dari variasi hasil diantara petani responden disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis dan sisanya sebesar 16.55 persen disebabkan oleh efek-efek stochastic
seperti iklim, cuaca, serangan hama penyakit dan kesalahan permodelan. Sedangkan pada pola tanam keprasan, nilai yang didapat adalah 0.8β4β. Artinya
82.42 persen dari variasi hasil diantara petani responden disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis dan sisanya sebesar 17.58 persen disebabkan oleh efek-
efek stochastic seperti iklim, cuaca, serangan hama penyakit dan kesalahan permodelan.
Hasil pendugaan generalized Likelihood Ratio LR dari fungsi produksi stochastic frontier pola tanam non-keprasan petani contoh yaitu 11.93. Nilai
tersebut lebih besar dari tabel distribusi χ
2
10.65 yang nyata pada α 10 persen.
Ini berarti menolak hipotesis H , artinya terdapat pengaruh efisiensi dan
inefisiensi teknis petani. Begitu juga dengan hasil pendugaan generalized Likelihood Ratio LR dari fungsi produksi stochastic frontier pada pola tanam
keprasan yang menghasilkan nilai 26.14. Nilai ini lebih besar dari tabel distribusi χ
2
12.59 yang nyata pada α 5 persen. Hasil ini juga berarti menolak hipotesis H
, artinya terdapat pengaruh efisiensi dan inefisiensi teknis petani dalam pola tanam
keprasan.
7.3. Analisis Skala Usaha
Analisis skala usaha bertujuan untuk mengetahui apakah skala ekonomi skala usaha berada pada kondisi increasing return to scale, constan return to
scale atau decreasing return to scale. Analisis ini dilakukan dengan cara merestriksi jumlah koefisien peubah-peubah bebas pada fungsi produksi dengan
metode OLS. Jumlah koefisien parameter dari seluruh variabel bebas X
j
dibatasi bernilai satu. Pengujian skala usaha ini dilakukan dengan menggunakan uji
statistik F hitung. Hasil analisis pendugaan fungsi produksi OLS yang tidak direstriksi dengan yang direstriksi pada pola tanam non-keprasan dan keprasan
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4 dan Lampiran 5. Hasil pengujian
skala fungsi produksi disajikan pada Tabel 30.
Tabel 30. Hasil Pengujian Skala Usaha Fungsi Produksi Rata-Rata Pola Tanam Non-Keprasan dan Keprasan
Fungsi Produksi Non-Keprasan
Keprasan R
2
e
2
R
2
e
2
Fungsi produksi yang tidak direstriksi 0.9911
0.1090 0.9790
0.6498 Fungsi produksi yang direstriksi
0.9907 0.1144
0.9744 0.7918
F-hitung 0.84
9.18 Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Pada pola tanam non-keprasan, uji F terhadap produksi yang tidak direstriksi dengan fungsi produksi yang diretriksi menghasilkan nilai F hitung
sebesar 0.84, lebih kecil dari F tabel pada α 5 persen yaitu β.61. Artinya jumlah
koefisien elastisitas peubah pada fungsi produksi rata-rata metode OLS ∑
= 1
. Dengan demikian hipotesis H
diterima, yaitu nilai parameter dugaan fungsi produksi petani contoh yang direstriksi sama dengan dengan nilai parameter
dugaan fungsi produksi petani yang tidak direstriksi atau berada dalam kondisi constant return to scale. Artinya setiap penambahan input sebesar 10 persen akan
meningkatkan produksi tebu sebesar 10 persen. Pada pola tanam keprasan, uji F terhadap produksi yang tidak direstriksi
dengan fungsi produksi yang diretriksi menghasilkan nilai F hitung sebesar 9.81, lebih besar dari F tabel pada
α 5 persen yaitu β.10. Artinya jumlah koefisien elastisitas peubah pada fungsi produksi rata-rata metode OLS
∑ ≠
1
. Dengan demikian hipotesis H
ditolak, yaitu nilai parameter dugaan fungsi produksi petani contoh yang direstriksi berbeda nyata dengan nilai parameter dugaan fungsi
produksi petani yang tidak direstriksi. Oleh karena jumlah elastisitas produksi rata-rata dalam penelitian ini lebih dari satu, maka skala usaha petani tebu di
daerah penelitian berada pada kondisi increasing return to scale. Artinya setiap penambahan input sebesar 10 persen akan meningkatkan produksi tebu lebih dari
10 persen.
