Verifiable terhadap rencana aksi mitigasi nasional, sehingga Indonesia dapat memenuhi kaidah-kaidah transparansi dan
akuntabilitas. Kepemimpinan Indonesia tersebut mendorong negara berkembang lainnya seperti Brazil, Korea Selatan, Singapura, dan Malaysia untuk juga mengumumkan aksi
mitigasinya secara sukarela Bratasida 2010.
215
Dalam menghadapi berbagai retorika tersebut serta tujuan utama reduksi emisi CO
2
yang harus dicapai, maka diperlukan rumusan kebijakan secara sosial politik untuk aksi mitigasi adalah sebagai berikut :
a. Secara sosial, dampak tekanan penduduk terhadap lahan perlu diantisipasi dengan mengontrol tingkat pertumbuhan penduduk pada tingkat maksimum 2,58 th
-1
, baik pengontrolan terhadap laju natalitas maupun pengontrolan laju inmigrasi pada
kebijakan transmigrasi saat ini. Tekanan penduduk terhadap lahan TP di daerah penelitian relatif tinggi TP=2,4 dengan tingkat kebutuhan lahan minimal untuk
hidup layak rata-rata 1,02 ha org
-1
. Fakta ilmiah ini menunjukkan diperlukannya instrumen kebijakan sosial yang kuat berupa pembinaan masyarakat pesisir dalam
hal pola adaptasi perubahan iklim serta pola intensifikasi lahan untuk ketahanan pangan. Pembinaan pola adaptasi perubahan iklim dapat dilakukan dengan
pemberdayaan masyarakat berupa peningkatan mata pencaharian alternatif. Sementara itu pola intensifikasi lahan dapat dilakukan berupa pembinaan
masyarakat dalam teknik budidaya pertanian dan perikanan. b
.
Secara politik, pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ akan efektif apabila ada intervensi kebijakan terhadap rencana tata ruang wilayah kabupaten.
Adanya kebijakan politik terhadap pengaturan lahan terutama pada areal yang masih berhutan dapat mengurangi laju emisi yang akan terjadi. Prioritas pemanfaatan lahan
marjinal untuk berbagai kepentingan pembangunan ekonomi merupakan tindakan yang paling bijaksana. Jika terdapat keterpaksaan harus melakukan konversi hutan,
maka luas maksimum yang masih dapat ditoleransi adalah kurang dari 40 pada HPK hutan produksi dapat dikonversi. Hal ini untuk menjaga karbon netto pada
kawasan hutan mangrove TNS sebagai akibat adanya konversi HPK di FA
.
Hutan produksi yang dapat dikonversi tersebut HPK sebaiknya dialokasikan pada
kegiatan serta dengan cara-cara pengelolaan yang rendah emisi. Moratorium konversi hutan harus diberlakukan terutama pada hutan tegakan padat serta hutan
gambut kedalaman di atas 3 meter. Pembuatan kanalisasi untuk jalur transportasi masuk hutan gambut sebaiknya dipertimbangkan kembali, karena hal ini diprediksi
akan menyebabkan fragmentasi habitat, terganggunya koridor jelajah satwa liar, serta merusak keutuhan ekosistem secara keseluruhan. Dampak kanalisasi serta
sistem tebang bakar untuk membuka lahan kebun masyarakat tersebut sering kali menyebabkan terkurasnya air di lahan gambut, sehingga menimbulkan subsidensi,
gambut menjadi kering dan sangat rentan terhadap kebakaran.
216
6.4.2 Kebijakan Kelembagaan