7.4. Analisis Efisiensi Teknis 7.4.1. Sebaran Efisiensi Teknis
Efisiensi teknis dianalisis dengan menggunakan model fungsi produksi stochastic frontier. Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya bahwa efisiensi
teknis dikategorikan cukup efisien jika ≥ 0.7. Berdasarkan sebaran nilai Efisiensi
Teknis TE dapat disimpulkan bahwa efisiensi petani tebu baik petani TRK maupun petani TRB cukup tinggi baik untuk pola tanam keprasan maupun non-
keprasan. Sebaran efisiensi teknis untuk petani petani contoh pola non-keprasan dan keprasan disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Pola Tanam Non-Keprasan dan Keprasan di Daerah Penelitian
Sebaran Efisiensi Pola Non Keprasan
Pola Keprasan Jumlah Orang
Persen Jumlah Orang
Persen 0.5
0.00 0.00
0.5-0.6 0.00
1 2.00
0.6-0.7 0.00
0.00 0.7-0.8
2 8.00
2 4.00
0.8-0.9 13
52.00 5
10.00 0.9-1.0
10 40.00
42 84.00
Total 25
100.00 50
100.00 Rata-Rata
0.8930 0.9318
Maksimum 0.9942
0.9863 Minimum
0.7776 0.5580
Sumber: Data Primer, 2012
Berdasarkan Tabel 31 diketahui nilai efisiensi teknis petani pola tanam non-keprasan berkisar antara 0.7776 sampai dengan 0.9942 dengan nilai rata-rata
0.8930. Sedangkan nilai efisiensi teknis petani pola tanam keprasan berkisar antara 0.5580 sampai dengan 0.9863 dengan nilai rata-rata 0.9318. Artinya rata-
rata produksi yang dicapai oleh petani tebu pola non-keprasan adalah 89.30 persen dan rata-rata produksi yang dicapai oleh petani dengan pola tanam keprasan
adalah 93.18 persen dari frontier, yakni produksi maksimum yang dapat dicapai dengan sistem pengelolaan yang terbaik the best practice.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kemampuan manajerial petani tebu baik dalam pola tanam non-keprasan maupun keprasan sudah cukup baik yaitu
dengan menggunakan variabel lahan, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida padat, pestisida cair dan tenaga kerja secara proporsional. Kondisi ini di
satu sisi mencerminkan tingkat keberhasilan petani dalam menjalankan usahataninya. Akan tetapi di sisi lain, hal ini bermakna bahwa potensi yang masih
tersisa untuk memperbaiki produksi atau produktivitas sangat terbatas. Implikasinya adalah dengan tingkat harga input dan output usahatani tebu seperti
saat penelitian dilakukan, maka akan sangat sulit bagi petani untuk meningkatkan pendapatan usahatani tebunya. Dalam jangka pendek, rata-rata petani dengan pola
tanam non-keprasan berpeluang sebesar 10.18 persen 1-0.89300.9942 untuk meningkatkan produksinya. Sedangkan petani dengan pola keprasan memiliki
peluang untuk
meningkatkan produksinya
sebesar 5.53
persen 1-
0.93180.9863. Petani baik pada pola tanam non-keprasan dan keprasan secara teknis telah efisien karena nilai efisiensi tergolong efisien jika
≥ 0.7. Berdasarkan ulasan sebelumnya juga diketahui bahwa petani pada pola tanam non-keprasan
cenderung tidak efisien dibandingkan pada pola keprasan. Pola non-keprasan cenderung tidak efisien karena produksi yang relatif rendah dibandingkan dengan
pola tanam keprasan. Ini dikarenakan anakan pada pada pola tanam non-keprasan lebih sedikit dibandingkan dengan anakan pada tanaman keprasan sehingga
produksi tebu yang dihasilkan tanaman keprasan lebih banyak. Petani hanya dianjurkan melakukan keprasan maksimal sampai pada keprasan keempat.
Berdasarkan pada pola kemitraan, sebaran efisiensi teknis petani contoh non-keprasan dengan TRK dan TRB dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32. Sebaran Efisiensi Teknis Petani TRK dan TRB Pola Tanam Non- Keprasan di Daerah Penelitian
Sebaran Efisiensi TRK
TRB Jumlah
Orang Persen
Jumlah Orang
Persen 0.5
0.00 0.00
0.5-0.6 0.00
0.00 0.6-0.7
0.00 0.00
0.7-0.8 2
14.29 0.00
0.8-0.9 7
50.00 5
45.45 0.9-1.0
5 35.71
6 54.55
Total 14
100.00 11
100.00 Rata-Rata
0.8745 0.9165
Maksimum 0.9690
0.9942 Minimum
0.7776 0.8032
Keterangan: TRK = Tebu Rakyat Kredit, TRB= Tebu Rakyat Bebas Sumber: Data Primer, 2012
Rata-rata efisiensi teknis untuk petani TRK dan TRB pada pola tanam non-keprasan berturut-turut 0.8745 dan 0.9165. Petani TRB memiliki rata-rata
nilai efisiensi lebih tinggi dibandingkan dengan petani TRK. Dalam jangka pendek, secara rata-rata petani contoh TRK berpeluang sebesar 9.75 persen 1-
0.87450.9690 untuk meningkatkan produksinya. Sedangkan petani TRB memiliki peluang untuk meningkatkan produksinya sebesar 7.82 persen 1-
0.91650.9942.
Kondisi yang hampir sama juga terjadi sebaran teknis petani keprasan pola tanam keprasan TRK dan TRB sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 33. Pada
pola tanam keprasan, rata-rata efisiensi teknis petani TRK dan TRB berturut-turut 0.9367 dan 0.9811. Artinya rata-rata produksi yang dicapai oleh petani tebu TRK
adalah 93.67 persen dan rata-rata produksi yang dicapai oleh petani TRB adalah 98.11 persen dari frontier, yakni produksi maksimum yang dapat dicapai dengan
sistem pengelolaan yang terbaik the best practice. Dalam jangka pendek, rata- rata petani contoh TRK berpeluang sebesar 5.04 persen 1-0.93670.9863 untuk
meningkatkan produksinya. Sedangkan petani TRB memiliki peluang untuk meningkatkan produksinya sebesar 5.83 persen 1-0.92400.9811.
Tabel 33. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Keprasan Pola Kemitraan TRK dan TRB di Daerah Penelitian
Sebaran Efisiensi TRK
TRB Jumlah Orang
Persen Jumlah Orang
Persen 0.5
0.00 0.00
0.5-0.6 0.00
1 5.26
0.6-0.7 0.00
0.00 0.7-0.8
1 3.23
1 5.26
0.8-0.9 5
16.13 1
5.26 0.9-1.0
25 80.65
16 84.21
Total 31
100.00 19
100.00 Rata-Rata
0.9367 0.9240
Maksimum 0.9863
0.9811 Minimum
0.7926 0.5580
Keterangan: TRK = Tebu Rakyat Kredit, TRB= Tebu Rakyat Bebas Sumber: Data Primer, 2012
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, kedua kelompok petani secara teknis telah efisien karena nilai efisiensi tergolong efisien jika lebih besar dari 0.7.
Jika petani berkeinginan untuk meningkatkan produksinya, maka cara yang dilakukan adalah melalui peningkatan teknologi dan manajemen usahatani yang
lebih baik.
7.4.2. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi teknis diduga dengan menggunakan model efisiensi teknis dari fungsi produksi stochastic frontier. Hasil
pendugaan model efek inefisiensi teknis baik pada pola non-keprasan dan keprasan dapat dilihat pada Tabel 34.
Tabel 34. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi Stochastic Frontier
Variabel Non-Keprasan
Keprasan Parameter Dugaan
T-ratio Parameter Dugaan
T-ratio Konstanta
0.487887 3.3576
1.412872 3.3056
Pendidikan Z1 -0.009887
-1.1891
c
-0.111051 -3.4230
a
Pengalaman Z2 -0.013166
-2.7270
a
-0.477800 -1.3225
c
Kemitraan Z3 -0.037681
-0.6572
c
-0.632733 -0.5242
b
Ukuran Usahatani Z4 -0.066673
-1.7007
b
-0.705549 -1.9233
b
Keterangan: a, b, c nyata pada α 0.05, 0.10, dan 0.15 Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Pendidikan Z1 . Faktor pendidikan adalah jumlah tahun yang dihabiskan
petani untuk menempuh masa pendidikan formalnya. Faktor pendidikan dimasukkan ke dalam efek inefisiensi dengan dugaan berpengaruh negatif
terhadap inefisiensi teknis petani. Artinya semakin lama pendidikan petani diduga semakin mendorong petani untuk efisien dalam proses produksi dan penggunaan
input produksinya. Hasil pendugaan pada Tabel 33 menunjukkan bahwa lama pendidikan beperngaruh negatif terhadap tingkat inefsiensi petani contoh dan.
Hasil ini senada dengan hasil penelitian Kurniawan 2008 dan Kebede 2001. Menurut Kebede 2001, pendidikan meningkatkan kemampuan petani untuk
mencari, memperoleh dan menginterpretasikan informasi yang berguna tentang input-input produksi.
Pengalaman Z2. Faktor pengalaman dimasukkan ke dalam efek
inefisiensi dengan dugaan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis petani. Artinya semakin berpengalaman petani semakin efisien dalam berproduksi dan
menggunakan input produksinya. Akan tetapi, ada beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa pengalaman berpengaruh positif terhadap inefisiensi
usahatani sebagaimana yang diungkapkan oleh Yusuf 2008, Mariyah 2008, Jasila 2009 dan Babalola et al 2009. Alasan yang diungkapkan adalah petani
yang berpengalaman cenderung tidak efisien dalam menggunakan input karena mengikuti kebiasaan. Selain itu semakin lama mereka berusahatani tebu dan
model terkumpul, semakin mereka berusaha untuk mengganti komoditas tebu dengan komoditas lain yang lebih cepat menghasilkan dan menguntungkan.
Sedangkan tebu termasuk tanaman yang membutuhkan waktu lama dan proses
produksinya sekitar 8 sampai dengan 12 bulan sehingga harus menunggu lama untuk memperoleh hasil usahataninya.
Hasil pendugaan faktor pengalaman sebagaimana yang disajikan pada Tabel 34 menunjukkan bahwa pengalaman berpengaruh negatif dan nyata
terhadap inefisiensi teknis usahatani tebu di daerah penelitian. Hasil ini senada dengan hasil penelitian Adhiana 2005 dan Msuya dan Ashimogo 2007.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa semakin lama petani berusahatani tani tebu, maka akan sulit berpindah pada komoditas lain. Beberapa petani
beranggapan bahwa bertani tebu memberikan lapangan pekerjaan yang lebih banyak dibandingkan dengan usahatani lain seperti singkong maupun kelapa
sawit. Selain itu, ada “culture” dalam usahatani tebu, yaitu terbentuknya gotong- royong antar petani. Bahkan di beberapa afdeling, petani juga sudah mampu
menghitung pendapatan usahataninya berdasarkan pada jumlah tebu yang dihasilkan. Kemampuan ini tidak lepas dari pembinaan-pembinaan yang
dilakukan oleh para sinder PTPN VII Unit Usaha Bungamayang maupun dari koperasi.
Kemitraan Z3. Kemitraan merupakan variabel yang digunakan untuk
mewakili kemitraan petani TRK dan TRK. Hasil analisis menunjukkan bahwa kemitraan memberikan efek negatif terhadap inefisiensi teknis dan tidak nyata.
Kemitraan yang dijalin antara petani dengan pabrik memberikan manfaat yang besar kepada para petani khususnya terkait dengan penyediaan input-input
produksi. Tetapi ada kecenderungan terjadinya keterlambatan penyaluran input di beberapa afdeling sehingga proses produksi tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Akan tetapi, kondisi ini seharusnya tidak menjadi masalah jika para petani mampu mengalokasikan sebagian hasil penjualan gulanya untuk
dicadangkan guna mengantisipasi jika terjadi keterlambatan pasokan input dari pabrik. Selain itu, ada harapan dari petani kepada pabrik untuk memberikan
jaminan harga yang lebih baik baik gula yang dihasilkan. Permasalahan ini sebenarnya sudah direspon oleh pabrik dengan mengadakan lelang gula yang
dihasilkan petani. Pabrik menjadi fasilisator dalam lelang tersebut dengan mempertemukan
petani dengan
para pedagang
distributor. Dalam
pelaksanaannya, proses lelang sering tidak sesuai dengan harapan karena jumlah